Anda di halaman 1dari 19

i

MODUL PRAKTIKUM
MATA KULIAH FILOLOGI ISLAM

Oleh :
Dr. Ahmad Rivauzi, S.PdI., MA

JURUSAN ILMU AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Mata kuliah Filologi Islam adalah mata kuliah yang menjelaskan berbagai hal
yang berkaitan dengan filologi seperti pengertian, keduduan filologi di atara ilmu lain,
sejarahnya sampai tahapan/proses dan metode penelitian dalam bidang Filologi mulai
dari pengumpulan naskah, deskripsi naskah, penentuan naskah yang asli/yang
mendekati asli, metode transliterasi, dan Metode penyuntingan Teks. Penguasaan
terhadap materi ini akan memudahkan dalam mengkaji masalah-masalah yang berkaitan
dengan naskah, khususnya naskah Arab.
Pentingnya mata kuliah ini adalah memperkenalkan kepada mahasiswa tentang
naskah sebagai warisan budaya bangsa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, jika
disimpan begitu saja atau dikeramatkan maka isinya tidak akan diketahui. Melalui
penelitian dengan menggunakan pendekatan filologi, hasilnya dapat digunakan oleh
ilmu lain. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang diharapkan dapat menunjang
pengembangan keilmuan Islam, terutama pendidikan Islam.
Selain dalam bentuk penyajian materi pembelajaran di kelas, mata kuliah ini
juga melakukan praktikum di lapangan. Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah agar
mahasiswa dapat melihat secara lebih riil jenis dan bentuk-bentuk naskah dan
bagaimana peran dan fungsi surau dalam tradisi pewarisan, penyebaran, dan
pemeliharaan naskah di tengah-tengah masyarakat.
Panduan praktikum mata kuliah Filologi Islam ini dapat digunakan untuk
pelaksanaan praktikum sesuai dengan perencanaan perkuliahan yang telah disusun
dalam silabus mata kuliah Filologi Islam. Semoga panduan ini bermanfaat bagi dosen
pembina dan mahasiswa mata kuliah Filologi Islam.

Penulis,

Dr. Ahmad Rivauzi, S.PdI., MA


NIP. 19770513 200812 1 001

ii
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR :…………………………………………. ii


DAFTAR ISI :………………………………………….. iii
PANDUAN PRAKTIKUM MATA KULIAH FILOLOGI ISLAM……………1
A. Pokok Bahasan :………………………………………….. 1
B. Tujuan dan luaran :………………………………………….. 1
C. Indikator Pencapaian Kompetensi : …………………………………………. 2
D. Materi : ………………………………………… 2
E. Alat dan Bahan : …………………………………………. 8
F. Langkah Kerja : …………………………………………. 8
G. Pembahasan (Hasil Temuan) : …………………………………………. 9
H. Kesimpulan : …………………………………………. 10
REFERENSI : …………………………………………. 11
LAMPIRAN
1. Lembar Observasi : ………………………………………… 12
2. Panduan Wawancara Mendalam : …………………………………………. 14
3. Catatan Lapangan : …………………………………………. 15
4. Kartu Kendali Praktikum : ………………………………………….. 16

iii
PANDUAN PRAKTIKUM
MATA KULIAH FILOLOGI ISLAM

A. Pokok Bahasan : Peran dan Fungsi Surau dalam


Pewarisan, Pengembangan dan
Pemeliharaan Naskah Klasik
Nusantara dalam Kedudukannya
sebagai lembaga pendidikan Islam
Tradisional

B. Tujuan, Mamfaat, Bentuk dan Capaian/ Luaran :

1. Secara Umum, tujuan Praktikum Kuliah Lapangan adalah untuk lebih


memahami lebih jauh konsep-konsep dan teori-teori filologi Islam melalui
pelaksanaan praktikum di lapangan
Secara khusus, tujuan Praktikum Kuliah Lapangan ini adalah:
a. Memaparkan peran dan fungsi surau sebagai pusat central pendidikan
Islam masa silam dalam pewarisan, pengembangan tradisi naskah Klasik
Nusantara, serta pemeliharaannya.
b. Mengidentifikasi bentuk dan jenis-jenis naskah yang terdapat di tengah-
tengah masyarakat (surau)
c. menjelaskan perbedaan antara naskah dan teks yang menjadi objek
kajian filologi dengan lainnya
2. Mamfaat Praktikum Kuliah Lapangan:
a. Agar mahasiswa mengatahui lebih dekat kitab-kitab yang pernah
digunakan untuk pengajaran ilmu keislaman di masa silam.
b. Memunculkan kesadaran dalam diri mahasiswa untuk menjaga,
menghargai dan melestarikan manuskrip sebagai benda yang berharga.
c. Memunculkan kesadaran intelektual bagi mahasiswa, bahwa manuskrip
berisikan pengetahuan yang pernah ada dan sangat layak untuk diteliti
dan dikaji.
3. Bentuk praktikum yang dilakukan dalam mata kuliah filologi Islam ini adalah
pelaksanaan kuliah lapangan dengan melakukan observasi dan wawancara di
lapangan.
4. Adapun luaran/ produk yang dihasilkan dalam observasi dan wawancara di
lapangan ini adalah:
a. Laporan akhir,

1
b. Film Dokumenter tentang jenis dan bentuk-bentuk naskah dan
bagaimana peran dan fungsi surau dalam tradisi pewarisan, penyebaran,
dan pemeliharaan naskah di tengah-tengah masyarakat,
c. Fotografi terkait dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan
filologi Islam
C. Indikator Pencapaian Kompetensi :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan peran dan fungsi surau dalam pewarisan,
pengembangan tradisi penaskahan Klasik Nusantara, serta pemeliharaannya.
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi jenis-jenis naskah yang terdapat di tengah-
tengah masyarakat (surau)
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara naskah dan teks kajian
filologi dengan lainnya
.
D. Materi
Surau sebagai Lembaga Pendidikan dan Peran serta Fungsinya dalam
Pewarisan, Pengembangan, dan Pemeliharaan Naskah Klasik Nusantara

Achadiati Ikram (1997:24) menjelaskan bahwa naskah tulisan tangan


(manuscript) adalah salah satu bentuk khazanah budaya, yang mengandung teks tertulis
mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat
masa lalu. Jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk peninggalan budaya material non-
tulisan di Indonesia, seperti candi, istana, masjid, dan lain-lain, jumlah peninggalan
budaya dalam bentuk naskah jauh lebih besar (Ahmad Rivauzi, 2014: 5).
Menurut Siti Baroroh Baried, dkk.,(1994:2), naskah, sesungguhnya menyimpan
makna dan dimensi yang sangat luas karena merupakan produk dari sebuah tradisi
panjang yang melibatkan berbagai sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu.
Naskah-naskah di Nusantara, baik yang ditulis dalam bahasa Arab, Melayu atau
Minangkabau di Sumatera Barat, menyimpan banyak informasi dan pengetahuan
berharga yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui dan memahami corak, dinamika,
perkembangan, dan bentuk serta sistem budaya dan khususnya pendidikan pada masa
lalu (Ahmad Rivauzi, 2014: 5-6).
Kekayaan khasanah tersebut banyak tersimpan pada lembaran-lembaran naskah-
naskah. Surau-surau yang ada di Sumatera Barat merupakan pilar yang sangat berperan
dalam mewariskan budaya penaskahan dan penyebaran pemikiran ke-Islaman, corak,
dinamika, perkembangan, dan bentuk serta sistem budaya Islam dan khususnya
pendidikan Islam pada masa lalu
Di Sumatera Barat juga masih terdapat surau dan masyarakat yang masih banyak
menyimpan naskah-naskah yang menjadi objek utama ilmu fiologi yang dapat dijadikan
rujukan dan referensi dalam menggali dan mengembangkan nilai-nilai pendidikan
Islam, terutama bagi mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan.
2
Pada masanya, surau telah memainkan peran yang strategis dalam pendidikan
Islam. Melalui kajian terhadap sumber-sumber sejarah dapat dipastikan bahwa
pendidikan Surau adalah lembaga pendidikan yang lahir dari rahim kultural
Minangkabau. Dalam kaitannya dengan model dan sistem pendidikan era awal di
Mingkabau, tidak mudah untuk melacaknya. Sejauh ini para sejarawan baru mampu
menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Islam di Minagkabau adalah surau yang
dirintis oleh Syekh Burhanuddin. Hal ini berlangsung pada akhir abad 17 di Ulakan
Pariaman. Sedangkan pada masa sebelumnya belum ada bukti yang dapat ditemukan
tentang sistem pendidikan Islam di Minagkabau (Ahmad Rivauzi, 2014:102)
Sebagaimana dijelaskan Azra, Burhanuddin merupakan ulama penting pertama
yang mendirikan surau sebagai pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan. Di sana ia
mengajarkan murid-muridnya dengan berbagai jenis disiplin ilmu Islam, dengan
prioritas pada pendidikan tashawwuf tarekat Syathāriyyah. Ketika murid-muridnya
menyelesaikan studinya, mereka kembali ke daerahnya masing-masing dan
menyebarkan Islam di sana. Alasan yang dipakai Azra adalah didasarkan kepada asumsi
bahwa Burhanuddin adalah seorang ulama yang memiliki pengetahuan agama yang
luas. Kualitas dan kompetensi keilmuan murid-muridnya hasil asuhannya juga tidak
diragukan dan keulamaannya diakui oleh masyarakat. Murid-muridnya yang masyhur
sering dikenal dengan sebutan “empat tuanku” dari daerah Agam. Menurut azra, dari
gelar empat tuanku ini kemudian muncul istilah Ampek Angkek (Azyumardi Azra, 2003:
44 dan 52). Penjelasan Azra ini tentu sangat bertentangan dengan penjelasan tambo
alam Minangkabau yang men jelaskan bahwa asal istilah Ampek Angkek bukanlah
diambilkan dari sebutan empat tuanku murid Burhanuddin, namun terambil dari pola
penyebaran masyarakat Minangkabau yang berasal dari pariangan Lereng Gunung
Merapi yang kemudian dalam penyebaran untuk wilayah agam berlangsung kepada
empat tahapan dan untuk satu tahapan terdiri dari empat kelompok pula (Ahmad
Rivauzi, 2014: 102-103). 1
Menurut Sidi Gazalba (1962: 291-295), surau atau langgar pada mulanya
merupakan unsur kebudayaan asli yang pada awalnya bangunan surau ini digunakan
untuk tempat pertemuan, berkumpul, rapat, dan tempat tidur para pemuda atau remaja
putra dan kadang juga dimamfaatkan oleh orang yang sudah kawin dan orang tua dan
sekaligus memiliki nilai kesakralan. Dalam kultur masyarakat Minangkabau, surau
1
Menurut Tambo Minangkabau, asal kata ampek angkek dari kata ampek-ampek angkek yang
artinya ampek-ampek (rombongan) sakali barangkek (migrasi). Kemudian lalu istilah ini menjadi nama
wilayah daerah (kecamatan) yang menjadi bermukimnya rombongan pertama, yakni Biaro, Balai Gurah,
Lambah dan Panampuang. Selanjutnya dapat anda perhatikan empat angkatan nenek moyang luhak Rang
Agam di bawah ini :Angkatan Pertama membuat empat nagari, yakni
: Biaro, Balaigurah, Lambah,dan Panampuang. Angkatan Kedua mendirikan nagari-nagari seperti
: Canduang, Kotolaweh, Kurai, dan Banuhampu. Angkatan Ketiga mandirikan nagari: Sianok, Koto
Gadang Guguak, dan Tabek Sarajo. Lalu Angkatan Keempat membangun pamukiman nagari
: Sariak, Sungaipua, Batagak dan Batu Palano. Disamping ampek angkek (empat angkatan), penduduk
Luhak Agam juga terdiri dari, yakni Lawang nan Tigo Balai dan Nagari sakaliliang Danau Maninjau.
Lawang nan Tigo Balai terdiri dari daerah : Matua-Palembayan, Malalak, Sungai Landie dan Nagari
sakaliliang Danau Maninjau adalah Maninjau, Sungai Batang, Sigiran, Tanjuang Sani, Bayua, Koto
Kaciak, Koto Gadang, Koto Mlintang, Paninjauan, Batu Kambang, Lubuak Basuang, dan Manggopohlm.
Lihat tambo Alam Minangkabau

3
adalah milik kaum atau indu atau paruik yang merupakan bagian dari suku. Surau dalam
fungsinya di atas, untuk daerah lain juga terdapat meunasah di Aceh, lobo untuk sebutan
di daerah Toraja Timur. Sidi Gazalba mengutip pandangan Zuber Usman yang
berpendapat bahwa kata surau diperkirakan terambil dari bahasa Arab “asy-syura” yang
berarti musyawarah. Hal ini dikarenakan fungsi surau yang dijadikan sebagai tempat
musyawarah atau tempat rapat dan tempat perayaan. Namun penting digaris bawahi
bahwa Sidi Gazalba memandang pendapat Zuber Usman adalah lemah. Karena surau
menurut ketentuan adat yang merupakan tempat rapat indu atau paruik yang sudah ada
pada masa sebelum Islam (Ahmad Rivauzi, 2014: 106)
Senada dengan pendapat di atas, Azra (1999:117, 2003:8) menegaskan, sebelum
Islam, surau merupakan bangunan kecil yang dibangun di puncak-puncak bukit, dataran
tinggi maupun di daerah-daerah pedesaan untuk penyembahan arwah nenek moyang.
Dalam perkembangan selanjutnya, Surau terintegrasi ke dalam struktur bangunan rumah
gadang (bangunan rumah tradisional Minangkabau) yang didirikan oleh suatu kaum dari
satu keturunan, dengan fungsi yang lebih luas yakni sebagai tempat menginap dan
berkumpul bagi kaum laki-laki (Ahmad Rivauzi, 2014: 106).
Berdasarkan pandangan Sidi Gazalba dan Azra di atas, maka dapat disimpulkan
Surau sebagai sesuatu bangunan yang terintegral dengan sistem kultural Minangkabau,
sudah ada dalam budaya Minangkabau jauh sebelum Islam datang. Namun penyebutan
bangunan tersebut sebagai surau yang terambil dari bahasa Arab, keberadaannya
beriring dengan proses Islamisasi Minangkabau pada abad ke 7 M. (Ahmad Rivauzi,
2014: 107).
Hal sama juga diungkapkan Azra (2003:7), “surau” sebagai sistem pendidikan
semacam pesantren, di Minangkabau tidak terlepas dari kerangka konsepsi alam
Minangkabau dalam hubungannya dengan proses islamisasi dan dinamika internal,
terutama keterkaitannya dengan aspek sosio-kultural (adat) dan perkembangan politik
(Ahmad Rivauzi, 2014: 107).
Namun dapat dipastikan, pada proses selanjutnya, setelah islamisasi memasuki
wilayah Minangkabau, Surau telah memainkan peranan penting dalam proses
islamisasi dalam dinamika yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Minangkabau. Pengetahuan keislaman dan moral diajarkan mengiringi perkembangan
adat yang berlaku, sehingga menjadikan manusia Minang bermoral dengan spirit adat
dan Islam (Budi Susanto, S.J. (ed.), 2008:57).
Sumber lain misalnya Kroeskamp (1931: 92) menyebutkan bahwa surau juga
berasal dari tradisi Adityawarman yang membuat bihara yang dijadikan sebagai tempat
orang-orang muda mempelajari adat dan agama budha serta untuk menyelesaikan
masalah-masalah sosial yang terdapat di Saruaso. Kata “saruaso” berasal dari dua kata,
yaitu surau dan aso yang artinya surau pertama. Setelah Islam berkembang, tradisi
surau dengan fungsi yang sama tetap dilanjutkan (Ahmad Rivauzi, 2014: 107).
Adalah Syekh Burhanuddin yang dianggap sukses dan berkemungkinan yang
pertama kali menerapkan prototype islamisasi melalui Surau dengan mendirikan sebuah
Surau di Ulakan Pariaman sekitar abad ke-17 (Elizabeth E. Graves, 2010:48-49).

4
Sebagaimana dinyatakan Taufik Hidayat (20102-3). Jika pendapat ini benar, maka Islam
telah memperkaya dan membentuk sejarah baru bagi fungsi Surau semenjak abad itu
dengan bermetamorfosa menjadi lembaga pendidikan keislaman (Ahmad Rivauzi, 2014:
107-108).
Zalnur (2002: 95) dan Mansoer Malik (1981:3-4) menjelaskan, surau dalam hal
fungsinya memiliki tiga peran, yaitu pertama sebagai lembaga keagamaan yang lebih
dimaksudkan sebagai masjid kecil yang di sana dilaksanakan berbagai kegiatan
keagamaan seperti shalat, dan kegiatan lainnya. Kedua sebagai lembaga pendidikan
yang dijadikan sebagai tempat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan agama, dan
ketiga berperan sebagai lembaga sosio-kultural yang berfungsi sebagai tempat tidur dan
bermusyawarah dalam tradisi masyarakat Minangkabau. Surau sebagai lembaga
pendidikan juga dapat disaksikan pada surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar
Payakumbuh (1777-1899 M) yang dipandang memiliki berbagai kelengkapan sebagai
lembaga pendidikan formal (Ahmad Rivauzi, 2014: 108).
Adapun sistem pendidikan surau sejauh penelusuran beberapa sumber,
sebagaimana digambarkan Azra (2003:98) bahwa surau tidak memiliki birokrasi formal
yang rumit seperti lembaga pendidikan pada abad ke 21 sekarang. Pola hubungan di
surau lebih diikat dan didasarkan kepada pola hubungan personal di antara para
penghuni surau. Pendidikan surau memiliki keunggulan dalam hal pendidikan sosial,
kultural, dan kepribadian. Hal ini sangat dimungkinkan karena tingkat interaksi yang
tinggi baik pada aspek kuantitas maupun kualitas antara guru dan murid dan semua
penghuni surau (Azra,2003:98). Dengan pola didikan demikian, perkembangan kualitas
diri peserta didik berkembang dengan seimbang antara intelektual, emosional dan
spiritual (Ahmad Rivauzi, 2014: 108).
Pada pendidikan surau tidak ada tingkat dan kelas khusus seperti membagi
peserta didik yang disesuaikan dengan jumlah tahun yang mereka habiskan di surau.
Tingkatan lebih didasarkan kepada tingkat kompetensi individual murid. Bagi murid
yang pintar dan rajin, mereka bisa lebih cepat menamatkan pelajaran dan bisa naik
tingkat lebih cepat. Sebelum kedatangan Belanda, murid belajar dan menulis di atas
kulit kayu, dengan alat tulis tradisional dan tanpa papan tulis serta meja. Setelah
kedatangan Belanda dan mengkonsilidasikan kekuasaannya, murid-murid di surau
mulai menulis pelajaran di atas batu tulis dengan grip, atau bagi sebagian murid,
menulis dengan pensil reguler di atas sejenis buku catatan yang sederhana (Azra,
2003:98; Deliar Noer, 1973: 44-45).
Muhammad Zalnur (2002:94) memaparkan bahwa kurikulum pendidikan pada
surau Burhanuddin Ulakan pada abad 17 M., lebih berfokous kepada pendidikan tarekat
dan hukum-hukum syar’i (fiqih). Sebagaimana diungkapkan Dobbin, tarekat dan
tashawwuf lebih memberikan jalan dakwah yang sangat persuasif dan kondusif pada
masa itu (Christine Dobbin, 1992:142-145). Hukum-hukum syari’at yang diajarkan
adalah dasar-dasar keislaman (rukun Islam, rukun iman, dan sejumlah amalan-amalan.
Berikutnya hukum-hukum yang berhubungan dengan manusia seperti mawaris,
perkawinan dan lainnya. Zalnur (2002:95) belum menempatkan surau Burhanuddin
sebagai sebuah sistem pendidikan yang utuh. Pada hal jika dikritisi tentang kapasitas

5
keilmuan murid-muridnya yang menjadi out put pendidikan suraunya yang berkapasitas
sebagai ulama-ulama yang mumpuni, dapat dipastikan bahwa pada surau Burhanuddin
juga diajarkan berbagai kitab-kitab kuning (Ahmad Rivauzi, 2014: 109).
Selain surau Burhanuddin Ulakan, surau Burhanuddin Kuntu Kampar jelas jauh
lebih awal. Menurut penuturan Mahmud Yunus, dia wafat Tahun 1191 M. Dia mengajar
di Batu Hampar 10 tahun, di Kumpulan 5 tahun, di Ulakan Pariaman 15 tahun , dan
terakhir di Kuntu Kampar 20 tahun sampai dia wafatnya. Tidak ditemukan informasi
yang lengkap tentang kurikulum pendidikannya, kecuali Sebagai peninggalan
Burhanuddin Kuntu didapati sampai sekarang sebuah stempel dari tembaga dengan
tulisan Arab, sebelah pedang, sebuah kitab yang bernama Fathul Wahab karangan Abi
Yahya Zakaria Anshari (Mahmud Yunus, 1979: 21)
Menurut Latief (1988:73-75), sebagai dikutip Rivauzi (2014: 110), pada
pendidikan surau setidaknya terdapat dua tingkatan. Tingkatan pertama, memberikan
pelajaran dasar seperti membaca al-Quran serta teori dan praktek ibadah. Ini pada
umumnya terdapat pada surau-surau suku di nagari-nagari di Minagkabau atau di
rumah-rumah guru yang bersangkutan. Pelajaran al-Quran dimulai dengan pelajaran
menghafal ayat-ayat dan surat pendek, kemudian dilanjutkan dengan pelajaran
membaca al-Quran yang diawali dengan pengenalan huruf-huruf al-Quran, dilanjutkan
dengan tajwid dan lagu serta irama. Di samping itu juga diajarkan menterjemahkan al-
Quran, ibadah; thaharah dan shalat. Pendidikan tingkat pertama ini diikuti oleh anak-
anak yang berumur antara 6 sampai 12 tahun, baik bersama-sama atau secara terpisah
antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Pembiayaan pendidikan dibeankan
kepada murid sebatas iyuran untuk membeli minyak lampu. Guru tidak dibayar atau
digaji. Pada hari idil fithri biasanya murid-murid menyerahkan zakat fithrah kepada
guru tersebut. Atau adakalanya guru sekedar mendapat buah tangan dari murid-
muridnya bila mereka datang dari kampung halamannya.
Tingkat kedua dari pendidikan surau ini, diberikan pelajaran kitab seperti ilmu
tauhid, fiqih, tafsir, hadis, tshawuf, bahasa Arab, dan ilmu mantiq. Pengajian kitab
seperti ini diberikan pada surau-surau yang memiliki seorang syekh atau sesorang yang
berkaliber ulama. Murid-muridnya biasanya sudah berusia di atas 12 tahun yang datang
dari anak-anak sekitar surau atau datang dari tempat-tempat yang jauh. Semakin luas
keilmuan guru tersebut, akan semakin banyak pula murid-murid yang datang sehingga
kemudian didirikan surau-surau lain di sekitar surau induk. Biasanya syekh mengajar
pada pagi hari setelah shalat subuh berjama’ah, kemudian murid-murid duduk
melingkar (halaqah), guru membacakan sebuah kitab berbahasa Arab (kitab gundul atau
kitab kuning) dalam ilmu tertentu, menterjemahkannya dan menjelaskan maksudnya
serta menjawab pertanyaan-pertanyan dari muridnya. Pada waktu lainnya, sore dan
malam hari, para pelajar mengulangi pelajaran mereka di bawah bimbingan guru tua
(guru tuo). Untuk para pelajar senior diberikan pula kesempatan untuk berdebat atau
munazharah. Pada munazharah ini, syekh berperan sebagai hakim atau penengah dan
memberikan penjelasan terhadap kebuntuan dari diskusi murid-muridnya.
Pada pendidikan surau tidak ada sistem kelas dan ketentuan batas waktu lama
belajar. Tingkatan pelajar biasanya Cuma ditentukan oleh tingkatan kitab yang

6
dipelajarinya. Jika mau, murid boleh pindah ke surau lain tau tetap di surau gurunya
sampai kapanpun. Tidak ada sistem ijazah dan ujian seperti halnya pendidikan hari ini.
Seleksi dan evaluasi semuanua bersifat alami dan informal, yang rajin akan mendapat
ilmu, yang malas akan ketinggalan (Latief,1988:75). Penting juga ditegaskan di sini,
walaupun murid diberikan kebebasan untuk pindah dan mengaji di surau lain, namun
keterikatan antara murid dan syekhnya sangat kuat sekali. Sehingga tidak ada istilah
mantan guru dan mantan murid seperti yang sering didengar pada masa sekarang ini.
Sekali seseorang berguru, maka sampai matinya dia akan tetap menganggapnya guru
dan biasanya akan selalu menjadikan syekhnya itu sebagai gurunya sampai matinya
(Ahmad Rivauzi, 2014: 111)..
Ilmu agama yang diajarkan di surau-surau Minangkabau pada abad 19 adalah
ilmu fiqih dan penting digaris bawahi bahwa kitab fikih yang umumnya dipakai adalah
fikih mazhab Syaf’i. Dengan demikian, perbedaan paham keagamaan tidak ada sampai
awal abad 20 (Latief,1988:75).
Gelar atau sebutan yang dipakaikan kepada pelajar dan guru-guru agama pada
abad 19. Sebutan “Tuanku Nan Tuo” untuk ulama yang dianggap sebagai ulama besar
yang juga disebut “syaikh” atau “inyiak”. Di bawahnya sebutan “tuanku”. Sedangkan
assistenya disebut “guru tuo”. Murid senior biasanya disebut “angku mudo” dan semua
pelajar di surau disebut “urang siak”. Sedangkan sebutan malin, labai, kari, qadhi,
khatib, imam, bilal, dan pakiah merupakan gelar-gelar resmi bagi ahli agama yang
menjabat pada pemerintahan tingkat suku maupun tingkat nagari dalam tatanan adat (M.
Sanusi Latief, 1988:78).
Tabel 2: Pendidikan Surau Terkemuka di Sumatera Barat Abad 17-19 M.
NO Lembaga Tahun Ket
Pendidikan
1 Surau Burhanuddin Abad 12 M Wafat Tahun 1191 M
Kuntu Mengajar
a. Batu Hampar 10 tahun
b. Kumpulan 5 tahun
c. Ulakan Pariaman 15 tahun
Kuntu Kampar 20 tahun
2 Surau Burhanuddin 1680-1691 M 1066 – 1111 H/ 1691 M
Ulakan Abad 17 M Mulai mengajar 1100 H (1680 M) s/d 1691 M =
11 tahun
3 Tuanku Mansiang Abad 17/18 Murid Burhanuddin
Nan Tuo
Paninjauan
4 Tuanku Nan Tuo Belajar di Makkah, ahli Mantiq, Ma’ani
Rao
5 Tuanku Nan Kacik Murid Tuanku Nan Tuo Rao, ahli Mantiq, Ma’ani
Koto Gadang
6 Tuanku di Sumanik Belajar di Aceh, ahli hadis, tafsir, dan faraidh
7 Tuanku di Talang Ahli sharaf
Tuanku di Koto Ahli nahu
Baru Kubung tigo
baleh
8 Tuanku Nan Tuo 1723-1830 Belajar agama dari Tuanku Mansiang Nan Tuo

7
NO Lembaga Tahun Ket
Pendidikan
Empat Angkat Koto Abad 18-19 M Paninjauan, Tuanku Kamang, Tuanku Sumanik,
Tuo Dianggap Tuanku nan Kaciak Koto Gadang
Pembaharu I
9 Jalaluddin Faqih Wafat 1870 M Mendirikan Surau Cangkiang, di Nagari Candung
Sagir Koto Laweh. Dia adalah murid Tuanku Nan Tuo
Empat Angkat Koto Tuo Abad 18
Tabel diambil dari Ahmad Rivauzi (2014: 112-113)
E. Alat dan Bahan :
Alat dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah ini
adalah menggunakan alat perekam seperti kamera atau Handphone, buku catatan,
pena, lembar observasi, dan pedoman wawancara.
Hal yang harus dipersiapkan adalah:
1. Alat perekam seperti kamera atau Handphone
2. Buku catatan
3. Pena,
4. Lembar observasi
5. Lembar pedoman wawancara
6. Transportasi (bus).
7. Masker sebanyak jumlah mahasiswa.
8. Kuas ukuran menegah sebanyak kelompok lapangan yang dibagi.
9. Meteran sebanyak kelompok yang dibagi.
10. Konsumsi.
11. Cendramata untuk Khalifah/pewaris.
F. Langkah Kerja :

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pelaksanaan praktikum adalah:


1. Sebelum Praktikum

a. Dosen memberikan gambaran secara umum materi Surau sebagai


Lembaga Pendidikan dan Peran serta Fungsinya dalam Pewarisan,
Pengembangan, dan Pemeliharaan Naskah Klasik Nusantara.
b. Dosen membagi mahasiswa dalam beberapa kelompok dengan anggota per
kelompok antara 4-5 orang.
c. Membuat lembar observasi untuk pelaksanaan praktikum (terlampir)
d. Membuat pedoman wawancara terkait dengan tugas kelompok masing-
masing (terlampir)
e. Membuat Scedule pelaksanaan kegiatan

8
2. Pelaksanaan Praktikum :

Praktikum dilakukan dalam bentuk Kuliah Lapngan Selama 1 hari. Langkah-


langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa melakukan observasi dan wawancara di lapangan : Mahasiswa
mencari data sekunder dan primer terkait dengan topik tugas masing-masing
kelompok, sebagai bagian dari proses melakukan tugas edisi teks dibimbing
oleh dosen mata kuliah.
b. Mahasiswa membuat rekaman dalam bentuk video, Foto, catatan lapangan
tentang:
1) Kegiatan di lapangan
2) Membuat catatan lapangan tentang aspek kodikologi, tekstologi, dan
paleografi dari dokemen naskah yang ditemukan di lapangan
 Fokus observasi pada aspek kodikologi meliputi tentang rubrikasi,
iluminasi dan ilustrasi naskah, Kertas / alas naskah, cap kertas dll
 Aspek tekstologi misalnya sejarah teks, kandungan isi, dll.,
 Palegrafi misalnya aspek berkaitan dengan aksara, bahasa dll.
c. Melakukan diskusi hasil temuan lapangan dengan dosen pembina mata
kuliah Filologi Islam.
d. Dosen memberikan arahan dan pemecahan masalah yang dihadapi
mahasiswa dalam mengumpulkan data di lapangan.
e. Lanjutan pengumpulan data yang masih diperlukan untuk melengkapi
kekurangan data lapangan.
3. Sesudah Praktikum

a. Mahasiswa membuat draft laporan akhir dan mendiskusikannya dengan


dosen pembina mata kuliah Filologi Islam
b. Mahasiswa membuat power point untuk presentasi di kelas.
c. Mahasiswa melakukan pembuatan tugas edisi teks naskah/menyunting
naskah berdasar teori-teori filogi (aspek kodikologi, tekstologi, dan
paleografi), dan teori lainnya.
G. Pembahasan (Hasil Temuan)

1. Masing-masing kelompok diberikan waktu untuk presentasi selama 15 menit


di kelas.
2. Mahasiswa diminta untuk memberikan masukan pada setiap kelompok yang
presentasi.

9
H. Kesimpulan

1. Mahasiswa mengambil intisari dari hasil diskusi dalam kelas terkait dengan
topik masing-masing kelompok.
2. Mahasiswa memperbaiki laporan hasil temuan sesuai dengan masukan dari
kelompok lain dan dosen mata kuliah Filologi Islam
3. Mahasiswa membuat Laporan akhir dan menyerahkannya ke dosen mata kuliah
Filologi Islam.
4. Mahasiswa mengumpulkan tugas edisi teks naskah/menyunting naskah
berdasar teori-teori filogi (aspek kodikologi, tekstologi, dan paleografi), dan
teori lainnya.
REFERENSI
1. Ahmad Rivauzi, Pemikiran Abdurrauf Singkel tentang Pendidikan dan Implikasinya Pada
Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (Disertasi),
Padang: Pascasarjana IAIN IB Padang, 2014
2. Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, disunting oleh Titik Pudjiastuti dkk.
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1997)
3. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
4. Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi, (Jakarta:Logos`Wacana Ilmu, 2003) Cet I
5. Budi Susanto, S.J. (ed.) Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2008), 57.
6. Christine Dobbin, Islamic Revivalism ini a Changing Peasant Economy Central
Sumatra, 1784-1847, penj: Lilian D. Tedjasudana, Judul Terjemahan,
Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berobah, Sumatera
Tengah, 1784-1847, (Jakarta: INIS, 1992)
7. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942,
(Singapure: 1973) h 44-45
8. Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the
Nineteenth Century (Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd, 2010), 48-
49.
9. Kroeskamp, De Weskuten Minangkabau (1665-1668), Utrecht, 1931, hlm. 92.
Dan Irhash A Shamad, Islam dan Praksis Kulktural, h 34-35
10. M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, (Disertasi), Jakarta:
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988),
11. Mahmud Yunus Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1979,
12. Mansoer Malik, Syekh Abdurrahman (1777-1899), dalam Edwar (ed) Riwayat
Hidup dan Perjuangan Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Center,
1981)
13. Muhammad Zalnur, Surau; Kajian Historis Lembaga Keagamaan dan Sosio-
Kultural Tradisional di Minangkabau (Tesis), (Padang: Program Pascasarjana
IAIN IB Padang, 2002),

10
14. Muhammad Zalnur, Surau; Kajian Historis Lembaga Keagamaan dan Sosio-
Kultural Tradisional di Minangkabau (Tesis), (Padang: Program Pascasarjana
IAIN IB Padang, 2002
15. Sidi Gazalba, Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Antara,
1962
16. Siti Baroroh Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi, (Yokyakarta: Badan
Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada, Cetakan II, 1994)

11
Lampiran 1. Lembaran Observasi
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM MATA KULIAH FILOLOGI ISLAM
Pokok Bahasan : Peran dan Fungsi Surau dalam Pewarisan, Pengembangan dan
Pemeliharaan Naskah Klasik Nusantara dalam Kedudukannya
sebagai lembaga pendidikan Islam Tradisional
Materi Tugas :
a. Memaparkan bentuk-bentuk peran dan fungsi surau sebagai pusat central
pendidikan Islam masa silam dalam pewarisan, pengembangan tradisi
naskah Klasik Nusantara, serta pemeliharaannya.
b. Mengidentifikasi bentuk dan jenis-jenis naskah yang terdapat di tengah-
tengah masyarakat (surau)
c. menjelaskan perbedaan antara naskah dan teks yang menjadi objek
kajian filologi dengan lainnya
Nama Mahasiswa :…………………………………………………………………

Nim :…………………………………………………………………

Objek Deskripsi Lokasi/


Pengamatan Keterangan
Waktu
Aktor Organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dll

Setting Surau, masyarakat, rumah, naskah dll

Aktivitas 1. Diskusi dan wawancara mendalam


2. Membuat rekaman dalam bentuk video, Foto,
catatan lapangan tentang aspek kodikologi,
tekstologi, dan paleografi dari dokumen naskah
yang ditemukan di lapangan
 Fokus observasi pada aspek kodikologi meliputi
tentang rubrikasi, iluminasi dan ilustrasi naskah,
Kertas / alas naskah, cap kertas dll
 Aspek tekstologi misalnya sejarah teks, kandungan
isi, dll.,
 Palegrafi misalnya aspek berkaitan dengan aksara,
bahasa dll.
3.

12
Perilaku 1. Bentuk-bentuk peran dan fungsi surau sebagai
pusat central pendidikan Islam masa silam dalam
pewarisan, pengembangan tradisi naskah Klasik
Nusantara, serta pemeliharaannya.
2. Bentuk-bentuk dan jenis-jenis naskah yang
terdapat di tengah-tengah masyarakat (surau)
3. Perbedaan antara naskah dan teks yang menjadi
objek kajian filologi dengan lainnya

13
Lampiran 2. Panduan Wawancara Mendalam
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM
PRAKTIKUM MATA KULIAH FILOLOGI ISLAM

A. Identitas Informan
a. Nama :
b. Tempat/Tgl Lahir :
c. Pendidikan :
d. Pekerjaan :
e. Status dalam Masyarakat :
f. Status dalam lembaga :
g. Tempat/Waktu Wawancara :

B. Jenis Pertanyaan yang harus diajukan


1. Pertanyaan deskriptif
2. Pertanyaan struktural
3. Pertanyaan kontras

C. Pertanyaan Pokok (setidaknya, mencakup)

1. Bentuk-bentuk peran dan fungsi surau sebagai pusat central pendidikan Islam
masa silam
2. Pewarisan, pengembangan tradisi naskah Klasik Nusantara, serta
pemeliharaannya.
3. Bentuk-bentuk dan jenis-jenis naskah yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat (surau)

14
Lampiran 3. Catatan Lapangan
CATATAN LAPANGAN
PRAKTIKUM MATA KULIAH FILOLOGI ISLAM
A. Identitas Informan :
Nama
Tempat/tgl lahir
Pekerjaan
Status dalam Masyarakat
Status dalam organisasi
Tempat/Waktu
Wawancara

B. Informasi yang diperoleh :


Catatan tentang tema-tema ……………………………………………………...
pokok yang disampaikan
informan tentang pokok ……………………………………………………...
persoalan yang ……………………………………………………...
dipertanyakan
……………………………………………………...
Catatan tentang detail ……………………………………………………...
informasi yang
disampaikan informan, ……………………………………………………...
terutama berkenaan ……………………………………………………...
dengan pertanyaan
pendalaman yang diajukan ……………………………………………………...
pewawancara.
Catatan lapangan ini ……………………………………………………...
adalah rekaman
wawancara dan merupakan ……………………………………………………...
tugas individual bagi ……………………………………………………...
setiap mahasiswa yang
melaksanakan praktikum ……………………………………………………...
di lapangan.

15
Lampiran 4. Kartu Kendali Praktikum

KARTU KENDALI PRAKTIKUM MATA KULIAH FILOLOGI ISLAM


Pokok Bahasan : Peran dan Fungsi Surau dalam Pewarisan, Pengembangan dan
Pemeliharaan Naskah Klasik Nusantara dalam Kedudukannya
sebagai lembaga pendidikan Islam Tradisional
Materi Tugas : …………………………………………………………………
Nama Mahasiswa : …………………………………………………………………
Nim : …………………………………………………………………
Jenis Praktikum : Kuliah Kerja Lapangan (KKL)
Dosen Pembina : 1. Dr. Ahmad Rivauzi, S.PdI., MA (4536)
2. Chairullah, MA.Hum

Kegiatan Hari/Tanggal Materi Capaian Paraf


Penugasan Penyelesaian Dosen
Sebelum
Praktikum

Pelaksanaan
Praktikum

Setelah
Praktikum

Hasil Temuan

Kesimpuan

Padang, ………..20..
Ketua Ketua Labor Dosen Pembina MK
Jurusan IAI Jurusam IAI Filologi Islam

Dr. Ahmad Rivauzi, MA ……………………. ……………………..


NIP 19770513 200812 1 001

16

Anda mungkin juga menyukai