Anda di halaman 1dari 10

AKHLAK FALSAFI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah: Ilmu Akhlak

Dosen Pengampu: Iis Eka Wulandari, S.Sos., M.Sos.

Kelas PAI 2 C

Disusun Oleh:

1. Fatkhul Mungin (NIM. 20116915)


2. Rizcy Candra Pangestu (NIM. 20116929)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU) KEBUMEN’
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sasaran pertama yang dituju oleh Islam adalah membangun “manusia yang shalih”
yang pantas menjadi khalifah di bumi, yang telah dimuliakan oleh Allah dengan semulia-
mulianya, yang telah diciptakan-Nya dalam penciptaan yang paling baik danyang
ditaklukan untuknya semua apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi. Ia adalah
Manusia yang lengkap padanya karakteristik kemanusiaan dan terangkat darikarakter
binatang ternak ataupun binatang buas. Manusia yang shalih inilah yangmerupakan dasar
keluarga yang shalih, masyarakat yang shalih dan umat yang shalih.
Untuk menjadi manusia yang shalih tentu kita perlu mempelajari apa yang
harusdilakukan dan apa yang harus dihindari atau ditinggalkan, karena hidup manusia
tidakhanya mengarah kepada kesempurnaan jiwa dan kesuciannya, tapi kadang
pulamengarah kepada keburukan.
Hal tersebut bergantung kepada beberapa hal yang mempengaruhinya, yang akandi
jelaskan dalam pembahasan ini. Dan dalam pembahasan ini Akhlak terceladidahulukan
terlebih dahulu dibandingkan dengan akhlak yang terpuji agar kitamelakukan terlebih
dahulu usaha takhliyah, yaitu mengosongkan atau membersihkandiri/jiwa dari sifat-sifat
tercela sambil mengisinya (takhliyah) dengan sifat-sifat terpuji.Kemudian kita melakukan
tajalli, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Akhlak Falsafi atau Akhlak Teoritik?
2. Akhlak Falsafi menurut Al-Kindi?
3. Akhlak Falsafi menurut Al-Farabi?
4. Akhlak Falsafi menurut Imam Al-Ghazali?
5. Akhlak Falsafi menurut Ibn Sina?
6. Akhlak Falsafi menurut Ibn Rusyd?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Akhlak Falsafi atau Akhlak Teoritik
2. Mengetahui bagaimana Akhlak Falsafi menurut Al-Kindi
3. Mengetahui bagaimana Akhlak Falsafi menurut Al-Farabi
4. Mengetahui bagaimana Akhlak Falsafi menurut Imam Al-Ghazali
5. Mengetahui bagaimana Akhlak Falsafi menurut Ibn Sina
6. Mengetahui bagaimana Akhlak Falsafi menurut Ibn Rusyd
D.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak Falsafi


Akhlak falsafi atau Akhlak teoretik, yaitu Akhlak yang menggali kandungan A1-
Quran dan As-Sunnah secara mendalam, rasional, dan kontemplatif untuk dirumuskan
sebagai teori dalam bertindak. Akhlak falsafi juga mengompromikan ajaran-aiaran yang
terkandung dalam Al-Quran dan As Sunnah dengan pemikiran-pemikiran filosofis dan
pemikiran sufistik.
Amin Syukur (1994: 22) mengatakan bahwa Akhlak falsafi cenderung
mengedepankan pemahaman filosofis tentang berbagai teori yang mengandung rumusan
tentang konsepkonsep pergaulan manusia dengan sesama manusia dan komunikasi
manusia dengan Allah SWT. Bahkan, terkadang Akhlak falsafi tidak mencerminkan
sebagai ilmu Akhlak, melainkan lebih kepada filsafat.
Akhlak teoretik atau akhlak falsafi, banyak dikemukakan oleh para tokoh ilmu
akhlak yang kemudian dianggap sebagai filsuf muslim, terutama akhlak yang berkaitan
dengan komunikasi manusia dengan Sang Pencipta yang dapat diraih melalui berbagai
tingkatan akal dan tingkatan kedudukan atau martabat serta kesalehan manusianya
masing-masing. Para filsuf muslim yang mengembangkan pemahaman filosbfisnya
tentang eksistensi kebenaran dan sumber kebenaran.

B. Akhlak Falsafi menurut Al-Kindi


Al-Kindi mengatakan, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) segala
sesuatu menurut kesanggupan manusia, mencakup ilmu ketuhanan, ilmu keesaan
(wandaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu tentang cara meraih maslahat dan
menghindar dari madharat. Tujuan seorang filsuf bersifat teoretis, yaitu mengetahui
kebenaran praktis, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat
pada kebenaran, semakin dekat pula pada kesempurnaan. Pandangan Al-Kindi di atas
menjelaskan tujuan mempelajari filsafat dan manfaamya, kemudian berujung dengan
pembentukan akhlak manusia.
Menurutnya, akhlak manusia secara teoretik perlu dikembangkan dengan pendekatan
filosofis karena filsafat akan menggali hakikat kebenaran, dan hakikat kebenaran yang
abadi adalah hakikat Tuhan dengan Kemahaesaan-Nya. Dengan demikian, pembentukan
akhlak dilatih oleh tata cara berpikir filosofis, bukan sekadar tindakan tanpa makna dan
argumentasi. Bagi Al-Kindi, seorang filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan
mencintai kebenaran serta menyelidiki kebenaran dari sumbernya yang benar dengan
jalan yang meyakinkan, bukan dengan jalan prasangka dan keraguan.

C. Akhlak Falsafi menurut Al-Farabi


Dalam pemikiran Al-Farabi, Akhlak menduduki tempat yang terpenting karena
sebagian besar dari falsafahnya membahas tentang akhlak. Dalam salah satu karyanya
“Risalah fi al-Tanbih ‘Ala Subuli al-Sa’adah”, ia menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan
untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang diinginkan dan
diusahakan oleh setiap manusia. Menurut al-Farabi, akhlak, baik yang terpuji maupun
yang tercela bisa didapat melalui mumarasah (pembiasaan). Akhlak terpuji dapat
diperoleh melalui adat kebiasaan, yaitu dengan melakukan suatu aktivitas secara
berulang-ulang dalam waktu lama dan dalam masa yang berdekatan. Al-Farabi membagi
Akhlak terpuji dalam tiga hal: Pertama, berani adalah sifat yang terpuji, dan sifat ini
terletak dintara dua sifat yang tercela, yaitu membabi buta (tahawwur) dan penakut
(juban). Kedua, kemurahan (karam), ini terletak dianatra dua sifat tercela juga, yaitu:
kikir dan boros (tabriz). Ketiga, memelihara kehormatan diri (‘iffh), dan ini juga terletak
di antara dua sifat tercela, yaitu: keberandalan (khala’ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.
Selain dari ketiga sifat terpuji tersebut di atas, dalam kitab Tahshil As-Sa’adah, Al-
Farabi juga menyebutkan empat jenis sifat keutamaan, yaitu:
1. Keutamaan teoritis, yaitu yang mencakup jenis-jenis ilmu pengetahuan yang
diperoleh tanpa beljar, tanpa dirasakan dan tidak diketahui cara dan asalnya, dan
ada juga yang diperoleh dengan cara merenung atau kontemplatif, penelitian dan
melalui proses belajar mengajar, dan yang termasuk dalam kelompok ke terakhir
ini adalah ilmu mantik dan dan ilmu yang membahas tentang “prinsip-prinsip
yang ada” (al-mabadi’ al-Maujudat).
2. Keutamaan pemikiran, yaitu yang memungkinkan orang mengetahui apa yang
paling bermanfaat dalam tujuan yang utama, dan karena itu juga disebut
“keutamaan pemikiran budaya” (fadha’il fikriyyah madaniyyah). Keutamaan ini
lebih mirip kepada kemampuan membuat aturan-aturan (nawamis), dan juga
tidak dapat dipisahkan dari keutamaan teoritis.
3. Keutamaan akhlak, adalah keutamaan yang bertujuan mencari kebaikan.
Keutamaan ini terletak dibawa keutamaan pemikiran. Diantara dua keutamaan
ini, ada yang memang sudah menjadi tabi’at seseorang, dan ada pula yang terjadi
karena adanya usaha dan keinginan seseorang.
4. Keutamaan amaliah, yaitu keutamaan kerja dan keterampilan dan hal ini dapat
diperoleh dengan pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang dan
bisa juga dengan cara pemaksaan.
Kempat keutamaan tersebut hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang memiliki
kemauan keras, dan memiliki watak yang luar biasa kuat di samping ada upaya yang kuat
untuk mengawasi dirinya dan memperhatikan adanya kekurangan dalam diri, sehingga
dia berusaha memperbaiki dengan sifat-sifat yang sempurna. Seseorang baru dianggap
sempurna, jika dia telah memiliki sifat di tengah-tengah, yaitu tidak berlebihan yang
dapat merusak jiwa dan raganya.
Untuk memperoleh keutamaan tersebut, menurut al-Farabi ada dua cara, yaitu
melalui mengajar (ta’lim) dan melatih (ta’dib). Mengajar atau ta’lim adalah menciptakan
keutamaan- keutamaan teoritis pada bangsa-bangsa dan kota-kota; sedangkan melati atau
ta’dib adalah cara menciptakan keutamaan akhlak dan keterampilan kerja pada bangsa-
bangsa itu. Mengajar cukup dengan lisan saja, sedangkan melatih dilakukan dengan lisan
dan perbuatan. Keempat sifat keutamaan tersebut dapat memberikan kebahagiaan kepad
bangsa-bangsa dan setiap warga negara, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

D. Akhlak Falsafi menurut Imam Al-Ghazali


Dalam pandangan al-Ghazali, fondasi akhlak adalah dua daya atau “quwwah”, yang
ada pada manusia: yaitu daya syahwah dan daya ghadlab. Syahwah adalah daya yang
secara alamiah ada pada semua manusia. Melalui daya ini seseorang memiliki hasrat akan
sesuatu. Sementara ghadlab (marah) adalah daya yang melahirkan pada diri manusia apa
yang oleh Imam Ghazali disebut sebagai “hamiyyah”, atau semangat, passion, motivasi
yang kuat untuk melakukan sesuatu. Lebih singkatnya, karakter syahwah adalah
“menyerap sesuatu ke dalam diri manusia”. Sementara karakter ghadlab (marah) adalah
“mengeluarkan sesuatu ke luar diri manusia.
Al-Ghazali mengkaji dan menganalisis secara cermat tentang sifat-sifat yang terpuji
dan tercelah dan ia menawarkan solusi untuk mempertahankan yang baik dan
menaggalkan yang tercela. Al-Ghazali, yaitu:
1. Dimensi diri, yaitu orang yang dirinya dan Tuhannya seperti ibadat dan
sembahyang;
2. Dimensi sosial, yaitu masyarakat dan pemerintah serta pergaulannya dengan
sesamanya;
3. Dimensi metafisis, yaitu yang berkaitan dengan aqidah dan pedoman dasarnya.
Al-Ghazali mendefinisikan akhlak dengan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia
yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
maupun pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji,
baik dari segi akal dan syara’ maka ia disebut akhlak yang mulia, dan jika yang lahir
darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.
Selanjutnya, jika merujuk kepada definisi akhlak yang dikemukan al-Ghazali maka
akhlak itu setidaknya ada empat syarat, yaitu:
1. Menyangkut perbuatan baik dan buruk;
2. Orang sanggup melakukannya;
3. Orang mengetahui apa yang dilakukannya;
4. Adanya potensi yang mendorong untuk melakukan perbuatan tercelah atau
terpuji sehingga mudah melakukannya.
Dalam diri manusia terdapat empat sikap yang jika kesemuanya seimbang dan
sepadan, maka akan terwujudlah akhlak terpuji. Keempat sifat itu adalah, pertama daya
ilmu, kedua daya marah, ketiga daya syahwat, dan keempat daya menengah (i’tidal). Al-
Ghazali menyebut empat sifat keutamaan, yaitu hikmah, berani, ‘iffah dan ‘adil. Dari
keempat keutamaan inilah lahirnya semua akhlak terpuji.

E. Akhlak Falsafi menurut Ibn Sina


Dalam pemikiran Ibnu Sina, akhlak dan politik merupakan dua masalah yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Akhlak lebih ditekankan pada hubungan yang sepantasnya terjadi
antara individu dan orang lain, sedang politik menjangkau hubungan yang seharusnya
berlangsung antara penguasa dan rakyat. Dengan demikian, menurut Ibnu Sina politik
pada dasarnya sama dengan akhlak.
Dalam kaitan dengan filsafat akhlaknya, Ibnu Sina mengatakan bahwa manusia
merupakan sasaran pengaruh materi, sehingga ia banyak melakukan kesalahan dan dosa.
Keadaan ini merupakan sebab utama yang menghambat manusia dalam memperoleh
kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui
keburukan dan kekurangannya itu, lalu memperbaikinya. Untuk mengetahui akhlak diri
sendiri bisa dilakukan dengan cara mengevaluasi kekurangan-kekurangan dan kejelekan-
kejelekan yang ada dalam diri yang bersangkutan, dan juga bisa dilakukan melalui orang
lain, dengan cara menjadikan orang lain sebagai cermin bagi dirinya, sehingga ia
mengetahui kesesuaian atau perbedaan dirinya dengan orang lain. Dengan cara ini, ia
lebih mudah mengenal kekurangan dan keburukan akhlaknya, dan jika masih merasa
belum memiliki akhlak terpuji, maka hendaklah dia berbuat yang terpuji dan yang
mendatangkan pahala, dan menjauhi perbuatan tercela yang mendatangkan siksa. Ketika
membicarakan tentang akhlak tersebut, ibnu Sina juga berbicara mengenai sifat-sifat
terpuji dan tercela, keutamaan dan keburukan daya keinginan dan keutamaan yang tinggi
dalam pembinaan akhlak.
Dari uraian di atas terlihat bahwa, pemikiran akhlak yang ada dalam filsafat Ibn Sina
tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dikemukakan al-Farabi, hanya saja Ibnu Sina
mengidentikkan akhlak dengan politik dan politik identik dengan akhlak.

F. Akhlak Falsafi menurut Ibn Rusyd


Siapa pun yang melakukan pengkajian dan penelitian terhadap syariat Islam (fikih),
akan mendapatkan bahwa syariat Islam memiliki tujuan moral dan sosial yang sangat
tinggi. Tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari realita ini, bahkan oleh orang yang
berusaha mengingkarinya. Pernyataan yang bukan hanya isapan jempol belaka ini juga
dianut oleh Ibn Rusyd dalam Bidâyatul mujtahid. Ibn Rusyd berpendapat bahwa syariat
itu lahir untuk memperbaiki akhlak manusia.
Menurut Ibn Rusyd tujuan membentuk kepribadian unggul pada manusia merupakan
proyek utama dalam dalam tujuan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini filsafat dan syariat
sama-sama dalam konteks tujuan utama ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada
manusia harus bisa membentuk pribadi yang berakhlakul karimah. Dalam filsafat moral,
manusia harus menghindarkan dirinya dari akhlak-akhlak yang tercela.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pemikiran para filosof tentang akhlak seperti yang dikemukakan oleh para filosof dalam
uraian di atas, bukan hanya dalam tataran teoritis tapi juga dalam tataran praktisnya. Konsep
akhlak seperti yang mereka tawarkan itu semuanya dapat diterapkan dengan mudah dalam
segala aspek keidupan terutama bagi orang yang berkemauan keras untuk itu. Dari uraian
tentang dimensi akhlak dalam filsafat Islam yang dikemukakan oleh beberapa filosof tersebut
di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada intinya, semua filosof di atas membahas hal-hal yang berkaitan dengan
keberanian, karam (kemurahan), dan ‘iffah yang di dalamnya tercakup berbagai jenis
keutamaan dan kebahagiaan.
2. Tidak bisa dipungkiri bahwa, pemikiran para filosof tentang akhlak banyak
dipengaruhi dalam pikiran Yunani daripada pengaruh Islam, walaupun dia seorang
filosof muslim.
3. Akhlak dengan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang melahirkan perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan.
4. Ibnu Sina berpendapat bahwa filsafat, akhlak dan politik merupakan dua masalah
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Akhlak penekananya antara individu dan orang
lain, sedang politik menjangkau hubungan yang seharusnya berlangsung antara
penguasa dan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
 Al-Ghazali, Muhammad. Ahklak Seorang Muslim. Semarang: Wicaksana, 1985.
 https://backtoaceh.blogspot.com/2018/11/pengertian-akhlak-falsafi-amali.html
 Imam Al-Ghazali, Al-Munqiz Min Al-Dhalal, Terj. Abdullah bin Nuh, Cet IV, (Jakarta:
Tintamas,1984)
 Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
 Tesis Abdul Wahid tentang Konsep Ilmu Pengetahuan Menurut Al Ghazali Dan Ibnu
Rusyd Serta Implikasi Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai