Disusun Oleh:
2. Fatkhul Mungin
3. Malika Khusna
FAKULTAS TARBIYAH
1
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kami panjatkan dan kami haturkan kehadirat Allah Swt. Yang
telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, serta telah memberikan nikmat sehat
dan nikmat sempat kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Fuad Hasyim, M.Pd., selaku
dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Islam Nusantara. Tak lupa juga kami ucapkan
terimakasih kepada teman-teman serta berbagai pihak yang telah membantu kami
memberikan motivasi dan dukungan demi tercapainya hasil diskusi kami dalam bentuk karya
tulisan ilmiah berupa makalah mengenai “ Kitab Kuning & Tradisi Intelektual Nusntara”
Makalah ini menyajikan tentang kitab kuning diman kitab kuning ini meripakan salah
satu bentuk dari Pendidikan islam di nusantara. Dalam pembuatan makalah ini, kami
menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan yang muncul dalam diri kami masing-
masing sehingga makalah ini belum bisa tersusun dengan baik dan benar, runtut, dan
sistematis. Maka dari ini, kekurangan dan kesalahan kami mohon dimaklumi karena masih
dalam proses belajar. Untuk itu, kami memohon maaf kepada pembaca. Kami juga
memerlukan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar ke depannya dapat
lebih baik lagi dalam menyusun makalah.
Penulis
2
BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Menjadi ciri khas dari Pondok Pesantren salaf yaitu dengan adanya pengkajian
kitab kuning yang membahas banyak hal seperti ilmu fikih, akhlak, nahwu, shorof dan
masih banyak lagi, yang tidak terlepas dengan menggunakan bahasa arab gundul
kemudian diterjemah dengan bahasa jawa pegon.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah dari kitab kuning ?
2. Apa pengertian kitab kuning ?
3. Bagaiman Kitab kuning sebagai sumber belajar?
4. Apa saja Model² pengembangan Kitab kuning di pesantren ?
5. Apa Pengertian dari makna Jawa pegon?
6. Bagaimana Urgensi pemaknaan Jawa pegon?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah dari kitab kuning ?
2. Mengetahui pengertian kitab kuning ?
3. Mengetahui Kitab kuning sebagai sumber belajar?
4. Mengetahui Model² pengembangan Kitab kuning di pesantren ?
5. Mengetahui Pengertian dari makna Jawa pegon?
6. Mengetahui Urgensi pemaknaan Jawa pegon?
3
BAB II
PEMBAHSAN
A. Kitab Kuning
Kitab kuning adalah sebuah istilah yang disematkan pada kitab-kitab berbahasa
arab yang berhaluan Ahlu sunnah wal jama’ah yang bisa digunakan oleh beberapa
Pesantren atau Madrasah diniyyah sebagai bahan pelajaran, dan kitab ini bukan
dikarang oleh sembarang orang, namun karya para Ulama salafus shalih yang sangat
ahli dalam menggali hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dinamakan kitab kuning
karena kertasnya warna kuning. Sebenarnya warna kuning itu hanya kebetulan saja
lantaran zaman dahulu jarang sekali ditemukan seperti zaman sekarang kertas
berwarna putih dan zaman dahulu juga menggunakan alat cetak yang sederhana dan
tidak dijilid, hanya saja dilipat dan diberi cover dengan kertas yang lebih tebal.
Istilah “kitab kuning” pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren
sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan (pejorative). Dalam
pandangan mereka. kitab kuning dianggap sebagai kitab yang beredar keilmuan
rendah, ketinggalan zaman, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi
berfikir umat. Sebutan ini pada mulanya sangat menyakitkan memang, tetapi
kemudian nama “Kitab Kuning” diterima secara meluas sebagai salah satu istilah
teknis dalam studi kepesantrenan.
4
tradisi agung (great tradition) dalam pengajaran agama Islam berbasis kitab-kitab
klasik yang populer dengan sebutan kitab kuning. Tradisi yang dikembangkan
pesantren memiliki keunikan dan perbedaan jika dibandingkan dengan tradisi dari
entitas Islam lainnya di Indonesia seperti kaum “reformis” atau “modernis”. Keunikan
pesantren tentu terlihat pada kegigihannya merawat tradisi keilmuan klasik yang
nyaris diabaikan oleh kaum modernis.
Tradisi kitab kuning di pesantren ini tentu tidak terlepas dari hubungan intelektual
keagamaan dengan para ulama Haramayn dan Hadramaut, tempat di mana banyak
para pemimpin pesantren belajar agama.
Kitab kuning merupakan kitab keislaman berbahasa Arab yang menjadi
rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren.
B. Kitab Sebagai Sumber Belajar
Kitab kuning sebagai sumber belajar umumnya diakses oleh kala- ngan tradisionis
yang memberi penghargaan tinggi pada kitab dan pengarangnnya, dan merasa
memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikannya sebagaimana adanya,
sedangkan kalangan modernis kurang mengakses kitab kuning ini. Pada umumnya
mereka cenderung menggunakan sumber belajar yang disusun sendiri oleh para
pengajar dengan cara mengambil substansi kitab ini, atas dasar pertimbangan eisiensi
dan efektivitas mempelajarinya. Karena itu, tidak jarang lembaga pendidikan Islam
kalangan modernis menggunakan buku agama berbahasa Indonesia. Terlepas dari
kekurangan kitab kuning dari sifat layout dan eisiensi pembelajarannya, kitab kuning
mengandung informasi yang kaya tentang Islam salai yang banyak di nuil di
dalamnya.
C. Metode Pembelajaran Kitab kuning
Terdapat beberapa unsur penting yang harus diperhatikan dalam mengikuti proses
pembelajaran kitab-kitab di pesantren-pesantren yang berubungan dengan interaksi
antara guru dan murid dan sumber belajar, diantaranya adalah:
a. Kyai sebagai guru yang harus dipatuhi secara mutlak dan dihormati yang kadang-
kadang dianggap memiliki kekuatan gaib, yang dapat memberi berkah.
b. Untuk memperoleh ilmu, tidak cukup dengan rasio saja, metode yang benar dalam
mencarinya, dan kesungguhan berusaha, tetapi sangat bertantung dengan kesucian jiwa,
serta upaya-upaya ritual keagamaan seperti puasa, do`a maupun rangkaian ibadah lainnya.
5
c. Menghargai dan menghormati kitab-kitab atas jasanya yang telah banyak mengajar
santri.
d. Transmisi lisan para kyai sangat penting walaupun santri mampu menelaah kitabnya
sendiri.
1)metode hafalan,
2) sorogan,
3)wetonan,
4) muzakarah,
5) majlis.
6
d. Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah kitab
sendiri, yang demikian ini belum disebut ngaji
Pelaksanaan pengajaran kitab ini secara bertahap, dari kurikulum tingkat dasar
yang mengajarkan kitab-kitab sederhana, kemudian tingkat lanjutan, dan takhassus.
Dalam pengajaran ini dipergunakan berbagai metode disertai dengan model dalam
pengembangan kajian kitab kuning, antara lain: hafalan, sorogan, weton atau
bandongan, mudzakarah dan majlis ta’lim.
1) Hafalan
Santri diharuskan membaca dan menghafal teks-teks berbahasa Arab secara
individual, guru menjelaskan arti kata; biasanya digunakan untuk teks nadhom
(sajak), seperti Aqidatul Awam (aqidah), Awamil, Imrithi, Aliyah (nahwu) dan
Hidayatus Sibyan (tajwid).
Dewasa ini pada beberapa pesantren yang ada, hafalan tidak selalu
menekankan pada sejauh mana siswa megnhafal teks Arab yang diperintah oleh
seorang guru, melainkan terdapat beberapa pesantren yang telah berusaha
memodiikasi metode hafalan ini sehingga menjadi model pengembangan kajian
kitab kuning di pesantren. Model pengembangan dengan berdasarkan hafalan ini
yaitu disamping menghafalkan teks Arab santri juga disuruh untuk menerangkan dan
menafsirkan teks-teks yang dihafalkannya, kemudian ditindak lanjuti dengan diskusi
antar teman dalam satu kelas. Model pengembangan ini dilaksanakan pada tingkat
mutawassithoh ke atas (menengah ke atas) pada beberapa madrasah diniyah di
pesantren.
2) Weton atau bandongan
Disebut weton karena berlangsungnnya pengajian itu merupakan inisiatif kyai
itu sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu terutama kitabnya. Disebut
bandongan karena pengajian diberikan secara kelompok yang diikuti oleh seluruh
santri. Kelompok santri yang duduk mengitari kyai dalam pengajioan itu di sebut
halaqoh. Prosesnya, kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, santri
membawa kitab yang sama sambil mendengarkan dan menyimak bacaan kyai,
mencatat terjemahan dan keterangan kyai pada kitab itu yang disebut maknani,
ngesahi atau njenggoti. Pengajian seperti ini dilakukan secara bebas, tidak terikat
pada absensi, lama belajar hingga tamatnya kitab yang dibaca.
7
Weton atau bandongan ini, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman,
banyak pesantren yang telah berusaha memodiikasi metode ini. Diantaranya adalah
setelah kyai membaca dan menjelaskan ditindak lanjuti dengan cara membuka
pertanyaan berkaitan dengan materi yang telah dibaca dan dijelaskannya. Dari
modiikasi ini, maka terciptalah pengembangan model kajian kitab kuning yang baru,
sehingga lebih memungkinkan santri sebagai “obyek pendidikan” pada waktu itu
akan menjadi lebih memahami terhadap apa yang disampaikan oleh seorang kyai,
sehingga mengalihkan posisi santri pada posisi sebagai “subyek pendidikan” dalam
proses pembelajaran kitab kuning di pesantren.
3) Sorogan
Sorogan ialah pengajian secara individual, seorang santri menghadap kyai
untuk mempelajari kitab tertentu. Pengajian jenis ini biasanya hanya diberikan hanya
kepada santri yang cukup maju, khususnya yang berminat hendak menjadi kyai.
Namun sebaliknya, menurut Dhoier, metode pengajaran seperti ini juga dapat
diterapkan untuk santri pemula dalam mempelajari kitab agar memperoleh
kematangan untuk mengikuti pengajian weton. Kitab yang dibaca santri dalam
pengajian ini ditulis dalam bahasa Arab gundul, maka koreksi kyai terhadap
kemampuan bahasa Arab santri dalam membaca amat penting.
Dari sisi teoritis pendidikan, metode sorogan sebenarnya termasuk metode
modern, karena antara kyai-santri dapat saling mengenal; kyai memperhatikan
perkembangan belajar santri. Sementara santri belajar aktif dan selalu
mempersiapkan diri sebelum ngesahi kitab. Di samping itu kyai telah mengetahui
materi dan metode yang sesuai untuk santrinya. Dalam belajar dengan metode ini
tidak ada unsur paksaan, karena timbul dari kebutuhan santri sendiri.
4) Mudzakarah atau musyawarah.
Mudzakarah merupakan pertemuan ilmiah yang secara khusus membahas
persoalan agama pada umumnya. Metode ini digunakan dalam dua tingkatan,
pertama, diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah agar
terlatih untuk memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang
tersedia. Kedua, mudzakarah yang dipimpin kyai, di mana hasil mudzakarah santri
diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam seminar. Biasanya dalam
mudzakarah ini berlangsung tanya jawab dengan menggunakan bahasa Arab.
Kelompok mudzakarah ini diikuti oleh santri senior dan memiliki penguasaan kitab
8
yang cukup memadai, karena mereka harus mempelajari kitab-kitab yang ditetapkan
kyai.
Mudzakarah atau musyawarah ini merupakan model pengembangan kajian
kitab kuning santri di pesantren sebagai wahana untuk memperoleh pemahaman
yang mendalam dan universal tentang berbagai persoalan yang dihadapinya, baik
masalah fiqih, aqidah, muamalah dan lain sebagainya. Unsur kesadaran santri cukup
tertantang, disamping itu pelaksanaan pembelajar annya berlangsung dialogis dan
take and give dalam bidang keilmuannya.
5) Majlis ta’lim
Majlis ta’lim dapat dipahami sebagai sesuatu media penyampaian ajaran Islam
secara umum dan terbuka. Diikuti oleh jama’ah yang terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat yang berlatar pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh
tingkatan usia atau perbedaan kelamin. Pengajian semacam ini hanya diadakan pada
waktu-waktu tertentu saja. Pelaksanaan pengajaran ini merupakan salah satu
perwujudan hubungan fungsional pesantren dalam mempengaruhi sistem nilai
masyarakat.
Ketika dikaitkan dengan modernisasi pendidikan, majlis ta’lim merupakan
salah satu model pengembangan pendidikan yang efektif dan efesien. Betapa tidak,
masyarakat yang kurang atau tidak bisa membaca kitab kuning dapat mengetahui
esensinya hanya dengan pengajian yang diadakan di majlis ta’lim. Dengan kata lain
metode ini merupakan jalan alternative untuk memasukkan ilmu dan nilai-nilai
keislaman kepada mereka yang tidak memiliki cukup ilmu tentang bahasa Arab.
9
arab kedalam bahasa Jawa atau Indonesia untuk mempermudah penulisannya, karena
penulisan Arab tidak sama dengan penulisan latin, yakni dimulai dari kanan ke kiri,
begitu pula dengan penulisan pegon.
Jawa pegon, sebenarnya hanya merupakan ungkapan yang digunakan oleh orang
Jawa, sedangkan untuk daerah Sumatera dan Malaysia disebut dengan aksara Arab-
Melayu. Jadi, huruf jawa pegon atau disebut dengan aksara Arab-Melayu ini merupakan
tulisan dengan huruf Arab dengan menggunakan bahasa lokal. Dikatakan bahasa lokal
karena ternyata tulisan Arab pegon tidak hanya menggunakan Bahasa Jawa saja tetapi
juga menggunakan Bahasa Sunda seperti yang terjadi di Jawa Barat, di Sulawesi
menggunakan bahasa bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan bahasa melayu.
Contoh makna jawa pegon gundul:
BAB III
10
PENUTUP
Kesimpulan
Kitab merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut karya tulis di
bidang keagamaan yang ditulis dengan huruf Arab. Sebutan ini membedakan karya
tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf selain Arab, yang disebut buku. Kitab
yang dijadikan sumber belajar di pesantren dan lembaga pendidikan Islam tradisional
semacamnya, disebut, kitab kuning. Keberadaan kitab kuning ebagai sumber belajar
pada umumnya di akses oleh kalangan tradisionalis yang memberi penggargaan tinggi
Huruf pegon lahir di kalangan Pondok Pesantren untuk memaknai atau
menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab kedalam bahasa Jawa atau Indonesia
untuk mempermudah penulisannya, karena penulisan arab dimulai dari kanan ke kiri,
begitu pula menulis pegon, sedangkan penulisan latin dimulai dari kiri ke kanan.
Meskipun di lingkungan luar pesantren juga ada pembelajaran kitab, namun sulit
sekali ditemukan pembelajaran kitab kuning (kitab gundul) yang menggunakan
bahasa jawa pegon atau tulisan arab yang menggunakan bahasa jawa, hanya saja
mereka menggunakan kitab yang sudah diartikan dengan bahasa Indonesia secara
langsung.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rahman Wahid, Pesantren sebagai Sub Kultur dalam Pesantren dan
Pembaharuan, ( Jakarta: LP3ES, t.t.)
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994)
Dawam Raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, ( Ja karta:
P3M, 1985)
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi tradisi Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1994
Ibrahim, Rustam, Bertahan di Tengah Perubahan Pesantren Salaf, Kiai dan Kitab
Kuning, (Jogjakarta: Sibuku bekerja sama dengan UNU Surakarta
Press, 2015).
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Penndidikan Islam di
Indonesia (Yogyakarta: Cita Pustaka Media, 200)
12