Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

GEJALA KEJIWAAN MANUSIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah: Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu: Benny Kurniawan, M. Pd. I

Kelas PAI 3 C

Disusun Oleh:

1. Hilmi (20116917)
2. Malika Khusna (20116922)
3. Muftihatun Nashihah (20116923)
4. Rif’atun Nafida (20116927)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU) KEBUMEN
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Belajar merupakan proses yang sangat kompleks yang terjadi dalam diri setiap
individu. Terjadinya proses belajar sangat sulit untuk diketahui secara pasti. Namun
demikian, dapat diketahui melalui gejala-gejala psikologi yang tampak dan terukur
yang menyertainya sebagai manifestasi adanya aktivitas belajar. Gejala-gejala
psikologi pada siswa sebagai perwujudan proses dan hasil proses belajar terwujud
dalam bentuk tingkah laku baik yang dapat teramati secara langsung atau maupun tidak
langsung. Proses belajar merupakan aktivitas yang melibatkan berbagai unsur dan
komponen psikologis siswa yang sangat kompleks sehingga terdapat macam bentuk
gejala-gejala psikologis sebagai dasar dalam pembentukan pengetahuan baru selama
proses belajar siswa.
Gejala-gejala psikologis tersebut merupakan gejala-gejala psikologis yang
menerangkan dan menjelaskan bagaimana proses belajar dapat terjadi pada siswa, dan
juga memengaruhi proses belajar tersebut, baik memperepat ataupun menghambat
proses belajar siswa. Pengetahuan tentang bentuk-bentuk gejala-gejala psikologis siswa
selama proses belajar sangat penting untuk dipahami oleh guru. Hal ini disebabkan guru
bertanggung jawab penh terhadap pelaksanaan proses pembelajaran dan keberhasilan
proses pembelajaran tersebut didalam kelas. Oleh sebab itu, penjelasan tentang bentuk-
bentuk gejala psikologis dalam proses belajar dan pembelajaran akan dibahas dalam
pokok bahasan berikut yang meliputi memori, berfikir, intelejensi, emosi, dan
motivasi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan Pengertian jiwa
2. Jelaskan Gejala-gejala kejiwaan : Memori, Berfikir, Inteligensi, Emosi, dan
Motivasi

C. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Pengertian jiwa
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Gejala-gejala kejiwaan : Memori, Berfikir,
Inteligensi, Emosi, dan Motivasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jiwa
“Psikologi” berasal dari perkataan Yunani “psyche” yang artinya jiwa, dan “logos”
yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi (menurut ahli kata) psikologi
artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya,
prosesnya, maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa.
Sedang jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi
penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan
tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil proses
belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah, sosial, dan lingkungan.
Proses belajar ialah proses untuk meningkatkan kepribadian (personality) dengan jalan
berusaha mendapatkan pengertian baru, nilai-nilai baru, dan kecakapan baru, sehingga
ia dapat berbuat yang lebih sukses dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi dalam
hidup. Jadi, jiwa mengandung pengertian-pengertian, nilai-nilai kebudayaan, dan
kecakapan.
Bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain seperti : ilmu pasti, ilmu alam, dan lain-
lain, maka ilmu jiwa dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang serba kurang
tegas, sebab ilmu ini mengalami perubahan, tumbuh, berkembang untuk mencapai
kesempurnaan. Namun demikian, ilmu ini sudah merupakan cabang ilmu pengetahuan.
Karena sifatnya yang abstrak, maka kita tidak dapat mengetahui jiwa secara wajar,
melainkan kita hanya dapat mengenal gejalanya saja. Jiwa adalah sesuatu yang tidak
tampak, tidak dapat dilihat oleh alat diri kita. Demikian pula hakikat jiwa, tidak seorang
pun dapat mengetahuinya. Manusia dapat mengetahui jiwa seseorang hanya dengan
tingkah lakunya. Jadi dari tingkah laku itulah orang dapat mengetahui jiwa seseorang.
Tingkah laku itu merupakan kenyataan jiwa yang dapat kita hayati dari luar.
Pernyataan jiwa itu kita namakan gejala jiwa, diantaranya mengamati, menanggapi,
mengingat, memikir, dan sebagainya. Dari situlah orang kemudian membuat definisi :
ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.

B. Gejala-gejala Kejiwaan
1. Memori atau Ingatan
A. Konsep Dasar Ingatan atau Memori
Memori pada dasarnya merupakan individu dalam menyimpan suatu
informasi atau pengetahuan dan mengeluarkannya kembali pada saat
dibutuhkan. Memori atau ingatan merupakan aktivitas yang dilakukan
individu dalam bentuk kecakapan-kecakapan untuk menerima, menyimpan,
dan mereproduksi kembali kesan-kesan atau pengetahuan sebagai hasil belajar
dan pengalaman (Suryabrata, 2011 : 44). Menurut Atkinson dkk. dalam
Sugihartono dkk. (2007 : 10), secara umum para ahli memandang bahwa
memori bekerja dalam tiga tahapan atau proses, yaitu memasukkan pesan
dalam ingatan, menyimpan pesan yang sudah masuk dalam ingatan atau
storage, dan memunculkan kembali informasi tersebut atau retrieval.
Adapun penjelasannya sebagai berikut.
a. Proses encoding
Proses encoding merupakan tahap awal memori melalui aktivitas
pengkodean, yaitu mengubah sifat-sifat informasi hasil pengamatan ke
dalam bentuk yang sesuai dengan perangkat memori individu. Misalnya,
mengubah hasil pengamatan dari penglihatan, pendengaran, dan perabaan
menjadi simbol-simbol atau gelombang-gelombang listrik dan kimiawi
bagaimana proses kerja otak yang menggunakan proses kimiawi dan
elektrik. Proses memasukkan informasi juga sering disebut dengan istilah
encoding, learning, dan mencamkan.
b. Proses storage
Storage atau retensi pada dasarnya merupakan proses mengendapkan atau
penyimpanan sebuah informasi atau pengetahuan dalam suatu tempat
tertentu sesuai dengan kategori-kategori tertentu di dalam otak. Proses
storage, lama tidaknya atau interval tersimpan, berhubungan erat dengan
tingkat retensi atau kuat lemahnya memori tersebut dimunculkan kembali.
Interval dalam storage terdiri atas lama interval dan isi interval. Lama
interval berhubungan dengan berapa lama waktu yang dibutuhkan antara
waktu penyimpanan dengan waktu pengeluaran. Semakin lama interval,
akan semakin lemah untuk dimunculkan sehingga semakin mudah lupa dan
susah untuk dimunculkan kembali. Isi interval berkaitan dengan selama
tenggang waktu interval sebuah memori tentang sesuatu apakah ada
aktivitas-aktivitas storage lain yang memungkinkan akan mengacaukan
memori sebelumnya. Oleh sebab itu, semakin banyak isi interval baru yang
masuk, akan semakin susah dan lemah memori yang tersimpan untuk
diingat.
c. Proses retrieval
Proses ini pada dasarnya merupakan proses memunculkan atau memanggil
kembali informasi atau memori yang telah tersimpan dalam otak pada saat
dibutuhkan. Proses retrieval dibedakan menjadi recall dan recognize.
Recognize merupakan usaha memunculkan kembali sebuah informasi yang
tersimpan dalam otak dengan menggunakan bantuan stimulus atau
informasi yang telah tersedia. Sementara itu, recall merupakan usaha
memunculkan kembali informasi yang tersimpan dalam otak tanpa
menggunakan bantuan stimulus tertentu. Pemanfaatan dan aplikasi sistem
recognize misalnya bentuk-bentuk ujian dengan tipe pilihan ganda,
sedangkan recall menggunakan tipe-tipe soal essay.

Proses terciptanya sebuah memori tidak lepas dari proses-proses


pengamatan yang mendahuluinya, yang pastinya berbeda pada masing-masing
individu. Oleh sebab itu, terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan memori
atau ingatan sebagai berikut.
1) Memori tergantung pada pengamatan dan persepsi.
2) Memori pada setiap individu berbeda-beda.
3) Proses pengamatan ada yang tidak tersimpan di bagian otak tertentu
sehingga kadang mudah terlupakan.
4) Dalam aktivitas mengingat atau memori selain bisa ingat, juga bisa terjadi
lupa.

Menurut Wasty Soemanto (2006 : 28), proses mengingat pada individu


secara umum akan lebih kuat apabila :
1) Kesan-kesan atau pengetahuan yang disimpan dibantu dengan penyuaraan,
misalnya dibacakan dengan suara yang minimal terdengar oleh diri sendiri
ketika sedang belajar dan menghafal
2) Memusatkan pikiran atau konsentrasi penuh pada kesan-kesan atau materi
pelajaran
3) Menggunakan teknik atau cara-cara belajar yang efektif, dan perlu
dipahami efektivitas dalam belajar bersifat relatif artinya cara belajar yang
baik bagi seorang siswa belum tentu sesuai dan cocok bagi siswa lainnya
4) Menggunakan titian ingatan maupun bentuk-bentuk strategi lain yang dapat
mempermudah proses mengingat
5) Adanya kejelasan dari struktur materi pelajaran, baik tujuan maupun urutan
penyampaiannya.

Kemampuan setiap individu berbeda-beda, begitu juga dengan


kemampuan otak individu yang notabene merupakan tempat penyimpanan
memori. Hal ini juga berdampak terhadap kemampuan individu dalam
mengingat informasi atau pengetahuan yang berbeda. Kemampuan memori
individu tidak dapat lepas dari kondisi stimulus awal yang diterima sebagai
sebuah informasi yang meliputi ukuran stimulus, alat indera yang digunakan,
dan ada / tidaknya perhatian. Oleh sebab itu, kemampuan rentang waktu
informasi bertahan dalam otak berbeda-beda, yaitu memori jangka pendek
(short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory).
Memori jangka pendek (short term memory) atau disebut juga immediate
memory merupakan jenis memori yang bekerja sangat singkat dan hanya
bertahan sesaat. Memori ini dikatakan memori jangka pendek disebabkan
selain rentang waktu tersimpannya yang sangat singkat, juga karena proses
mengingat yang cenderung dipaksakan dan disegerakan, dan juga setelah
menghafal nya informasi atau pengetahuan tersebut cenderung dilupakan
karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, karena keterbatasan
kemampuan memori jangka pendek, dalam proses storage atau menyimpan
informasi maupun pengetahuan digunakan teknik-teknik tertentu seperti
chunk, jembatan keledai, pengulangan-pengulangan, dan sebagainya.
Memori jangka panjang memiliki kemampuan menyimpan sebuah
informasi atau pengetahuan dalam jangka waktu yang sangat lama dan
cenderung menetap dalam otak. Kemampuan memori jangka panjang dalam
menyimpan sebuah pengetahuan dalam jangka waktu yang sangat lama
bahkan cenderung menetap dan tidak akan hilang. Kemampuan memori jangka
panjang sangat tergantung pada proses penyimpanannya, artinya bagaimana
sebuah informasi disimpan dan dengan cara bagaimana memori tersebut
disimpan. Dengan demikian, ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas
penyimpanan dalam memori jangka panjang. Selain kedua jenis memori
tersebut terdapat jenis memori yang mampu menyimpan sebuah informasi
dalam rentang waktu yang tidak terlalu singkat dan tidak terlalu lama pula atau
cenderung dalam waktu yang sedang-sedang saja. Memori ini disebut dengan
memori kerja (working memory).
Memori kerja berguna dalam proses pemecahan-pemecahan
permasalahan, artinya memori jenis ini bekerja sebagai tempat bertemunya
informasi-informasi jangka panjang dan jangka pendek untuk memecahkan
sebuah permasalahan yang sedang dialami, baik dalam bentuk mengerjakan
soal-soal maupun mencari solusi atas permasalahan-permasalahan lain.

B. Konsep Dasar Terjadinya Lupa


Berbicara tentang ingatan maka akan selalu terasosiasi dengan lupa. Lupa
pada dasarnya merupakan ketidakmampuan seorang individu untuk
memunculkan atau memanggil kembali informasi atau pengetahuan yang
pernah dimilikinya pada saat yang dibutuhkan dengan cepat. Menurut Winkel
(2009 : 509-510), dalam kebanyakan literatur ilmiah yang membahas tentang
sebab-sebab terjadinya lupa, penyebab lupa dapat dikelompokkan menjadi tiga
sebagai berikut.
1. Lupa terjadi karena bekas bekas ingatan yang tidak digunakan, lama-
kelamaan terhapus dan dengan berlangsungnya waktu terjadi proses
penghapusan yang mengakibatkan suatu bekas ingatan menjadi kabur dan
lama-kelamaan hilang sendiri. Konsep terjadinya lupa ini lebih dikenal
dengan decay theory.
2. Lupa terjadi karena adanya gangguan dari informasi yang baru masuk ke
dalam ingatan terhadap informasi lama yang telah tersimpan di situ, seolah-
olah informasi yang lama digeser dan kemudian menjadi lebih sukar
diingat. Konsep ini lebih dikenal dengan teori interfensi.
3. Lupa terjadi karena adanya motif tertentu sehingga orang-orang sedikit
banyak berusaha melupakan sesuatu. Konsep ini lebih dikenal dengan teori
motivated forgetting yang menjelaskan bahwa individu akan cenderung
untuk berusaha melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan.

Teori lainnya yang mengungkapkan tentang proses terjadinya kelupaan


antara lain karena sebab-sebab fisiologis. Lupa karena sebab-sebab fisiologis
lebih disebabkan adanya perubahan kondisi fisik otak karena beberapa faktor
sehingga terjadi kerusakan pada memori yang menyebabkan terjadi kelupaan.
Lupa merupakan sebuah hal yang sangat mungkin terjadi selama proses belajar.
Namun demikian, lupa juga dapat diatasi atau minimal dapat dikurangi.
Menurut Winkel (2009 : 511-514), ada beberapa langkah untuk mengurangi
lupa yang disesuaikan dengan fase dan proses dalam belajar itu sendiri sebagai
berikut.

1) Menumbuhkan motivasi yang kuat pada siswa, terutama motivasi intrinsik


dan kesadaran akan tujuan yang harus dicapai siswa serta mendorong siswa
untuk melibatkan diri. Hal ini tidak lepas dari kemampuan memori jangka
panjang akan mudah menyimpan pengetahuan yang akan dan berarti bagi
individu sehingga guru dalam memunculkan motivasi siswa dengan
memberikan kemungkinan kebermanfaat materi yang sudah dan akan
dipelajari.
2) Pada fase konsentrasi, siswa harus memberikan perhatian khusus pada unsur-
unsur yang relevan. Oleh sebab itu, guru harus mampu melaksanakan proses
pembelajaran yang mendorong perhatian siswa, misalnya menggunakan
berbagai metode dan media-media pembelajaran tertentu.
3) Pada fase pengolahan, siswa perlu mengolah materi dengan baik dan segera.
Oleh sebab itu guru harus lebih kreatif mengolah materi dan mempermudah
siswa mengingat dengan cara membuat chunk, jembatan keledai, dan
pengulangan-pengulangan terhadap materi-materi penting yang perlu diingat
siswa serta menentukan kunci-kunci untuk mengingatnya.
4) Pada fase menggali dan fase prestasi, siswa harus menggunakan kunci yang
tepat atau cocok untuk membuka ingatannya. Oleh sebab itu, guru dapat
memberikan kata kunci sebagaimana yang digunakan dalam menyimpan
untuk membantu siswa mengingat.
5) Pada fase setelah proses belajar mengajar, siswa dituntut untuk banyak
mengulang-ulang informasi yang baru saja diterimanya. Oleh sebab itu, guru
dapat memberikan tugas-tugas latihan yang tidak terlalu memberatkan dan
selalu memberikan latihan atau tugas dan ujian di awal pembelajaran agar
memacu siswa mengulang dan mempelajari setiap materi pelajaran.

C. Implikasi Adanya Memori dalam Proses Pembelajaran


Adanya memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang pada
individu penting diperhatikan dan dilakukan selama proses pembelajaran. Hal
ini tidak lepas dari kondisi-kondisi dalam pembelajaran yang membutuhkan
efektivitas dan efisiensi guru membantu siswa untuk berkembang dan
menyelesaikan tugas-tugas belajar dengan baik. Penerapannya dalam
pembelajaran tidak lepas dari adanya jenis memori pendek dan memori jangka
panjang.
Proses belajar dan pembelajaran memiliki keterkaitan dan hubungan
dengan ingatan. Oleh sebab itu, pendidik atau guru perlu memperhatikan
kemampuan siswa dalam mengingat. Menurut Wasty Soemanto (2006 : 31),
pendidik seharusnya mengetahui dan mengamalkan proses pembelajaran yang
memperhatikan perbedaan individu termasuk masalah ingatan. Menurutnya,
hal ini disebabkan ingatan pada masing-masing individu unik dan berbeda-
beda sehingga guru diharapkan mampu menerapkan metode pembelajaran
yang tepat dan pengkondisian tempat dan waktu belajar yang tepat bagi siswa
secara umum. Dengan demikian, pelaksanaan proses pembelajaran yang
memperhatikan kemampuan memori siswa dan kemungkinan terjadinya lupa,
dapat diantisipasi dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a. Menggunakan strategi-strategi mengingat dalam proses pembelajaran
dengan menggunakan jembatan keledai dan sebagainya.
b. Tidak membebani individu untuk mengingat materi yang panjang
dalam waktu yang singkat dan segera. Hal ini tidak lepas dari
kemampuan memori jangka pendek individu.
c. Melakukan proses pengulangan-pengulangan materi pelajaran,
terutama poin-poin penting sebuah materi pelajaran.
d. Menghubungi-hubungkan materi dan aktivitas belajar dengan kondisi
keseharian yang nyata-nyata ada dan sering dijumpai siswa di sekitar
lingkungannya. Hal ini tidak lepas dari kemampuan memori jangka
panjang dan memori kerja.
e. Memberikan korelasi materi pelajaran dengan pengalaman siswa
dalam memori jangka panjang dan kebermanfaatnya bagi individu
siswa dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
f. Mengikutkan dan memunculkan emosi siswa (senang, ceria,
semangat, dan sebagainya) selamat proses pembelajaran terutama
untuk memory jangka panjang.

2. Berfikir
A. Konsep Dasar Berpikir
Berfikir bagi siswa hakikatnya merupakan kemampuan siswa untuk
menyeleksi dan menganalisis bahkan mengkritik pengetahuan yang ia
peroleh. Berfikir juga tidak lepas dari usaha mengadakan penyesuaian
pemahaman atas informasi baru dengan informasi yang sudah dimilikinya
sebagai sebuah pengetahuan.
Pengertian berfikir menurut Solso dalam Sugihartono dkk. (2007:13)
merupakan proses yang menghasilkan representasi mental yang baru
melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi yang kompleks
antara berbagai proses mental, seperti penilaian, abstraksi, penalaran,
imajinasi dan pemecahan masalah. Berdasarkan pengertian pengertian
tersebut, hamper sama mengatakan bahwa berfikir merupakan sebuah
proses dan aktifitas sehingga individu atau siswa bersifat aktif.
Menurut Wasti Soemanto (2006:31-32), pada dasarnya aktivitas atau
kegiatan berfikir merupakan sebuah proses yang kompleks dan dinamis.
Proses dinamis dalam berfikir mencakup 3 tahapan, yaitu proses
pembentukan pengertian, proses pembentukan pendapat dan proses
pembentukan keputusan. Atas dasar pendapat tersebut, proses berfikir
merupakan aktifitas memahami sesuatu atau memecahkan suatu masalah
melalui proses pemahaman terhadap sesuatu atau inti masalah yang sedang
dihadapi dan factor factor lainnya. Pada proses menentukan pendapat dalam
bentuk membentukan hubungan atar sesuatu atau masalah tersebut menjadi
sebuah konsep tentang bagaimana individu memandang suatu atau masalah
yang dihadapi.pada tahap pembentuk atau mengambil keputusan dilakukan
atas dasar pemahaman dan pendapatnya yang telah terbentuk selama proses
dan tahapan tahapan berfikir sebelumnya.
Pada umumnya berfikir hanya dilakukan oleh orang orang yang sedang
mengalami sebuah problem atau permasalahan, baik dalam bentuk soal
ujian, kehilangan sesuatu, pengambilan keputusan, dan sebagainya. Dengan
demikian, pada dasarnya proses berfikir pada seseorang muncul sebagai
usaha untuk memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya. Dengan
kata lain berfikir merupakan proses mental yang bertujuan untuk
memecahkan suatu permasalahan yang sedang dihadapi individu berfikir
sebagai sebuah proses psikologi untuk memecahkan masalah terjadi pada
ranah kognitif dengan melibatkan beberapa proses mental yang kompleks
dengan harapan dapat menghasilkan sebuah solusi atau sebuah persoalan
yang sedang dihadapinya. Oleh sebab itu, setiap keputusan yang diambil
oleh seseorang individu merupakan hasil kegiatan berfikir yang selanjutnya
akan mengarahkan dan mengendalikan tingkah laku individu tersebut. Atas
dasar itu, Wasty Soemanto (2006:33), menjelaskan bahwa pikiran dan
proses berfikir sangat menentukan perubahan perilaku pada individu dan
mengembangkan potensi kepribadian lainya.

B. Macam-Macam Berpikir
Proses berfikir yang terjadi pada siswa merupakan sebuah hal yang
sulit untuk diamati dan diteliti. Namun demikian, semua ahli Pendidikan
menyimpulkan bahwa proses berpikir memang ada dan terjadi pada
individu. Berkaitan dengan ini, proses bagaimana terjadinya berfikir masih
sulit untuk dilakukan. Sugihartono dkk (2007:13), menjelaskan bahwa ada
dua jenis acara berfikir pada individu, yaitu berfikir otak kanan dan kiri.
Sementara crow & crow dalam Sri Rumini dkk (2006:8-10), menyebutkan
ada dua jenis berfikir pada individu, yaitu berfikir reflektif dan berfikir
kreatif, apapun jenis dan konsep berfikir yang digunakan , secara umum
semuanya dilakukan dalam kerangka menemukan sebuah pemahaman akan
sebuah permasalahn dan menemukan sebuah solusi dan menemukan solusi
atas permasalahan tersebut,
a. Berpikir Otak Kanan dan Otak Kiri
Proses berfikir akan tersampainya memory dan pengetahuan
seseorang terjadi didalam otak. Otak manusia dibagi menjadi dua
bagian atau yang disebut sebagai hemisfer, yaitu hemisfer kana atau
otak kiri atau otak belahan kiri. Adanya berbedaan letak tiap bagian
otak tersebut ternyata memiliki perbedaan pula terhadap cara kerja,
ranah kerja, dan karakteristik kerjanya. Karakteristik khas dan system
kerja otak kiri secara umum adalah melakukan proses berfikir secara
runtun atau berurutan, mencoba memahami sesuatu dari detail ke
global, membimbing untuk membaca berdasarkan fonetika yang
berupa kata kata,symbol dan huruf, focus kerjanya adalah pada
internal individua atau pengetahuan yang telah dimiliki dan
informasinya bersifat factual.
Berbeda dengan otak kiri, otak kanan bekerja secara acak,
memahami sesuatu dari global ke detail, membaca dengan cara
menyeluruh, lebih focus pada bentuk gambar dan grafik, proses
belajar diawali dengan melihat dahulu atau mengalami yang
kemudian terjadi proses belajar alamiah dan spontan yang lebih focus
pada eksternal. DePorter dalam Sugiharto dkk. (2007:14),
menjelaskna bahwa karakteristik berfikir otak kiri bersifat logis,
sekuensional, linier, dan rasional. Cara berfikirnya sesuai dengan
tugas tugas teratur, ekpresi verbal, menulis, membaca, asosiasi
auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik dan simbolisme.
Sementara karakteristik otak kanan lebih bersifat acak, tidak teratur,
intuitif dan holistic. Otak kanan banyak terlibat dalam perasaan,
emosi, kesadaran perasaan, kesadaran ruang atau spasial, bentuk,
pola, music,seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Masing masing bagian otak memiliki bagian dan fungsi yang
berbeda dalam proses belajar.menurut DePorter dalam Sugihartono
dkk (2007:14), dalam proses kerjanya stimulasi pada otak kiri atau
kanan saja kurang sempurna tanpa rangsangan pada bagian lainya.
Hal ini berdampak pada proses pembelajaran tidak akan berjalan
secara maksimal apabila proses pembelajaran hanya siswa juga tidak
akan maksimal apabila proses pembelajaran hanya mengaktifkan
hanya satu belahan otak saja, dengan demikian, proses pembelajaaran
diharapkan mampu mengstimulasi kedua belah otak secara
bersamaan sesuai dengan karateristiknya masing masing dengan kata
lain, proses pembelajaran mengaktifkan kedua beelah otak secara
seimbang agar proses pembelajaran dapat berjalan dan berhasil
mencapai tujuannya dengan lebih baik.

b. Berpikir Refleksi dan Berpikir Kreatif


Proses berpikir pada individu akan terjadi dalam bentuk yang
berbeda-beda. Namun demikian, tujuan tetap sama, yaitu
memecahkan sebuah permasalahan. Pada dasarnya terdapat banyak
jenis atau proses berpikir selain berpikir berdasarkan belahan otak
yang digunakan menggunakan otak kanan dan otak kiri. Proses
berpikir lainnya yang terjadi di pada siswa menurut Crow & Crow
dalam Sri rumini dkk. (2006:8-10), terbagi atas berpikir reflektif dan
berpikir kreatif. Jenis proses berpikir ini melihat pada proses dan hasil
berpikir sebagai solusi atas permasalahannya.
1. Berpikir Refleksi
Proses berpikir reflektif tidak tergantung pada pengetahuan
siswa semata, tetapi proses bagaimana memanfaatkan pengetahuan
yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi
titik jika siswa dapat menemukan cara untuk memecahkan masalah
yang dihadapi sehingga dapat mencapai tujuannya maka jiwa
tersebut telah melakukan proses berpikir reflektif. Artinya, pada
dasarnya berpikir reflektif merupakan sebuah kemampuan siswa
dalam menyeleksi pengetahuan yang telah dimiliki dan tersimpan
dalam memorinya untuk menyelesaikan setiap masalah yang
dihadapi untuk mencapai tujuan tujuannya. Menurut John Dewey
dalam Sri Rumini dkk. (2006:9), proses berpikir reflektif yang
dilakukan oleh individu akan mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut.
1. Individu merasakan merasakan adanya problem.
2. Individu melokalisasi dan membatasi pemahaman terhadap
masalahnya.
3. Individu menemukan hubungan hubungan masalahnya dan
merumuskan hipotesis pemecahan atas dasar pengetahuan yang
telah dimiliki nya.
4. Individu mengevaluasi hipotesis yang ditentukan, apakah akan
menerima atau menolaknya.
5. Individu menerapkan cara pemecahan masalah yang sudah
ditentukan dan dipilih, kemudian hasilnya apakah ia akan
menerima atau menolak hasil kesimpulannya.

2. Berpikir Kreatif
Menurut Chandra dalam Sugihartono dkk. (2007:14), istilah
kreativitas merujuk pada sebuah bentuk kemampuan mental yang
khas pada seseorang untuk melahirkan dan pengungkapan sesuatu
yang unik, berbeda dari hal-hal pada umumnya, orisinil, indah, baru,
efisien, tepat sasaran dan tepat guna titik. Dengan demikian, orang
yang kreatif dalam berpikir akan mampu memandang sesuatu hal
yang sama dari sudut pandang yang berbeda dari pandangan orang
pada umumnya. Kaitannya dengan kreativitas dalam berpikir, pada
umumnya melibatkan proses berpikir yang kompleks. Proses
berpikir orang-orang kreatif tidak memandang suatu stimulasi
seperti bagaimana orang secara umum, tetapi mampu melihat dari
sisi dan sudut pandang yang berbeda. Proses berakhir seperti ini
disebut juga dengan proses berpikir divergen atau menyebar.
Proses berpikir kreatif pada seseorang atau siswa akan dapat
diceritakan dan dapat dilihat dari hasilnya. Menurut Sri rumini dkk
(2006:10), ciri khusus dari pasar berpikir kreatif adalah hasil atau
produk berpikir yang orisinil dan prosedur berpikir yang dilakukan
dengan cara-cara cara baru yang tidak dapat di kira-kira
sebelumnya. Tahap-tahap dalam berpikir kreatif sebagai berikut.
a. Tahap persiapan, ketika bahan-bahan atau pengetahuan
dikumpulkan dan disusun terus-menerus dalam memori
individu. misalnya, siswa memahami prinsip pemanfaatan
udara pada kapal selam mengapa bola pingpong dapat
mengembang, mengapa kapal tanker bisa tenggelam dan
sebagainya.
b. Tahap inkubasi, yaitu ketika atas dasar bahan-bahan yang
terkumpul lama kemudian memunculkan aspek-aspek
pernyataan yang berbeda dan kreatif, tetapi masih samar-samar.
misalnya, bagaimana mengangkat sebuah kapal tanker yang
tenggelam menggunakan alat yang sederhana atau
memanfaatkan prinsip keseimbangan komposisi udara dan air
dalam kapal selam.
c. Tahap Insightl pemahaman, yaitu ketika pemahaman dan
penemuan hal yang berbeda dan terjadi sangat tiba-tiba,
misalnya, mengapa tidak mengangkat sebuah kepentingan
tenggelam dengan mengisi ruang kapal menggunakan bola
pingpong sebanyak-banyaknya.

3. Implikasi Adanya Proses Berpikir Siswa dalam Pembelajaran


Berpikir merupakan proses yang penting dalam pendidikan,
belajar dan pembelajaran. Proses berpikir pada siswa merupakan
wujud keseriusannya dalam belajar titik berpikir membantu siswa
untuk menghadapi persoalan atau masalah dalam proses
pembelajaran, ujian dan kegiatan pendidikan lain seperti
eksperimen, observasi, dan praktik lapangan lainnya. Proses
berpikir pada siswa dalam proses belajar mengajar bertujuan untuk
membangun dan membentuk kebiasaan siswa dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dengan baik benar, efektif dan efisien
titik tujuan akhirnya adalah berharap siswa akan menggunakan
keterampilan-keterampilan berpikirnya untuk memecahkan masalah
yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Berdasarkan pemahaman tentang pentingnya kedudukan proses
berpikir dalam pengembangan pribadi dan potensi potensi siswa,
pendidikan dan proses pembelajaran seharusnya menyediakan dan
membimbing siswa agar mampu mengembangkan keterampilan
berpikir siswa. Oleh sebab itu menurut wasty Soemanto (2006:33-
34), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk
mengembangkan kemampuan berpikir siswa sebagai berikut.
a. Guru membantu mengembangkan kemampuan dan
keterampilan berbahasa siswa sebagai dasar berpikir.
b. Proses pembelajaran yang dilakukan bukan
memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya pada
siswa, melainkan membimbing pikiran dan struktur
kognitif siswa dalam memahami sesuatu itu dengan
memberikan sejumlah pengertian atau konsep dasar
yang fungsional tentang sebuah pengetahuan baru
dengan tujuan memicu perkembangan keterampilan
berpikir siswa.
c. Proses pembelajaran dilakukan dengan cara guru
memberikan pengertian pengertian kunci atau konsep
dasarnya agar siswa dapat bergerak cepat dan tepat serta
mengembangkan kemampuan logika nya.

Aplikasi adanya proses berpikir pada siswa dimanfaatkan


dalam bentuk pelaksanaan ujian, pelaksanaan pembelajaran
praktikum dan pembelajaran berbasis masalah. Tujuan pelaksanaan
kegiatan kegiatan tersebut adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir siswa, baik berpikir reflektif (proses
bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki untuk
memecahkan masalah) dan terutama berpikir kreatif s metode dan
model-model pembelajaran modern, seperti cooperative learning,
contextual teaching dan learning, active learning, problem based
learning diterapkan kan untuk mengembangkan proses berpikir
siswa, sekaligus mengaktifkan proses berpikir pada bagian otak
kanan dan otak kiri. Implikasi dari adanya kemampuan berpikir
pada individu siswa dan menjadikan otot sebagai pusat informasi
dan aktivitas belajar siswa, muncul sistem pembelajaran otak yang
dikemukakan oleh Eric Jensen. Eric Jensen (2008:483-484),
menyebutkan beberapa hal yang penting yang perlu diperhatikan
oleh seorang guru dalam mengaplikasikan pembelajaran berbasis
otak ( brain based learning )sebagai berikut.
1. Berikan siswa pra pembelajaran dengan memunculkan memori
yang memiliki latarbelakang hampir sama dengan materi baru
yang akan disampaikan agar semakin banyak koneksi di dalam
otak yang terbentuk.
2. Pahami latar belakang pengetahuan siswa dalam hubungannya
dengan materi baru dan sesuai rencana pembelajaran serta proses
pembelajaran dengan tingkat pengalaman,kondisi dan gaya
belajar siswa.
3. Ciptakan lingkungan kelas yang mendukung, menantang siswa
untuk berpikir, kompleks, tanpa ancaman serta proses eksplorasi
dan tanya jawab yang mungkin berkembang.
4. Berikan pengalaman pengalaman pembelajaran pada siswa
dengan cara menghubungkannya atau menggali dari sesuatu
yang merefleksikan kehidupan nyata yang ada di sekitar siswa.
5. Bantu siswa menyimpan informasi dengan teknik-teknik
menyimpan informasi, adanya waktu dan kegiatan istirahat,
melakukan kegiatan asosiasi kehidupan nyata, serta adanya
pengulangan pengulangan dari waktu ke waktu.

1. Intelegensi
Istilah inteligensia memiliki arti yang sama dengan kecerdasan. Namun
demikian, banyak ahli yang bersepakat bahwa sulit untuk mendefinisikan
kecerdasan atau inteligensia secara akurat dan tepat serta disepakati oleh para
praktisi kecerdasan. Meskipun demikian, dibalik banyaknya perbedaan konsep
dasar kecerdasan, pemahaman guru terhadap konsep inteligensia sangat penting
untuk menunjang proses pembelajaran yang efektif bagi siswa.

A. Konsep Dasar Inteligensia atau Kecerdasan


Inteligensia memiliki definisi dan tafsir yang sangat luas. Oleh sebab itu,
terdapat banyak tokoh yang menerjemahkan pengertian inteligensia tersebut
sehingga muncul banyak definisi dengan berbagai sudut pandangnya. Namun
demikian, secara umum terdapat tiga kelompok besar yang menerjemahkan
definisi inteligensia secara berbeda yang paling banyak disepakati dan dipakai.
Perbedaan-perbedaan definisi tersebut tidak terlepas dari bidang keahlian dan
teori-teori yang mereka pegang dan mereka kembangkan. Tiga kelompok
tersebut adalah memandang inteligensia sebagai sebuah kemampuan
menyesuaikan diri, kemampuan untuk belajar, dan kemampuan untuk berpikir
abstrak.
1. Inteligensia sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri.
Menurut Wechler dalam Sugihartono dkk. (2007 : 16), inteligensia
merupakan kumpulan kemampuan seseorang yang untuk secara totalitas
bertindak sesuai dengan tujuan, berpikir secara rasional, dan kemampuan
untuk menghadapi situasi lingkungan secara efektif. Dengan demikia,
kelompok ini menerjemahkan konsep inteligensia lebih sebagai sebuah
kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi
dengan lingkungannya yang baru dan pada situasi yang dihadapi.
2. Inteligensia sebagai kemampuan untuk belajar.
Inteligensia merupakan kemampuan untuk belajar (Freeman dalam
Sugihartono dkk., 2007 : 16). Pendapat tersebut mewakili kelompok ini
yang lebih memandang inteligensia pada individu sebagai sebuah
kemampuan seseorang untuk belajar. Oleh sebab, itu semakin tinggi
tingkat inteligensia yang dimiliki seseorang, orang tersebut akan semakin
mudah untuk dilatih, untuk belajar dari lingkungan dan pengalaman.
3. Inteligensia sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak.
Menurut Menhrens dalam Sugihartono dkk. (2007 : 16), inteligensia
merupakan sebuah kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak.
Dalam konteks pengertian tersebut, hal-hal abstrak yang dipikirkan
berupa ide-ide, simbol-simbol verbal, numerikal, dan matematika. Oleh
sebab itu, kelompok ini lebih memandang inteligensia sebagai sebuah
kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak dalam bentuk
memahami ide-ide dan simbol-simbol ataupun hal-hal tertentu.

Namun demikian, berdasarkan perbedaan-perbedaan sudut pandang


mengenai intelegensia tersebut, pada dasarnya inteligensia memang
menunjukkan pada sebuah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri,
belajar, dan berpikir abstrak. Inteligensia dipandang para ahli sebagai sebuah
kemampuan umum seseorang. Hal ini disebabkan hasil tes inteligensia pada
dasarnya memang menunjukkan kemampuan seseorang secara umum, bukan
menunjukkan kemampuan individu pada bidang-bidang khusus atau
kemampuan khusus yang dikuasai. Kemampuan umum sering dikenal dengan
general factor yang selanjutnya disebut Intelligence Quetient (IQ). Untuk
mengetahui kemampuan khusus atau specific factor, tes inteligensia
dilengkapi dengan tes kemampuan khusus, seperti tes bakat, tes minat, dan
sebagainya.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Inteligensia


Inteligensia atau kecerdasan merupakan salah satu bentuk gejala
psikologis pada siswa seperti juga pengindraan dan memori yang dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Sri Rumini dkk.
(2006 : 10-11), terdapat dua faktor yang memengaruhi perkembangan
inteligensia siswa, yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan.
1. Faktor bawaan. Faktor ini meyakini sebuah pemahaman bahwa
kemampuan inteligensia individu siswa merupakan sebuah warisan
atau bawaan dari orang tua. Oleh sebab itu, tingkat inteligensia
seorang anak atau siswa tidak akan jauh berbeda dengan kondisi dan
tingkat inteligensia orang tuanya atau bahkan cenderung sama. Faktor
bawaan yang memengaruhi inteligensia dapat dilihat dari sebuah hasil
penelitian tingkat IQ anak-anak hasil adopsi. Skor IQ mereka
memiliki korelasi lebih tinggi persamaannya dengan IQ ayah atau ibu
kandungnya dibandingkan dengan orangtua angkatnya.
2. Faktor lingkungan. Faktor lingkungan sebagai faktor yang
memengaruhi inteligensia seseorang dilihat sebagai kondisi sekitar
individu siswa dan dari luar siswa yang menunjang perkembangan
inteligensia individu tersebut. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan inteligensia siswa antara lain faktor gizi serta
rangsangan kognitif emosional yang diterimanya.
C. Macam-Macam Bentuk Inteligensia
Perkembangan hasil penelitian tentang intelegensia memberi banyak
hasil. Hasil yang paling menonjol adalah inteligensia tidak hanya terpaku pada
personal kognitif. Inteligensia juga terkait dengan kemampuan-kemampuan
lain seseorang dalam berbagai hal. Maka muncullah teori-teori emotional
intelligence, moral intelligence, social intelligence, dan spiritual intelligence.
Hasil-hasil penelitian lain tentang inteligensia tersebut juga menunjukkan
bahwa inteligensia kognitif tidak banyak memberi sumbangan pada
kesuksesan hidup seseorang. Oleh sebab itu, kemudian muncul juga
inteligensia yang mengukur aspek emosional, moral, sosial, dan spiritual.
Perkembangan pembahasan dan pengukuran pada inteligensia berdampak
pada munculnya Gardner yang membawa teori multiple intelligence. Multiple
intelligence memandang bahwa banyak cara untuk menjadi cerdas disebabkan
setiap orang memiliki dan mengembangkan berbagai macam cara untuk
bertahan dan mengembangkan hidup. Inteligensia menurut Gardner dalam
Sugihartono (2007 : 18), merupakan kemampuan untuk menyelesaikan
masalah dan menciptakan produk yang berharga dalam lingkungan budaya dan
masyarakat. Peran seseorang di lingkungan budaya dan masyarakat
berdampak pada proses pemecahan masalah yang dihadapi. Oleh sebab itu,
Gardner mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 8 bentuk inteligensia,
antara lain :
1) inteligensia linguistik
2) inteligensia matematik-logik
3) inteligensia spasial
4) inteligensia kinestetik-jasmani
5) inteligensia musikal
6) inteligensia interpersonal
7) inteligensia intrapersonal
8) inteligensia naturalistik

D. Peran Inteligensia dalam Belajar


Peran nyata intelegensia dalam proses belajar tidak dapat diamati secara
sederhana Untuk mengetahuinya dilakukan beberapa penelitian yang
menghubungkan antara intelegensia seseorang dengan proses belajar dan hasil
belajar yang diperoleh. Hasil penelitian Heller, Monks, dan Passow dalam
Sugihartono dkk. (2007 : 18) menunjukkan bahwa individu dengan kecerdasan
tinggi belum tentu sukses. Di California, siswa dengan IQ tinggi yang diteliti
dari tahun 1920 sampai sekarang di antaranya ada yang menjadi senator,
bintang terkenal, sutradara, novelis, dan sebagainya. Namun, ada juga yang
menjadi pembersih kantor, tukang sapu jalan, dan pekerja kasar lainnya. Di
Indonesia, penelitian tentang intelegensia dilakukan Harjito dkk. dalam
Sugihartono dkk. (2007 : 19), menjelaskan bahwa tidak selamanya siswa yang
memiliki prestasi rendah dan memiliki kesukaran belajar berasal dari siswa
dengan IQ rendah. Hal ini disebabkan ada beberapa siswa dengan IQ diatas
rata-rata memiliki prestasi belajar rendah dan memiliki permasalahan belajar.
Namun demikian, beberapa jenis penelitian lain yang juga dilakukan untuk
mengorelasikan inteligensia dengan prestasi belajar secara umum
menunjukkan bahwa memang ada korelasi atau hubungan yang positif antara
inteligensia dengan prestasi belajar siswa.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa inteligensia turut
memengaruhi pencapaian prestasi belajar siswa. Namun demikian, menurut
Daniel Goleman dalam Sugihartono dkk. (2007 : 20), peran serta IQ dalam
menentukan kesuksesan seseorang tidal lebih dari 20%, sedangkan sisanya
80% ditentukan oleh faktor-faktor lain, yang meliputi ketekunan, kedisiplinan,
kemandirian dalam belajar, motivasi, dan sebagainya. Hasil penelitian
Stenberg juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu bahwa hanya sekitar 4%
dari keberhasilan hidup di dunia nyata dipengaruhi IQ dan 90% lainnya
dipengaruhi dan berhubungan dengan kecerdasan-kecerdasan lain. Dengan
demikian, meskipun IQ cukup mempengaruhi keberhasilan dan prestasi
belajar, bukan satu-satunya predikator yang mempengaruhi keberhasilan hidup
seseorang.

E. Implikasi Inteligensia dalam Pembelajaran


Pemahaman guru terhadap tingkat intelegensia atau kecerdasan individu
sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran di
sekolah. Hal ini disebabkan perbedaan individu masing-masing siswa dengan
siswa lainnya juga dapat terjadi pada tingkat kecerdasan atau inteligensia yang
mereka miliki. Siswa dalam satu kelas sangat dimungkinkan terdiri dari siswa
dengan tingkat kecerdasan sangat tinggi, kecerdasan tinggi, rata-rata, bahkan
dibawah rata-rata. Oleh sebab itu, guru harus mampu menyesuaikan metode
dan model penyampaian materi pelajaran dengan kondisi siswa.
Hasil penelitian yang dikutip oleh Sri Rumini dkk. (2006 : 61), tentang
kecerdasan menjelaskan bahwa diperkirakan 25% hasil belajar individu
dipengaruhi oleh kecerdasan. Atas dasar pertemuan tersebut, agar prestasi
belajar siswa dengan tingkat intelegensia menjadi lebih baik, proses
pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisinya terutama kondisi dan
tingkat kecerdasan individu. Misalnya, penyampaian kalimat-kalimat dalam
buku disederhanakan, siswa melihat bendanya sebagai media pembelajaran
secara konkret, demonstrasi yang dilakukan harus jelas dan mendekati
kenyataan, materi pelajaran harus diulang-ulang, serta bimbingan belajar harus
dilakukan secara intensif. Namun demikian, metode pembelajaran seperti ini
akan sangat membosankan bagi siswa dengan tingkat kecerdasan diatas 120.

2. Emosi dan Motivasi


Dalam proses pembelajaran, motivasi berperan penting dalam keberhasilam
proses belajar tersebut. Motivasi banyak ditekankan pada individu siswa dengan
harapan muncul semangat untuk mengikuti pembelajaran. Motivasi yang dimiliki
siswa akan menjadikan siswa memiliki semangat, disiplin, tanggung jawab dan
keseriusan mengikuti proses pembelajaran. Dengan kata lain, motivasi berperan
sebagai sumber energi psikologis siswa dalam proses pembelajaran.

A. Konsep Dasar Emosi dan Motivasi


Emosi dan motivasi merupakan keadaan atau gejala psikologis pada
seorang individu. Adanya emosi menyebabkan seseorang merasakan senang,
sedih, cemburu, cinta, aman, takut, semangat, dan sebagainya. sementara
motivasi menyebabkan seseorang melakukan sesuatu dan bertahan dalam
melakukannya. Emosi dan motivasi memiliki keterkaitan yang cukup erat.
Menurut Sri Rumini dkk (2006:11-12), motivasi merupakan keadaan atau
kondisi pribadi pada siswa yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan-
kegiatan tertentu dengan tujuan untuk mencapaiapa yang menjadi tujuan siswa
yang bersangkutan. Dengan ini motivasi pada dasarnya merupakan motor
penggerak dan pemberi arah serta tujuan yang hendak dicapai dan juga
memberikan ketahanan untuk tetap berjalan pada tujuan yang akan dicapai
sampai benar-benar dapat tercapai.
Menurut MC Donald dalam Oemar Hamalik (2003:158), “motivation is an
energy change within the person charachterized by affective arousal and
anticipatory goal reaction”. jika pengertian tersebut diterjemahkan secara
bebas, maka motivasi merupakan sebuah bentuk perubahan energi dalam diri
seseorang yang ditandari dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai
tujuan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa dalam motivasi terdapat
energi, perasaan, dan suasana tertentu yang muncul dan mendorong seseorang
untuk melakukan reaksi-reaksi dalam mencapai suatu tujuan.
Motivasi belajar yang tinggi tercermin dalam ketekunan yang tidak mudah
patah semangat atau pantang menyerah sebelum mendapatkan apa yang
diinginkan. Motivasi yang tinggi sangat mungkin muncul pada siswa jika
adanya keterlibatan dan keaktifan siswa yang tinggi dalam proses pembelajaran,
juga adanya upaya dari guru untuk memelihara agar siswa senantiasa memiliki
motivasi belajar yang tinggi. Oleh karena itu, peran guru sangat penting untuk
memerhatikan kondisi siswa terutama emosi dan motivasi yang dimiliki siswa.

B. Macam-Macam Motivasi
Motivasi yang dimiliki oleh individu biasanya lebih dari satu macam.
Dalam proses belajar, ada siswa yang belajar karena memang menyukai mata
pelajarannya dan ada juga yang termotivasi untuk mendapat prestasi yang tinggi
sehingga dapat melanjutkan ke sekolah favorit. Menurut Sri Rumini dkk
(2006:12), motivasi dapat dibedakan berdasarkan bagaimana motivasi tersebut
muncul, sumber, dan isi motivasi tersebut.
a. Motivasi berdasarkan kemunculannya
Motivasi berdasarkan kemunculan atau terbentuknya, dibedakan menjadi
motivasi bawaan dan motivasi yang dipelajari. Motivasi bawaan merupakan
jenis motivasi yang memang ada dan dibawa oleh individu sejak lahir tanpa
dipelajari, misalnya motivasi dalam bentuk dorongan untuk mencari makan,
tidur, dan sebagainya. sementara jenis motivasi yang dipelajari merupakan
motivasi yang timbul karena dipelajari dari lingkungannya, misalnya
motivasi dalam bentuk dorongan untuk berteman, dorongan menabung untuk
membeli sesuatudan sebagainya. Dengan demikian, motivasi bawaan
merupakan sebuah insting yang secara alamiah akan dilakukan oleh seorang
individu, sedangkan motivasi yang dipelajari merupakan motivasi yang
muncul sebagai bentuk meniru dari kondisi dan tuntutan lingkungannya.
b. Motivasi berdasarkan sumbernya
Motivasi berdasarkan sumbernya deibedakan menjadi motivasi ekstrinsik
dan motivasi instrinsik. Motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang terjadi
karena adanya pengaruh dari luar siswa, misalnya belajar berenang karena
ada tuntutan harus bisa berenang, bermain game online karena pengaruh
pergaulan agar tidak dianggap ketinggalan zaman, dan lain sebagainya.
sementara motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang terjadi dan muncul
dari dalam diri siswa itu sendiri, misalnya belajar berenang karena memang
tertarik dan membutuhkannya. Berdasarkan dua motivasi tersebut, maka
penting bagi guru dan orangtua dalam menjada motivasi siswa dalam belajar
dengan memberi dorongan dan sikap positif kepada siswa.
Menurut Vallerand dan reid (2009:174), meningkatnya motivasi instrinsik
pada seseorang berbanding lurus dengan pemberian umpan balik dari
lingkungan. Artinya umpsn balik yang positif dari lingkungan seperti pujian,
motivasi, penghargaan dan lain-lain tampa adanya cemoohan dan hukuman
dalam proses belajar akan menumbuhkan mtovasi siswa. Begitu pula
sebaliknya jika nila sering terjadi umpan negatifdari lingkungan seperti
hukuman dan sanksi maka akan menurunkan motivasi instrinsik pada siswa
dalam belajar. Dengan dimikian, penggunakan hukuman pada siswa pada
dasarnya tidak terlalu memberikan pengaruh pada perubahan sikap dan
perilaku siswa dalam belajar.
c. Motivasi berdasarkan isinya
Motivasi berdasarkan isinya dibedakan menjadi motivasi jasmaniah dan
motivasi ruhaniah. Motivasi jasmaniah terdiri dari refleks, insting, nafsu, dan
hasrat terhadap hal-hal yang bersifat jasmani seperti insting mencari makan,
istirahat, menjauhi ancaman, dan sebagainya yang memang dimiliki manusia.
Sementara motivasi ruhaniah, misalnya adalah kemauan. Kemauan atau
kehendak hanya dimiliki oleh manusia sehingga keberhasilan seseorang
dalam mencapai tujuan tergantung pada kuat tidaknya kemauannya. Oleh
sebab itu, kemauan yang kuat akan memicu usaha yang lebih keras dan tidak
putus asa dalam mencapai tujuannya

C. Peran Emosi dan Motivasi dalam Proses Belajar


Emosi dalam proses pembelajaran memberikan pengaruh dalam bentuk
cepat atau lambatnya proses belajar siswa, selain itu juga berpengaruh dalam
proses belajar yang menyenangkan atau bermakna pada siswa. Menurut
Goleman dalam Sugihartono dkk (2007:21), tanpa adanya keterlibatan emosi,
kegiatan saraf otak tidak akan berkerja secara optimal dan juga tidak maksimal
dalam merekatkan pengetahuan di ingatan sehingga hasil belajar tidak dapat
dicapai secara maksimal. Menurut Reinhard Pekrun (2009:575), keneradaan
emosi seseorang secara fungsionalmemiliki nilai penting dan berkorelasi
dengan motivasi siswa, kemampuan kognitif, serta perkembangan pribadinya.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung kondisi emosi
yang baik dan positif akan menunjang keberhasilan siswa dalam belajar. Begitu
pula sebaliknya, emosi yang tidak sesuai atau negatif akan berdampak pada
kegagalan siswa dalam belajar sehingga putus sekolah bahkan drop out.

D. Implikasi Adanya Emosi dan Motivasi dalam Pembelajaran


Telah kita ketahui bahwa motivasi yang dimiliki siswa memberikan
pengaruh terhadap proses pembelajaranyang diikuti. Motivasi yang dimiliki
siswa memberikan energi dan semangat bagi siswa untuk mempelajari sesuatu.
Atas dasar itulah, guru diharapkan memahami dan mengerti motivasi siswanya.
Misalnya, siswa yang motivasinya rendah akan terlihat tidak semangat, maka
guru disini perlu memunculkan dan menumbuhkan motivasi siswanya agar lebih
semangat dan berantusias dalam belajar.
Selain melibatkan motivasi, keterlibatan emosi siswa juga perlu
diperhatikan. Hal ini disebabkan emosi yang positif akanmemicu sikap-sikap
positif yang akan mempermudah proses penyerapan informasi di otak.
Misalnya, siswa merasa jengkel,tidak suka, atau takut akan mengalami kesulitan
dalam mengikuti pelajaran karena mereka bukan fokus belajar melainkan fokus
mengolah ketakutan dan kecemasannya.
Pentingnya motivasi dan emosi selama proses belajar memberikan
pemahaman tentang perlunya guru dalam memperharikan emosi dan menjaga
motivasi siswanya. Menurut Eric Jensen (2008:417-421), motivasi dalam
belajar pada siswa dapat ditingkatkan melalui beberapa kegiatan seperti berikut
ini:
a. Menanamkan keyakinan positif kepada siswa
b. Memelihara lingkungan pembelajaran yang aman secara fisik dan
esmosional sehingga siswa lebih fokus
c. Menandai kesuksesan siswa dengan kegembiraan atau bahkan memberikan
hadiah agar siswa selalu termotivasi
d. Berikan siswa harapan untuk sukses
e. Mengelola kondisi psikologi siswa
f. Memberikan pengalaman atau cerita tentang kesuksesan dalam belajar
g. Melibatkan segenap potensi yang dimiliki siswa
h. Libatkan emosi siswa secara kuat dalam proses pembelajaran
i. Memberikan ikatan sosial yang positifbpada siswa, baik secara individual
maupun klasikal.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan
pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat tinggi
dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang
dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah, sosial, dan lingkungan. Proses belajar
ialah proses untuk meningkatkan kepribadian (personality) dengan jalan berusaha
mendapatkan pengertian baru, nilai-nilai baru, dan kecakapan baru, sehingga ia dapat
berbuat yang lebih sukses dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi dalam hidup.
Jadi, jiwa mengandung pengertian-pengertian, nilai-nilai kebudayaan, dan kecakapan.
Karena sifatnya yang abstrak, maka kita tidak dapat mengetahui jiwa secara wajar,
melainkan kita hanya dapat mengenal gejalanya saja. Bentuk-bentuk gejala psikologis
dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi memori atau ingatan, berfikir,
intelejensi atau kecerdasan, emosi, dan motivasi.
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Ahmad. 2004. Psikologi Umum. Bandung : CV Pustaka Setia.


Irham, Muhammad & Novan Ardy Wiyani. 2017. Psikologi Pendidikan. Jogjakarta : Ar-
Ruzz Media.
Sobur, Alex. 2016. Psikologi Umum. Bandung : CV Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai