Anda di halaman 1dari 20

REKAYASA IDE

LINGUISTIK SEBAGAI SEBUAH DISIPLIN ILMU


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Linguistik Mikro

Dosen Pengampu : Dr. Wisman Hadi, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
RIZKI ANNISA
2192411001

REGULER C 2019
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA SASTRA
INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Rekayasa Ide tepat pada
waktunya., adapun tugas ini dikerjakan untuk memenuhi mata kuliah Linguistik Mikro.

Saya berharap dengan adanya tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca agar pembaca
dengan mudah memahami dan mengerti teori-teori yang terdapat dalam buku yang berbentuk
ringkasan hasil pembahasan isi, serta mengetahui linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu.

Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kata-kata yang kurang
berkenan. Dalam kesempatan ini saya juga berharap agar pembaca memberikan kritik dan
saran yang membangun agar menjadi lebih baik lagi. Akhir kata saya mengucapkan sekian
dan terimakasih.
Medan, 20 November 2019

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................1

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I.........................................................................................................................................3

PENDAHULUAN......................................................................................................................3

A. Latar Belakang................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4

C. Tujuan.............................................................................................................................4

BAB II........................................................................................................................................5

KAJIAN TEORI.........................................................................................................................5

A. Linguistik sebagai Ilmu...................................................................................................5

B. Subdisiplin Linguistik.....................................................................................................7

C. Objek Kajian Linguistik..................................................................................................9

D. Tujuan Studi Bahasa (Linguistik).................................................................................14

E. Pendekatan Linguistik...................................................................................................15

F. Berbagai Aliran Linguistik............................................................................................16

BAB III.....................................................................................................................................18

SIMPULAN.............................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Dua sejoli ini
bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu atau seperti gula dengan manisnya.
Bahasa dalam kajian filsafat bukanlah hal yang baru. Minat para filosof untuk
mengkaji bahasa mulai muncul sejak hadirnya Retorika Corax dan Cicero pada zaman
Yunani dan Romawi abad 4 – 2 SM. Namun, bahasa tidak serta merta menjadi pusat
perhatian pada masa itu. Bahasa mulai diperhitungkan dan bahkan memainkan peranan yang
sangat besar dalam berbagai aliran filsafat pada abad ke-20 hingga saat ini, seperti dalam
kajian fenomenologi, eksistensialisme Heidegger, filsafat analitik, neopositivisme
(positivisme logis), hermeneutika, dan semiotika. Abad kejayaan bahasa dalam filsafat pada
abad ke-20 hingga saat ini disebut dengan logosentrime. Kata logosentrisme berasal dari kata
logos yang berati bahasa, teks, isi pemikiran, kata, kalam, dan pembicaraan.
Jika bahasa dimengerti dalam arti luas, yaitu dalam arti teks, tekstur atau jalinan
antara struktur-struktur, maka akan ditemukan begitu banyak filosof yang digolongkan dalam
kelompok filosof yang memiliki kecenderungan logosentrime. Kelompok filosof tersebut
adalah Moore dan Russell yang mengembangkan analisis bahasa (filsafat analitik), Heidegger
dan Jasper mengembangkan filsafat eksistensialisme, Merleau-Ponty mengembangan filsafat
fenomenologi, Claude Levi-Strauss, dkk. (Jacques Lacan, Lois Althhusser, dan Michel
Foucault) mengembangkan filsafat strukturalisme, dan kelompok filosof yang
mengembangan atau mendukung filsafat postmodernisme.
Filsafat yang mengkaji bahasa sebagai titik sentralnya tidak hanya terjadi di bagian
Barat, tetapi terjadi juga di dalam tradisi filsafat Islam. Dalam sepanjang sejarah
perkembangan tradisi filsafat Islam, masalah bahasa telah menjadi tema sentral kajian para
filosof muslim, baik secara langsung maupun tidak. Bahkan filsafat itu sendiri telah dijadikan
metode pembahasan rumpun ilmu kebahasaan Islam. Konsep-konsep seperti sylogisme-
analogi (al-kiyas), al qadiyah (proposisi), hermeneutika dan yang lainnya telah menjadi
perhatian besar para ilmuan (ulama), para filosof, para ahli ilmu kalam (teolog), dan para sufi.
Mereka tidak hanya mendiskusikannya, tapi menerapkannya dalam berbagai segi kehidupan
seperti dalam bidang hukum, politik, pengkajian terhadap sumber Islam, dan yang lainnya.

3
Pengkajian bahasa dalam filsafat yang begitu panjang kemudian melahirkan sebuah
disiplin ilmu yang mereka disebut dengan linguistik. Linguistik sendiri sering diartikan
sebagai ilmu bahasa atau ilmu tentang bahasa. Linguistik sering dijadikan sebagai alat untuk
meneliti bahasa, lebih tepatnya meneliti bahasa manusia.
Namun, yang menjadi permasalahan sekarang adalah, apakah benar linguistik adalah
sebuah disiplin ilmu? Kalau memang jawaban ya, tentu ada suatu landasan berpikir yang bisa
menjadi sebuah tolok ukur suatu kajian bisa dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu.
Setidaknya, dalam makalah ini akan dipaparkan landasan berpikir yang menjadikan linguistik
sebagai sebuah disiplin ilmu.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah, apakah benar linguistik
adalah sebuah disiplin ilmu?

C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menemukan pembenaran bahwa
linguistik adalah sebuah disiplin ilmu.

4
BAB II

KAJIAN TEORI

Mengkaji linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu tentu bukanlah sebuah pekerjaan yang
mudah. Dibutuhkan pemahaman yang mendalam dan membaca referensi yang lebih banyak
mengenai linguistik. Namun setidaknya sebagai seorang pemula, memahami dan mengkaji
linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu adalah suatu keharusan karena bisa dijadikan sebagai
landasan berpikir untuk bisa mengkaji dan memahami linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu
dalam mengkaji bahasa secara universal dan akan memberi pemahaman kepada kita
mengenai hakikat dan seluk beluk bahasa sebagai satu-satunya alat komunikasi yang terbaik
yang hanya dimiliki manusia, serta bagaimana bahasa itu menjalankan peranannya dalam
kehidupan manusia bermasyarakat.

A. Linguistik sebagai Ilmu


Secara populer orang sering menyatakan bahasa linguistik adalah ilmu tentang
bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih tepat lagi,
seperti yang dinyatakan Martinet (dalam Chaer,2012:1) bahwa linguistik adalah telaah ilmiah
mengenai bahasa manusia.
Sebelum membahas linguistik sebagai ilmu, terlebih dahulu perlu diketahui apa
sebenarnya yang disebut dengan ilmu. Montagu (1959) memberi batas ilmu sebagai
systematized knowledge derives from observation, study and esperimentation carried in
order to determine the nature or principles of what being study ‘pengetahuan yang disusun
dalam satu sistem yang didasarkan pada pengamatan, studi, dan pengalaman untuk
menentukan hakekat dan prinsip tentang hal yang sedang dikaji’. Untuk mengembangkan
sebuah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, maka ketiga syarat tentang ilmu, yakni
observasi (pengamatan), studi (kajian), dan eksperimen (percobaan/pengalaman) harus
terpenuhi.
Linguistik dapat dikategorikan sebagai disiplin ilmu karena memiliki syarat-syarat
sebagai ilmu, yakni eksplisit, sistematik, dan objektif (Crystal,1987). Eksplisit artinya jelas,
tidak samar-samar, rumusannya terlihat nyata sehingga tidak mengundang kebingungan atau
pemahaman lain. Kalimat misalnya, dirumuskan sebagai rangkaian kata yang memiliki
makna yang utuh dan diakhiri intonasi final (sempurna). Sistematik artinya memiliki

5
keberaturan atau pola-pola yang konsisten, teratur, dan ajeg. Linguistik sebagai sebuah ilmu
harus memiliki sistem pada setiap gejala yang dimilikinya. Misalnya, sistem bunyi bahasa
yang dikaji dalam fonologi, sistem bentuk yang dikaji dalam morfologi, dan sistem kalimat
yang dikaji dalam sintaksis. Terakhir, objektif yang artinya memiliki sifat terbuka dan dapat
dideskripsikan dengan jelas. Artinya, bahasa sebagai objek kajian linguistik dapat
dideskripsikan secara terbuka oleh siapa saja.
Linguistik menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya dengan mendekati bahasa
bukan sebagai apa-apa melainkan hanya sebagai bahasa. Pendekatan bahasa sebagai bahasa
ini sejalan dengan ciri-ciri hakiki bahasa di bawah ini.
Pertama, karena bahasa adalah bunyi ujaran, maka linguistik melihat bahasa sebagai
bunyi. Artinya bagi linguistik bahasa lisan adalah yang primer, sedangkan bahasa tulis hanya
sekunder.
Kedua, karena bahasa bersifat unik, maka linguistik tidak berusaha menggunakan
kerangka suatu bahasa untuk dikenakan pada bahasa lain. Misalnya, dulu banyak ahli bahasa
yang meneliti bahasa-bahasa di Indonesia dengan menggunakan kerengka atau konsep yang
belaku dalam bahasa Latin, Yunani, atau Arab, sehingga masyarakat Indonesia sekarang
mewarisi konsep-konsep yang tidak cocok untuk bahasa-bahasa di Indonesia, seperti konsep
kata majemuk, konsep tekanan kata, dan konsep artikulus. Pendekatan terhadap bahasa yang
dilakukan oleh para peneliti dahulu tidak melihat bahawa setiap bahasa mempunyai keunikan
atau ciri khasnya masing-masing; meskipun diakui ada juga kesamaan-kesamaan sistem
antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain.
Ketiga, karena bahasa adalah suatu sistem, maka linguistik mendekati bahasa bukan
sebagai kumpulan unsur yang terlepas, melainkan sebagai kumpulan unsur yang satu dengan
lainnya mempunyai hubungan yang kemudian disebut dengan pendekatan struktural.
Lawannya disebut pendekatan atomistis, yaitu yang melihat bahasa sebagai kumpulan unsur-
unsur yang terlepas, yang berdiri sendiri-sendiri.
Keempat, karena bahasa itu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan
perkembbangan sosial budaya masyarakat pemakaianya, maka linguistik memperlakukan
bahasa sebagai sesuatu yang dinamis. Lalu, karena itulah linguistik dapat mempelajari bahasa
secara sinkronik dan diakronik. Secara sinkronik artinya mempelajari bahasa dengan berbagai
aspeknya pada masa waktu atau kurun waktu yang tertentu atau terbatas. Studi sinkronik ini
bersifat deskriptif karena linguistik hanya mencoba memberikan keadaan bahasa itu menurut
apa adanya pada kurun waktu yang terbatas. Secara diakronik artinya mempelajari bahasa
dengan perbagai aspeknya dan perkembangannya dari waktu ke waktu, sepanjang kehidupan
6
bahasa itu. Studi bahasa secara diakronik lazim juga disebut studi historis komparatif.
Dengan memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang tidak statis, maka linguistik
mempunyai pandangan bahwa apa dirumuskan oleh para ahli terdahulu belum tentu dapat
diterapkan mada masa sekarang atau yang akan datang.
Kelima, karena sifat empirisnya, maka linguistik mendekati bahasa secara deskriptif
dan tidak secara spekulatif. Artinya, yang penting dalam linguistik adalah apa yang
sebenarnya diungkapkan oleh seseorang (sebagai data empiris) dan bukan apa yang menurut
si peneliti seharunya diungkapkan.

B. Subdisiplin Linguistik
Setiap disiplin ilmu biasanya dibagi atas bidang-bidang bawahan atau sering disebut
dengan subdisiplin atau cabang-cabang berkenaan dengan adanya hubungan disiplin itu
dengan masalah-masalah lain. demikian pula dengan linguistik. Mengingat bahwa objek
linguistik, yaitu bahasa yang merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari segala
kegiatan manusia bermasyarakat, sedangkan kegiatan itu sangat luas, maka subdisiplin atau
cabang linguistik itu pun menjadi sangat banyak. Subdisiplin linguistik dapat dikelompokkan
berdasarkan pada: (a) linguitik umum dan linguistik khusus, (b) linguistik sinkronik dan
linguistik diakronik, (c) linguistik mikro dan linguistik makro, (d) linguistik teoritis dan
linguistik terapan (Chaer,2012:14).
1. Linguitik Umum dan Linguistik Khusus
Linguistik umum adalah linguistik yang berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa
secara umum. Penyataan-pernyataan teoretis yang dihasilkan akan menyangkut bahasa pada
umumnya, bukan bahasa tertentu. Sedangkan linguistik khusus berusaha mengkaji kaidah-
kaidah bahasa yang berlaku pada bahasa tertentu, seperti bahasa Indonesia atau bahasa Sasak.
Kajian khusus ini bisa juga dilakukan terhadap satu rumpun atau subrumpun bahasa,
misalnya, rumpun bahasa Sasak.
Kajian umum dan khusus ini dapat dilakukan terhadap keseluruhan sistem bahasa atau
hanya pada satu tataran dari sistem bahasa itu. Oleh karena itu, mungkin ada studi mengenai
fonologi secara umum atau fonologi secara khusus, morfologi secara umum atau morfologi
secara khusus, sintaksis secara umum atau sintaksis secara khusus.
2. Linguistik Sinkronik dan Linguistik Diakronik
Linguistik sinkronik mengkaji bahasa pada masa yang terbatas, misalnya, mengkaji
bahasa Indonesia pada tahun dua puluhan atau bahasa Sasak dewasa ini. Studi linguistik

7
sinkronik ini biasa disebut juga linguistik deskriptif, karena berupaya mendeskripsikan
bahasa secara apa adanya pada suatu masa tertentu. Sedangkan linguistik diakronik berupaya
mengkaji bahasa atau bahasa-bahasa pada masa yang tidak terbatas; bisa sejak awal kelahiran
bahasa tersebut sampai zaman punahnya (kalau bahasa tersebut sudah punah seperi bahasa
Latin dan Sanskerta), atau sampai zaman sekarang (kalau bahasa itu masih tetap hidup,
seperti bahasa Arab dan bahasa Jawa).
Kajian linguistik diakronik ini biasanya bersifat historis dan komparatif. Tujuan dari
linguistik diakronik ini adalah untuk mengetahui sejarah struktural bahasa beserta dengan
segala bentuk perubahan dan perkembangannya. Hasil kajian linguistik diakronik seringkali
diperlukan untuk menjadi penjelas bagi deskripsi studi sinkronik.
3. Linguistik Mikro dan Linguistik Makro
Linguistik mikro mengarahkan kajiannya pada struktur internal suatu bahasa tertentu
atau struktur internal suatu bahasa pada umumnya. Dalam linguistik mikro ada subdisiplin
linguistik, yakni fonologi, morfologi, sintaksi, semantik, dan leksikologi. Namun ada juga
yang menggabungkan morfologi dan sintaksi menjadi morfosintaksis; dan menggabungkan
semantik dengan leksikologi menjadi leksikosemantik. Fonologi menyelidiki ciri-ciri bunyi
bahasa, cara kejadiannya, dan fungsinya dalam sistem kebahasaan secara keseluruhan.
Morfologi menyelidiki struktur kata, bagian-bagiannya, secara cara pembentukannya.
Sintaksis menyelidiki satuan-satuan kata dan satuan-satuan kata lain di atas kata, hubungan
satu dengan lainnya, serta cara penyusunannya sehinga menjadi satuan ujaran. Morfologi dan
sintaksis dalam peristilahan tata bahasa tradisional biasanya berada dalam satu bidang yaitu
gramatika atau tata bahasa. Semantik menyelidiki makna bahasa baik bersifat leksikal,
gramatikal, maupun kontekstual. Sedangkan leksikologi menyelidiki leksikon atau kosa kata
suatu bahasa dari berbagai aspeknya.
Studi linguistik mikro ini sesungguhnya merupakan studi dasar linguistik karena yang
dipelajari adala struktur internal suatu bahasa. Sedangkan linguistik makro mengarahkan
kajiannya pada bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, lebih banyak
membahasa faktor luar bahasanya itu daripada struktur internal bahasa. Subdisiplin linguistik
dalam linguistik makro dalam berbagai teks biasanya kita dapati subdisiplin seperti
sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, etnolinguistik, stilistika, filologi,
dialektologi, filsafat bahasa, dan neurolonguistik. Semua subdisiplin tersebut bisa bersifat
teoretis maupun terapan.

8
4. Linguistik Teoritis dan Linguistik Terapan
Linguistik teoretis berusaha mengadakan penyelidikan terhadap bahaa atau bahasa-
bahasa, atau hubungan bahasa dengan faktor-faktor yang berada di luar bahasa hanya untuk
menemukan kaidah-kaidah yang berlaku dalam objek kajiannya. Jadi, kegiatannya hanya
untuk kepentingan teori saja. Berbeda dengan linguistik terapan yang berusaha mengadakan
penyelidikan terhadap bahasa atau hubungan bahasa dengan faktor-faktor di luar bahasa
untuk kepentingan memecahkan masalah-masalah praktis yang terdapat dalam masyarakat.
Misalnya, penyelidikan linguistik untuk kepentingan pengajaran bahasa, penyusunan buku
ajar, penerjemahan buku, penyusunan kamus, pembinaan bahasa nasional, penelitian sejarah,
pemahaman terhadap karya sastra, dan juga penyelesaian masalah politik.

C. Objek Kajian Linguistik


Setiap kajian yang bersifat ilmiah tentu mempunyai objek. Begitu juga dengan
linguistik yang menjadikan bahasa sebagai objeknya. Untuk lebih memahami pendekatan
linguistik terhadap objeknya dan perbedaannya pendekatan yang digunakan oleh disiplin ilmu
yang lain yang menjadi bahasa sebagai objek kajiannya juga, maka ada baiknya kita pahami
terlebih dahulu mengenai bahasa.
1. Hakikat Bahasa
Bahasa. Sangat begitu gampang mengartikan atau memberikan sebuah definisi
mengenai bahasa. Bahasa seperti yang didefinisikan oleh Joseph Bram (dalam
Hidayat,2006:22) adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi yang
arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu
sama lain. Dari definisi tersebut, dapat kita pahami bersama bahwa bahasa hanya digunakan
oleh para (manusia) anggota suatu kelompok sosial yang digunakan sebagai alat komunikasi
antara satu sama lain.
Pertanyaan yang muncul adalah, “Apakah bahasa hanya dimiliki oleh manusia?”
Seperti yang kita ketahui bersama, alam semesta ini begitu luas dan bukan hanya manusia
yang menjadi penghuninya. Bumi misalnya, bumi dihuni oleh berbagai macam makhluk
hidup yang kemudian diklasifikasikan oleh para ilmuan menjadi manusia, tumbuhan, dan
binatang.

9
Apabila kita perhatikan dan berpikir lebih dalam (radik), tentu kita akan berpikir
tumbuhan dan binatang memiliki bahasa. Tumbuhan dan binatang seperti halnya manusia
yang merupakan makhluk hidup, dalam kesehariannya melakukan hubungan antar satu sama
lain. Dan untuk melakukan hubungan tersebut dibutuhkan alat untuk berkomunikasi, yaitu
bahasa. Seperti yang tertuang di dalam Al-Quran surat An-Naml ayat 16 dan 18 yang artinya,
“(16) Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia (Sulaiman) berkata, “Wahai manusia!
Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh (semua) ini
benar-benar karunia yang nyata. (18) Hingga ketika mereka sampai di lembah semut,
berkatalah ratu semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar
kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang kisah Nabi Sulaiman a.s yang menguasai segala
macam bahasa termasuk bahasa makhluk hidup yang lainnya yang kemudian mengumpulkan
bala tentaranya untuk melakukan perjalanan dan secara tidak sengaja mendengar percakapan
ratu semut kepada rakyat untuk segala berlindung di dalam sarang agar tidak terinjak oleh
Nabi Sulaiman a.s dan tentaranya. Dari ayat tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa
semua yang ada di alam semesta ini memiliki bahasa, tanpa terkecuali, yakni bahasa mereka
masing-masing.
Bahasa, setakat ini hanya diidentikkan dengan manusia. Hanya manusia yang
memiliki bahasa dan yang lain tidak. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki sistem
artikulasi yang bisa membentuk bunyi ujaran yang jelas dan pasti yang bersifat produktif dan
dinamis sehingga bisa membentuk suatu makna berdasarkan bunyi ujaran yang diucapkan
yang diperoleh melalui proses belajar. Sedangkan hewan atau makhluk hidup yang lainnya
hanya berbentuk bunyi atau gerak isyarat yang dikuasai secara instingtif atau secara naluriah
tidak melalui proses belajar. Hal itulah yang menyebabkan adanya suatu konsep atau teori
bahwa hanya manusia yang memiliki bahasa dan yang lainnya tidak.
Bahasa secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta bhasa, bhas ‘hembusan
nafas’. Definisi bahasa kemudian berkembang menjadi sistem bunyi yang keluar dari mulut
manusia. Definisi ini mengisyaratkan bahwa bahasa adalah sistem bunyi yang artbitrer.
Berkaitan dengan hal ini, bahasa seperti yang dikemukakan oleh Kridalaksana (dalam
Chaer,2012:32) adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota
kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.
Berdasarkan definisi di atas, tampak bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang
digunakan oleh sekelompok manusia (masyarakat) secara artibitrer sebagai alat komunikasi.
Perlu dipahami bersama bahwa bunyi-bunyi yang digunakan dalam bahasa bukanlah
10
sembarang bunyi, akan tetapi bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang memiliki
maksud atau makna.
Bahasa hanya dimiliki manusia didasarkan pada hakikat bahasa itu sendiri. Hakikat
bahasa atau ciri-ciri bahasa menurut Chaer dan Agustina (2010:11) adalah bahasa itu sebuah
sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
Bahasa adalah sebuah sistem merupakan suatu gambar bahwa bahasa dibentuk oleh
komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
Bagi orang yang mengerti sistem bahasa Indonesia akan mengakui susunan kalimat
“Hendra mengerjakan tugas filsafat ilmu hingga larut malam.” Tetapi tidak dengan kalimat
“Mengerjakan Hendra filsafat tugas hingga ilmu malam larut,” karena tidak tesusun menurut
sistem kalimat bahasa Indonesia. Sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematis
juga bersifat sistemis. Sistematis, artinya, bahasa tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak
tersusun secara acak atau sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, sistem bahasa bukan
merupakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem, yakni fonologi,
morfologi, sintaksis, dan leksikon. Setiap bahasa biasanya memiliki sistem yang berbeda dari
bahasa lainnya.
Sistem bahasa yang dibicarakan di atas adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk
bunyi. Artinya, lambang-lambang tersebut berbentuk bunyi ujar atau bunyi bahasa. setiap
lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Misalnya, lambang
bahasa yang berbunyi [filsafat] melambangkan konsep atau makna ‘sejenis pengetahuan yang
berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya mengenai segala sesuatu berdasarkan
pikiran belaka (Poedjawijatna dalam Tafsir,2013:10)’. Karena setiap lambang bunyi memiliki
atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap satuan
ujaran bahasa memiliki makna. Jika ada lambang bunyi yang tidak memiliki atau menyatakan
suatu konsep atau makna, maka lambang tersebut tidak termasuk dalam sistem suatu bahasa.
Lambang bunyi bahasa bersifat arbitrer. Artinya, hubungan antara lambang dan yang
dilambangkannya tidak bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat dijelaskan mengapa
lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara konkret, mengapa lambang bunyi
[filsafat] digunakan untuk menyatakan ‘sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab
yang sedalam-dalamnya mengenai segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka’ adalah tidak
dapat dijelaskan. Andaikata hubungan itu bersifat wajib, tentu untuk menyatakan sebuah
disiplin ilmu yang dalam bahasa Indonesia disebut [filsafat] tidak akan ada yang
menyebutnya <falsafah> atau <philosophy>.

11
Meskipun lambang-lambang bersifat arbitrer, lambang bahasa juga bersifat
konvensional. Artinya, setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang
dengan dilambangkannya. Setiap penutur akan mematahui bahwa lambang [filsafat] hanya
digunakan untuk menyatakan ‘sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya mengenai segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka’, dan tidak untuk
melambang konsep yang lain, sebab jika dilakukan berarti si penutur telah melanggar
konvensi tersebut.
2. Bahasa sebagai Objek Linguistik
Sebagai objek linguistik, bahasa menyimpan sejumlah masalah yang harus dikaji dan
dijawab oleh para ahli bahasa (linguis). Setiap masalah kebahasaan pada akhirnya akan
melahirkan disiplin ilmu tersendiri. Disiplin ilmu itulah yang menjadi subdisiplin linguistik.
Berbagai masalah kebahasaan yang perlu ditelusuri adalah:
a. apa sebenarnya bahasa itu;
b. bagaimana wujud bahasa;
c. apa konteks penggunaan bahasa;
d. dari mana asal-usul bahasa;
e. apa fungsi bahasa;
f. bagaimana cara mempelajari bahasa; dan
g. bagaimana cara melestarikan bahasa.
Masih ada sederet permasalahan yang mengahadang di depan para linguis dan
peminat bahasa untuk dipecahkan. Permasalahan yang diungkapkan di atas hanyalah
sebagian kecil dari permasalahan yang ada.
a. Wujud Bahasa
Bahasa, sebagaimana telah diketahui bersama bahwa bahasa merupakan sistem
lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia untuk berkomunikasi dengan
sesamanya. Definisi bahasa pada dasarnya merujuk pada beberapa hal, yakni wujud, cara,
fungsi, dan hakikat bahasa.
Pada hakikatnya wujud bahasa dapat dipilah menjadi dua, yakni bahasa lisan dan
tulis. Bahasa tulis, tentu hanya turunan dari bahasa lisan. Hal yang membedakan bahasa lisan
dan bahasa tulis sebagai berikut.

12
Bahasa Lisan Bahasa Tulis
Asli Turunan
primer skunder
ada situasi afeksi lambang visual, nonafeksi
diucapkan langsung disampaikan dengan tulisan
sistem bunyi sistem tulisan
intonasi tanpa intonasi
konteks tuturan tanpa konteks tuturan

Bahasa lisan pada umumnya dianggap lebih jelas dibandingkan dengan bahasa tulis
karena didukung oleh:

1) konteks situasi (konteks sosial/kultural dalam sebauh pembicaraan);


2) mimik (raut muka, biasanya raut muka seseorang akaan menunjukkan
perubahan ketika perasaannya mengalami sesuatu;
3) gesture (gerak-gerik badan, tangan, muka, ketika orang sedang bicara); dan
4) intonasi (tinggi rendahnya atau panjang pendeknya pengucapan kalimat-
kalimat).

Sementara itu, bahasa tulis dianggap kehilangan aspek-aspek alamiah bahasa (setting
dan konteks tuturan) karena tidak memungkinkan aspek-aspek tersebut hadir dalam bahasa
tulis. Beberapa aspek tersebut hanya dapat direpresentasikan atau dinampakkan dalam bentuk
lambang dengan tanda seru (!), tanda titik (.), dan tanda tanya (?).
b. Asal Usul Bahasa
Dari mana bahasa pertama kali muncul? Bagaimana cara pembentukannya? Tentu
tidak mudah mencari jawaban dari pertanyaan tersebut. Kalaupun ada jawaban dari
pertanyaan tersebut, pastinya hal itu hanyalah sebuah spekulasi yang sulit
dipertanggungjawabkan kebenaran universalnya. Permasalahannya adalah tidak cukup bukti
nyata dan metode yang dapat menuntun ke arah jawaban itu.
Teori dan berbagai pendapat mengenai asal-usul bahasa pada umumnya dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni mistic phase (fase mistis) dan organic phase.
Fase mistis (mistic phase) atau divine origin, yaitu tahap pemikiran tentang asal-usul bahasa
yang masih dipengaruhi oleh alam pemikiran mistik. Segala sesuatu selalu dikembalikan
kepada dunia yang serba mistis dan keterangan-keterangan dari kitab suci agama. Sedangkan
organic phase adalah tahap pemikiran yang dilandasi rasio dan pengetahuan empiris.

13
Apabila kedua pemikiran tersebut digabung, akan diperoleh suatu pengetahuan bahwa
bahasa dihasilkan oleh manusia karena adanya kemampuan psikologis yang dipicu oleh
stimulus tertentu yang ada disekitarnya. Kedua pemikiran tersebut sebagian berkembang
sendiri-sendiri, sebagian terpadu komprehensif membentuk ilmu pengetahuan interdisipliner.
c. Konteks Bahasa
Konteks bahasa adalah situasi dan kondisi pada saat terjadinya sebuah tuturan. Situasi
dan kondisi yang dimaksud adalah latar belakang terjadinya komunikasi dan interaksi antara
pemakai bahasa. Konteks sangat penting dalam pemahaman bahasa. Dalam kondisi tertentu,
pemahaman bahasa tidak akan lengkap dan tetap jika konteks tuturan tidak dipahami. Hal
inilah yang menyebabkan konteks berpengaruh besar dalam penentuan dan tujuan-tujuan
berbahasa. Tuturan yang sama misalnya, dapat berbeda maknanya jika diucapkan dalam
konteks yang berbeda. Contohnya, “Kita harus segera cari jalan keluar!”. Kalimat ini bisa
bermakna:
1) mencari jalan keluar dari tempat yang membingungkan atau menyesatkan;
atau
2) mencari pemecahan atau solusi dari sebuah permasalahan.

D. Tujuan Studi Bahasa (Linguistik)


Tujuan dan manfaat dari studi bahasa adalah untuk memperoleh pengertian yang
selengkapnya tentang gejala bahasa scara umum. Tujuan itu hanya dapat dicapai dengan
penelitian dalam berbagai bahasa, yakni penelitian bentuk fisik sebagai ekspresi gejala
bahasa. penyelidikan bahasa selalu berarti kajian pemakaian bahasa dalam suatu masyarakat.
Tujuan para linguis adalah untuk mempelajari selengkap mungkin tentang segala sesuatu
yang sistematis dalam pemakaian bahasa.
Adapun manfaat kajian bahasa adalah untuk mengungkapkan bahasa sebagai suatu
sistem lingual dan bahasa sebagai alat komunikasi. Sistem lingual atau struktur internal
bahasa dan pola-pola pemakaian bahasa dalam masyarakat perlu diungkapkan agar bahasa
dan ilmu bahasa dapat bertemu dalam bentuk penjelasan yang komprehensif.
Pada umumnya, tujuan studi bahasa dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1. tujuan praktis, yakni memberikan pemahaman tentang cara berkomunikasi dan
berinteraksi dengan baik, benar, dan lancar;

14
2. tujuan estetis, yakni memberikan pemahaman tentang cara menggunakan bahasa
dengan indah dan menarik;
3. tujuan filologis, yakni memberikan pemahaman dan mengungkap hal-hal atau nilai-
nilai bahasa dari segi kebudayaan masa lampau; dan
4. tujuan linguistis, yakni berorientasi pada mengungkap gejala bahasa secara objektif
yang diungkap dan dikaji dengan bahasa.

E. Pendekatan Linguistik
Dalam mempelajari bahasa diperlukan teknik-teknik atau cara-cara yang sistematis.
Teknik yang sistematis itulah yang disebut sebagi metode atau pendekata. Beberapa
pendekatan dalam linguistik yang cukup mendasar antara lain.

1. Sinkronis dan Diakronis


Sinkronis adalah telaah dua bahasa atau lebih dalam waktu atau periode yang
bersamaan. Kajian ini bersifat horisontal. Cara yang digunakan adalah membandingkan
unsur-unsur internal bahasa yang dikaji, misalnya unsur fonemis, morfologis, dan sintaksis.
Diakronis adalah kajian dua bahasa atau lebih dalam waktu yang berbeda. Artinya,
telaahnya justru didasarkan pada perkembangan waktu yang sudah berbeda. Ilmu ini bersifat
vertikal. Cara yang dilakukan dalam pendekatan ini ialah membandingkan perubahan dan
perkembangannya.
2. Preskriptif dan Deskriptif
Pendekatan preskriptif sering disebbut juga normatif. Pandangan tentang bahasa lebih
berorientasi pada norma-norma yang sudah berlaku dan ditentukan sebelumnya. Caranya
ialah mencocokkan data (bahasa) dengan aturan/prinsip yang sudah baku (normatif). Apabila
data tidak sesuai dengan prinsip baku, bahasa tersebut diaggap salah atau rusak, kalau cocok
berarti benar. Kajiannya bersifat tradisional.
Deskriptif adalah pendekatan terhadap bahasa secara objektif. Kajiannya difokuskan
pada penggambaran nyata terhadap gejala kebahasaan yang terjadi di lapangan. Jadi bukan
benar atau salah. Pendekatan ini bersifat struktural modern.
3. Komparatif dan Historis Komparatif
Komparatif atau perbandingan. Metode ini dipilah menjadi dua, yaitu sinkronis dan
diakronis. Pada perkembangannya, komparatif identik dengan sifat kajian sinkronis yang

15
diruaikan sebelumnya. Sementara historis komparatif identik dengan sifat diakronis.
Penggabungan kedua metode ini menghasilkan sifat kajian perbandingan dua bahasa atau
lebih dalam dua kurun waktu (berbeda). Sifatnya kompleks, misalnya untuk merunut induk
bahasa, merekonstruksi rumpun bahasa, kekeluargaan, asal-usul, dengan cara
membandingkan beberapa bahasa yang dikaji. Kajian ini pada akhirnya melahirkan suatu
metode hitungan statistik terhadap kosakata yang disebut sebagai leksikostatistik. Sementara
itu metode perbandingan yang semata-mata mencari perbedaan suatu bahasa dinamakan
linguistik kontrastif.
Berbagai metode dan teknik yang terus menerus berkembang dalam kajian linguistik
tersebut dapat dimanfaatkan para ahli dan siapapun yang merasa tertarik menggeluti
linguistik. Berbagai metode ilmiah, akan kehilangan manfaatnya apabila tidak digunakan
untuk kepentingan penelaahan bahasa.

F. Berbagai Aliran Linguistik


Lahirnya berbagai aliran dalam linguistik adalah sesuatu yang sangat wajar.
Linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu memiliki sejumlah aliran yang masing-masing terus
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan itu sendiri.
1. Aliran Tradisional
Aliran tradisional atau linguistik tradisional (linguistik normatif, preskriptif)
berkembang dari budaya Yunani dan Romawi sejak abad 4 SM. Dasar pemikirannya pada
filsafat dan logika. Bahasa diposisikan dalam kondisi benar-salah, baik-buruk (normatif).
Bagi aliran ini, bahasa harus sesuai dengan kaidah yang sudah ada, sehingga perubahan
dalam bahasa tidak bisa dibenarkan. Tokoh aliran ini adalah Plato dan Aristoteles. Sementara
kaum yang mendukung disebut kaum Puriest (pure murni), yaitu kaum yang menginginkan
bahasa tetap murni, statis, dan tidak boleh ada perubahan.
2. Aliran Struktural
Aliran struktural atau linguistik struktural (linguistik deskriptif) berkembang sebagai
akibat ketidakpuasan para peneliti bahasa terhadap aliran tradisional. Untuk memahami
bahasa secara utuh, harus dikaji strukturnya (bagian internal bahasa). bahasa didudukkan
sebagai bahasa, tanpa ditambah beban apapun. Tokoh aliran ini adalah Ferdinand de Saussure
dan Leonard Bloomfield.

16
3. Aliran Transformasional
Aliran transformasional atau lingustik transformasional (generatif transformatif) lahir
karena ketidakpuasan terhadap struktural. Menurut aliran transformasional memandang
bahwa aliran struktural adalah aliran linguistik yang lemah dan tidak jelas. Kelemahan aliran
struktural menurut aliran transformasional antara lain:
a. analisis kalimat struktural selesai pada unsur terkecil (kata), lalu bagaimana
lafalnya (bunyifonem) dan maknanya?
b. struktural tidak memperhatikan aspek psikis/mental bahasa. Bahasa tidak
dimanusiawikan. Padahal, bahasa dihasilkan lewat pikiran dan tuturan manusia.
Dari protes inilah lahir aliran baru yang disebut semantik dan psikolinguistik.
Aliran transformasional membahas pola-pola pengalihan (generatif) karena
kemampuan manusia menghasilkan bahasa (aspek aktifitas, produktivitas, dan kreativitas).
Oleh karena itu, penyelidikan bahasa haruslah melihat aspek kompetensi dan performasi
bahasa.
4. Aliran Tagmemik
Aliran tagmemik atau tata bahasa tagmemik dapat dikatakan sebagai lanjutan
struktural dan antropologis. Tagmem adalah satuan terkecil kosong (zero) yang diisi oleh
fungsi, kategori, dan peran. Konsep analisis tagmem mencoba memisahkan unsur etik
(fonetik) dan emik (fonemik).

17
BAB III

SIMPULAN

Kajian teori tentang linguistik sebagaimana yang dipaparkan pada bab II makalah ini,
dapat ditarik beberapa kesimpulan yang bisa membuktikan bahwa linguistik adalah sebuah
disiplin ilmu.
1. Linguistik dapat dikategorikan sebagai disiplin ilmu karena memiliki tiga syarat
sebagai ilmu, yakni eksplisit, sistematik, dan objektif.
2. Linguistik menjadikan bahasa sebagai objek kajian dengan mendekati bahasa yang
sejalan dengan ciri hakiki bahasa itu sendiri. Pertama, bahasa dalah bunyi ujaran,
maka linguistik melihat bahasa sebagai bunyi. Kedua, bahasa bersifat unik, maka
linguistik tidak berusaha menggunakan kerangka suatu bahasa untuk dikenakan
pada bahasa lain. Ketiga, bahasa adalah sebuah sistem, maka linguistik mendekati
bahasa bukan sebagai kumpulan unsur yang terlepas melainkan sebagai kumpulan
unsur yang satu dengan lainnya yang mempunyai hubungan. Keempat, bahasa dapat
berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan sosial budaya
masyarakat pemakainya, maka linguistik memperlakukan bahasa sebagai sesuatu
yang dinamis.
3. Subdisiplin linguistik dapat dikelompokkan berdasarkan pada: (a) linguistik umum
dan linguistik khusus, (b) linguistik sinkronik dan linguistik diakronik, (c) linguistik
mikro dan linguistik makro, dan (d) linguistik teoritis dan linguistik terapan.
4. Pendekatan yang digunakan linguistik dalam mengkaji bahasa adalah pendekatan
sinkronis, diakronis, preskriptif, deskriptif, komparatif, dan historis komparatif.
5. Empat aliran dalam linguistik, yakni aliran tradisional, aliran struktural, aliran
transformastional, dan aliran tagmemik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustine. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.

Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan
Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai