Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

METODE PENELITIAN FILOLOGI

Diajukan sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Teori Filologi

Dosen Pengampu: Dr. Dedi Supriadi, S.Ag, M.Hum.

Disusun Oleh:

Aviah Nurhasanah (1215020034)


Maya Septiana (1215020100)
Miftah Fadhlurrohman(1215020102)
Muhamad Hilal Adriansyah (1215020112)
Muhammad Abdul Mu’iz (1215020116)
Muhammad Fadlan Hilmy (1215020121)
Muhammad Fathur Akbar (1215020123)
Muhammad Fauzi Herdiansyah (1215020124)
Novi Yunita (1215020150)
Rifqi Muhammad Firdaus (1215020176)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, shalawat serta salam kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Atas berkat karunia-Nya, kami telah selesai menyusun makalah yang berjudul “Metode
Penelitian Filologi".

Makalah ini kami susun guna menyelesaikan tugas kelompok dari mata kuliah Teori
Filologi yang diampu oleh Dr. Dedi Supriadi, S.Ag, M.Hum.

Dalam penyusunan, kami mengambil sumber dari beberapa literatur, Pembacaan


mungkin akan menemukan beberapa kekurangan dan kesalahan penulis dalam makalah ini,
oleh karena itu kami senantiasa mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
perbaikan di masa yang akan datang.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih pada seluruh pihak yang ikut membantu
dalam penyelesaian makalah ini sehingga dapat terlaksana tepat waktu akhir kata, semoga
makalah ini menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Bandung, 22 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3
A. Pengertian Metode Penelitian...............................................................3
B. Objek Penelitian Filologi.....................................................................3
C. Metode Penelitian Filologi………………….......................................6
D. Proses Penelitian Filologi………………………………………........14
E. Contoh Pengaplikasian Metode Penelitian Filologi……………...…25
BAB VI PENUTUP.....................................................................................35
A. Kesimpulan.........................................................................................35
B. Saran...................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................36

iii
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah

Filologi bukanlah ilmu yang baru tumbuh kemarin. Sebagai sebuah metode,
filologi telah ada bahkan sejak abad sebelum masehi. Filologi memiliki track record yang
cukup panjang hingga menjadi sebuah disiplin ilmu seperti saat ini. Track record inilah
yang kita sebut dengan sejarah perkembangan.

Sejak sebelum abad 14, Indonesia telah mengenal dunia tulisan. Budaya ini
ditularkan oleh kebudayaan Hindu dan Budha yang memang telah lebih dulu mengenal
dunia tulis menulis. Ketika agama Islam mulai masuk ke Indonesia, peninggalan serupa
juga banyak ditemukan. Dan pada abad 19 bangsa Kolonial Belanda mulai masuk dan
menjajah Indonesia. Kedatangan penjajah ke Indonesia juga dibarengi dengan usaha
penyebaran agama Kristen kepada pribumi. Salah satu penyebaran agama kristen itu
ditandai dengan usaha menyebarkan Alkitab dengan bahasa pribumi agar bisa menarik
perhatian. Dalam abad ini ditemukan manuskrip berupa terjemahan bibel ke dalam bahasa
Melayu, Jawa, dsb.

Pada masa modern, peninggalan-peninggalan manuskrip ini diteliti oleh para


sarjana dan peneliti. Manuskrip tersebut banyak ditemukan yang telah tidak utuh lagi,
misalnya naskah tersebut telah rusak atau bahkan sudah tidak bisa terbaca lagi. Dalam hal
ini berperanlah filologi yaitu ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno. Dalam meneliti
naskah tersebut kita menggunakan metode-metode yang sesuai.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diperoleh beberapa rumusan masalah:
a. Apa itu penelitian filologi?
b. Apa saja objek penelitian filologi?
c. Apa saja metode penelitian filologi?
d. Bagaimana proses penelitian filologi?
e. Bagaimana pengaplikasian metode penelitian filologi?
1
c. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diperoleh beberapa tujuan penyusunan:

a. Untuk mengetahui apa itu penelitian filologi


b. Untuk mengetahui objek penelitian filologi
c. Untuk mengetahui metode penelitian filologi
d. Untuk mengetahui proses penelitian filologi
e. Untuk mengetahui cara pengaplikasian metode penelitian filologi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Penelitian

Metode penelitian adalah serangkaian langkah sistematis yang digunakan oleh para
peneliti untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi penelitian mereka dengan
tujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian, mengumpulkan data, menganalisis data, dan
menyusun temuan atau kesimpulan. Metode penelitian memberikan kerangka kerja yang
terstruktur untuk mendekati masalah penelitian dan menghasilkan informasi yang dapat
diandalkan dan relevan.

Sedangkan filologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mendalami bahasa, sastra, dan teks
kuno dengan tujuan untuk memahami dan mengungkapkan makna serta nilai budaya yang
terkandung di dalamnya. Dalam studi filologi, metode penelitian memainkan peran kunci
dalam mengurai kompleksitas teks-teks kuno dan modern serta merinci konteks historis,
sosial, dan budaya di mana teks-teks tersebut muncul. Metode penelitian filologi menjadi
fondasi yang esensial untuk membantu kita mengungkap sejarah, perkembangan bahasa, dan
sastra dari masa lalu.

Jadi, metode penelitian filologi adalah serangkaian pendekatan, teknik, dan prosedur
penelitian yang digunakan untuk mengungkap, menganalisis, dan memahami teks-teks
tertulis, bahasa, dan sastra dengan fokus pada aspek linguistik, sejarah, dan budaya. Metode
penelitian filologi digunakan oleh para ahli filologi untuk memahami konteks, struktur,
makna, dan perubahan dalam teks-teks tertulis, serta untuk menggali pemahaman yang lebih
dalam tentang budaya yang melingkupi teks tersebut.

B. Objek Penelitian Filologi


Dalam kajian filologi penelitian ini menggunakan dua objek, yaitu objek material
dan objek formal. Objek material adalah suatu hal yang menjadi objek dalam bidang
ilmu. Sedangkan objek formal adalah aspek atau sudut pandang suatu ilmu dalam melihat
objek ilmu dan sebagainya.
- Objek Material

3
Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks, yang mengacu pada materi
tertulis dalam bentuk naskah atau teks klasik. Naskah dalam konteks penelitian
filologi merujuk pada materi tertulis yang ditulis dengan tangan dan menggunakan
aksara non-latin. Aksara non-latin adalah sistem penulisan atau tulisan yang berbeda
dari alfabet Latin yang umum digunakan dalam bahasa Inggris dan sebagian besar
bahasa Eropa. Beberapa contoh aksara non-latin yang dimaksud termasuk Arab,
Melayu, Pranagari, Kawi, Lontara, Batak, Kaganga, dan lain-lain. 1

Naskah-naskah ini seringkali ditulis dalam bahasa daerah, yang mencakup


berbagai bahasa yang ada di wilayah Indonesia. Bahasa daerah meliputi seluruh
bahasa asli atau etnik yang digunakan di berbagai wilayah di Indonesia. Contoh
bahasa daerah yang sering menjadi objek penelitian filologi termasuk bahasa Melayu,
Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bugis, dan banyak lainnya. Penelitian filologi
pada naskah dan teks ini bertujuan untuk memahami, menganalisis, dan
mengungkapkan makna serta karakteristik bahasa dan budaya yang terkandung dalam
naskah-naskah ini.

Dalam penelitian filologi, para peneliti sering menghadapi tugas rumit dalam
membaca dan menganalisis naskah yang ditulis dalam aksara non-latin dan dalam
bahasa daerah. Mereka harus menguasai keterampilan dalam membaca,
menterjemahkan, dan memahami konteks budaya serta sejarah yang terkait dengan
teks-teks ini. Penelitian filologi memiliki peran penting dalam memelihara,
memahami, dan mempromosikan warisan budaya dan bahasa daerah di Indonesia dan
wilayah lain yang menggunakan aksara non-latin.

- Objek Formal

Objek penelitian filologi melibatkan berbagai aspek bahasa, sastra, dan teks
tertulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa lain, serta melibatkan
pemahaman budaya dan sejarah yang terkait dengan teks-teks tersebut. Berikut adalah
beberapa contoh objek penelitian filologi bersama dengan referensi Indonesia:

1. Analisis Struktur Bahasa Indonesia: Penelitian ini bisa melibatkan analisis tata
bahasa, frasa, atau struktur kalimat dalam bahasa Indonesia. Referensi: Buku
"Struktur Bahasa Indonesia" oleh Chaer, Abdul (2009).

1
Nurizzati, metode-metode penelitian filologi, (IKIP padang 1998) hal 9
4
2. Sejarah Bahasa Indonesia: Studi ini dapat menelusuri perkembangan bahasa Indonesia
dari masa ke masa. Referensi: "Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia" oleh
Moeliono, Anton M. (1988).

3. Analisis Sastra Indonesia Klasik: Penelitian ini dapat memfokuskan pada sastra klasik
Indonesia seperti "Serat Centhini" atau "Mahabharata." Referensi: "Serat Centhini:
Karya Sastra Masyarakat Jawa Abad 17-18" oleh Poerbatjaraka (1998).

4. Analisis Puisi Modern Indonesia:Penelitian ini bisa melibatkan analisis puisi modern
Indonesia, seperti karya-karya Chairil Anwar atau Taufiq Ismail. Referensi:
"Kumpulan Puisi Chairil Anwar" oleh Anwar, Chairil (1993).

5. Penelitian Historis pada Teks-Teks Masa Kolonial: Studi ini dapat memeriksa teks-
teks sejarah atau literatur dari masa kolonial di Indonesia. Referensi: "Teks-Texts
Terpilih Dari Abad 16, 17, 18, 19" oleh H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud (1985).

6. Studi Komparatif Sastra ASEAN:Penelitian ini dapat membandingkan sastra


Indonesia dengan sastra dari negara-negara tetangga ASEAN. Referensi: "Puisi
ASEAN: Antologi Puisi" oleh Toeti Heraty, dkk. (2011).

7. Analisis Wacana Politik dalam Media Indonesia: Penelitian ini memeriksa bagaimana
bahasa dan retorika digunakan dalam media untuk tujuan politik. Referensi: "Media
and Political Discourse in Indonesia" oleh Ratna Djuwita (2013).

8. Penerjemahan Sastra Asing ke dalam Bahasa Indonesia: Studi ini mengeksplorasi


perubahan makna dan tantangan dalam menerjemahkan karya sastra asing ke dalam
bahasa Indonesia. Referensi: "Translation and Creativity: Perspectives on Creative
Writing and Translation Studies" oleh Khalil, Muhammad Haji (2018).

9. Analisis Mitologi dalam Sastra Indonesia: Penelitian ini dapat memeriksa unsur
mitologis dalam sastra Indonesia dan bagaimana mitos-mitos tradisional terwujud

5
dalam karya sastra. Referensi: "Mitologi dalam Puisi Chai ril Anwar" oleh Nasrullah,
Arief (2010).

10. Penggunaan Teknologi dalam Mempelajari Teks-Teks Lama: Bagaimana teknologi


digital digunakan untuk mendigitalkan, menganalisis, dan melestarikan teks-teks lama
dalam bahasa Indonesia. Referensi: "Digital Manuscript Libraries in Indonesia" oleh
P.J.A. Schonhage (2018).

Objek penelitian filologi Indonesia sangat beragam, dan ada banyak topik menarik yang
dapat dijelajahi dalam bidang ini dengan menggunakan pendekatan yang berbeda sesuai
minat dan fokus peneliti.

C. Metode Penelitian Filologi


1. Macam-macam Metode Penelitian

Dalam metode penelitian filologi, ada dua model pemikiran yang berkembang, berikut
penjelasan mengenai dua pemikiran tersebut :

a. Metode Penelitian Filologi Berdasarkan Objek Penelitian

Berbeda dengan disiplin ilmu lain, dalam penelitian filologi, model pemikiran
pertama menetapkan metodenya setelah karakteristik objek penelitian, yaitu karakter
naskah, diketahui. Di disiplin ilmu lain, metode penelitian biasanya dipilih setelah
permasalahan penelitian sudah terdefinisi dengan jelas. Dengan kata lain, setelah
proposal penelitian selesai disusun, metode yang telah ditentukan cenderung tidak
mengalami perubahan yang signifikan selama tahap diskusi berikutnya. Namun,
dalam studi filologi, objek atau permasalahan harus dipahami dan dikenali dengan
baik sebelum metodenya dapat ditentukan. Peneliti harus melakukan pembacaan,
pengkajian, dan deskripsi rinci tentang fisik naskah sebelum mereka dapat memilih
metode yang sesuai dengan karakteristik naskah. Hingga tahap ini, peneliti filologi
telah melalui sekitar 40% proses penelitian mereka, dan jika diukur dari hasil yang
konkret, penelitian filologi mencapai bab 2.

Penelitian filologi, menurut model pemikiran pertama, sebenarnya mencakup dua


bidang, yaitu penelitian naskah dan kajian teks. Bidang terakhir ini adalah kajian

6
filologi itu sendiri. Secara teoritis, pelaksanaan penelitian pada kedua bidang ini akan
menghasilkan studi filologi yang komprehensif. Namun, pada awal-awal
perkembangan filologi di Indonesia, banyak penelitian yang hanya berfokus pada
bidang pertama, yaitu penelitian naskah. Penelitian ini seringkali dilakukan oleh
mereka yang memiliki minat terhadap warisan budaya kuno, khususnya naskah-
naskah klasik. Tujuannya utamanya adalah melestarikan naskah agar tidak hilang
begitu saja dengan cara menginventarisasi dan mendeskripsikan fisik naskah secara
sangat detail. Di bawah ini adalah jenis-jenis metode penelitian filologi menurut
model pemikiran yang pertama.

a) Metode penelitian naskah

Metode penelitian Naskah merupakan metode yang digunakan untuk melakukan


penelitian dalam bidang pertama, yaitu naskah, dalam konteks filologi. Metode ini
dikenal sebagai metode deskriptif. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, deskriptif
merujuk pada penjelasan atau penggambaran yang sangat rinci dan jelas tentang objek
penelitian. Oleh karena itu, penggunaan metode deskriptif bertujuan untuk
memberikan gambaran yang mendetail tentang keadaan naskah berdasarkan apa yang
dapat diamati dengan jelas.

Secara praktis, penerapan metode deskriptif dimulai sejak penentuan naskah atau
permasalahan yang akan diselidiki. Dalam tahap ini, peneliti melakukan pencarian
informasi yang berkaitan dengan naskah tersebut. Hal ini dapat mencakup
pemeriksaan katalogus naskah, serta referensi ilmiah lainnya mengenai naskah,
seperti jurnal yang membahas naskah kuno, analisis ilmiah yang telah dilakukan oleh
ahli filologi, dan buku-buku yang khusus membicarakan naskah tersebut. Setelah ini,
proses inventarisasi naskah dilakukan.

Inventarisasi naskah mengharuskan peneliti untuk membandingkan naskah-


naskah, dengan tujuan umum untuk mengklasifikasikannya. Klasifikasi naskah
dilakukan dengan mengelompokkan data berdasarkan kondisinya sehingga dapat
ditempatkan sebagai data primer atau sekunder. Data primer umumnya mengacu pada
naskah yang akan dipilih untuk diterbitkan, terutama jika terdapat banyak naskah
dengan sejarah salinan yang bercampur (naskah yang tidak dipilih atau disisihkan
menjadi data sekunder). Data sekunder bisa mencakup salinan langsung dari naskah

7
terpilih, transliterasi dari salah satu naskah terpilih, atau naskah yang merupakan versi
yang berbeda.

Langkah terakhir dalam menerapkan metode deskriptif adalah membuat deskripsi


naskah. Deskripsi ini harus memberikan gambaran yang sangat jelas dan rinci tentang
naskah tersebut. Minimal terdapat 16 aspek yang perlu dijelaskan dalam proses
deskripsi naskah. Secara keseluruhan, metode deskriptif dapat dibagi menjadi enam
tahap: 1) penentuan naskah atau masalah, 2) pencarian informasi tentang naskah, 3)
inventarisasi naskah, 4) perbandingan antara naskah, 5) klasifikasi data atau naskah,
dan 6) deskripsi naskah.

b) Metode Kajian Teks


Metode kajian teks disebut jga meode kritik teks, atau metodologi filologi
tradsional. Disebt metode filologi tradisional disebabkan metode-metode ini telah ada
dan digunakan sejaaba ke-3 SM Oleh sarjana sarjana Yunani di kota iskandaria titik
tujuan akhir penggunaan metode kajian teks ini adalah edisi teks, rekonstruksi teks
berdasarkan naskah naskah terpilih.
Dari garis besar metode kajian teks terbagi dua, metode kajian naskah tunggal
(codex unicus) dan metode kajian naskah jamak (codex multus).
1) Metode Edisi Naskah Tunggal (Codex Unique)

Metode kajian naskah tunggal (satu-satunya naskah yang ada untuk satu judul)
ada dua, yaitu metode edisi diplomatik dan metode edisi kritik standar.

a) Metode Edisi Diplomatik ; yaitu menerbitkan satu naskah seteliti-telitinya


tanpa mengadakan perubahan. Edisi diplomatik yang baik adalah hasil
pembacaan yang teliti oleh seorang pembaca yang ahli dan
berpengalaman. Dalam bentuknya yang paling sempurna, edisi diplomatik
adalah naskah asli direproduksi fotografis. Hasil reproduksi fotografis itu
disebut faksimile. Dapat juga penyunting membuat transliterasi setepat-
tepatnya tanpa mengembalikan sesuatu dari segi teoritis. Metode ini
dianggap paling murni, karena tidak ada campur tangan dari pihak editor.
Namun, dari segi praktis kurang membantu pembaca.
b) Metode Edisi Kritik Standar ; yaitu menerbitkan naskah dengan
membetulkan kesalahan- kesalahan kecil dan ketidakajegan, sementara
8
ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Setidaknya yang
harus dilakukan adalah diadakannya perbaikan kata, kalimat, digunakan
huruf besar, fungtuasi serta diberikan pula komentar mengenai beberapa
kesalahan teks. Pembetulan yang tepat dilakukan atas dasar pemahaman
yang sempurna sebagai hasil perbandingan dengan naskah- naskah sejenis/
sezaman. Semua perubahan yang diadakan dicatat di tempat khusus agar
selalu dapat diperiksa dan diperbandingkan dengan bacaan naskah lain,
sehingga masih memungkinkan tafsiran lain oleh pembaca. Segala usaha
perbaikan harus disertai pertanggungjawaban dengan metode rujukan yang
tepat. 2

2) Metode Edisi Naskah Banyak (codex multus)

Jika naskah yang ditemui di lapangan berjumlah banyak, maka ada beberapa
metode yang dilakukan, yakni :

a) Metode Intuitif,
Yaitu metode kerja dalam penggarapan naskah yang dilaksanakan
secara intuitif (bersifat intuisi, yaitu kemampuan mengetahui sesuatu
tanpa dipikirkan secara sadar secara bisikan hati), disebabkan sejarah
terjadinya teks dan penyalinan yang berulang yang berulang kali,
dengan kata lain tradisi teks sangat beraneka ragam titik di sini peneliti
bekerja dengan cara mengambil atau memilih naskah yang paling tua
titik di tempat-tempat yang dipandang tidak betul Atau tidak jelas teks
diperbaiki berdasarkan naskah lain dengan memakai akal sehat, dan
pengetahuan luas lebih operasionalnya untuk metode ini dapat
dikendali karakternya sulit ditelusuri karena proses penyalinannya
sudah bercampur Baur titik corak naskah semuanya dianggap mengacu
kepada teks terpilih, dipilih secara intuitif tanpa perbandingan titik
proses rekonstruksi teks dari corak naskah seperti ini adalah secara
intuitif mengambil data yang dianggap paling tua jadi kemudian
naskah tersebut ditranslaterasi (aksara) ke huruf latin. corak edisi teks
yang dihasilkan berupa bacaan teksnya sama dengan bahan terpilih.

2
Ibid, hal 41-42
9
b) Metode Objektif
Yaitu metode kajian naskah yang memperhatikan kesalahan yang sama
dari satu kelompok naskah. dengan memperhatikan kekeliruan-kekeliruan
bersama dalam kelompok naskah tersebut dapat ditentukan silsilah naskah
kemudian dilakukan kritik teks yang lebih rinci. secara operasionalnya,
sejumlah naskah diperbandingkan, bila dari perbandingan naskah tersebut
ditemukan beberapa naskah yang selalu menunjukkan kesalahan yang
sama, naskah-naskah tersebut diramalkan berasal dari satu sumber buka
kurung keturunan tutup kurung. dalam proses rekonstruksi teks kekeliruan
bersama diperhatikan dan dari sana ditentukan silsilah naskah . maka corak
edisi teksnya mengacu kepada naskah yang paling dekat kesaksiannya
buka kurung lebih tua umurnya tutup kurung. dan ini dianggap bernilai
lebih tinggi, karena lebih objektif.

c) Metode Gabungan
Yaitu cara kerja dalam kajian teks dengan jalan mengambil bacaan
mayoritas dari beberapa naskah yang hampir sama kualitasnya. Hal ini
dilakukan karena nilai naskah yang ditemukan tidak tidak ada yang
menonjol, perbedaan antar naskah Tidak besar. Walaupun ada perbedaan,
tapi tidak mempengaruhi tekstil proses rekonstruksi teks metode ini
diawali dengan mentranslasi setiap naskah, kemudian diperbandingkan,
dan seterusnya dibuat pertalian antar naskah berdasarkan bacaan mayoritas
tadi titik corak edisi teks yang dihasilkan berbentuk gabungan dari
beberapa naskah secara eksternal evidentie ( pertimbangan dari segi luar
teks) dan eksternal evidentie (pertimbangan dari segi dalam teks)..
kelemahan metode ini yaitu adanya hal yang meragukan misalnya karena
jumlah naskah yang mewakili bacaan tertentu sama dipakai pertimbangan
lain yang pada dasarnya di luar fakta yang ada dalam teks. diantaranya
kesesuaian dengan norma tata bahasa, jenis sastra keutuhan cerita, faktor
literer lainnya. dan juga latar belakang penulisan naskah titik hasil edisi
juga merupakan teks baru, gabungan bacaan dari semua naskah yang ada
alih-alih bisa lebih menjauhkan teks suntingan dari yang asli yang ditulis

10
oleh penulis/pengarang. sedangkan tujuan suntingan teks tersebut justru
menghasilkan edisi yang sama dengan asli titik paling kurang mendekati
yang asli.

d) Metode Landasan
Yaitu metode kajian teks yang digunakan bila menurut tafsiran ada
satu atau sekelompok naskah unggul kualitasnya dari yang lain baik dari
segi bahasa, kesastraan sejarah, dan lain-lain. kelompok naskah tersebut
dapat dinyatakan mengandung paling banyak bacaan yang baik atau tepat.
karena itu, dipandang paling baik untuk dijadikan landasan, atau induk
teks untuk edisi (Beried, dkk.1985:69). 3
Tahapan aplikasi metode landasan juga diawali dengan transmigrasi
naskah, dilanjutkan dengan resensi untuk mempertimbangkan adanya satu
naskah landasan dan varian-varian bacaan. Rekonstruksi teks dilakukan
atas bacaan mayoritas kelompok naskah landasan. Varian-varian yang
terdapat dalam naskah seversi tersebut dicatat dalam aparat kritik. Dari
proses ini dihasilkan corak edisi yang mengacu kepada naskah
landasan .Minimal 75% kata-kata yang ada di dalam edisi sama dengan
kata-kata yang ada di dalam teks .

b. Metode Penelitian Berdasarkan Tahapan Penelitian

Hakikat dari metode filologi pada dasarnya sejalan dengan konsep pertama
yang menggarisbawahi serangkaian tahapan penelitian. Yang membedakannya adalah
konsep kedua yang lebih spesifik dalam memberikan nama metode untuk setiap tahap
penelitian. Penelitian filologi tidak lagi dibagi menjadi dua kategori, yakni penelitian
yang tidak sempurna dan sempurna. Penelitian filologi kini dilakukan dengan melalui
langkah-langkah yang tersusun secara sistematis, dengan menerapkan metodenya
pada masing-masing tahapan penelitian, yang akan diuraikan lebih lanjut.

a) Metode Kepustakaan/Observasi
3
Beried, . (1985), Halaman 69.
11
Metode kepustakaan/observasi adalah salah satu metode filologi yang digunakan
ketika berada pada tahap Inventarisasi naskah. Tahap ini melibatkan dua kegiatan
penting, yaitu menemukan dan mencatat naskah. Untuk menemukan naskah, peneliti
perlu mengunjungi lembaga pengoleksi naskah atau perpustakaan yang menyimpan
naskah lama. Di tempat-tempat ini, peneliti akan menggunakan katalogus naskah dan
mengamati apakah naskah yang menjadi objek penelitian masih ada di lembaga
pengoleksi naskah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Selain itu, mungkin peneliti juga perlu melakukan peninjauan lapangan, yaitu
kunjungan langsung ke kelompok masyarakat yang masih mempertahankan tradisi
tertentu. Hanya melalui kunjungan ini, peneliti dapat menyusun daftar naskah secara
sistematis, dimulai dari naskah-naskah yang ada di luar negeri dan kemudian
mengurutkannya hingga mencapai naskah-naskah yang ada di dalam negeri. Hal ini
dilakukan dengan asumsi bahwa naskah yang berada di luar negeri mungkin lebih tua
daripada yang ada di dalam negeri.4

b) Metode Kritik Teks


Pada model pemikiran yang kedua tentang metode studi filologi, metode yang
digunakan untuk tahapan penyajian teks adalah metode kritik teks yang nama-
nama serta konsepnya sama dengan apa yang diuraikan dalam model yang
pertama. karena itu, tidak akan diuraikan lagi secara rinci, sebab banyak akan
mengulang apa yang telah dipaparkan .
Untuk kajian naskah tunggal metode yang digunakan juga bernama metode
diplomatik dan metode kritik standar titik Sementara untuk naskah jamak adalah
metode intuitif, metode objektif metode gabungan dan metode landasan yang
harus dilihat salah satu Sesuai dengan karakter naskah atau teks buka kurung
karakter naskah diketahui setelah dilakukan deskripsi naskah serta kritik teks
pengertian dan cara kerja masing-masing metode ini sama dengan apa yang telah
diuraikan pada model pemikiran yang pertama tidak ada yang berbeda .5

4
Ibid, hal 49-50
5
Ibid, hal 52-53
12
2. Susunan Stema
Naskah-naskah yang diperbandingkan diberi nama dengan huruf besar Latin:
A, B, C, D, dan seterusnya. Dalam hubungan kekeluragaan naskah-naskah ada
naskah yang berkedudukan sebagai arketip atau induk dan ada yang sebagai
hiperketip atau subinduk.
Arketip adalah nenek moyang naskah-naskah yang tersimpan, dapat
dipandang sebagai pembagi persekutuan terbesar dari sumber-sumber tersimpan.
Arketip membawahi naskah-naskah setradisi. Hiperketip adalah kepala keluarga
naskah-naskah dan membawahi naskah-naskah seversi. Arketip kadang-kadang diberi
nama dengan huruf Yunani omega dan hiperketip dinamakan alpha, beta, gamma.

Bagan di atas menggambarkan garis keturunan dari atas ke bawah, dari nenek
moyang naskah kepada keturunannya. Bagan itu dapat dibalik jika kita ingin
menggambarkan prosedur penanganan naskah dari sejumlah naskah melalui
pengelompokan dan perbandingan sampai kepada arketip seperti gambar berikut.

13
Sudah barang tentu metode stema hanya dapat diterapkan jika teks disalin satu demi
satu dari atas ke menemui kesulitan dalam menghadapi kesalahan-kesalahan yang
terdapat dalam teks sehingga ia berusaha mendapatkan bacaan yang paling baik dengan
memakai
lebih dari satu naskah dalam salinannya. Dengan demikian, terjadi penularan secara
“horisontal” antara beberapa naskah/ terjadi perbauran antara beberapa tradisi naskah,
yang disebut kontaminasi. Hubungan antar naskah bertambah rumit jika si pengarang
sendiri sudah membuat perubahan dalam teks setelah teks itu selesai disalin.
Dengan demikian, terjadi percampuran yang mengakibatkan timbulnya versi baru.
Penurunan naskah yang tidak terbatas pada satu garis keturunan saja disebut
tradisi terbuka.
Metode stema tidak bebas dari berbagai masalah dan keberatan. Sebagai contoh
disebutkan beberapa di antaranya sebagai berikut: 1) Metode ini pada dasarnya
berdasarkan pilihan antara bacaan yang benar dan salah. Dalam prakteknya, sulit
menentukan pilihan itu; 2) Pilihan antara dua hiparketip sering juga tidak mungkin karena
keduanya dianggap baik; 3) Dua anggota dari satu hiparketip mungkin mewakili dialek
atau tahap bahasa yang berbeda sehingga penyunting menghadapi pilihan antara stema
dan homogenitas dialek/ tahap bahasa; 4) Masalah kontaminasi/pembauran dua tradisi
akibat tradisi terbuka; 5) Teks “asli” juga sering dipersoalkan, mungkin tidak pernah ada
“satu” versi asli karena dari permulaan sudah ada variasi; 6) tangan di Indonesia perlu
diperhatikan, mana yang lebih asli/ otentik karena adanya interaksi yang kuat antara
keduanya.

3. Rekontruksi Teks
Setelah tersusun stema, teks direkontruksi secara bertahap sambil melakukan
emendasi. Berdasarkan pengertian bahwa salah satu bacaan salah, maka yang salah ini

14
dibetulkan menurut bacaan yang benar, yang terdapat dalam naskah-naskah lain. Apabila
terdapat perbedaan bacaan dalam jumlah naskah yang sama sehingga tidak ada bacaan
mayoritas yang dianggap benar, pembetulan dilakukan berdasarkan pengetahuan dari
sumber lain sehingga bacaan yang satu dibetulkan dengan mengikuti bacaan yang lain.
Bacaan yang terdapat dalam semua naskah dianggap sebagai bacaan arketip.
Akantetapi, bacaan boleh dibetulkan berdasarkan pengetahuan dari sumber lain supaya
mendekati bacaan asli yang hipotesis. Teks yang sudah sirekontruksi atau dipugar
dipandang paling dekat dengan teks yang ditulis pengarang.

D. Proses Penelitian Filologi

1. Inventarisasi Naskah
Tahap pertama dalam penelitian filogi adalah melakukan inventaris naskah.
Secara sederhana inventaris naskah dimasudkan sebagai upaya secermat-cermatnya
dan semaksimal mungkin untuk menelusuri dan mencatat keberadaan naskah yang
memuat salinan dari teks yang kita kaji. Beberapa cara dapat dilakukan untuk
menelusuri naskah yang memuat salinan dari teks yang sudah kita pilih antara lain
melalui : katalog naskah, buku-buku yang mengupas naskah terkait, artikel-artikel di
jurnal, publikasi, penelusuran terhadap koleksi naskah perorangan. Biasanya cara
yang terahir lebih sulit dilakukan, karena umumnya koleksi naskah perorangan itu
belum dibuatkan katalognya, selain itu harus juga terlebih dahulu melaukan
pendekatan kepada pemilikya untuk mendapatkan izin mengakses naskah.
Di era digital ini, penelusuran salinan naskah bisa juga dilaukan melalui
database naskah online, seperti Thesaurus of Indonesan Islamic Manuscripts, yang
disusun Puslitbang Lektur dan Khaanah Keagaaan, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama, bekerja sama dengan Islamic Manuscript Unnit (ILMU) Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa).

2. Deskripsi Naskah
Tahap kedua dalam penelitian filologi adalah deskripsi naskah yakni
melakukan identifikasi, baik terhadap kondisi fisik naskah, isi teks, maupun identitas

15
kepengarangan dan kenyalinannya dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah
deskripsi naskah dan teks secara utuh
Mengidentifikasi sebuah naskah adalah kemampuan mendasar dan paling awal
yang harus dimiliki oleh seorang peneliti naskah. melalui identifikasi yang baik dan
teliti sebuah naskah akan dapat dihadirkan secara terperinci kepada pembaca, serta
akan menjadi modal penting bagi peneliti sendiri untuk melakukan tahap-tahap
penelitian berikutnya, seperti analisis teks dan kontekstualisasinya.
Untuk sekedar panduan, beberapa butir yang perlu dicari tahu informasinya
dan kemudian dideskripsikan adalah sebagai berikut: publikasi naskah (dalam
publikasi apa naskah disebut), kode dan nomor naskah, judul naskah, pengarang,
penyalin, tahun Penjalinan, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, pembeli, jenis
alas naskah, kondisi fisik naskah, penjelajahan, ada atau tidak adanya cap kertas
(Watermark), ada tidak adanya garis tebal (Chain line) dan garis tipis (laid lines),
jarak antara garis tebal pertama sampai keenam, jumlah garis tipis dalam satu cm, ada
atau tidak adanya garis panduan yang ditekan (blind lines) , atau penggarisan dengan
tinta dan pensil, jumlah kuras dan lembar kertas, jumlah halaman, jumlah baris pada
setiap halaman, panjang dan lebar halaman naskah dalam cm, ada atau tidak adanya
penomoran halaman, ada atau tidak adanya alihan (catchword), ada atau tidak adanya
illuminasi atau ilustrasi, huruf dan bahasa yang digunakan, jenis khat (tulisan) yang
digunakan, warna tinta pada tulisan, ringkasan isi setiap teks, dan catatan-catatan lain
yang dianggap perlu .

3. Perbandingan Naskah dan Teks


Tahap ketiga dalam penelitian filologi adalah perbandingan naskah dan teks. Ya,
kedua-duanya, baik fisik naskah mau- pun teksnya dibandingkan masing-masing alas
naskahnya diperiksa, mungkin sama-sama kertas Eropa, tapi kertas yang satu bisa jadi
lebih tua usianya dibanding kertas lainnya; ma- sing-masing teksnya juga diperiksa
dan dibandingkan untuk mengetahui sejauhmana perbedaannya. Tentu saja, perban-
dingan teks hanya perlu dilakukan jika korpus penelitian kita terdiri dari lebih dari
satu salinan naskah, dan tidak berlaku jika salinan naskahnya tunggal belaka.

Khusus terkait dengan teksnya, beberapa hal yang perlu diperbandingkan antara lain,
tapi tidak terbatas pada: struktur teks, bahasa, dan ejaan, variasi bacaan, baik yang

16
disenga ja maupun tidak disengaja, alur cerita, dan masa penyalinan yang dianggap
perlu untuk mendukung analisis penelitian,

Hasil perbandingan naskah dan teks ini kelak dapat dija- dikan sebagai dasar untuk
menentukan salinan naskah mana yang teksnya akan dijadikan sebagai landasan
suntingan teks. Biasanya, kalau ada salinan naskah yang usianya dapat dipas- tikan
paling tua, maka teks dalam naskah itulah yang akan di- jadikan sebagai landasan
membuat edisi teks, sedangkan teks dalam salinan naskah lainnya dijadikan sebagai
pembanding bacaan.

Dalam situasi tertentu, hasil perbandingan naskah dan teks juga dapat digunakan
sebagai baltan untuk menyusun dan merekonstruksi saling-silang hubungan
antarnaskah atau membuat pohon silsilah naskah (stemma). Akan tetapi, keberhasilan
menyusun pohon naskah ini sangat tergantung pada karakter naskahnya itu sendiri.
Umumnya, dalam kon teks tradisi penyalinan naskah Nusantara yang bersifat ter-
baka, di mana seorang penyalin tidak hanya merujuk pada sata versi naskah saja,
maka upaya menyusun silsilah naskah sering mengalami jalan bantu.

Namun demikian, bagaimanapun tahap perbandingan ini sangat diperlukan karena


salah satu asumsi dasar dalam penelitian filologi adalah bahwa dalam setiap salinan
teks yang direproduksi dan ditransmisikan kembali melalui tu lisan tangan niscaya
mengandung keragaman bacaan, atau yang disebut sebagai variant. Proses penyalinan
tangan juga sangat potensial melahirkan "kerusakan" (corruptions) teks, baik akibat
dari rapuhnya fisik naskah yang disalin (physical damage), kekurang hati-hatian
penyalin (fallibility of scribes). maupun tambahan dari penyalin (deliberate
interpolation).

Tapi saya ingin memberikan tanda kutip pada kata "ke- rusakan dalam konteks di
atas, karena mungkin sejumlah perbedaan bacaan yang dilahirkan dalam proses
penyalinan teks secara manual itu tidak selalu harus dicap sebagai sebuah kerusakan.
Peneliti dapat saja memahaminya sebagai sebuah wujud respon penyalin, sebagai
masyarakat pembaca, terha- dap teks yang sedang dibacanya, sehingga alih-alih
memilih bacaan "terbaik", memperbaiki "kesalahan-kesalahan", atau membakukan

17
ejaannya seperti disarankan sejumlah ahli filologi (lihat misalnya Robson 1988: 18) 6,
ia dapat membiarkannya dan menjadikannya sebagai pintu masuk untuk menganalisis
dinamika naskah dan teks itu sendiri pada zamannya.

4. Pemilihan Metode Edisi


a. Metode Naskah Tunggal
a) Edisi Diplomatik
b) Edisi Standar
b. Metode Naskah Jamak
a) Intuitif
b) Objektif
c) Gabungan
d) Landasan

5. Transliterasi
1. Prinsip-prinsip transliterasi (penyajian teks)
Dalam uraian tentang tahapan penelitian filologi ini berupa, penyajian teks,
berupa prinsip-prinsip dasar pentranslierasian. Uraian ini sebetulnya langkah operasional
Penerapan metode kritik teks terutama metode kritik pengkajian naskah jamak.
Penyajian teks, dalam bentuk transliterasi atau alih aksara, membutuhkan banyak
pertimbangan dan perlu dibuat sedemikian rupa titik teks yang terwujud dalam sejumlah
naskah dan bertulisan kuno yang berikutnya akan dibuat satu suntingan, satu edisi,
semestinya hanyalah secara terpola dan tidak menghilangkan kekhasan dan kemurnian
teks lama. karena itu, perlu adanya konsep-konsep operasional yang akan menuntun
filolog sehingga menghasilkan sajian teks yang betul-betul komunikatif seperti alur
pemikiran dalam memperlakukan tag model penyajian teks, dan ditambahkan dengan
dasar-dasar dalam penerjemahan teks yang telah di edisi dalam bahasa daerah selain
bahasa Melayu. Berikut diuraikan secara rinci. 7
a. Karakteristik Naskah Lama.

6
dalam penelitian filologi, Robson (1988: 18) menjelaskan konsep penyalin teks dan peran mereka dalam
membentuk teks yang mungkin memiliki "kesalahan-kesalahan" yang dapat diinterpretasikan sebagai respons
terhadap teks yang dibaca.
7
Ibid, hal 53
18
Naskah lama, Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya ditulis dengan tulisan
tangan dalam ejaan dan bahasa daerah titik namun, kenyataannya tidak semua daerah
di Indonesia di nusantara ini memiliki tradisi penulisan naskah itu dengan bahasa dan
ejaan sendiri titik ada daerah yang tidak memiliki ejaan sendiri, seperti daerah
Minangkabau. Daerah-daerah seperti Batak, Bugis, Jawa, dan Sunda memiliki ejaan
dan kekhasan dalam penulisan naskahnya. sedangkan daerah yang tidak memiliki
ejaan daerah sendiri tersebut, terpaksa menggunakan ejaan daerah lain. daerah
Minangkabau, misalnya, yang cukup kaya dengan naskah/teks lama, terpaksa
menggunakan ejaan Arab-Melayu. kadang-kadang juga sekaligus dengan bahasa
Melayu itu sendiri. Naskah-naskah berbentuk hikayat dan syair koleksi budaya
Minangkabau, mungkin juga teks sejarah (tambo) ditulis dengan bahasa Melayu,
analog dengan tradisi menulis masyarakat yang cenderung menggunakan bahasa
Melayu (dulu) atau bahasa Indonesia. Namun, naskah Kaba bentuk prosa liris/lisan
yang khas Minangkabau) sesuai dengan tradisi asalnya tradisi lisan ditulis dalam
bahasa Minangkabau meskipun secara fisik dapat dibaca secara Minang atau Melayu.
hal ini jelas menimbulkan problema dalam penanganannya. Penelaah harus membuat
pertimbangan-pertimbangan yang cermat dan akurat, langkah mana yang akan
diambil.
Berkenaan dengan problema ini Edward djamaris (1991) 8mengatakan bahwa
naskah kaba Minangkabau harus dibaca secara Minangkabau, karena di samping
bentuk karangan itu berasal dari tradisi lisan penanda peristiwa dalam kalimat
(barawari, dindin-dindin) selalu menunjukkan kekhasan Minangkabau sementara
naskah-naskah Minangkabau lainnya, seperti tambo, hikayat, syair, kitab-kitab agama,
dan kitab-kitab lainnya bisa dibaca (juga ditransliterasi) secara Melayu, karena
mayoritas penanda peristiwa dalam kalimat kebanyakan berbentuk bahasa Melayu
(syahdan, arkian, Alkisah, Hatta). pendapat ini merupakan pengukuhan argumentasi
yang diperlihatkan Van Der Thorn (1891) bahwa naskah Minangkabau terutama kaba
harus dibaca sebagaimana teks lisannya dituturkan oleh penciptanya (tukang kaba).
bentuk fisik (Kaaba) yang mirip bahasa Melayu itu bukan persoalan karena memang
demikianlah orang Minangkabau menuliskan bahasanya.
Daerah-daerah lain di nusantara pada umumnya tidak memiliki problem
penulisan naskah seperti daerah Minangkabau disebabkan tradisi penulisan naskahnya
8
Edward Djamaris, "Naskah Kaba Minangkabau: Membaca Sebagai Teks Lisannya Dituturkan oleh
Penciptanya," tahun 1991.
19
tidak berbeda dengan tradisi lisannya (kalau ada) . Bila kasus yang sama terjadi, peneliti
naskah daerah tersebut tentu harus memperhatikan permasalahan bentuk lahir naskah dan
bagaimana tradisi lisan daerah bersangkutan kalau hal ini diabaikan, kemungkinan besar
penggarapan naskah akan menjauhkan hasilnya dari tujuan studi filologi yang
sebenarnya: teks yang mendekati teks yang asli justru tidak akan terwujud.
b. prinsip dasar transliterasi
Teks/naskah lama, terutama kelompok-kelompok naskah Melayu umumnya,
ditulis tanpa format. selain itu, juga mengabaikan pemakaian tanda baca seperti titik,
koma, huruf kapital, dan sebagainya. pembaca awam akan mengalami kesulitan bila
berhadapan dengan naskah seperti itu titik karena itu, perlu sekali dibuat transliterasi yang
terorganisir.

1) pengertian transliterasi
Istilah translasi hampir bersamaan artinya dengan transkripsi. menurut barier,
dkk. (1985:65) Transliterasi adalah pengganti jenis tulisan huruf demi huruf dari abjad
yang satu ke abjad yang lain; sedangkan sedangkan transkripsi bisa berarti sama dengan
transliterasi, tetapi biasanya digunakan pada kegiatan penggantian huruf/tulisan pada
prasasti. Selain itu, transkripsi bisa pula berarti salinan, atau turunan naskah tanpa
mengganti jenis tulisan (hurufnya tetap sama dengan naskah yang disalin). pendapat
Edward Djamaris (1977:31) 9tentang hal ini bahwa transliterasi dengan transkripsi bisa
berarti sama, tetapi transliterasi dilakukan penyesuaian ejaan dengan ejaan yang berlaku
pada saat transliterasi di buah titik misalnya, transliterasi naskah “Kaba Malin Deman "
yang ditulis kira-kira tahun 1876 ke dalam ejaan latin disesuaikan dengan kaidah EYD
(nurizati, 1994).10
Penyesuaian ejaan pada transliterasi naskah lama dilakukan untuk memudahkan
tanggapan pembaca terhadap isi teks; jangan sampai ada gangguan pencerapan
disebabkan ejaan yang digunakan, sebab tujuan utama transliterasi itu adalah
menjembatani teks lama dengan pembaca. Tanpa penyesuaian ejaan dikhawatirkan
pembaca lari sebelum sempat menikmati teks, karena pertama-tama dia telah diganggu
oleh ejaan sudah tidak dipakai lagi yang mungkin saja tidak pernah dikenalnya. Selain

9
Edward Djamaris, "Tentang Transliterasi dan Transkripsi," (1977): 31.
10
Nurizati, "Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)," (1994).
20
itu, Translatiterasi juga pada hakekatnya menjaga kelestarian naskah, Memperpanjang
usia teks, sekaligus memperkenalkan bahasa lama
Transliterasi naskah lama artinya tidak sama dengan penerjemahan sebuah teks dari
satu bahasa ke bahasa lain; Transliterasi naskah di titik beratkan pada penggantian huruf
atau alih aksara yang membutuhkan pertimbangan-pertimbangan dan prinsip-prinsip
tertentu dalam hal ini, transliterasi diharapkan tidak menjauhkan teks dari tradisi asalnya,
gambaran situasi sosial budaya masyarakat yang melatarbelakangi penciptaannya. hasil
translasi hendaknya dapat membawa pembaca kepada rekreasi pikiran kepada suasana
lama yang dipantulkan teks. untuk itu, berikut ini dikemukakan alur pemikiran yang
mungkin bisa mewujudkan hasil transliterasi yang baik.

2) Prinsip-prinsip transliterasi
Paling kurang ada tiga pokok pemikiran yang cukup mendasar dan harus
diperhatikan seorang penelitian naskah lama (filolog) dalam mengalihaksarakan teks.
Pertama, translasi harus sesuai dengan jenis teks; maksudnya, sesuai dengan
pengelompokan teks klasik secara teoritis teks sejarah, teks religi, teks sains, atau teks
susastra. Prinsip pertama ini sangat berarti bagi daerah tertentu yang tidak memiliki
aksara sendiri Untuk penulisan naskah, seperti daerah Minangkabau. Untuk naskah
Minangkabau prinsip pertama ini akan menentukan, ke dalam bahasa apa translitersi
dibuat naskah Minangkabau selain kaba sangat besar kemungkinannya di transliterasi ke
dalam bahasa Melayu karena selain penanda peristiwa dalam kalimat berbentuk Melayu,
tradisi menulis masyarakat Minang memang dengan bahasa Melayu (lihat Muhardi,
1986). 11Namun, kaba Minangkabau tidak boleh langsung ditranslasi ke dalam bahasa
Melayu, karena tradisi asal Naskah kaba adalah teks lisan, sastra lisan. sastra lisan dalam
etnis Minangkabau dituturkan dalam bahasa Minangkabau, karena itu, transliterasi naskah
Minangkabau harus dikembalikan kepada tradisi asalnya. dengan prinsip demikian
penyajian teks atau suntingan teks untuk mendapatkan teks yang dekat dengan teks asli
bisa terwujud.
Prinsip kedua dalam transliterasi naskah lama adalah memperhatikan bentuk teks
yang dari segi penampilannya di atas kertas memiliki form (format) tertentu. lazimnya
orang membedakan format penulisan prosa dan puisi. untuk konteks filologi, teks yang
11
Muhardi. "Naskah Minangkabau: Suatu Kajian Transliterasi dan Penerbitan" dalam Majalah Ilmiah Wacana
Budaya, No. 2 (1986), hlm. 4.
21
ditulis memenuhi semua ruangan bahan tulisan yang digunakan, harus ditata menurut
aturan yang berlaku secara umum (prosa atau puisi). misalnya syair (salah satu jenis puisi
lama (harus ditransliterasi) menurut aturan penulisan syair, yaitu ditulis empat empat
baris sebait. kalau teksnya prosa, harus mengikuti pula bagaimana lazimnya format prosa
ditulis orang; Selain itu harus diperhatikan pula prosesnya dari tradisi apa . Kaba
Minangkabau yang berasal dari teks lisan ditulis berdasarkan penggalan-penggalan
caessure (pola pengucapan puisi/pantun). Kaba memang dituturkan bernada liris dan
gaya bahasa yang plastis. prinsip ini pun berlaku bila yang ditransliterasi adalah teks
sejarah, religi, sains, atau tentang hal-hal lain. Hasil karangan masyarakat lama yang bisa
dikategorikan sebagai karangan yang berbentuk prosa (menguraikan). format
penulisannya haruslah berbentuk paragraf-paragraf yang disusun sedemikian rupa
sehingga memiliki sistematika yang logis dan menarik.
Prinsip ketiga dan yang terakhir adalah transliterasi untuk pelestarian teks yang
sasarannya adalah berusaha untuk menghidupkan terus kekhasan, terutama bahasa lama
yang terdapat dalam naskah lama tersebut. Di sini ciri khas bahasa lama tidak boleh
dihilangkan dengan langsung menggantinya dengan bahasa yang dipakai sekarang .
contoh konkrit untuk hal ini adalah kata-kata arkhais yang sedaya upaya harus tetap
memperlihatkan arkhaisannya, sehingga kemurniannya tetap terjaga. Bila prinsip ini
dilanggar tujuan rekonstruksi teks untuk mendapatkan teks yang diperkirakan mendekati
teks asli tidak akan tercapai. kosakata dangan dalam bahasa Minangkabau adalah kata-
kata arkhais yang memiliki dua makna, yaitu dengan dan hamba. Bila kata tersebut
langsung ditransliterasi dengan satu kosakata lama hilang dan tidak tergali.
Selain itu, ada pula kekhasan pengucapan bahasa lama yang harus tetap dijaga
kemurniannya. maksudnya, kata yang ditulis dengan pelafalan yang menurut bahasa
sekarang tidak tepat harus ditransliterasi sebagaimana ditulis. kata besyar, karena pemakai
bahasa Minangkabau masa lampau melafalkan kata tersebut seperti itu. Bila prinsip
penetrasian yang ketiga ini diperhatikan hasil transliterasi akan mendekatkan kita kepada
tujuan penelitian filologi baik tujuan umum maupun tujuan khusus.
langkah operasional untuk ketiga prinsip transliterasi naskah mengharuskan peneliti
merumuskan dasar-dasar sebagai patokan yang akan terlihat dalam sajian atau edisi teks.
Hal ini dilakukan agar sebagai sebuah teks yang utuh bentuk fisiknya selaras dengan isi
(bentuk mendukung Isi). paling kurang ada tiga pula dasar untuk transliterasi yang baik

22
yang harus diinformasikan peneliti pada bagian pengantar edisi teks yang akan dibuatnya
sebagai aplikasi Langsung ketiga prinsip transliterasi.
Dasar yang pertama adalah menginformasikan kebijaksanaan tentang format
penyajian teks penulisan hasil transliterasi teks yang semula tertulis memenuhi halaman
teks dan tanpa tanda baca, pada translasi ditulis menurut format yang lazim untuk jenis
teksnya dan dipakaikan tanda baca titik misalnya, kalau yang ditranslasi adalah teks syair
yang dalam naskah ditulis berbentuk kolom (satu halaman dua kolom) sementara
membacanya tetap menurut alur baris, harus disusun perbait, bila yang ditransliterasi
naskah atau teks proses penyajian teksnya adalah per episode.
Dasar transliterasi yang kedua adalah menginformasikan rumusan pertimbangan-
pertimbangan yang dibuat dalam penyajian teks. pertimbangan itu mungkin saja
berbentuk kebijaksanaan yang dibuat dalam menghadapi kesalahan-kesalahan tulis yang
terdapat dalam naskah naskah. misalnya, menempatkan kata-kata yang salah dan tidak
ada kesaksiannya pada naskah pembanding yang sejudul dalam dua tanda kurung;
perpindahan halaman-halaman teks atau naskah pada sajian ditandai dengan garis miring
penempatan nomor halaman-halaman naskah pada sajian diletakkan di pinggir kanan;
atau penomoran untuk setiap kesalahan untuk isyarat aparat kritik diulang dari angka satu
untuk setiap halaman.
Dasar transliterasi yang terakhir adalah merumuskan kaidah yang dipakai dalam
mengalihsksarakan merekam bahasa lama, kata arkhais atau pelafalan yang khas karena
ragam bahasa lama itu harus dipertahankan untuk aslinya demi kelestarian dan tujuan
filologi. misalnya, setiap kata dengan (‫ )راعن‬Dalam naskah Minangkabau harus tetap di
trsndliterasi dengan kalau langsung ditranslasi dengan, maka satu kosakata lama
Minangkabau lama akan hilang. bentuk pelafalan sy Untuk bentuk sekarang dengan s
(syesat, besyar, sesyat) Harus tetap dipertimbangkan titik, begitu pula untuk kata yang
tertulis dengan huruf H Pada kata yang dalam bahasa kini tempat h (semuha, hayam,
halu), Dan dalam pembentukan kata berawalan Ma-Dengan kata yang berkosonan awal B
dan D terjadi penyangguan dan peluluhan konsonan awal b dan d itu yang dalam bahasa
Minangkabau sekarang tidak luluh. Seperti kata mamaka (Ma-+baka) dan manulang (ma-
+nulang). 12

3. Prinsip Dasar Terjemahan Teks Klasik

12
Abdul Chaer, "Linguistik Umum" (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 98.
23
Uraian untuk prinsip dasar terjemahan dari klasik ini ditekankan pada teks-teks
klasik yang ditulis selain dalam bahasa Melayu. Teks-teks lama yang ditulis dalam
bahasa dan ejaan selai Melayu setelah ditransliterasi, diedisi, harus diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, atau bahasa lain yang membutuhkan informasi dari teks
tersebut. Tujuannya adalah agar teks suntingan tersebut dapat dibaca, dipahami, dan
dinikmati oleh pembaca yang bukan berasal dari daerah tradisi teks/naskah tersebut.
Menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lain menurut para ahli pada
dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara harfiah dan pemindahan ide
teks atau dengan mencarikan padanannya. terjemahan secara harfiah dilakukan untuk
menjaga keaslian keseluruhan karya. sedangkan terjemahan pembinaan ide teks
dilakukan dengan mencarikan padanannya yang paling alamiah.
Penerjemahan teks klasik idealnya adalah dengan cara pertama, terjemahan secara
harfiah, agar keaslian teks selama itu tetap terjaga. untuk itu, pokok-pokok pikiran
berikut Mungkin cukup logis untuk di pedomani.
Perhatikanlah kaidah-kaidah bahasa naskah, baik dari segi struktur kalimat
maupun kosakatanya. bila struktur bahasa naskah dengan bahasa sasaran terjemahan
tidak jauh berbeda, maka terjemahan secara harfiah cenderung bisa dilakukan.
Selagi bisa terjemahkanlah teks yang telah ditranslasi secara harfiah yang
tujuannya untuk menjaga kemurnian teks semaksimal mungkin. Bila terjemahan
secara bebas dilakukan kesan campur tangan peneliti akan sangat terasa, sikap itu
tidak sesuai dengan prinsip terjemahan yang baik (juga prinsip studi filologi)
Bila terjemahan secara harfiah kita dapat menyampaikan pesan teks secara
memuaskan, terjemahan dengan mencarikan padanan yang cocok sangat tepat
dilakukan . Dalam hal ini, penerjemah harus menyesuaikan terjemahan dengan
konteks dan nuansa makna dihubungkan dengan nilai-nilai yang ada di luar teks
seperti Konvensi budaya.
Terjemahkanlah ungkapan, juga kelompok kata tertentu dengan mencarikan
padanan yang tepat yang bila diterjemahkan secara harfiah terasa janggal, berlebihan,
atau tidak dimengerti, atau bisa menghilangkan nilai rasa bahasa sebuah karya sastra.
misalnya penggalan kalimat yang terdapat dalam "Kabe Meli Deman” yang merupakan
satu caessuree : “Mendanga kato nan bak kian”, bila diterjemahkan secara harfiah
“Mendengar kata yang seperti demikian”. Terjemahan seperti itu firasa janggal dan
berlebihan dari aturan pemakaian bahasa Indonesia yang efektif. terjemahan yang lebih

24
sederhana, namun Berterima, cukup "mendengar kata seperti itu", Terjemahannya
tidak mengurangi maksud yang ingin disampaikan.
Terjemahkanlah kata atau idem yang memiliki makna lain selain makna
kamus dengan cara mencarikan padanan yang sesuai dengan konteks. misalnya kata
terabo-rabo pada kalimat "berjalan terabo-rabo” Ti berjalan marah-marah "bila
diterjemahkan secara harfiah, karena kata Rabu (bentuk asal Rabo Rabo) dalam
kamus bahasa Minangkabau trip Melayu Riau berarti yang pertama adalah mana dan
yang kedua adalah meletakkan Reba di jalan. ini Bila dipakai salah satu arti kamus
kata tersebut dalam terjemahan sementara konteks yang mau berjalan itu ingin segala
sampai di tempat tujuan, Tentu saja tidak pas, tidak Berterima. kata tersebut baru
Berterima jika diterjemahkan "berjalan tergesa-gesa". padanan dalam menerjemahkan
adalah konteks dan konvensi budaya.

Suntingan Teks
Secara umum, penyuntingan teks dapat dibedakan menjadi dua hal,
penyuntingan naskah tunggal dan penyuntingan naskah Jamak (lebih dari satu
naskah).
1. Metode Penyuntingan Naskah Tunggal
Penyuntingan naskah tunggal dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu
metode standar dan metode diplomatik. Metode standar digunakan apabila isi naskah
dianggap sebagal cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut
agama atau sejarah sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa.
Tujuannya untuk memudahkan pembaca (peneliti) membaca dan memahami teks.
Hal-hal yang perlu dilakukan:
(1) Mentransliterasikan teks;
(2) Membetulkan kesalahan teks (emendation/conjectura);
(3) Membuat catatan perbalkan/perubahan;
(4) Memberi komentar dan tafsiran;
(5) Membagi teks dalam beberapa bagian; dan
(6) Menyusun daftar kata sulit (glosarium).

Sedangkan metode diplomatik digunakan apabila isi cerita dalam naskah


tersebut dianggap suci atau penting dari segi sejarah, kepercayaan, atau bahasa

25
sehingga diperlukan perlakuan khusus. Teks disajikan tanpa perubahan atau disajikan
sebagaimana adanya.
Tujuan metode ini adalah untuk mempertahankan kemurnian teks. Hal-hal
yang blasa dilakukan yaitu:

(1) Teks diproduksi persis seperti dalam naskah.

(2) Kesalahan harus ditunjukkan dengan metode referensi yang tepat;

(3) Saran untuk membetulkan kesalahan teks; dan


(4) Komentar mengenal kemungkinan perbaikan teks.

2. Metode Penyuntingan Naskah Jamak


Metode Edisi Naskah Jamak, dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu:
a) Metode landasan, yaitu metode yang dilakukan apabila menurut penafsiran
peneliti di antara naskah yang diteliti berbeda nilainya. Nilai itu mencakup:
penggunaan bahasa, isi, dan umur naskah yang diteliti. Peneliti memilih naskah
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
b) Metode Gabungan, yaitu metode yang diterapkan jika naskah lebih dari satu dan
kualitas naskah hampir sama. Disebut metode gabungan karena peneliti
menggabungkan beberapa bagian dari naskah yang satu dan beberapa bagian lain
dari naskah yang lainnya. Metode ini jarang dilakukan karena resikonya lebih
besar. Dalam metode ini, peneliti seolah-olah menciptakan sebuah teks baru yang
berbeda dengan teks-teks asli yang dipakai.

E. Contoh Pengaplikasian Metode Penelitian Filologi


1) Inventarisasi Naskah
Langkah pertama yang dilakukan oleh seorang peneliti naskah yang akan melakukan
transliterasi (alih aksara), yaitu inventarisasi naskah dengan cara mendata naskah dengan
menggunakan katalog buku yang tersedia di ruang baca koleksi naskah dan dicatat nomor
kode koleksinya. Selanjutnya berdasarkan daftar kode koleksi naskah tersebut, kemudian
dilakukan penelusuran koleksi naskah di beberapa tempat penyimpanannya. Naskah
dipilih berdasarkan kriteria berikut (1) diusahakan memilih naskah yang sudah mulai
rusak tetapi tulisannya masih dapat dibaca dengan jelas. Artinya kerusakannya bukan

26
karena dimakan tinta (korosi), ada halaman yang hilang karena sobek, dan sebagainya. (2)
dipilih naskah yang berisi tentang nilai-nilai positif dan menarik, serta masih relevan
dengan kondisi kehidupan pada masa kini. (3) dipilih naskah yang memiliki bentuk
penulisan aksara yang baik dan konsisten, sehingga memudahkan dalam
mengalihaksarakan dan menginterpretasikan maksud yang terkandung dalam teks.
Berikut contoh daftar naskah Cerita Wayang koleksi Pecenongan.

Di Perpustakaan Nasional Jakarta, naskah L 241 tercatat dalam 3 katalog, yaitu di


dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia. Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep. P& K yang disusun oleh
Amir Sutarga dan kawan-kawan. Dan dalam katalog naskah Van Ronkel (1909:22).

2. Deskripsi Naskah Wayang Pandu (ML 241)


Selanjutnya setelah inventarisasi melalui proses pendataan dan penelusuran naskah
Wayang Pandu (ML. 241), langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan naskah Wayang
Pandu (ML 241).

Naskah Wayang Pandu tercatat dengan nomor panggil ML. 241. Informasi tentang
judul ditemukan pada permulaan teks. Teks disalin dengan aksara arab, berbahasa Melayu
dan Betawi. Teks ditulis dengan tinta berwarna hitam di atas kertas folio bergaris dan
disajikan dalam bentuk prosa. Naskah Wayang Pandu ini telah dialih-media kan ke dalam
bentuk mikrofilm dengan nomor Rol MF 123.03 serta telah diinventarisasi dalam tiga
katalig, seperti gambaran di atsa. Naskah ini bersampul (cover) coklat muda, berukuran
33 x 21 cm, dengan jumlah halaman 282. Tiap halaman terdiri dari 18 baris tulisan
berhuruf Arab (aksara Jawi). Tulisan masih jelas terbaca dan pada halaman terakhir
terdapat 3 halaman kosong. Penomoran halaman asli, sebagian besar jilidan lepas dari
sampulnya, beberapa halaman sobek, khususnya pada sudut bawah halaman 157 dan 158.

Naskah ini berisi tentang silsilah keluarga Pandu Dewanata dari mulai nenek
moyangnya yang bernama Pari Kanan, Kamunuyusu, Sakutaram, Sukarra/Sakkari,
Purasara, Abiyasa, dan cerita diakhiri dengan kelahiran Pandu dan sampai pernikahannya
dengan tiga orang wanita, yaitu Dewi Kunti Nilabrata, Dewi Rukmani, dan Dewi
Gandawati. Pandu memboyong ketiga isterinya pulang ke Astina diiringi oleh

27
punakawannya, Lurah Semar dan Gerubuk. Naskah bertanggal 6 Agustus 1890. Cerita ini
diceritakan oleh seorang dalang dari kampung Jagalan Pecenongan dan ditulis kembali
oleh Muhammad Bakir.

a. Sekilas tentang Muhammad Bakir


Sejarah penulisan naskah di Pecenongan oleh keluarga Fadli perlu diuraikan untuk
mengenal bagaimana situasi dan kondisi naskah salinan keluarga Fadli di pecenongan.
Pecenongan salah satu daerah yang cukup tua di Jakarta Pusat. Dahulu, di Jalan
Pecenongan terdapat toko buku dan penerbit G Kolff & Co, Kolff yang pertama di
Jakarta, berdiri pada 1848. Pendirinya bernama Johannes Comelis Koiff dari negara
Belanda. Pertama kali berkantor di Huiten Niezmpoort (kini Pintu Besar Selatan). Kolff
juga aktif di bidang pers. Dia yang memberi sponsor surat kabar terkemuka di Indonesia
yaitu Java Bode. Kantor itu sekarang menjadi Hotel Red Topp. Di sini, pada abad ke-19
terdapat tradisi penulisan dan penyalman naskah. Keluarga Fadli, orang tua Muhammad
Bakir dari pecenongan, termasuk salah satu keluarga pengarang/penyalin naskah. Cerita
Naskah-naskah ditulis dalam huruf Arab Melayu (Arab-Jawi).

Pada umumnya naskah tersebut tidak dibaca sendiri, melainkan dibacakan keras-keras
oleh seseorang di hadapan publiknya. Mengingat ketika itu hanya sedikit orang yang
dapat membaca, dan lebih banyak yang hanya bisa mendengarkannya. Ketika hiburan
masih langka, banyak warga Betawi yang mencari hiburan ke perpustakaan. Karena
sifatya komersial, pada halaman terakhir ada bait-bait syair yang berisi harapan penulis
pada pembaca agar jangan melupakan uang sewa, yang akan dipergunakan untuk
keluarganya.

Sastrawan Betawi ini aktif menyalin dan mengarang sejak 1884 sampai 1906.
Muhammad Bakir dan ketiga saudaranya serta Sapirin yang sering juga disebut guru Cit
adalah keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, penyaduran, dan
penulisan. Mereka memiliki 76 judul naskah. Keluarga ini memiliki sebuah perpustakaan
rakyat yang menyewakan karya. Daftar karya yang disewakan sering disebut dalam
naskah-naskah yang dihasilkannya, sehingga pembaca tahu naskah baru mana yang akan
mereka pilih untuk dibacanya. Naskah- naskah Muhammad Bakir ternyata bukan hanya
disimpan di Leningrad, tapi juga di Leiden, Belanda. Naskah-naskah ini tersebar di

28
beberapa tempat yaitu, di Perpustakaan Nasional terdapat 27 naskah dalam 32 jilid,
sedangkan di Perpustakaan Leiden Belanda, terdapat 6 naskah. Di Leningrad Uni Soviet
terdapat 10 naskah.

3.Ringkasan Naskah ML 241


Ringkasan naskah ML 241 yang dikutip dari Katalog Naskah Pecenongan (2013:103)
bahwa cerita dimulai dari kelahiran kelima kakak beradik Pandawa. Pada awal cerita,
Maharaja Basukiweti di negeri Widara Kandang mempunyai tiga orang anak, yaitu
Basudewa, Dewi Kunti Nilabrata, dan Aryaprabu, melihat Dewi Kunti sudah menjadi
remaja, Maharaja Basukiweti berniat menyembunyikannya di sebuah pulau untuk
menghindarkannya dari pandangan mata anak raja-raja. Karena kasihan terhadap saudara
perempunnya, Aryaprabu memberikan kitab ilmu rahasia untuk dibaca dalam
pengasingan. Karena sehari-hari kitab itu dibaca, Dewi Kunti tahulah berbagai ilmu.
Malam hari ketika Dewi Kunti sedang membaca kitab dengan keras, Batara Surya
memberikan Aji Bala Sengara sambil berbaring dan terurai rambutnya, serta tidak boleh
keras-keras membacanya. Jika dilanggar Dewi Kunti akan terkena bencana.

Dewi Kunti melanggar pesan Batara Surya. Akibatnya, ia hamil tanpa bersuami.
Ketika Raja Basukiweti bermaksud membuat sayembara untuk mencarikan jodoh bagi
Dewi Kunti. Surat undangan disebarkan kepada 99 orang anak raja-raja. Sebanyak 98
undangan dikirim kepada anak raja-raja di sebelah kulon (diantarkan oleh Basudewa) dan
satu undangan dikirim ke kerajaan Astina di sebelah wetan (diantarkan oleh Wrya Prabu)
ketika tiba saat sayembara, ke 98 undangan dari kulon sudah hadir semuanya, tetapi
Abiyasa dan anaknya, Prabu Dewanata, belum hadir, sayembara dimenangkan oleh raja
Maharakapura, Arosoma, dengan mengalahkan semua raja lawannya. Setelah beberapa
hari menunggu musuhnya yang tak kunjung datang, Arasoma ingin mandi di taman
Kebun Banjaran Sari. Di taman itulah ia bertemu dengan Abiyasa dan Prabu Dewanata
yang sedang mandi, maka terjadilah pertempuran yang hebat. Masing- masing
mengeluarkan kesaktiannya. Arasoma kalah diserang pukulan Aji Bayu Gempita.
Akhirnya Pandu dikawinkan dengan Dewi Kunti dan Arasoma pulang ke negerinya.
Arasoma lalu menyerahkan saudara perempuannya Dewi Rukamani, kepada Pandu.

29
Pada bagian akhir teks diceritakan bahwa Dewi Kunti melarikan Dramakusuma.
Setelah itu, ia melahirkan bayi dalam bungkusan yang tidak dapat dipecahkan oleh
senjata apa saja. Semar pergi ke Suralaya menemui Batara Guru untuk meminta senjata
sakti. Lalu turun ke dunia dan memberikan senjata sakti itu kepada Abiyasa, yang
kemudian membela bungkusan bayi, maka keluarlah Wala Kudara Arya Jaya Sena
(Bima) Dewi Kunti kemudian hamil lagi dan melahirkan ambang Jenawi atau Arjuna.
Sementara itu, Dewi Rukamani melahirkan Nakula dan Sadewa. Mereka berlima dikenal
sebagai turunan Pandawa.

4. Pertanggungjawaban Alih Aksara


Ketiga naskah yang akan dialihaksarakan ini menggunakan Aksara Arab dan
berbahasa Melayu bercampur Betawi. Untuk mempertanggungjawabkan kesesuaian
alihaksara dengan teks aslinya, maka kami mengalihaksarakan naskah wayang Melayu-
Betawi ini dari teks naskah asli yang beraksara Arab dan berbahasa Melayu-Betawi ke
dalam aksara Latin. Pada umumnya, naskah Melayu ditulis tanpa disertai tanda baca
seperti titik, koma, tanda tanya, dan sebagainya. Selain itu, ada beberapa kata atau istilah
yang ditulis tidak konsisten oleh penulisnya, misalnya kata Mahameru ditulis Mahabiru,
Lara Amis ditulis Kara Amis, dan Astina ditulis Ngastina. Untuk memudahkan
pemahaman terhadap teks, maka teks naskah dialihaksarakan dengan memberikan tanda
baca dan ketentuan pada kata, kalimat atau istilah untuk memperbaiki bacaannya.
Beberapa ketentuan atau aturan yang digunakan dalam alihaksara ini, antara lain adalah
sebagai berikut.

1) Nama, istilah, atau kata Arab yang telah digunakan dalam bahasa Indonesia ditulis
sesuai dengan ketentuan Ejaan yang Disempurnakan, misalnya; khabar- kabar, ridla rido,
malum-maklum.

2) Kosa kata atau istilah dalam dialek Betawi ditulis sebagaimana aslinya, misalnya;
jotos,dupak, bengul, kepret, pentil, belon, mesem, mengkirik, dan sebagainya.

3) Kata atau kalimat yang berada di dalam garis miring /... merupakan bagian yang
dihilangkan, karena penulisan ganda dan salah tulis, misalnya; udarah, merasa/h/kan,
Maya/Dadali seharusnya Ruda Dadali, maka itu ditulis; maka itu/itu.

30
4) Kata atau kalimat yang berada dalam kurung siku [...] merupakan bagian yang
ditambahkan untuk memudahkan dalam membaca, misalnya:

menengar men[d]engar, suda suda[h], pulu pulu [h], maka [kata] Lurah Semar, dan
sebagainya.

5) Penomoran halaman dalam alih aksara naskah ini menggunakan tanda kurung (...)
seperti (him. 7).

6) Kata-kata yang dianggap sukar atau tidak jelas diberi tanda tanya dalam tanda
kurung (?) di belakang kata atau istilah tersebut, misalnya; Salak Duran Sinang Purut
(?), harbatal (?), kuncar (?), rum m ru rum rum (?), dan sebagainya.

5. Transliterasi cerita Wayang Pandu ML 241 (disadur dari Alih Aksara Nur Karim
dkk. (2012)
(hlm.1) alkisah maka dihamburkan ceritera serta diwartakan kepada
mendengarkan percakapan dimulakan supaya menjadi lakunya dan menjadi ramai
karena tatkala melihat alam dunia supaya menjadi sepi dan sunyi. Maka dijejerkan
kisah di dalam kayangan supaya menjadi ramai alam dunia dan menjadi panjang
ceritera, maka segalanya isi kayangan pun bermus[y]awarat akan berusaha
menurunkan kerajaan dunia supaya bole[h] menghukumkan alam dunia maka
diterbitkan dari turun temurunnya yang mula-mula yaitu; Rama, maka ia dapat anak
dari kayangan seorang laki-laki, namanya; Bermana, maka ia pun menerbitkan pula
seorang anak laki-laki yang sangat baik rupanya dan pantas dipandangnya. Namanya
itu disebut Pan Kanan, maka ia pun disuru[h]nya turun menjadi raja dalam dunia,
maka sembahnya, Mana titah Yang Mahakuasa Kang Luwih agung, hamba pun
menurut tiada dapat lagi hamba salahkan tetapi mi[n]talah bersama kawan.

Maka lama diberikan seorang Widadarin yang keindraan turun menjelma


dalam dunia yaitu disebutnya Maya Siti, maka lalu turunlah keduanya menjehna
dalam dunia duduk menjadi raja dalam suatu negeri. Tersebut pula seorang batara
yang terlebi[h] sakti dan terutama mulia dalam Ratu Jagat Tanah Pewayangan itu

31
selamanya Pari Kanan (Halaman 2) dan Maya Siti turun ke dalam dunia, maka
inginlah hati melihat dalam dunia, tambah] pula hendak turun menjaga temurun
keduanya itu sebab ia yang mula-mula supaya menjadi panjang lakunya. Jikalau ia
tiada ikut turun sendii buat menjaga Pari Kanan miscaya menjadi putus ceritera dan
pendek lelakunya. Maka pada masa itu lalu menyamarkan dirinya supaya jangan jadi
kekenalan yang itu seorang batara yang sangat mulia dan sakti, maka itu ia meupakan
dirinya dengan serupa yang amat hina, rupanya yang muda dibikin tua, rupanya yang
bagus dibikin jelek dan pakaian yang sangat indah dan bagus , ia memakai pakaian
buruk dan busuk serta menamakan dirinya Semar. Maka turunlah Semar di hadapan
Pari Kanan serta sujud menyembah, maka kata Pari Kanan, Bahwa dimanakah
datangmu dan siapakah namamu?

Maka sembahnya Lurah Semar, Hambalah diperintahkan oleh Yang


Mahakuasa buat menjaga tuanku seturun-turunan tuanku tetapi gh ambalah Lurah
Semar.”

Maka sukalah hatinya Pari Kanan itu kedua Maya Siti, lalu ia berbuat di
negeri, maka dinamakan negeri itu Negeri Mandili Diraja. Setelah itu maka Lurah
Semar pun hendak berbuat perhiasan negeri seperti (hlm.3) par dan taman kebun dan
sungai dan tanam-tanaman, maka lalu Lurah Semar perbuatlah dengan perabotnya
hingga malam yang sangat gelap ia tiada berhenti sebab hendak membela pada itu
tetapi perabotnya Lurah Semar, pacul dan arit dan kudi, perkakas tiga itu yang bekerja
hanya seorang jua, jadi tiada hasil-hasilnya sampaikan jadi malam yang gelap ia tiada
berhenti serta dipcbuat bilamana aritnya tebolan tetapi sambil ia berbuat itu sambil
berpikir, apalah menggunakan segala perabotnya hanya aku seorang tiada yang
membantu saya terlebih baik aku Jayat (?) supaya bole[h] menjadi bantu kawan,
temanu kekerja. Lalu dijayatya segala perkakas itu maka bilamana itu asal Gerubuk
dan Anggalia itu asal dari gagang pacul dan Cemuns asal dari gagang kudi dan
Gareng asal dari gagang arit. Maka inilah segala perkakas yang dijayat oleh urah
Semar maka jadilah empat perkakas itu jadi empat orang.
Setelah berupa manusia, maka sukalah hati Lurah Semar lalu diakunya anak
serta katanya, Hai anakku, peganglah masing-masing perabot ini akan jadi pekerjaan
membantukan aku.

32
Maka lalu bekerjalah ia bersama-sama Lurah Semar, maka itulah (hlm. 4)
/itulah sebabnya Lurah Semar suka ia berkata, Adu[b] anak salak duran balaman
sinang purut (?), itulah asalnya kejadian Lurah Gerubuk dan Anggalia dan Cemuris
dan Gareng, maka jadi dibuat sebutan oleh Lurah Semar sehari-hari itu sebab itulah
yang disebuta asal kejadian anaknya itu adanya.

Hatta tersebutlah Pari Kanan itu berkasih-kasihan dengan isterinya yang


bernama Maya Siti, maka tiada berapa lamanya hamillah isterinya. Setelah sampai
bulannya maka berputralah ia seorang anak laki-laki namanya itu. Kamunuyusu.
Maka Lurah Semar, Gerubuk, Gareng, dan Anggalia mengunjungilah lokomotif itu
dengan suka hati karena berole[h] tuan pula seorang. Maka setelah suda[h] besaran,
lalu Lurah Semar dengan keempat beranak pun ajak bermain-main komoditas itu
hingga suda[h] sampai cukup bilangan umumnya, lalu Pari Kanan menyerahkan
Kamunuyusu itu pada seorang pendeta yang tahu mengaja mengaji, maka belajarlah
ia.

Setelah tahulah ia daripada mengaji hingga diajarnya beberapa ilmu pakaian


mana laki-laki seperti bermain-main panah dan bermain-main senjata kens dan
tombak dan pedang, maka mengertilah (hlm.5) ia sekaliannya, maka sekalian yang
adapun sukalah hati tiada terkira-kira .

Maka sampai di berhentinya ceritanya, jika hendak men[d]engar yang lebi[h]


ada pada lain koresan/ (goresan) tetapi ini ceritera saya hendak memanjangkan yang
lebih] karena ini dipendekkan ceriteranya sebab nukil, hendak dicepatkan agar bisa
jadi lekas perkabaran dan supaya jangan menjadi hilang. Lebih-lebi[h] banyak
maklum di atas hamba yang mengarang Muhammad Bakir Syafian bin Usman al-
fadhil, kampung Pecenongan, adanya.
Ini hikayat ada lagi sambungannya pada koresan lain/ (goresan), yaitu pandu
turun di Pandawa Lima.

6. Daftar Istilah ML 241


Ajar-ajar: Pertapa, pendeta

33
Bacin: Bau seperti ikan busuk
Bahla: Bahaya, celaka
Batara: Gelaran dewa atau raja
Belencong: Sejenis lampu yang dipakai dalam pertunjukkan wayang

Berjura[h]: Membungkuk untuk memberi hormat dan menyembah


Beraja: Bintang berekor
Benggala: Sembab, bengkak karena banyak menangis
Boyong: Berpindah tempat tertawan
Buta:Gergasi, raksasa
Cangkriman: Teka-teki
Cokmar: Sejenis pemukul besar yang berduri-duri
Celon: Obor
Cucur, Cucor: Aliran ke bawah, mengalir ke bawah
Curang: Jurang
Daun Sedri: Daun Seledri
Fuadi: Perasaan hati
Gadik, Gadik: Bercampur aduk
Gara-gara: Benchana, hura-hura,kehebohan
Gandaran:Kendaraan
Garu: Gaharu
Gubah, Kubah: Atap yang lengkung seperti pada masjid, dll.
Hapes :Apes, Sial
Hima, Khema: Perkemahan, Tenda
Intanggi: Setangi

Jogan: Langit, udara, cakrawala


Kebuyutan:Sudah tua sekali, keramat
Kedayan: Pengiring, hamba
Kejam:Pejam, menutup mata hingga tiada dapat melihat
Kelasah, kelusoh: Sangat gelisah
Kelenger: Pingsan, tidak sadarkan diri
Kemala: Batu yang berhikmat

34
Ketopong : Topi yang tinggi dipakai kpala sebagai perhiasan
Kudang:Permintaan orang perempuan yang harus dipenuhi oleh laki-
laki yang akan mengawininya.

35
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Metode penelitian filologi adalah serangkaian pendekatan, teknik, dan prosedur penelitian
yang digunakan untuk mengungkap, menganalisis, dan memahami teks-teks tertulis, bahasa,
dan sastra dengan fokus pada aspek linguistik, sejarah, dan budaya. Dalam kajian filologi
penelitian menggunakan dua objek, yaitu objek material dan objek formal. Dalam metode
penelitian filologi, ada dua model pemikiran yang berkembang, yakni metode penelitian
filologi berdasarkan objek penelitian dan metode penelitian berdasarkan tahapan penelitian.
Adapun proses penelitian filologi terdiri dari inventarisasi naskah, deskripsi naskah,
perbandingan naskah dan teks, pemilihan metode edisi, dan transliterasi.

B. Saran

Pembuatan makalah mengenai materi yang dibahas bukanlah sekedar untuk memenuhi
tugas matakuliah Teori Filologi saja melainkan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan
ilmu pengetahuan pembaca dan terkhusus penulis. Tentunya hal yang berkaitan dengan
aktivitas penelitian harus mempelajari ilmu Filologi secara maksimal. Sehingga diharapkan
dibuatkannya makalah ini dapat membantu pembaca dalam rangka menambah wawasan dan
pengetahuan dalam ilmu Filologi. Tentunya penulis merasa masih banyak kekurangan
dalam pembuatan makalah ini serta dengan persiapan yang kurang maksimal. Oleh karena itu
masukan dari pembaca sangat diharapkan untuk meluruskan serta memantapkan ilmu
pengetahuan ini.

36
DAFTAR PUSTAKA

Mahsun (2017). Metode Penelitian Bahasa. Depok: Rajawali Pers.

Nuarca, K. (2017). Metode Filologi.

Nurizzati (1998). Metode-Metode Penelitian Filologi.

Nuruddin (2017). Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan


UNJ.

Wardah, E.S. (2010). Tahapan/Proses Cara Kerja Penelitian Filologi. Jurnal Tsaqofah
Vol.08, No.02 (2010)

Muhardi. (1986). "Naskah Minangkabau: Suatu Kajian Transliterasi dan Penerbitan" dalam
Majalah Ilmiah Wacana Budaya, No. 2,

Abdul Chaer, "Linguistik Umum" Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Oman Fathurahman, Filologi Indonesia : Teori dan Metode, 2015 Kencana : Jakarta

Ahmad Sirfi Fatoni, Pernak-pernik metode dan Pendekatan dalam Penelitian Filologi, Jurnal
Mahasantri Volume 2, Nomor 1, November 2021

37

Anda mungkin juga menyukai