Anda di halaman 1dari 17

THE KNOWER, KNOWING AND KNOWLEDGE BIDANG FILSAFAT

PENDIDIKAN

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat


Dosen Pengampu: Dr. Fajar Syarif, MA.Pd

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3


TARBIYAH 3B

Fira Ellyanda 20312245


Seski Faiziah Haji 20312264
Tsamrotul Fuaadah 20312270
Wardatul Rahmi 20312272

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2021 M / 1443 H
ِ‫بِسْمِ هللاِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم‬
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Filsafat Ilmu Pendidikan yang membahas
tentang “The Knower, Knowing, Knowledge Bidang Filsafat Pendidikan”. Shalawat
serta salam penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya,
yang syafaatnya senantiasa dinantikan di hari perhitungan kelak.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu Pendidikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak, selaku dosen
pengampu yang telah memberikan dorongan dan kesempatan untuk menulis makalah
ini sehingga dapat menambah wawasan dan informasi bagi penulis saat menulis
makalah ini.
Penulisan makalah semaksimal mungkin telah diupayakan. Namun, penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah masih terdapat kekurangan, baik dari segi
materi, penyusunan bahasa, tulisan dan aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat untuk penulis dan para pembaca. Âmîn Yâ
Rabbal’âlamîn.

Jakarta , Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 2


DAFTAR ISI............................................................................................................................ 3
BAB I ........................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan Makalah .................................................................................... 4
BAB II ...................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 5
A. The knower (Aspek Ontologi) ................................................................................ 5
B. The Knowing (Aspek Epistemologi) ...................................................................... 9
C. The Knowledge (Aspek Aksiologi)....................................................................... 11
BAB III................................................................................................................................... 15
PENUTUP .......................................................................................................................... 15
A. KESIMPULAN ..................................................................................................... 15
B. SARAN ................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 16

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat Ilmu sebagai penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah
dan cara-cara untuk memperolehnya merupakan alat yang tepat untuk
memberikan arah dan dasar bagi perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia.
Aspek-aspek dalam Filsafat Ilmu yang menyangkut ontologi (Knower),
epistemologi (Knowing) dan aksiologi (Knowledge), dalam pemahaman
terhadap Ilmu Hukum di Indonesia akan mendukung perkembangan Ilmu
Hukum di Indonesia ke arah Ilmu Hukum yang berketuhanan,
berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan.
Ilmu Hukum dapat dikembangkan melalui objek filsafat ilmu sebagai
arah dan dasarnya, karena objek filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi, adalah tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat rumusan masalah yang
diajukan, sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari The Knower (Aspek Ontologi)?
2. Apa pengertian dari The Knowing (Aspek Epistimilogi)?
3. Apa pengertian dari The Knowledge (Aspek Aksiologi)?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat diketahui tujuan dalam
penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian The Knower (Aspek Ontologi)
2. Untuk mengetahui pengertian The Knowing (Aspek Epistimilogi)
3. Untuk mengetahui pengertian The Knowledge (Aspek Aksiologi)

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. The knower (Aspek Ontologi)


Di dalam membahas ontologi seseorang akan berhadapan dengan suatu
permasalahan, yaitu bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini?
Dua jenis kenyataan yang harus dihadapi oleh seseorang, yaitu pertama, kenyataan
yang berupa materi (kebendaan) yang disebut fisika dan kedua, kenyataan yang berupa
rohani (kejiwaan) yang disebut metafisika. Untuk menjembatani dua jenis kenyataan
tersebut, maka ontology mempersoalkan bagaimana hakikat dan hubungan antara dua
macam kenyataan tersebut, apakah dua macam kenyataan berlainan hakikatnya satu
sama lain ataukah merupakan satu hakikat yang merupakan dua kenyataan.1

Berkaitan dengan makna ontologi disebutkan oleh Suhartono, bahwa ontology


adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu
yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasakan hukum sebab-akibat. Yaitu,
ada manusia, ada alam, dan causa prima dalam Suatu hubungan menyeluruh, teratur,
dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini
berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.

Pendidikan, ditinjau dari sisi ontologi, berarti persoalan tentang hakikat


keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam
hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia
ditentukan asal-mula tujuannya. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontologi
pendidikan berarti Pendidikan dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi dan
tujuan kehidupan manusia. Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada. Tetapi,
bagaimana halnya dengan keberadaan manusia tanpa pendidikan? Mungkinkah itu?

1
Suadi Amran,” Filsafat Hukum,” Jakarta, PRENADAMEDIA GROUP, Cetakan ke-1 2019,h
7

5
Pertanyaan di atas berdasarkan argumentasi yang telah diuraikan, bahwa
pendidikan sentralnya pada kehidupan manusia. Demikian juga kehidupan manusia
tidak dapat lepas dengan pendidikan. Sehingga keduanya memiliki hubungan timbal
balik yang sangat kuat dan mungkin dapat dipisahkan. Ontologi merupakan cabang
filsafat dan Pancasila merupakan falsafah negara dan filsafat pendidikan di Indonesia
juga filsafat pendidikan Pancasila. 2

Dengan demikian, ontologi merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal


dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan, dan penelitian
lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi merupakan konteks untuk semua konteks
lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya, dan pendirian yang
meliputi semua pendirian lainnya. Ontologi telah mengandaikan semua bagian filsafat
lainnya, yang berarti ia sebagai pemikiran yang paling umum, yang diuraikan pada
awal seluruh penyelidikan filosofis. Oleh karena meneliti dasar paling umum untuk
segala-galanya, ontologi pantas disebut filsafat pertama.

Dalam mempelajari yang ada dalam bentuknya yang sangat abstrak, studi
tersebut melontarkan pertanyaan seperti "Apa itu ada dalam dirinya sendiri?" Ontologi
juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan
"Apa arti ada dan berada”, juga menganalisis bermacam-macam makna yang
memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ada. Heidegger memahami konstitusi "yang
ada dari eksistensi", ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan bertujuan
menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.

Ontologi menyentuh hal yang sangat sederhana tetapi sangat mendasar bagi
semua bentuk pengetahuan, yakni yang ada (ens). Bila kita mengatakan ada batu akik
merah delima, yang menjadi masalah filsafat (ontologi) ialah ada, bukan akik merah
delima. Akik merah delima tetap diterima sebagai pendukung ada atau yang ada.

2
Amirudin, Noor, “Filsafat Pendidikan Islam”, Gresik, Caremedia Communication,cetakan ke-
1 2018, h.154

6
Karena yang ada ada dibelakang akik merah delima itu yang menjadi masalah ontologi.
Pembahasan dan pemahaman para filsuf dan pakar filsafat tentang kenyataan (reality)
sebagai ada atau yang ada sebagaimana diperdebatkan di atas menyebabkan lahirnya
bermacam-macam aliran dalam filsafat (ontologi), yaitu: monisme, materialisme,
idealisme, dualisme, pluralisme, agnostisisme, dan nihilisme. Aliran-aliran tersebut
akan diuraikan secara singkatdan sekilas sebagai berikut :

a. Monisme

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua.
Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi atau
berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.
Haruslah salah satunya merupakan yang pokok dan dominan mentukan perkembangan
yang lainnya.

Monisme (lunak) berpendirian bahwa hanya ada satu pengada, entah materi atau
roh, yang meliputi keseluruhan kenyataan. Tetapi untuk mencapai identitasnya pribadi,
ia harus memuat banyak aspek, atau cara (modus), atau bentuk-penjelmaan, atau
emanasi, yang semua terbatas adanya dan berbeda-beda dan berlawanan. Bersama-
sama dan saling berhubungan mereka membentuk yang satu itu.

b. Aliran dualisme (serba dua).

Aliran dualisme berpendapat bahwa alam terdiri dari dua macam hakikat sebagai
asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani yang masing-masing bebas
dan berdiri sendiri dan pada umumnya seseorang tidaklah sulit untuk memahami aliran
ini, karena kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh pancaindra, sedangkan
kenyataan batin tidak dapat segera ditangkap oleh pancaindra padahal kenyataan batin
dapat segera diakui adanya oleh akal dan perasaan hidup.

7
c. Aliran materialisme.

Aliran materialisme berpendapat bahwa yang ada hanyalah materi bukan jiwa
atau roh, bukanlah suatu kenyataan yang berdiri sendiri dan jiwa atau roh menurut
paham materialisme hanyalah merupakan akibat saja daripada proses gerak kebendaan
dengan salah satu cara tertentu.

d. Aliran idealisme (spiritualisme).

Aliran idealisme (spiritualisme) yang disebut juga dengan aliran spritualisme


idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan yang beraneka warna ini semua
berasal dari roh atau sejenis dengan hal tersebut, yaitu sesuatu yang tidak mempunyai
bentuk dan tidak mempunyai ruang dan menurut pandangan aliran ini roh lebih
berharga dan lebih tinggi nilainya dari materi di dalam kehidupan manusia, roh
dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya sehingga materi hanyalah badannya,
bayangan atau penjelmaan saja.

e. Aliran agnostisisme.

Aliran agnostisisme, yaitu aliran yang menyangkal dan mengingkari


kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang dikehendaki oleh ilmu
metafisika, baik hakikat materi maupun hakikat rohani.3

g. Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin nihil, yang berarti tidak ada sesuatu, atau
tidak ada yang eksis. Istilah nihilisme digunakan pertama kali oleh Friedrich Jacobi
(1743-1819) pada awal abad ke-19, untuk memberikan karakter negatif pada aliran
idealisme transendental. Yang kemudian istilah itu dipopulerkan oleh Ivan Turganev,

3
Suadi,Amran, “Filsafat Hukum”, Jakarta, PRENADAMEDIA GROUP, Cetakan ke-1 2019,h
7-8

8
seorang sastrawan Rusia. Nihilisme merupakan doktrin filosofis vang menegasikan
aspek-aspek kehidupan yang bermakna.4

B. The Knowing (Aspek Epistemologi)


Epistemology berasal dari Bahasa Yunani Kuno dan tersusun dari dua
kata yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka
epistemology dapat dimaknai sebagai ilmu atau teori pengetahuan, dalam
Bahasa inggris biasanya di padankan dengan istilah theory of knowledge
sedangkan dalam Bahasa Indonesia biasanya di sama artikan dengan filsafat
ilmu. Epistemology adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu
filsafat tentang pengetahuan5 kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat
pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi
untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F. Ferrier pada
tahun1854.6

Epistemology yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber


pengetahuan manusia di peroleh, apakah dari akal pikiran (aliran rasionalisme),
dari pengalaman panca indera (aliran empirisme), dari ide-ide (aliran idealisme)
atau dari tuhan (aliran teologisme, termasuk juga pemikiran tentang validitas
pengetahuan manusia, artinya sampai dimana kebenaran pengetahuan kita. 7

Pada dasarnya ada tiga cara untuk memperoleh pengetahuan dengan


benar. Pertama, berdasarkan pada rasio (pikiran) yang dalam dunia filsafat
penganutnya dikenal sebagai penganut paham rasionalisme yaitu paham yang

4
Junaedi, Mahfud, “Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam”, Depok,KENCANA,Cetakan ke-1
2017,h 21
5
Mi’raj Dodi Kurniawan dan Andi Suwirta, “Ontologi,epistemology,dan aksiologi ilmu sejarah”,
Jurnal kajian sejarah dan pendidikan, Vol.3 No 2 (2015) Hal 9
6
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, “Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thaless sampai Capra)”, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2013) Hal 23
7
Drs. A. Susanto, M.Pd, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2019) Hal 27

9
menurutnya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir. Kedua,
berdasarkan pengalaman yang di peroleh melalui alam empiris yaitu
pengetahuan manusia tidak di dapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak
tetapi melalui pengalaman konkret, dengan mengamati gejala-gejala alam dan
gejala sosial, manusia dapat menemukan pengetahuan melalui penalaran
induktif. Ketiga, melalui intuisi dan wahyu. Intuisi bersifat personal dan tidak
di ramalkan sehingga tidak dapat di jadikan sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan yang teratur. Pengetahuan wahyu di peroleh melalui nabi-nabi
yang mendapat wahyu itu dari tuhan. Kebenaran pengetahuan wahyu berbeda
dengan tiga pengetahuan sebelumnya yang bersifat relative, Karena
pengetahuan wahyu bersifat absolut.
Kajian pokok epistemology adalah asal mula, sifat dasar pengetahuan
dan batas jangkauan pengetahuan, ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan
untuk mendalami persoalan-persoalan dalam epistemology yaitu apakah
pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan, apakah
pengetahuan itu merupakan kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan
dugaan.8
Dalam filsafat terdapat objek materia dan objek forma, objek material
secara garis besar meliputi hakikat tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia.
Sedangkan objek forma ialah usaha mencari keterangan secara radikal
(sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materia filsafat. Lebih
khusus lagi objek materia filsafat pendidikan adalah manusia, sedangkan objek
formanya adalah persoalan-persoalan kemampuan manusia. Sebagai sub sistem
filsafat.
Epistemology yang untuk pertama kali di gagas oleh plato ini memilki
objek tertentu, yaitu objek epistemology berupa segenap proses yang terlibat

8
Prof. Dr. H. Idri, M. Ag, “Epistemolog (Ilmu pengetahuan, Ilmu Hadis dan Ilmu Hukum Islam”,
(Jakarta: Kencana, 2015) Hal 4

10
dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan, proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus
berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu
tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan, tanpa suatu
sasaran mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan maka
sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya apakah yang menjadi tujuan dari epistemology tersebut?
Jasque Martain mengatakan “tujuan epistemology bukanlah hal yang utama
untuk menjawab pertanyaan apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan
syarat-syarat yang memungkinkakn saya dapat tahu” hal ini menunjukan
bahwa tujuan epistemology bukan untuk memperoleh pengetahuan, kendatipun
keadaan ini tidak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari
tujuan epistemology adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memilki potensi
untuk memperoleh pengetahuan.9

C. The Knowledge (Aspek Aksiologi)


Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti
teori tentang nilai (Salam, 1997). Sumantri (1996) menyatakan aksiologi adalah teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dan pengetahuan yang diperoleh. Menurut
kamus bahasa Indonesia, aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia, kajian tentang nilai-nilai khusunya etika.10

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan


ilmu pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Jadi
hakikat yang ingin dicapai aksiologi adalah hakikat manfaat yang terdapat dalam suatu
pengetahuan. Objek kajian aksiologi adalah menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu

9
Prof Mujamil Qomar, M. Ag, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga) Hal 8
10
Abdulhak, I “ Filsafat ilmu pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya.” 2008

11
karena ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral sehingga nilai
kegunaan ilmu itu dapat dirasakan oleh masyarakat. Aksiologi disebut teori tentang
nilai yang menaruh perhatian baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right
and wrong), serta tata cara dan tujuan (mean and end).

Dalam aksiologi ada dua komponen yang mendasar, yakni:


1. Etika.

Istilah etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan.
Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin “mores”, kata jamak
dari mos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah cabang filsafat aksiologi yang
membahas masalah-masalah moral, perilaku, norma, dan adat istiadat yang berlaku
pada komunitas tertentu.

2. Estetika

merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan.


Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur
yang tertata secara tertib dan harmonis dalam suatu hubungan yang utuh menyeluruh.
Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta
berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.11

Ada beberapa beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai (the
theory of value), yaitu :

1. Nilai objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya,
maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian,
tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.

11
Salam, B. “ Logika materil filsafat ilmu pengetahuan”. Jakarta, 1997:Rineka Cipta.

12
2. Nilai absolute atau relatif. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila
nilai yang berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku sepanjang masa, berlaku bagi
siapapun tanpa memperhatikan ras, maupunkelas sosial.

Untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:

1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia


pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu
ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan
atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori
filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.

2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua
teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu
sebagai pandangan hidup gunanya ialah untukpetunjuk dalam menjalani kehidupan.

Pendidikan sering dipahami sebagai suatu hal yang sifatnya normatif atau
berorientasi pada nilai-nilai tertentu. Dengan kata lain, pada pendidikan melekat hal-
hal yang dipandang sebagai suatu hal yang berharga atau bernilai.12 Abdulhak (2008),
menyarakan aksiologi ilmu pendidikan sebagai nilai kegunaan teoritis dan nilai
kegunaan praktis.

1. Aksiologi sebagai Nilai Kegunaan Teoritis Hasil ilmu pendidikan adalah


konsep-konsep ilmiah tentang aspek dan dimensi pendidikan sebagai salah satu gejala
kehidupan manusia. Pemahaman tersebut secara potensial dapat dipergunakan untuk
lebih mengembangkan konsep-konsep ilmiah pendidikan, baik dalam arti
meningkatkan mutu (validitas dan signifikan) konsepkonsep ilmiah pendidikan yang
telah ada, maupun melahirkan atau menciptakan konsep-konsep baru, yang secara

12
Nyong Eka Teguh Iman Santosa (2012) Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Akhir Zaman.
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

13
langsung dan tidak langsung bersumber pada konsep-konsep ilmiah pendidikan yang
telah ada

2. Aksiologi Sebagai Nilai Kegunaan Praktis

Pemahaman tenaga kependidikan secara konprehensif dan sistematis turut serta


dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas
profesionalnya. Hal ini terjadi karena konsep-konsep ilmiah pendidikan menerangkan
prinsip-prinsip bagaimana orang melakukan pendidikan. Penguasaan yang mantap
terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan memberikan pencerahan tentang
bagaimana melakukan tugas-tugas profesional pendidikan. Apabila hal ini terjadi,
maka seorang tenaga pendidikan akan dapat bekerja konsisten dan efisien, karena
dilandasi oleh prinsip-prinsip pendidikan yang jelas terbaca dan kokoh.13

13
Salam, B. “Logika materil filsafat ilmu pengetahuan”. Jakarta1998:Rineka Cipta.

14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam filsafat ilmu pendidikan, beda antara ontologi, epistimologi, dan
aksiologi, yaitu:

1. Ontologi : dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-


bidang ilmu.

2. Epistimologi : cara/teknik/sarana yang membantu kita dalam mendapatkan


pengetahuan yang berupa ilmu.

3. Aksiologi : tujuan dari pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan.

B. SARAN
Demikian makalah yang bejudul " The Knower, Knowing, Knowledge Bidang
Filsafat Pendidikan”. Jauh dari kata sempurna, maka dari itu, kritik dan saran dari
pembaca sangat diharapkan, agar penulis mampu menghasilkan karya ilmiyah yang
lebih baik kedepannya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Amran, Suadi ” Filsafat Hukum,” Jakarta, PRENADAMEDIA GROUP
Noor, Amirudin “Filsafat Pendidikan Islam”, Gresik, Caremedia Communication, 2018
Mahfud, Junaedi, “Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam”, Depok,KENCANA,
Dodi Kurniawan, Mi’raj dan Andi Suwirta, “Ontologi,epistemology,dan aksiologi ilmu sejarah”,
Jurnal kajian sejarah dan pendidikan, Vol.3 No 2 (2015)
Prof. Dr. Tafsir, Ahmad “Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thaless sampai Capra)”, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2013)
Drs. A. Susanto, M.Pd, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2019)
Prof. Dr. H. Idri, M. Ag, “Epistemolog (Ilmu pengetahuan, Ilmu Hadis dan Ilmu Hukum Islam”,
(Jakarta: Kencana, 2015)
Eka Teguh, Nyong Iman Santosa (2012) Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Akhir Zaman.
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
B, Salam, “Logika materil filsafat ilmu pengetahuan”. Jakarta1998:Rineka Cipta.
17

Anda mungkin juga menyukai