Anda di halaman 1dari 8

Pro-Kontra Tarekat

ABQARI

PascaSarjana UIN ANTASARI

Pendahuluan

Tarekat merupakan bagian dari ilmu tasawuf. Namun tak semua orang yang
mempelajari tasawuf terlebih lagi belum mengenal tasawuf akan paham
sepenuhnya tentang tarekat. Banyak orang yang memandang tarekat secara sekilas
akan menganggapnya sebagai ajaran yang diadakan di luar Islam (bid’ah), padahal
tarekat itu sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan syari’at Islam
yang sah. Namun perlu kehati-hatian juga karena tidak sedikit tarekat-tarekat yang
dikembangkan dan dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran yang menyeleweng dari
ajaran Islam yang benar. Oleh sebab itu, perlu diketahui bahwa ada
pengklasifikasian antara tarekat muktabarah (yang dianggap sah) dan ghairu
muktabarah (yang tidak dianggap sah).

Pada masa permulaan, tarekat memang tidak bisa dipisahkan dari amalan
dan praktek yang serba aneh. Bahkan hingga saat ini, beberapa tarekat masih
memelihara praktekpraktek yang bagi orang awam, dipandang aneh. Beberapa
amalan tarekat, diakui atau tidak, memang tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan
Hadits. Hingga para ulama ortodoks semacam Ibn Taimiyah dan para pengikutnya
mengkritik habis amalan tarekat dan menyebutnya sebagai biang keladi bid’ah dan
syirik.
Pembahasan

A. Sejarah Perkembangan Tarekat

Pada hakekatnya tarekat bukanlah sesuatu yang terpisah dari syari’at, sebab
tarekat adalah pengejawantahan dari syariat itu sendiri. Sebagaimana lazim
dikatakan orang, ”syariat tanpa tarekat adalah kosong, sedangkan tarekat tanpa
syariat adalah bohong.” Terkait hal ini Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar
Tarekat, dengan tegas menyatakan bahwa tarekat merupakan bagian terpenting dari
pada pelaksanaan tasawuf. Mempelajari tasawuf dengan tidak mengetahui dan
melakukan tarekat merupakan suatu usaha yang hampa. Dalam ajaran tasawuf
diterangkan, bahwa syariat itu hanya peraturan belaka, tarekat lah yang merupakan
perbuatan untuk melaksanakan syariat itu, apabila syariat dan tarekat ini sudah
dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan
atau ahwal, sedangkan tujuan yang terakhir ialah makrifat yaitu mengenal dan
mencintai
Tuhan dengan sebaik-baiknya.1

Kajian tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan praktek ‘ubudiyah dan


mu’amalah dalam tarekat. Walaupun kegiatan tarekat sebagai sebuah institusi lahir
belasan abad sesudah contoh konkrit pendekatan terhadap Allah SWT yang telah
diberikan oleh Rasul-Nya (Nabi Muhammad SAW), antara lain dengan ber-
tahannus di Guwa Hiro, qiyamullail, dzikir, dan sebagainya. Untuk kemudian
diteruskan oleh sebagian sahabat terdekat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in, diteruskan
dengan lahirnya para waliyullah abad demi abad hingga masa sekarang ini.2

Tarekat pada awalnya merupakan salah satu bagian dari ajaran tasawuf. Para
sufi mengajarkan ajaran pokok tasawuf, yaitu syariat, terekat, hakikat, dan Ma’rifat,
yang pada akhirnya. Masing-masing ajaran tersebut berkembang menjadi satu aliran
yang berdiri sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis, yang
maknannya bahwa syariat adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, dan

1Awaludin, Sejarah Dan Perkembangan Tarekat Di Nusantara. Jurnal El-Afkar Vol. 5 Nomor II,
Juli- Desember 2016, 125.
2Pengantar Ilmu Tasawuf, 31.
hakikat adalah batinku. Menurut Muhammad al-Aqqas, tasawuf berasal Islam
karena sudah ada dasarnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga diakui sebagai
ajaran yang benar.3

Garis yang menyambung sejak masa nabi SAW hingga syekh tarekat yang
hidup saat ini telah disebutkansilsilah yang saling sambung menyambung sebagai
sebuah ciri khas yang terdapat dalam ilmu tasawuf (istilah isnad dalam Ilmu
Hadits). Tradisi ini memungkinkan ajaran dan praktek keagamaannya hidup subur
dan survive.4

B. Pengertian Tarekat
Tarekat berasal dari akar kata Thoriqoh dalam bahasa arab, yang berarti cara,
jalan, aliran atau metode. Secara terminologi, tarekat dimaknai sebagai suatu sistem
hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagamaan sebagai upaya spiritualisasi
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam menujutercapainya Ma’rifat kepada
Allah.5 Menurut Rivay Siregar, Tarekat berakar dari pengalaman seorang sufi dalam
mengajarkan ilmunya kepada orang lain, lalu dikembangkan lagi oleh muridnya.
Tarekat pada mulanya dimaknai sebagai metode pendekatan diri kepada Allah,
berubah menjadi sistem pembelajaran tasawuf yang melembaga. Salah satu
diantaranya ialah tarekat itu sendiri, karena didalamnya ditemui adanya seorang
mursyid atau pembimbing yang biasanya didampingi oleh wakil atau yang biasa
disebut khalifah serta ada pengikutnya yang dinamakan murid.6
Tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai
dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi dan sahabatnya. Tarekat juga berarti
organisasi yang mempunyai syaikh, upacara ritual dan dzikir tertentu. Pada
dasarnya tarekat merupakan bagian dari tasawuf, karena tujuan dzikir adalah

3Armin Tedy, Tarekat Mu’tabaroh Di Indonesia (Studi Tarekat Shiddiqiyyah Dan Ajarannya).
Jurnal El-Afkar Vol. 6 Nomor 1, Januari- Juni 2017, 32.
4 Pengantar Ilmu Tasawuf, 30.
5H. A. Rivay Siregar, TASAWUF, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Pt. RajaGrafindo,

2002), 263.
6H. A. Rivay Siregar, TASAWUF, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 264. Lihat juga Sri

Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabaran di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2005) , 11.


mendekatkan diri kepada Allah SWT dan pada akhirnya merupakan penyucian jiwa
(tazkiyatunnafs). Penyucian jiwa adalah inti dari kandungan tasawuf.7
L. Masignon, sebagaimana dikutip oleh Ris’an Rusli, mengatakan tarekat
mempunyai dua makna dalam tradisi sufi. Pertama, adalah abad ke-9 M dan abad
ke-10 M berarti cara, jalan atau metode dalam melakukan pendidikan ahklak dan
jiwa yang ditempuh oleh mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Allah.8
Pendapat ini didukung dan diperluas oleh Harun Nasution, bahwa tarekat adalah
jalan yang harus ditempuh oleh siapapun, dengan tujuan untuk mendekatkan diri
dan berada sedekat mungkin dengan Allah. Kedua, setelah abad ke-11 M tarekat
mempunyai arti suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan
rohani dan jasmani oleh segolongan orang-orang Islam menurut ajaran dan
keyakinan tertentu.9
C. Pro dan Kontra Tarekat
Jejak anti sufi sebenarnya merupakan panorama peradaban dalam agama
Islam. Selalu ada kelompok dan kontra dalam memandang entitas Sufi. Fenomena
ini tak pernah hilang, meski segala cara pernah dilakukan oleh sarjana-sarjana
muslim klasik kontemporer untuk menciptakan nuansa saling memahami.
Walaupun hasilnya seringkali sebaliknya.
Image sebagai penyebar bid’ah dan penyimpangan islam memang masih
belum bisa dihapuskan sepenuhnya dari tarekat. Image itu sudah terlalu melekat
kuat, meskipun tidak semua tarekat menyimpang. Kerajaan Saudi Arabia misalnya,
melarang adanya tarekat kesufian, karena dianggap penyimpangan atau bid’ah dari
ajaran yang benar. Beberapa kalangan sunni, meskipun menerima keberadaan
tarekat, tapi masih mengawasi amalan tarekat dan intuisinya agar tidak jatuh dalam
amalan-amalan yang menyimpang. Organisasi seperti NU, merasa perlu
menetapkan ketentuan tentang tarekat mana yang sah atau mu’tabarah dan yang
tidak sah (ghairu al-mu’tabarah).10

7Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), 109.
8Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), 185.
9Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), 89.
10Fathur Rohman, Ahmad Sirhindī Dan Pembaharuan Tarekat. Jurnal Wahana AkademikaVol. 1

No. 2, Oktober 2014, 208.


Pada masa permulaan, tarekat memang tidak bisa dipisahkan dari amalan
dan praktek yang serba aneh. Bahkan hingga saat ini, beberapa tarekat masih
memelihara praktekpraktek yang bagi orang awam, dipandang aneh. Beberapa
amalan tarekat, diakui atau tidak, memang tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan
Hadits. Hingga para ulama ortodoks semacam Ibn Taimiyah dan para pengikutnya
mengkritik habis amalan tarekat dan menyebutnya sebagai biang keladi bid’ah dan
syirik.11
Mayorias anti Sufi, terutama Ibn Taimiyah, memandang terlembaganya
tasawuf dalam institusi tarekat sebagai titik awal yang paling menentukan dari
parade kesesatan, bid'ah, kesyirikan dan lelaku zindik dalam aliran Sufi. Karena dari
sana, muncul ritual dzikir berjemaah (baik dengan suara keras maupun pelan) yang
tak pernah terjadi di masa salaf, tradisi baiat sebagai simbol perjanjian salik untuk
memperbaiki diri, hingga tradisi menghormati guru tarekat yang dianggap
melampaui batas kewajaran.
Belum lagi, bacaan wirid yang dijalani seorang salik dalam kesehariannya.
Kelompok anti Sufi mendramatisir suluk Sufi dengan mengatakan bahwa mereka
lebih mencintai wiridnya dari pada Al-Quran. Ulama salaf di masa sahabat sibuk
berjihad di medan perang, bukan menyibukkan diri dengan ritual semacam itu.
Konsep tauhid rububiyah yang dikembangkan Ibn Taimiyah menjadi senjata paling
jitu dalam melibas tradisi yang berlaku dan diyakini dalam komunitas Sufi.
Sehingga tawassul, istighasah, ziarah kubur adalah sekian dari bentuk kesesatan
Sufi yang lainnya.
Dalam buku-buku yang ditulis Ibn Taimiyah, semua tarekat Sufi adalah sesat
tanpa ada pengecualian, meski memang kadar kesesatannya tidak satu level. Dari
semua label sesat itu, Ibn Taimiyah hanya memakai satu logika: institusi semacam
itu tak pernah ada di masa Salaf maka aktivitas dan tradisi yang dikembangkan juga
sesat. Padahal pegiat tarekat Sufi sudah berkali-kali melakukan pembelaan bahwa
tradisi yang mereka lakukan memiliki akar yang kuat, baik dari Al- Quran maupun
hadis Nabi Saw., entah secara eksplisit maupun implisit.

11 Fathur Rohman, Ahmad Sirhindī Dan Pembaharuan Tarekat, 208.


Kelompok anti Sufi memang bersikeras bahwa apapun pembelaan yang
dilakukan akan tetap sia-sia, mengingat tak ada satu nash syarih (teks yang amat
jelas) yang bisa melegitimasi adanya tarekat beserta tradisi yang dikembangkannya.
Bahkan kalaupun ada, semisal hadis mengenai "level kewalian", mereka akan segera
menyebutnya sebagai hadis buatan atau sanadnya lemah. Sehingga menjadi
mafhum, ketika Syekh Mahmud Al-Ghurab menyindir dalam mukaddimah
bukunya yang memuat pembelaan terhadap Ibn Arabi, yang dikafirkan oleh Ibn
Taimiyah, bahwa tak ada seorang pun yang bisa mengaku menguasai semua tradisi
hadis kenabian, termasuk Ibn Taimiyah. Klaim representasi ulama salaf paling valid
adalah bentuk dari kepongahan intelektual.12
Menurut Ibn Taimiyah Praktek Tasawuf (Tarekat) bahwa wali mempunyai
karamah, tetapi hal tersebut tidak menjamin orang tersebut ma'shum dari kesalahan,
dan tidak terbebas dari syari'ah. Baginya karamah tidak lebih afdhal dari istiqomah.
Ia menentang adanya praktek meminta-minta di kubur Nabi atau oang-orang
Shaleh. Hal tersebut tidak sejalan dengan konsep ibadah, dimana seharusnya orang
yang memerlukan pertolongan kepada allah, langsung berdo'a kepadanya, tanpa
perantaraan siapapun. Demikian juga ziarah kubur dengan maksud taqarrub
kepada Allah. Menurutnya taqarrub kepada Allah dapat dilakukan dengan
mengamalkan amalan-amalan wajib maupun sunnah. Mengenai cinta pada Allah, ia
memberikan konsep adanya beberapa tingkatan cinta, mulai dari Hubungan hati,
curahan hati, pengorbanan, rasa rindu, dan terakhir adalah penghambaan.13
Pada sisi lain, banyak juga ulama yang setuju dengan tarekat atau
pengamalan tasawuf. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Tarekat, dengan
tegas menyatakan bahwa tarekat merupakan bagian terpenting dari pada
pelaksanaan tasawuf. Mempelajari tasawuf dengan tidak mengetahui dan
melakukan tarekat merupakan suatu usaha yang hampa. Dalam ajaran tasawuf
diterangkan, bahwa syariat itu hanya peraturan belaka, tarekat lah yang merupakan
perbuatan untuk melaksanakan syariat itu, apabila syariat dan tarekat ini sudah

12Abdul Mun’im Kholil, Jejak Metodologis Anti-Sufi; Analisis Kritis Pemikiran Sufisme Ibnu
Taymiyah. Jurnal Reflektika. Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017, 30.
13Syamsul Rijal, Kritik Ibnu Taimiyah Terhadap Tarekat. Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam

Februari 2015. Vol.2. No.1. 30.


dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan
atau ahwal, sedangkan tujuan yang terakhir ialah makrifat yaitu mengenal dan
mencintai Tuhan dengan sebaik-baiknya.14
Al-Qur’an sendiri sangat menekankan nilai-nilai moralitas yang baik (al-
Akhlak al-Karimah), proses pembenahan jiwa yang dalam hal ini melalui dzikir,
yang mana dzikir adalah bagian perintah dalam al-Qur’an yang dalam
penyebutannya tidak sedikit atau berulang-ulang, bahkan dalam al-Qur’an sendiri
menyebutkan bahwa dzikir adalah sebuah cara untuk memperoleh ketenangan jiwa,
dari ketenangan jiwa inilah yang menjadi tujuan inti orang bertarekat.
Catatan Kaki;
Anwar, Rosihan Ilmu Tasawuf. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008).
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat, (Uraian Tentang Mistik),
(Solo:Ramadhani, tt 2001).
Awaludin, Sejarah Dan Perkembangan Tarekat Di Nusantara. Jurnal El-Afkar
Vol. 5 Nomor II, Juli- Desember 2016.
H. A. Rivay Siregar, TASAWUF, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme.
Kholil, Abdul Mun’im. Jejak Metodologis Anti-Sufi; Analisis Kritis Pemikiran
Sufisme Ibnu Taymiyah. Jurnal Reflektika. Volume 13, No. 1, Januari–
Juni 2017.
Mulyati, Sri Tarekat-Tarekat Muktabaran di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2005)
.
Nasution, Harun. Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,
1985).
Rijal Syamsul, Kritik Ibnu Taimiyah Terhadap Tarekat. Jurnal Penelitian dan
Pemikiran Islam Februari 2015. Vol.2. No.1.
Rohman, Fathur. Ahmad Sirhindī Dan Pembaharuan Tarekat. Jurnal Wahana
AkademikaVol. 1 No. 2, Oktober 2014.
Rusli, Ris’an .Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013).

14Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Uraian Tentang Mistik), (Solo:Ramadhani, tt 2001),
41.
Siregar, H. A. Rivay. TASAWUF, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta:
Pt. RajaGrafindo, 2002)..
Tedy, Armin Tarekat Mu’tabaroh Di Indonesia (Studi Tarekat Shiddiqiyyah
Dan Ajarannya). Jurnal El-Afkar Vol. 6 Nomor 1, Januari- Juni 2017.

Anda mungkin juga menyukai