Anda di halaman 1dari 6

MAZHAB ELEA

PARMENIDES
1. Riwayat Hidup
Parmenides lahir di kota Elea di Italia Selatan sekitar tahun 515 SM. Tahun ini dapat
ditentukan atas kesaksian Plato yang menceritakan bahwa Parmenides pada usia 65 tahun
bersama dengan muridnya Zeno berkunjung ke Athena di mana ia bercakap-cakap dengan
Sokrates yang masih muda pada waktu itu. Mungkin dalam masa mudanya ia menganut
ajaran Pythagorean. Ada kesaksian pula bahwa Parmenides memberi undang-undang kepada
kota Elea.

2. Karya
Parmenides mengarang filsafatnya dalam bentuk puisi. Di kemudian hari Empedokles
akan meniru bentuk literer ini, tetapi selain itu puisi tidak dipilih lagi oleh orang Yunani
untuk membahasakan pikiran filsafat.

Syair Parmenides terdiri dari kata prakata dan dua bagian, yang masing-masing disebut
jalan kebenaran dan jalan pendapat. Prakata dan bagian pertama hampir lengkap disimpan,
yaitu 111 ayat. Dari bagian kedua kita hanya mempunyai 42 ayat saja : menurut dugaan H.
Diels itulah sepersepuluh dari teks asli. Dengan meniru gaya bahasa yang lazim dalam
Orfisme, dalam prakata ia melukiskan bagaimana ia diantar ke Istana sang Dewi. Dengan itu,
ia berbalik dari kegelapan menuju terang. Sang Dewi menyatakan segala-galanya kepadanya
dengan melukiskan kedua jalan tersebut.

3. Jalan Kebenaran
Pikiran Parmenides adalah kebalikan dari pikiran Herakleitos. Bagi Herakleitos realitas
seluruhnya bukanlah sesuatu yang lain daripada gerak dan perubahan. Bagi Parmenides gerak
dan perubahan tidak mungkin. Menurut dia realitas merupakan keseluruhan yang bersatu,
tidak bergerak atau berubah. Atas cara bagaimana Parmenides mencapai pendirian ini?

Seluruh jalan kebenaran bersandar pada satu keyakinan: “yang ada itu ada”, what is, is.
Itulah kebenaran. Sama sekali mustahil memungkiri kebenaran itu. Coba kita bayangkan saja
apakah konsekuensinya, bila orang memungkiri kebenaran itu. Ada dua pengandaian yang
mungkin. (1) atau orang bisa mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada. (2) atau orang
dapat mengatakan bahwa yang ada serentak ada dan serentak juga tidak ada. Tetapi kedua
pengandaian itu sama-sama mustahil. Pengandaian pertama harus dianggap mustahil, karena
yang tidak ada justru tidak ada. “Yang tidak ada” tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat di
bicarakan. Orang yang mengatakan, “Realitas seluruhnya terdiri dari kenyataan bahwa tidak
ada sesuatu pun,” jatuh dalam kontradiksi yang paling besar. Pengandaian kedua sama saja
dengan pendapat Herakleitos, tetapi pengandaian ini juga harus disebut mustahil. Karena
pengandaian ini menerima pengandaian yang pertama tadi bahwa “yang ada” tidak ada. Itu
selalu harus ditolak. “Yang ada” ada dan “yang tidak ada”. Sebaliknya, karena yang “tidak
ada” tidak ada, akibatnya tidak pernah mungkin menjadi “yang ada”. Jadi harus disimpulkan
bahwa “yang ada” itu ada. Itulah satu-satunya kebenaran. “Yang tidak ada” tidak mungkin
merupakan objek bagi pemikiran kita dan kita tidak bisa berbicara tentangnya.

Kebenaran yang diuraikan tadi mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang tidak kecil.

1) Pertama-tama, “yang ada” adalah satu dan tak terbagi: pluralis (kejamakan) tidak
mungkin. Tentu saja, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang ada”
2) Berikutnya, “yang ada” tidak dijadikan dan tidak akan dimusnahkan; dengan kata lain,
“yang ada” bersifat kekal dan tak terubahkan. Karena, seandainya ada perubahan, itu
berarti bahwa “yang ada” menjadi “yang tidak ada” atau “yang tidak ada” menjadi
“yang ada”. Nah, itu sama sekali mustahil. Jadi, perubahan tidak mungkin.
3) Lantas harus dikatakan bahwa “yang ada” itu sempurna. Tidak ada sesuatu yang dapat
ditambah padanya dan tidak ada sesuatu yang dapat diambil daripadanya. Walaupun
Parmenides sendiri tidak memakai kata “sempurna”, maksudnya memang begitu, bila ia
mengatakan bahwa “yang ada” itu serba lengkap “bagaikan bola yang jarak-jaraknya
dari pusat ke permukaan semua sama”. “Yang ada” itu bulat, sehingga mengisi semua
tempat.1
4) Karena “yang ada” mengisi segala tempat, kita harus menarik kesimpulan bahwa
menurut Parmenides tidak ada ruang kosong. Karena, menerima ruang kosong berarti
menerima juga bahwa di luar “yang ada” itu masih ada sesuatu yang lain. Akibatnya,
gerak tidak mungkin. Karena, apakah yang terjadi jika suatu benda bergerak? Dengan
bergerak suatu benda menduduki tempat yang tadinya kosong. Menerima adanya gerak
dengan sendirinya berarti pula menerima adanya ruang kosong.

Setelah menguraikan pikiran Parmenides dalam “jalan kebenaran”, kami menambah


beberapa catatan. Sudah nyata bahwa Parmenides menyadari perbedaan antara pengetahuan
rasional dengan pengetahuan indrawi. Lalu jelas juga apabila kedua jenis pengetahuan itu
bertentangan yang satu dengan yang lain, Parmenides berpihak pada rasio (dengan jelas
sekali ia memakai kata logos dalam arti rasio). Menurut kesaksian pancaindra rupa-rupanya
terdapat pluralitas dan perubahan dalam dunia sekitar kita. Tetapi atas dasar pengertian yang
dibawa oleh rasio, Parmenides menyimpulkan bahwa kesaksian itu tidak dapat diterima.

Parmenides juga menemukan aktivitas khusus dari rasio. Rasio menyatakan “yang
ada”. Dengan itu rasio menyatakan sesuatu yang mutlak atau absolut. Tetapi Parmenides
tidak menyadari bahwa dengan mempergunakan kata “ada” itu ia mencampurkan dua arti.
Kata kerja einai (ada) dalam bahasa Yunani dapat dipakai sebagai kata kerja penghubung dan
sebagai kata kerja begitu saja. Sebagai kata kerja penghubung “ada” dipakai dalam kalimat
berikut ini misalnya : “John adalah anak yang pintar” (John is a clever boy). Tetapi artinya
berlainan dalam kalimat seperti misalnya : “John ada (John exists). Arti pertama
1
Di sini pertanyaan muncul: Jadi, apakah Parmenides bermaksud bahwa “yang ada” itu bersifat materiil? Ya,
tidak dapat disangsikan bahwa itu betul-betul pendapat Parmenides. Orang boleh bertanya terus: Jadi,
apakah ajaran Parmenides itu harus disebut materialisme? Tentang pertanyaan terakhir ini mesti dijawab
bahwa istilah “materialisme” di sini tidak pada tempatnya. Materialisme adalah ajaran yang menolak “yang
rohani” atau “ yang tak jasmani”. Tetapi orang Yunani pada waktu itu belum tahu membedakan “yang
rohani” dengan “yang Jasmani”. Sebab itulah tidak dapat dikatakan bahwa Parmenides dengan ajarannya
menolak “yang rohani” dan akibatnya ia tidak boleh digolongkan pada materialisme.
menunjukkan apa-nya John itu (what john is) dan arti kedua menunjukkan bahwa John ada
(that John is/exists). Parmenides tidak melihat perbedaan itu.

Pikiran Parmenides membuka babak baru dalam sejarah filsafat Yunani. Boleh
dikatakan bahwa ia menemukan metafisika, cabang filsafat yang menyelidiki “yang ada”.
Filsafat selanjutnya akan bergelut dengan problem-problem yang dikemukakan oleh
Parmenides, yaitu bagaimana rasio dapat dicocokkan dengan data-data pengetahuan indrawi.
Baru Plato dan Aristoteles akan berhasil memberikan pemecahan untuk problem-problem ini.

4. Jalan Pendapat
Jalan pendapat (doxa) melukiskan susunan kosmos. Parmenides mengatakan bahwa
jalan ini merupakanjalan sesatan yang terdapat pada makhluk-makhluk insani. Kosmologi
yang diuraikan dalam bagian syair Parmenides ini bersandar pada dua prinsip: yang gelap dan
yang terang. Jadi, dalam bidang kosmologi Parmenides menganut prinsip-prinsip yang
berlawanan, seperti juga pendahulu-pendahulunya sejak Anaximandros.

Kita tidak akan memandang seluk beluk mengenai kosmologi Parmenides ini. Lebih
penting kita memperhatikan persoalan yang muncul di sini. Karena, ternyata jalan pendapat
mengandaikan adanya perubahan dan pluralitas tidak mungkin. Persoalan ini termasuk
masalah yang terbesar dalam sejarah filsafat prasokratik. Banyak teori telah dikemukakan
untuk memperdamaikan kedua jalan itu. Kami menyebut dua percobaan yang telah
diusahakan untuk memecahkan persoalan ini.

1) Anggapan yang boleh disebut tradisional, mengatakan bahwa jalan kebenaran berlaku
bagi rasio. Pada taraf ini harus diakui bahwa perubahan dan pluralitas tidak mungkin.
Jalan pendapat berlaku bagi pancaindra. Pada taraf ini memang terdapat perubahan dan
pluralitas. Parmenides beranggapan bahwa ia sanggup melukiskan perubahan dan
pluralitas itu dengan lebih baik daripada pendahulu-pendahulunya. Namun, ia
menyadari bahwa pengalaman indrawi ini tidak cocok dengan realitas yang sebenarnya.
2) Anggapan yang kedua berasal dari J. Burnet (Early Greek Philosophy, hlm 183-186)
menurut dia jalan pendapat mengutarakan anggapan Pythagorean. Dalam prakata
syairnya, Parmenides telah melukiskan perjalanannya dari kegelapan ke terang (lihat
hlm. 58). Itu berarti bahwa syair itu akan menerangkan bagaimana ia berbalik dari
ajaran Pythagorean yang dianutnya dulu dan mendapatkan gagasan baru. Jalan
kebenaran menguraikan gagasan baru itu. Jalan pendapat menyajikan anggapan mazhab
Pythagorean yang sekarang tidak diterima lagi oleh Parmenides. Tidak mengherankan
bahwa ia merasakan keperluan untuk menghidangkan anggapan Pythagoras itu, bila
kita teringat bahwa pada waktu itu ajaran Pythagorean belum dibukukan.

ZENO
A. Riwayat hidup
Zeno lahir di Elea sekitar tahun 490. Ia adalah murid setia Parmenides. Sebagaimana
gurunya, ia pun mempunyai peranan dalam politik kota Elea. Ia mengarang beberapa buku
yang semua sudah hilang. Plato menceritakan bahwa bukunya yang terkenal dikarang pada
usia muda. Dalam buku ini ia membela ajaran gurunya Parmenides, agaknya melawan
Pythagorean.

B. Ajaran
Aristoteles mengatakan bahwa Zeno menemukan dialektika. Istilah dialektika itu
termasuk kata yang mendapat pelbagai arti sepanjang sejarah filsafat. Aristoteles
memaksudkan dengannya suatu cabang logika yang mempelajari perihal argumentasi yang
bertitik tolak dari suatu hipotesis atau pengandaian. Dan memang itulah cara yang dipakai
dalam argumentasi Zeno. Ia mulai dengan mengemukakan suatu hepotesis, yaitu salah satu
anggapan yang dianut pelawan-pelawan Parmenides. Lalu ia menunjukkan bahwa dari
hipitesis itu harus ditarik kesimpulan-kesimpulan yang mustahil. Jadi, ternyata hipotesis
semula tidak benar. Dan itu berarti bahwa kebalikannya harus dianggap benar. Menurut
metode ini Zeno membuktikan bahwa adanya ruang kosong, pluralitas dan gerak sama-sama
mustahil.

1. Argumentasi melawan ruang kosong

Andaikan saja, bahwa ruang kosong ada. Kalau begitu, ruang itu mempunyai tempatnya
dalam ruang lain, yang harus ditempatkan dalam ruang lain lagi dan seterusnya sampai tak
terhingga. Hal itu tentu mustahil. Dari sebab itu mesti disimpulkan bahwa ruang kosong tidak
ada (maksudnya sama dengan Parmenides: “yang ada” tidak ditempatkan dalam suatu yang
lain.)

2. Argumentasi melawan pluralitas

Jika suatu potongan garis terdiri dari titik-titik (jadi, jika kita menerima adanya
pluralitas), maka potongan garis itu dapat dibagi-bagi. Karena setiap bagian sekurang-
kurangnya mempunyai dua titik (yaitu titik pangkal dan titik akhir), pembagian dapat
diteruskan sampai tak terhingga. Jadi, potongan garis itu terdiri dari titik-titik yang jumlahnya
tak terhingga. Nah, titik-titik itu mempunyai panjang tertentu atau tidak. Kalau titik-titik
mempunyai panjang tertentu, harus disimpulkan bahwa potongan garis itu tak terhingga
panjangnya. Kalau titik-titik tidak mempunyai panjang tertentu, harus disimpulkan bahwa
potongan garis itu tak terhingga pendeknya; dengan kata lain, sama dengan nol. Nah, kedua
kesimpulan itu sama mustahilnya, karena ternyata suatu potongan garis mempunyai panjang
yang berhingga. Dari sebab itu hipotesis semula tidak dapat diterima, yaitu bahwa suatu
potongan garis terdiri dari titik-titik. Atau dengan lain perkataan, pluralis tidak mungkin.

3. Argumentasi melawan gerak


Untuk membuktikan bahwa gerak tidak mungkin, Zeno memberi empat argumen.
Inilah bagian ajarannya yang paling masyhur. Aristoteles merupakan sumber utama untuk
menentukan bagian ajaran ini di sin jalan pikiran Zeno sama dengan argumentasi-
argumentasi di atas. Ia mulai dengan menerima pengandaian bahwa gerak memang ada,
sebagaimana disaksikan pula oleh pancaindra. Dari situ ia menarik kesimpulan-kesimpulan
yang mustahil. Dari sebab itu pengandaian semula tidak dapat dipertahankan dan kesaksian
pancaindra tidak boleh dipercayai.

a. Pelari dalam stadion

Seorang pelari mau mencapai finis. Lebih dahulu ia harus menjalani setengah jarak
stadion. Lalu setengah sisanya dan demikian terus menerus sampai tak berhingga. Karena
pelari harus menempuh bagian yang jumlahnya tak berhingga, maka tidak pernah ia akan
sampai pada finis.

b. Akhilles dan kura-kura

Akhilles, jago lari dalam mitologi Yunani, tidak dapat melewati kura-kura, binatang
yang paling lambat, betapa pun cepat larinya. Karena kura-kura berangkat sebelum Akhilles,
maka dahulu Akhilles harus mencapai titik di mana kura-kura berada sesaat ia berangkat.
Setibanya di situ kura-kura sudah lebih jauh lagi dan seterusnya. Jarak antara Akhilles dan
kura-kura selalu berkurang, tetapi tidak pernah habis.

c. Anak panah

Sesudah dipanahkan dari busurnya, anak panah tidak bergerak, tetapi diam. Karena
pada tiap-tiap saat ia berada pada tempat tertentu, yang persis sama dengan panjangnya. Ia
selalu berada antara kedua ujungnya dan karena itu senantiasa dalam keadaan diam. Pada saat
berikutnya ia berada lebih jauh, tetapi disitu juga ia tidak bergerak, melainkan diam. Jadi,
gerak semu itu tidak lain daripada suatu seri perhentian-perhentian.

d. Tiga deretan yang berjalan

Dalam bentuk yang disampaikan kepada kita oleh Aristoteles argumen ke empat ini
tidak gampang dimengerti. Maksudnya barangkali dapat diterangkan sebagai berikut. Coba
kita mengandaikan tiga deretan titik-titik; semua titik berdampingan yang satu dengan yang
lain, sehingga tidak ada lowongan di antaranya (gambar I). Deretan A tidak bergerak. Deretan
B dan deretan C bergerak dalam arah berlawanan, tetapi dengan kecepatan yang sama, yakni
demikian rupa sehingga pada satu saat sesudah gerak mulai, baik B1 maupun C1 telah
menjalani satu titik dan masing-masing berdiri terhadap A4 dan A3 (gambar II). Jadi, B1 dan
C1 sudah saling berlalu. Karena itu lebih dahulu mesti terdapat suatu saat lain, apabila B1
dan C1 persis berhadapan satu sama lain. Dengan demikian kita mendapati suatu saat baru
yang lamanya adalah setengah dari saat yang tersebut tadi. Namun, menurut pengandaian
semula, situasi yang dilukiskan oleh gambar II terjadi sesudah saat pertama gerak itu. Dari
sebab itu kita harus menyimpulkan : ½ = 1. Atau dengan perkataan lain : sebelum saat
pertama masih ada saat lain; saat pertama itu bukanlah saat pertama.
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A1 A2 A3 A4 A5 A6
B4 B3 B2 B1 B4 B3 B2 B1
C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4
Gambar I Gambar II

Anda mungkin juga menyukai