Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH MATA KULIAH

“KAJIAN KEBAHASAAN”
“Asal-Usul Bahasa”

Dosen Pengampu:
 Prof. Dr. Dra. Nazurty, M.Pd
 Silvina Noviyanti, S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 9

 Desi Fitriana (A1D122112)

 Vivi Sahwitri Agustin (A1D122154)

R004/Semester 3

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN PENDIDIKAN GURU ANAK USIA DINI DAN DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023-2024
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan wawasan
mengenai mata kuliah “Kajian Kebahasaan” dengan judul “Asal-Usul Bahasa”.
Dengan makalah ini diharapkan mahasiswa mampu untuk memahami makna
dari asal-usul bahasa di Indonesia, kami menyadari bahwa materi pada makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, agar
kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi.
Kami berharap semoga tulisan ini dapat memberi informasi yang berguna
bagi pembacanya, terutama mahasiswa dan diharapkan mampu menambah
pengetanuan tentang ilmu Kajian Kebahasaan di lingkungan Kampus Pendidikan
Guru Sekolah Dasar.

Muara Bulian, 5 September 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan masalah......................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Pengertian Bahasa.....................................................................................3
2.2 Spekulasi Tentang Asal-Usul Bahasa.......................................................5
2.3 Perbedaan Bahasa Manusia daan Bahasa Hewan...................................18
2.4 Perbedaan Sistem Komunikasi Manusia dan Hewan..............................22
BAB III PENUTUP..............................................................................................25
3.1 Kesimpulan..............................................................................................25
3.2 Saran.........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa secara umum dan sederhana diartikan sebagai alat komunikasi.


Bahasa merupakan bagian dari hidup manusia dan di antara keduanya tidak dapat
dipisahkan, sehingga ada muncullah ungkapan "life is language, language is life".
Sekali pun manusia berkomunikasi tidak menggunakan sistem ujarannya (bahasa
isyarat), namun tetap saja itu merupakan bahasa, dalam hal ini disebut bahasa
non-verbal.
Perkembangan bahasa tidak terlepas dari perkembangan pemiliknya sendiri,
yakni manusia. Berdasarkan penggalian-penggalian arkeologis, ahliahli purbakala
kehadiran makhluk yang mirip manusia (hominoid) sudah ada beberapa juta tahun
yang lalu. Hominoid inilah yang dianggap memberi peluang hadirnya hominoid
awal, yaitu homo, tetapi masih berbeda dari homo sapiens, sebagai primata yang
sudah mengalami pertumbuhan sempuma.
Para ilmuan berspekulasi bahwa hominoid sudah mampu berkomunikasi,
tetapi masih dalam tahap pra-bahasa (belum bisa disebut bahasa). Selanjutnya,
bahasa yang sesungguhnya baru timbul lebih kemudian. Dr. Jacob berpendapat
bahwa perkembangan penting bahasa baru terjadi sejak Homo Sapiens, tetapi
perkembangan bahasa yang pesat barulah di zaman pertanian. Oleh karena tidak
adanva data tertulis mengenai bagaimana timbulnya bahasa umat manusia, maka
bermunculanlah bermacam-macam teori mengenai hal itu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pengertian Bahasa?
2. Bagaimana Spekulasi Tentang Asal-Usul Bahasa?
3. Bagaimana Perbedaan Bahasa Manusia dan Bahasa Hewan?
4. Bagaimana Perbedaan Sistem Komunikasi Manusia dan Hewan?

1
1.2 Tujuan Penulisan
1. Menganalisis Pengertian Bahasa
2. Menganalisis Spekulasi Tentang Asal-Usul Bahasa
3. Menganalisis Perbedaan Bahasa Manusia dan Bahasa Hewan
4. Menganalisis Sistem Komunikasi Manusia dan Hewan

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi yang terorganisasi dalam bentuk


satuansatuan, seperti kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat yang diungkapkan
baik secara lisan maupun tulis. Terdapat banyak sekali definisi bahasa, dan
definisi tersebut hanya merupakan salah satu di antaranya. Anda dapat
membandingkan definisi tersebut dengan definisi sebagai berikut: bahasa adalah
sistem komunikasi manusia yang dinyatakan melalui susunan suara atau ungkapan
tulis yang terstruktur untuk membentuk satuan yang lebih besar, seperti morfem,
kata, dan kalimat, yang diterjemahkan dari bahasa Inggris: “the system of human
communication by means of a structured arrangement of sounds (or written
representation) to form lager units, eg. morphemes, words, sentences” (Richards,
Platt & Weber, 1985: 153).
Di dunia ini terdapat ribuan bahasa, dan setiap bahasa mempunyai sistemnya
sendiri-sendiri yang disebut tata bahasa. Terdapat tata bahasa untuk bahasa
Indonesia, tata bahasa untuk bahasa Inggris, tata bahasa untuk bahasa Jepang, dan
sebagainya.
Meskipun kegiatan berkomunikasi dapat dilakukan dengan alat lain selain
bahasa, pada prinsipnya, manusia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa.
Pada konteks ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa manusia, bukan bahasa
binatang. Dalam hal tertentu, binatang dapat melakukan komunikasi dengan
sesamanya dengan menggunakan bahasa binatang. Hal yang menjadi bahan
pembicaraan di sini bukan bahasa binatang, melainkan bahasa manusia, dan
semua kata ”bahasa” pada buku ini mengacu pada ”bahasa manusia”.
Bahasa, dalam pengertian Linguistik Sistemik Fungsional (LSF), adalah
bentuk semiotika sosial yang sedang melakukan pekerjaan di dalam suatu konteks
situasi dan konteks kultural, yang digunakan baik secara lisan maupun secara
tulis. Dalam pandangan ini, bahasa merupakan suatu konstruk yang dibentuk
melalui fungsi dan sistem secara simultan. Ada dua hal penting yang perlu
digarisbawahi. Pertama, secara sistemik, bahasa merupakan wacana atau teks
yang terdiri dari sejumlah sistem unit kebahasaan yang secara hirarkis bekerja

3
secara simultan dari sistem yang lebih rendah: fonologi/grafologi, menuju ke
sistem yang lebih tinggi: leksikogramatika (lexicogrammar), struktur teks, dan
semantik wacana. Masing-masing level tidak dapat dipisahkan karena masing-
masing level tersebut merupakan organisme yang mempunyai peran yang saling
terkait dalam merealisasikan makna suatu wacana secara holistik (Halliday, 1985;
Halliday, 1994). Kedua, secara fungsional, bahasa digunakan untuk
mengekspresikan suatu tujuan atau fungsi proses sosial di dalam konteks situasi
dan konteks kultural (Halliday, 1994; Butt, Fahey, Feez, Spinks, & Yalop, 2000).
Oleh karena itu, secara semiotika sosial, bahasa merupakan sejumlah semion
sosial yang sedang menyimbulkan realitas pengalaman dan logika, realitas sosial,
dan realitas semiotis/simbol. Dalam konsep ini, bahasa merupakan ranah ekspresi
dan potensi makna. Sementara itu, konteks situasi dan konteks kultural merupakan
sumber makna.
Dalam wujudnya, bahasa selalu berbentuk teks. Adapun yang dimaksud
dengan teks adalah satuan lingual yang mengungkapkan makna secara
kontekstual. Di sini, istilah “teks” dianggap sama dengan “wacana”, dan satuan
lingual dapat berupa kata, kelompok kata, klausa, atau kumpulan paragraf.
Apabila seseorang ingin mengungkapkan sesuatu, ia akan menggunakan bentuk
teks tertentu. Dengan teks itu, ia akan mencapai tujuan yang diinginkannya. Agar
teks itu dapat mewadahi dan menjadi sarana untuk menyampaikan tujuannya, ia
berusaha agar teks itu mengandung bentukbentuk bahasa yang relevan. Bentuk-
bentuk itu tidak lain adalah sistem linguistik yang ada di dalam teks tersebut.
Apabila tujuan yang disampaikan berbeda, maka bentuk teks yang digunakan
berbeda, dan bentuk-bentuk bahasa yang dipilih di dalamnya pun juga berbeda.
Akhirnya, teks yang tercipta akan dapat mewakili seseorang tersebut, karena pada
dasarnya sikap, gagasan, dan ideologinya telah disampaikan melalui tujuan yang
diungkapkannya dengan memilih bentuk-bentuk bahasa yang relevan tersebut.
Tentang prinsip bahwa bahasa harus selalu dianggap sebagai teks, Fowler
(1986) menegaskan bahwa untuk kebutuhan analisis teks, analisis dapat dilakukan
tidak hanya terhadap teks linguistik, tetapi juga teks-teks lain (seperti teks sastra),
baik teks faktual maupun teks fiksi (Lihat juga Martin, 1985; Martin, 1992). Teks
faktual adalah teks yang diciptakan berdasarkan peristiwa nyata, sedangkan teks

4
fiksi adalah teks rekaan, yaitu teks yang diciptakan dari dunia imajinasi.

2.2 Spekulasi Tentang Asal-Usul Bahasa

Studi tentang bahasa, termasuk tentang asal usul bahasa atau glottogony
sudah lama dilakukan para ilmuwan, seperti sosiolog, psikolog, antropolog, filsuf,
bahkan teolog. Tetapi karena pusat perhatian para ilmuwan tersebut berbeda-beda,
maka tidak diperoleh pengetahuan yang memadai tentang asal usul bahasa. Yang
diperoleh justru pengetahuan tentang cabang-cabang ilmu bahasa, seperti
sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, etnolinguistik, geolinguistik,
biolinguistik, filsafat bahasa dan sebagainya. Seolah tak mau ketinggalan dengan
para ahli sebelumnya, belakangan para neurolog dan geolog juga mengkaji bahasa,
sehingga muncul ilmu neurolinguistik dan geolinguistik. Belakangan para ahli
komunikasi juga menjadikan bahasa sebagai pusat kajian. Secara mikro, lahir ilmu
seperti fonologi, morfologi, sintak, semantik, gramatika, semiotika dan sebagainya.
Tidak mengherankan jika bahasa akhirnya menjadi bahan kajian para ilmuwan dari
berbagai disiplin. Ini sekaligus membuktikan bahwa bahasa menjadi demikian
penting dalam kehidupan manusia. Tidak berlebihan jika seorang filsuf
hermeneutika kenamaan Gadamer mengatakan bahwa bahasa adalah pusat
memahami dan pemahaman manusia. Sebab, melalui bahasa akan diketahui pola
pikir, sistematika berpikir, kekayaan gagasan, kecerdasan, dan kondisi sosiologis
serta psikologis seseorang. Namun demikian asal usul bahasa atau sejarah bahasa
tetap obscure dan studi tentang asal usul bahasa tidak sesemarak bidang-bidang
kebahasaan yang lain. Mengapa? Jawabnya sederhana dan spekulatif. Sebab, tidak
terdapat bukti ilmiah yang cukup untuk menyimpulkan kapan dan di mana
sejatinya pertama kali bahasa digunakan oleh manusia, siapa yang memulai dan
bagaimana pula memulainya.
Alih-alih menyimpulkan kapan bahasa pertama kali digunakan manusia, para
ahli bahasa justru sepakat bahwa tidak seorang pun mengetahui secara persis asal
usul bahasa. Ada yang mengatakan bahwa keberadaan bahasa dimulai sejak awal
ada manusia. Dengan demikian, sejarah bahasa berlangsung sepanjang sejarah
manusia. Ada sedikit informasi dari para peneliti sejarah bahasa yang
menyimpulkan bahwa bahasa muncul pertama kali kurang lebih 3000 SM. Itu pun

5
dianggap kesimpulan yang spekulatif dan tanpa bukti yang kuat.
Karena hasil studi tentang asal usul bahasa dianggap tidak pernah
memuaskan, malah ada yang bersifat mitos dan main-main, maka pada 1866
Masyarakat Linguistik Perancis pernah melarang mendiskusikan asal usul bahasa
karena hasilnya tidak pernah jelas dan hanya buang-buang waktu saja. Perhatian
dan waktu lebih baik dipusatkan untuk mengkaji bidang-bidang lain yang hasilnya
jelas dan tidak spekulatif, seperti bidang kedokteran, biologi, fisika, astronomi dan
sebagainya (Alwasilah, 1990: 1).
Namun demikian, terdapat beberapa teori tentang asal usul bahasa, di
antaranya bersifat tradisional dan mistis. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa
bahasa adalah hadiah para dewa yang diwariskan secara turun temurun kepada
manusia, sebuah ungkapan yang sulit diterima kebenarannya secara ilmiah dan
nalar logis. Namun menurut Pei (1971: 12) pada Kongres Linguistik di Turki tahun
1934 muncul pendapat yang menyatakan bahwa bahasa Turki adalah akar dari
semua bahasa dunia karena semua kata dalam semua bahasa berasal dari giines,
kata Turki yang berarti “matahari”, sebuah planet yang pertama kali menarik
perhatian manusia dan menuntut nama. Kendati kebenarannya masih
dipertanyakan banyak kalangan, pendapat tersebut tidak berlebihan. Sebab, dari
sisi penggunanya bahasa Turki dipakai tidak saja oleh orang Turki, tetapi juga oleh
masyarakat di negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Tajikistan, Ubekistan,
Armenia, Ukraina, dan sebagainya.
Sebuah hipotesis tentang teori bahasa yang didukung oleh Darwin (1809-
1882) menyatakan bahwa bahasa hakikatnya lisan dan terjadi secara evolusi, yakni
berawal dari pantomime-mulut di mana alat-alat suara seperti lidah, pita suara,
larynk, hidung, vocal cord dan sebagainya secara reflek berusaha meniru gerakan-
gerakan tangan dan menimbulkan suara. Suara-suara ini kemudian dirangkai untuk
menjadi ujaran (speech) yang punya makna. Masih menurut Darwin kualitas
bahasa manusia dibanding dengan suara binatang hanya berbeda dalam
tingkatannya saja. Artinya, perbedaan antara bahasa manusia dan suara binatang
itu sangat tipis, sampai-sampai ada sebagian yang berpendapat bahwa binatang
juga berbahasa. “All social animals communicate with each other, from bees and
ants to whales and apes, but only humans have developed a language which is

6
more than a set of prearranged signals”.
Bahasa manusia seperti halnya manusia sendiri yang berasal dari bentuk yang
sangat primitif berawal dari bentuk ekspresi emosi saja. Contohnya, perasaan
jengkel atau jijik diekspresikan dengan mengeluarkan udara dari hidung dan mulut,
sehingga terdengar suara “pooh” atau “pish”. Oleh Max Miller (1823-1900),
seorang ahli filologi dari Inggris kelahiran Jerman, teori ini disebut poo-pooh
theory, kendati Miller sendiri tidak setuju dengan pendapat Darwin (Alwasilah,
1990: 3).
Sebagian yang lain berpendapat bahwa bahasa awalnya merupakan hasil
imajinasi orang dengan melihat cara jenis-jenis hewan atau serangga tertentu
berkomunikasi. Misalnya, kumbang menyampaikan maksud kepada sesamanya
dengan mengeluarkan bau dan menari-nari di dalam sarangnya. Semut
berkomunikasi dengan antenenya.

Karena tidak adanya data tertulis mengenai bagaimana timbulnya bahasa


umat manusia dahulu kala, maka telah dilontarkan berbagai macam teori
mengenai hal itu. Teori yang ada itu secara garis besar dapat dikelompokkan ke
dalam dua fase yaitu (1) divine origin phase atau fase berdasarkan kedewaan,
kepercayaan, mistik, takhyul, dan (2) organic phase atau fase organis.

1. Dhivine Origin Phase


Fase ini berlangsung sebelum abad ke 18. Pada fase ini, manusia masih
dianggap memiliki kebudayaan primitif. Menurut teori antropologi,
kebudayaan primitif lebih banyak meyakini keterlibatan Tuhan, Dewa, Nabi
dan sejenisnya dalam permulaan sejarah berbahasa manusia. Oleh 2 karena
itulah, asal usul bahasa berdasarkan hal ini sering dianggap hanya sekadar
cerita rekaan oleh para ilmuwan modern. Cerita tentang asal bahasa banyak
dijumpai pada masyarakat tradisional. Bahkan, hampir setiap daerah
sebenarnya memiliki cerita tentang ini. Beberapa cerita tentang asal bahasa ini
akan disajikan secara ringkas di bawah ini.
Pada abad ke 17, seorang penyelidik bahasa dari Swedia, Andreas Kemke,
menyatakan bahwa di surga, Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia, Nabi
Adam berbahasa Denmark, sedangkan naga berbahasa Perancis. Dengan

7
demikian, ketiga bahasa itulah dianggap pertama kali ada di muka bumi ini.
Dan, bahasa swedia dianggap sebagai bahasa Tuhan. Sebelumnya, seorang
Belanda bernama Goropius Becanus mengemukakan bahwa bahasa yang
dipakai untuk berkomunikasi di surga adalah bahasa Belanda. Dalam versi ini,
tentu saja, bahasa Belandalah yang pertama ada.
Cerita dari Mesir lain lagi. Ceritanya begini. Pada abad ke 17 SM, raja
Mesir yang bernama Psammetichus mengadakan penyelidikan tentang bahasa
pertama. Menurut sang Raja kalau bayi dibiarkan maka ia akan tumbuh dan
berbicara bahasa asal. Untuk penyelidikan itu diambillah dua bayi dari
keluarga biasa dan diserahkannya kepada seorang gembala untuk dirawatnya.
Gembala itu dilarang berbicara sepatah kata pun kepada bayi-bayi tersebut.
Setelah sang bayi berusia dua tahun, mereka secara spontan menyambut si
gembala tadi dengan berkata “becos”. Setelah kejadian itu, segera si gembala
tadi menghadap Sri Baginda Raja dan diceritakannya tentang bayi itu. Raja
Psammetichus segera menelitinya dan berkonsultasi dengan para penasehatnya.
Menurut mereka becos berarti roti dalam bahasa Phrygia; dan inilah bahasa
pertama di bumi ini. Cerita ini diturunkan kepada orang-orang Mesir kuno
sehingga menurut mereka bahasa Phrygia (Mesir) adalah bahasa yang pertama
ada di muka bumi ini.
Kaisar Cina T’ien-tzu, anak Tuhan (menurut Versi Cina), katanya
mengajarkan bahasa pertama pada manusia. Ada juga versi lain, seekor 3 kura-
kura diutus Tuhan membawa bahasa (tulisan) kepada orang-orang Cina. Di
Jepang pun bahasa pertama dihubungkan-hubungkan dengan Tuhan mereka,
yang biasa disebut Amaterasu. Orang-orang Babilonia pun percaya bahwa
bahasa pertama berasal dari Tuhan mereka, yang disebutnya Nadu. Di India
pun cerita tentang bahasa juga ada.
Begitulah pandangan orang-orang jaman dahulu tentang asal bahasa.
Mereka selalu mengaitkan keberadaan bahasa dengan kepercayaannya kepada
Tuhan atau pun hal-hal yang berbau mistik, gaib, dan tahyul. Dari cerita tadi,
tampaknya masing-masing pemakai bahasa menganggap bahasa merekalah
yang pertama ada.

8
2. Organic Phase
Organic Phase atau fase organis dimulai pada akhir abad ke 18. Pada fase
ini spekulasi tentang asal-usul bahasa berpindah dari wawasan keagamaan,
mistik, dan tahyul ke alam baru yang disebutnya sebagai alam organis.
Pengutamaannya adalah berdasarkan pada logika dan hasil observasi terhadap
kenyataan bahasa yang ada. Hasilnyapun relatif lebih akurat dan lebih dapat
diterima oleh akal sehat karena mengandung nilai keilmiahan.
Pada fase ini ada beberapa teori tentang asal usul bahasa yang
dikemukakan oleh para pakar. Di bawah ini, dikemukakan 10 teori tentang asal
usul bahasa.

1) Teori Tekanan Sosial


Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith. Teori ini beranggapan
bahwa bahasa manusia timbul karena adanya kebutuhan untuk saling
memahami pada manusia primitif. Apabila mereka ingin menyatakan objek
tertentu, maka mereka terdorong pula untuk mengucapkan bunyi-bunyi
tertentu. Bunyi-bunyi yang selalu mengiringi mereka untuk menyatakan
objek yang mereka kenal dengan baik akan dipolakan oleh anggota
kelompoknya dan akan dikenal sebagai tanda bahasa untuk menyatakan 4
hal itu. Misalnya, ketika orang-orang jaman dulu pergi ke sungai untuk
mandi, tiba-tiba ada seorang yang menemukan benda besar yang keras
dengan warna hitam di dasar sungai. Lalu orang yang menemukan itu ingin
mengatakan temuannya kepada rekan-rekannya, karena benda itu belum
punya nama, maka si penemu itu kemudian menyampaikan nama benda itu
dengan kata yang berbunyi batu, oleh teman-temannya bunyi batu itu
kemudian dipakai untuk menyebut benda tersebut.
Demikianlah seterusnya yang terjadi dengan objek-objek lainnya.
Teori ini beranggapan bahwa tekanan sosiallah yang menyebabkan
timbulnya bahasa. Tekanan sosial ini memaksa manusia untuk mencipta
bunyi-bunyi untuk objek yang dijumpainya atau pun kegiatan yang
dilakukan.

9
2) Teori Onomatopetik atau Ekoik
Teori onomatopetik atau ekoik ini adalah teori imitasi suara yang ada
di alam ini. Teori ini diperkenalkan oleh J.G. Herder. Teori ini mengatakan
bahwa objek-objek diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan
oleh objek-objek itu. Objek-objek yang dimaksud adalah bunyibunyi
binatang atau peristiwa-peristiwa alam. Manusia berusaha meniru bunyi
tokek, cecak, atau desis angin, debur gelombang, dan lain-lainnya,
kemudian menyebut objek-objek atau perbuatannya dengan bunyi-bunyi
itu. Misalnya, karena binatang tertentu suaranya cek-cek-cek, maka disebut
cecak, karena suaranya tokek, tokek, tokek, maka kemudian diberi nama
tokek. Demikian pun dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia seperti
berkokok, berkukuruyuk, mencicit, menggelegar, dan lain-lainnya.
Seorang penganut lain dari teori ini yaitu Whitney mengatakan bahwa
dalam setiap tahap pertumbuhan bahasa, banyak kata baru muncul dengan
cara ini. Miasalnya, pada anak-anak yang berusaha meniru bunyi mobil,
kereta api, dan lain-lainnya.
Teori ini ditolak oleh penentang-penentangnya dengan alasan bahwa
tidak mungkin dan juga tidak logis bahwa bahasa manusia, yang
merupakan mahluk yang lebih tinggi kedudukannya meniru bunyi dari
mahluk yang lebih rendah. Max Muller bahkan secara agak kasar
mengatakan bahwa teori ini hanya berlaku bagi kokok ayam dan bunyi itik,
padahal kegiatan bahasa lebih banyak terjadi di luar kandang ternak.
Karena dianggap lebih banyak berhubungan dengan binatang tadi maka
teori ini sering juga diejek dengan nama teori bow-bow oleh Max Muller.
Walaupun cukup banyak ada kritik terhadap teori ini, tetapi
kenyataannya memang cukup banyak kata-kata dalam setiap bahasa yang
merupakan tiruan bunyi dari bunyi-bunyi yang ada di alam ini. Dalam
bahasa Indonesia pun, kata-kata onomatope ini cukup banyak. Bahkan,
sampai sekarang pun ada muncul kata-kata baru yang merupakan hasil
tiruan dari bunyi objek atau peristiwa tersebut.

10
3) Teori Pooh-pooh atau Teori Interjeksi
Teori interjeksi bertolak dari asumsi bahwa bahasa lahir dari
ujaranujaran instingtif karena tekanan-tekanan batin, perasaan yang
mendalam, dan rasa sakit yang dialami manusia.
Pada waktu seseorang merasakan sesuatu, maka ada kecenderungan
untuk mengungkapkan perasaannya itu dengan menunjukkan ekpresi wajah
atau bagian tubuh tertentu disertai dengan bunyi-bunyi yang keluar dari
mulut atau hidungnya. Misalnya, pada waktu seseorang jijik terhadap
sesuatu hal, maka biasanya orang itu akan secara spontan menggerakkan
bagian-bagian tertentu dari tubuhnya disertai dengan ucapan ih atau iih,
atau kalau di dunia barat diungkapkan dengan pooh, sehingga teori ini
sering juga disebut dengan nama teori pooh-pooh. Kalau seseorang sedang
jengkel, maka dia melakukan gerakan tertentu, misalnya membanting
sesuatu sambil mengeluarkan suara brengsek atau kalau penonton sepak
bola, misalnya sedang jengkel, mereka biasanya mengucapkan ooo....
Kalau sedang heran, seseorang bisa juga mengucapkan wah, kalau sakit
aduh..., dan sebagainya.
Demikianlah anggapan teori ini bahwa bahasa lahir dari adanya
tekanan-tekanan batin, atau perasaan yang mendalam, atau rasa sakit yang
dialami manusia. Tekanan seperti disebutkan tadi memunculkan kata-kata
yang digolongkan ke dalam interjeksi atau kata seru. Kata seru ini memang
oleh beberapa ahli ditolak sebagai satu kelas kata, tetapi dalam kenyataan
masih ada beberapa ahli yang tetap mempertahankan kelas kata ini. Kata
seru merupakan bahasa yang utuh yang komplit untuk menyatakan
perasaan, sehingga jenis kata ini disebut bahasa afektif. Bahasa afektif ini
tidak hanya terjadi pada orang-orang yang kurang terpelajar dan belum
berkembang, tetapi juga terjadi pada orang-orang terpelajar dan yang sudah
maju dalam perkembangannya. Dengan alasan inilah kritik yang
menyatakan bahwa teori ini hanya berlaku bagi orangorang yang tidak
terpelajar dan belum berkembang, ditolak oleh penganut teori interjeksi ini.

11
4) Teori Nativistik atau Teori ding-dong
Teori ini dikemukakan oleh Max Muller. Pada awalnya ia mengeritik
teori onomatopetik dan teori interjeksi, kemudian ia sendiri menciptakan
teori nativistik atau ding-dong ini.
Sebagai dasar teorinya, Muller mengemukakan asumsi bahwa terdapat
suatu hukum yang meliputi hampir seluruh jagat raya ini, yaitu bahwa
setiap barang akan mengeluarkan bunyi kalau dipukul. Tiap barang
memiliki bunyi yang khas. Karena bunyi-bunyi yang khas itu, manusia lalu
memberikan responnya atas bunyi tersebut. Karena manusia memiliki
kemampuan ekspresi artikulatoris, maka responsnya juga diberikan melalui
ekspresi artikulatoris kepada apa yang diterima melalui panca inderanya.
Kemampuan ini bukan buatan manusia sendiri tetapi suatu insting. Sebab
itu, bahasa juga merupakan suatu produk dari insting manusia, suatu
kemampuan yang berada dalam keadaannya yang primitif. Dengan insting
ini, setiap impresi dari luar akan mendapatkan ekspresi vokalnya dari
dalam. Kesan yang diterima oleh panca inderanya 7 itu bagaikan pukulan
pada bel sehingga melahirkan ucapan yang sesuai. Berdasarkan hal itu,
maka dapat disimpulkan bahwa bahasa mulai dengan akar, dan akar itu
adalah bunyi yang khas atau bunyi pokok. Kurang lebih ada empat ratus
bunyi pokok yang membentuk bahasa pertama ini. Misalnya sewaktu orang
primitif melihat seekor serigala, pandangannya ini menggetarkan bel yang
ada pada dirinya secara insting sehingga terucapkanlah kata wolf (serigala,
ing). Teori ini sedikit sejalan dengan teori Socrates bahwa bahasa lahir
secara alamiah.

5) Teori ’Yo-He-Ho’
Teori ini menyimpulkan bahwa bahasa pertama lahir dalam suatu
kegiatan sosial. Sekelompok orang primitif dahulu bekerja sama. Mereka
selalu bersama-sama mengerjakan pekerjaan-pekerjaan semacam itu. Untuk
memberi semangat kepada sesamanya, mereka akan mengucapkan bunyi-
bunyi yang khas, yang dipertalikan dengan pekerjaan itu. Kita pun
mengalami kerja serupa, misalnya sewaktu mengangkat kayu besar, maka
kita biasanya secara spontan mengeluarkan ucapan-ucapan atau bunyi-

12
bunyi tertentu karena terdorong gerakan otot. Misalnya, iaaat... atau
do...rong (dorong). Ucapan-ucapan semacam itu kemudian menjadi nama
untuk pekerjaan itu, seperti diam, angkat, dan lain-lainnya.

6) Teori Isyarat dan Teori Isyarat Oral


Teori ini menganggap bahwa bahasa manusia bermula dari
isyaratisyarat yang digunakan oleh manusia primitif yang menciptakan
bahasa. Itu berarti isyaratlah yang lebih dahulu ada dibandingkan bahasa.
Para pendukung teori ini menunjukkan penggunaan isyarat oleh berbagai
binatang, dan juga sistem isyarat yang digunakan oleh orang-orang primitif.
Salah satu contoh adalah bahasa isyarat yang dipakai oleh suku Indian di
Amerika Utara sewaktu mereka berkomunikasi dengan sukusuku yang
tidak sebahasa dengannya. Namun, menurut Darwin, walaupun isyarat itu
dipergunakan dalam berkomunikasi, dalam beberapa hal isyarat 8 tidak
dapat digunakan, umpamanya orang tidak dapat memberikan isyarat di
tempat gelap, atau kalau kedua tangan telah memegang benda tertentu, atau
kalau yang diajak berkomunikasi tidak melihat isyarat atau kalau orang
yang diajak berkomunikasi itu buta.
Isyarat yang digunakan oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi
tiga jenis, yaitu : (1) gerakan mimetik berupa gerakan-gerakan atau
ekspresi wajah seseorang untuk menyatakan emosi atau pun perasaan, (2)
gerakan pantomimetik berupa gerakan-gerakan tubuh, dan (3) gerakan
artikulatis, beruapa gerakan alat-alat ucap manusia. Isyarat artikulatoris
inilah yang menjadi cikal bakal bahasa manusia sekarang ini. Gerakan
artikulatoris ini dipakai karena adanya keadaan seperti di atas (tempat
gelap, tangan berisi barang, orang tidak melihat isyarat atau buta).
Keterbatasan isyarat mimetik dan pantomimetik inilah yang mendorong
digunakan isyarat artikulatoris berupa bahasa lisan. Inilah alasan teori
isyarat lisan atau oral tersebut mengenai asal-usul bahasa.

7) Teori Permainan Vokal


Pendukung teori ini menyimpulkan bahwa bahasa primitif menyerupai
bahasa anak-anak sebelum mereka merangkai bahasanya seperti bahasa

13
orang dewasa. Pada awalnya, bahasa manusia yang sekarang adalah berupa
dengungan dan senandung yang tidak berkeputusan dan tidak
mengungkapkan pikiran apa pun. Hal ini mirip dengan senandung atau
nyanyian orang-orang tua untuk membuai dan menyenangkan anaknya
(seorang bayi) supaya tidak menangis. Dengan demikian, bahasa dianggap
timbul dari permainan vokal.
Organ-organ bicara mula-mula dilatih dalam permainan vokal itu
untuk mengisi waktu senggang. Setelah organ bicara itu cukup terlatih
(lentur) barulah dipakai untuk menciptakan ujud ungkapan-ungkapan
setengah musik. Ujud ungkapan ini berupa ungkapan yang bersifat puitis.
Dari wujud ini berkembanglah keharmonisan bunyi dan makna.
Sehubungan dengan ini, Jepersen beranggapan bahwa bahasa manusia 9
mula-mula lebih bersifat puitis, dalam permainan yang riang gembira,
dalam cinta remaja yang ceria, dalam suatu impian yang romantik. Contoh
bahasa seperti ini, dapat kita perhatikan bahasa mantra tradisional dari
dukun atau pawang.

8) Teori Kontrol Sosial


Teori ini beranggapan bahwa bahasa adalah media utama yang
memungkinkan manusia bekerja sama. Dengan demikian, bahasa adalah
alat untuk melakukan kontrol sosial terhadap tingkah laku manusia. Oleh
karena itulah, bahasa itu mula-mula muncul untuk membantu manusia
bekerja sama dalam mencapai tujuan. Kontrol sosial itu dapat berupa
meminta pertolongan, membantu sesama, bekerja bersama, melindungi diri
dan kelompok, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini mengharuskan
manusia menciptakan suatu media yang dapat menampung segala maksud
tersebut sehingga tercipta suatu harmonisasi kehidupan bersama. Media
untuk menampung hal itu adalah bahasa.
Kontrol sosial ini sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh manusia.
Hampir semua mahluk hidup di bumi ini mempunyai keinginan dan cara
tersendiri untuk melakukan kontrol sosial. Binatang pun mempunyai
ujaran-ujaran yang berfungsi sosial. Misalnya, panggilan induk ayam ketika
seekor elang melintas di atasnya, membangkitkan respons tertentu pada

14
anak-anaknya untuk mencari tempat persembunyian. Kontrol sosial ini
tentunya berwujud teriakan yang sangat sederhana karena kemampuan
artikulatoris dan intelektualnya yang tidak berkembang seperti manusia.
Pada manusia, kontrol sosial itu diwujudkan dengan bunyi-bunyi yang
dihasilkan oleh alat-alat ucapnya yang sudah lebih sempurna dan dilatih
sehingga lentur. Selain itu, otak manusia yang berkembang akhirnya
membantu mereka menciptakan suatu tanda bahasa yang nyaris sempurna
untuk kegiatan komunikasi sosial tersebut.

9) Teori Kontak
Teori ini sebagian kecilnya mirip dengan teori tekanan sosial, tetapi
pada bagian lainnya menyerupai teori kontrol sosial, sehingga dapat
dikatakan sebagai sintesis antara kedua teori tersebut.
Menurut teori ini, bahasa itu muncul karena adanya keinginan pada
manusia untuk mengadakan kontak yang tak terbatas. Kontak itu dibedakan
atas tiga jenis yaitu (1) kontak spasial (kontak karena kerapatan fisik), (2)
kontak emosional, (3) kontak intelektual.
Pada tahap yang sangat rendah, yaitu pada tahap instingtif, kebutuhan
untuk mengadakan kontak ini tampaknya dapat dipenuhi oleh kontak
spasial yaitu kontak berupa kerapatan jarak fisik. Tetapi, semakin
berkembang kehidupan itu maka manusia memerlukan kontak secara
emosional. Pada tingkat ini kepuasan itu akan tercapai karena adanya
kedekatan emosional dengan orang lain. Kedekatan ini akan menimbulkan
saling pengertian, simpati, dan empati pada orang lain. Kontak emosional
ini akan dapat mengalahkan kontak spasial. Sebagai contoh, dua orang
sebut saja si A yang tinggal di Bali dan si B yang tinggal di Jakarta merasa
secara emosional sangat dekat karena mereka berdua saling menyayangi.
Sebaliknya, si C dan si D yang tinggal satu rumah justru merasa asing
karena secara emosi mereka bermusuhan.
Dengan demikian, kontak emosional adalah hal yang esensial pada
tingkah laku berbahasa. Bahasa hanya mungkin ada bila ada hubungan
personal antara orang-orang yang mampu berbicara.
Aspek terakhir dari kontak yang sangat esensial bagi perkembangan

15
bahasa adalah kontak intelektual. Kalau kontak emosional berfungsi untuk
menyampaikan emosi, maka kontak intelektual ini berfungsi untuk bertukar
pikiran. Seorang anak manusia yang tak pernah terlibat dalam jaringan
kontak intelektual dengan orang-orang lain, tidak akan memahami
pengaruh bahasa sebagai alat untuk komunikasi intelektual. Kontak
emosional dan kontak intelektual inilah yang mendorong lahirnya suatu alat
komunikasi berupa bahasa.

10) Teori Hockett-Ascher


Teori ini dikembangkan oleh Charles F. Hockett dan Robert Ascher.
Mereka ini mensintesiskan beberapa penelitian para ahli, seperti penelitian
antropologi, arkeologi, fosil-fosil secara geologis, dan lainlainnya lagi.
Pada prinsipnya, para ahli menerima bahwa mahluk yang disebut
proto hominoid sudah memiliki semacam “bahasa” sebagai alat
komunikasi. Sistem komunikasinya itu disebut call atau panggilan.
Proto hominoid itu tidak mampu berbicara. Mereka menggunakan
sistem komunikasi atau call yang sederhana, yang hanya terdiri dari enam
tanda distingtif atau pembeda. Keenam sistem call atau panggilan itu
adalah :
1. call untuk menandakan adanya makanan,
2. call untuk menyatakan adanya bahaya,
3. call untuk menyatakan persahabatan atau keinginan untuk bersahabat,
4. call untuk perhatian seksual,
5. call untuk menyatakan kebutuhan akan perlindungan keibuan,
6. call yang tidak mempunyai arti dan hanya menunjuk di mana gobbon
atau jenis proto hominoid itu berada; call ini berfungsi untuk menjaga
agar anggota kelompok tidak terpisah terlalu jauh ketika mereka
bergerak di antara pohon-pohonan.

Call inilah yang merupakan cikal-bakal bahasa manusia. Prosesnya


adalah sesuai dengan proses evolusi proto hominoid itu sampai menjadi
manusia seperti sekarang ini.
Mahluk proto hominoid yang dulunya hidup dipohon-pohon mulai

16
turun ke tanah dan membentuk kelompok-kelompok. Dalam kehidupannya
ini, mereka mulai berkurang menggunakan mulutnya untuk memegang
makanan karena mereka tidak perlu lagi bergelayutan dengan kedua
tangannya di atas pohon. Akibat dari ini tentu saja mulutnya mulai
menganggur. Dari sana, mahluk itu kemudian memanfaatkan mulutnya
untuk mengeluarkan bunyi-bunyi yang lebih bervariasi. Call yang dulunya
hanya bersifat tertutup diarahkan kepada sistem yang bersifat lebih terbuka
yang menjadi ciri dari bahasa manusia.
Call yang bersifat tertutup maksudnya adalah hanya dipakai untuk
menyatakan satu panggilan saja. Secara prinsip, proto hominoid tidak
mampu mengeluarkan tanda yang memiliki ciri-ciri gabungan dari dua
jenis call atau lebih. Misalnya, jika ia berjumpa dengan makanan dan
menghadapi bahaya pada waktu yang bersamaan, maka ia hanya
menggunakan salah satu call, bukan menggabungkan kedua-duanya, atau
bagian dari keduanya.
Sementara itu, call terbuka maksudnya adalah kita (manusia) dapat
dengan bebas mengucapkan apa yang belum pernah kita ucapkan atau
dengar sebelumnya, sementara maknanya dapat juga dipahami dengan
mudah. Oleh karena itu, sistem call dan bahasa manusia memiliki
perbedaan minimal dalam dua hal, yaitu :
1. sistem call tidak mengandung ciri pemindahan, bahasa justru memiliki
ciri ini. Ciri pemindahan mengandung pengertian bahwa kita dapat
berbicara dengan bebas mengenai suatu hal yang jauh letaknya dari
pandangan kita, atau sesuatu yang berada pada masa lampau, atau masa
yang akan datang. Proto hominoid tidak dapat melakukan itu.
2. Ujaran dari suatu bahasa terdiri dari susunan unit-unit tanda yang disebut
fonem yang tidak mengandung makna, tetapi berfungsi untuk
memisahkan ujaran-ujaran yang bermakna. Jadi, bahasa memiliki dua
struktur, yaitu struktur yang tidak mengandung makna dan struktur
yang mengandung makna.
Demikianlah pandangan teori ini bahwa bahasa itu berkembang dari
sistem call yang tertutup menuju ke bahasa yang merupakan sistem call

17
yang terbuka. Perkembangan itu terjadi sejalan dengan perkembangan
mahluk yang disebut proto hominoid sampai menjadi manusia yang dapat
berpikir seperti sekarang ini.

2.3 Perbedaan Bahasa Manusia daan Bahasa Hewan

Bahasa yang kita pakai sebenarnya sama atau setidaknya mirip dengan suara
binatang. Misalnya, ketika seekor kucing mengeong, dia sedang berkomunikasi
dengan temantemannya atau lingkungannya. Begitu juga ketika seorang siswa
berteriak di depan kelas, dia sedang menyampaikan sesuatu kepada temannya atau
orang-orang di sekitarnya. Karena itu, sebenarnya suara kucing dan teriakan siswa
adalah bentuk komunikasi, karena keduanya mengandung pesan yang hendak
disampaikan. Tetapi suara kucing tidak bisa disebut sebagai bahasa. Sedangkan
teriakan siswa disebut bahasa. Karena itu, bisa dikatakan seekor kucing bersuara,
sedangkan seorang siswa berbahasa.
Benar bahwa sebagian hewan memiliki kemampuan membentuk simbol
untuk menyampaikan pesan atau makna, bahkan pemikiran dan emosi. Seperti
simpanse oleh para peneliti disebut sebagai hewan dengan kecerdasan tinggi,
tetapi ia tetap tidak bisa berbicara, dan karena itu peradabannya tidak pernah
berkembang sejak keberadaannya puluhan juta tahun lalu hingga sekarang.
Menurut Slamet Iman Santoso (dalam Suriasumantri, 1983: 226) kemajuan
peradaban manusia terjadi karena pemikiran konseptual yang dinyatakan dalam
bahasa kemudian pelaksanaan konsep-konsep yang telah dinyatakan dalam
bahasa. Pelaksanaan menjadi suatu hasil ini dinilai. Rangkaian inilah yang
mendasari kemajuan manusia.
Ada banyak cerita tentang makhluk yang bisa berbicara. Kita
menganggapnya sebagai fantasi atau fiksi belaka. Sebab pada hakikatnya binatang
atau hewan itu sekadar meniru suara yang diucapkan manusia di sekitarnya.
Bahkan ada burung (beo) yang dapat bersuara hampir sama suara manusia. Tetapi
memang benar bahwa semua makhluk, termasuk hewan, berkomunikasi dengan
kelompok atau temannya, terutama dengan mereka dari spesis yang sama.
Memperhatikan bagaimana hewan berkomunikasi dengan lainnya, kita dapat
mengajukan pertanyaan tentang ‘bahasa’ binatang. Apakah hewan atau makhluk

18
di luar manusia dapat berkomunikasi dengan bahasa manusia? Atau, dengan
pertanyaan lain apakah bahasa manusia memiliki ciri sebagai sistem komunikasi
yang begitu unik sehingga tidak memungkinkan makhluk lain mempelajarinya?
Untuk menjawabnya kita perlu mengkaji ciriciri khusus bahasa manusia,
kemudian melihat kembali beberapa penelitian terkait komunikasi manusia dan
hewan.
Yule (2010: 11) membedakan antara tanda atau simbol-simbol yang bersifat
komunikatif dan informatif. Misalnya, seseorang yang sedang mendengarkan
temannya berbicara maka dia akan memperoleh informasi dari pembicaraan itu
tentang dia melalui sejumlah simbol atau tanda yang dia tidak menyadarinya.
Misalnya, ketika temannya itu bersin atau batuk-batuk, maka dapat disimpulkan
(diperoleh informasi) bahwa dia sedang kedinginan. Atau ketika diketahui dia
pindah tempat duduk berarti dia sedang tidak nyaman dengan duduknya. Atau
seseorang dapat diketahui dari mana asalnya dari aksen bicaranya. Begitu juga ,
misalnya, sekelompok orang berpakaian merah datang ke sebuah pertemuan,
maka warna merah yang mereka kenakan mengandung makna tertentu. Tetapi
ketika seseorang mengatakan “Saya besuk sore akan mengunjungi teman yang
sedang sakit di rumah sakit”, maka dia dianggap sedang mengomunikasikan
sesuatu kepada orang lain secara sengaja. Seekor burung hitam sedang duduk di
dahan pohon tidak dianggap menyampaikan pesan apa-apa dengan bulu hitamnya.
Tetapi ketika dia bersuara keras ketika melihat di bawah ada kucing, maka dia
sedang menyampaikan sesuatu (berkomunikasi).
Diyakini bahwa semua makhluk berkomunikasi dengan caranya masing-
masing. Tetapi, makhluk lain diragukan dapat berpikir ketika menyampaikan
pesan atau memikirkan ulang apa yang telah mereka lakukan. Seekor anjing yang
menggonggong tentu tidak sedang menasihati temannya tentang sesuatu. Tetapi
manusia dapat dengan jelas memikirkan sesuatu dengan bahasa dan
penggunaannya. Manusia dapat menggunakan bahasa untuk berpikir dan bercakap
dengan bahasa tersebut, menjadikan ciri pembeda dari ‘bahasa’ hewan. Begitu
khasnya bahasa manusia, Yule mengindentifikasi 5 ciri pembeda di dalamnya,
yaitu; displacement, arbitrariness, productivity, cultural transmission, dan duality.

19
Displacement artinya bebasnya ialah “penggantian”. Misalnya, seekor kucing
sambil mengeong duduk di pangkuan dengan manjanya. Lalu kita tanya baru dari
mana. Dia tetap akan mengeluarkan suara “ngeong”. Tampaknya komunikasi
binatang tidak mampu menjangkau waktu yang sudah lewat dan tempat yang jauh
dari keberadaannya. Sebaliknya, bahasa manusia dapat menjangkau peristiwa
masa lalu dan masa depan. Misalnya, karena ciri displacement, bahasa manusia
dapat berbicara tentang malaikat, surga, neraka, setan, dewa dan lain-lain yang
keberadaannya sebagian manusia tidak meyakininya. Komunikasi binatang sama
sekali tidak mampu menjangkau hal tersebut.
Ciri bahasa manusia yang kedua ialah Arbitrariness, yakni tidak ada
hubungan antara bentuk bahasa (tanda) dengan makna (yang ditandai). Tentu kita
bisa membuat mainan kata yang cocok ketika diucapkan dengan maknanya.
Dalam bahasa Inggris ada sejumlah kata yang ketika diucapkan sama dengan
artinya, misalnya cuckoo, crash, slrup, squelch, dan whirr. Kata-kata demikian
disebut anomatopoeia, yakni kata-kata yang merangsang indera pendengaranuntuk
memberikan gambaran obyek yang dipresentasikannya. Sebab, kata memiliki
keterbatasan dalam menyampaikan detail indrawi. Dibantu oleh suara, penerima
pesan bisa lebih memahaminya.
Karena sifat arbitrernya, maka setiap kelompok masyarakat bisa membuat
kata atau simbol sendiri sesuai kesepatakan mereka masing-masing. Itu pula
sebabnya setiap kelompok masyarakat, suku atau bangsa memiliki bahasa mereka
sendiri sehingga kehidupan ini menjadi demikian indah. Suku Jawa dengan
bahasa Jawanya, suku Bali dengan bahasa Balinya, demikian pula bangsa Arab
dengan bahasa Arabnya, bangsa Inggris dengan bahasa Inggrisnya, dan
seterusnya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi andai saja semua manusia di muka
bumi hanya memiliki satu bahasa. Keanekaragaman bahasa ternyata telah
memperkaya khasanah kehidupan manusia.
Ketiga ialah Productivity, yakni kemampuan manusia untuk menciptakan
ungkapan baru atau kata baru secara terus menerus untuk menggambarkan obyek
atau siatuasi baru. Sifat ini disebut productivity (atau kreativitas atau sifat
terbuka), dan jumlah ungkapan manusia dalam semua bahasa manusia tidak
terbatas. Sistem komunikasi makhluk lain tidak seperti itu. Jangkrik, misalnya,

20
memiliki empat sinyal untuk dipilih, monyet memiliki 36 jenis panggilan suara.
Keterbatasan komunikasi binatang ditemukan oleh Frisch pada lebah madu bahwa
ternyata lebah tidak punya kemampuan menyampaikan keberadaan sari bunga
yang ada di atas (jarak vertikal). Kemampuan lebah hanya menyampaikan
keberadaan sumber makanan pada tempat yang berjarak horisontal, tidak vertikal.
Ciri ketiga bahasa manusia ialah Cultural transmission (transmisi kultural),
artinya walaupun kita secara fisik mewarisi bentuk tubuh dari kedua orangtua kita
seperti mata, warna kulit, warna rambut dan sebagainya kita tidak mewarisi
bahasa mereka. Kita memperoleh bahasa dalam budaya dengan penutur bahasa
yang lain dan bukan dari gen orangtua. Seorang anak yang lahir di Korea dari
pasangan Korea kemudian diadopsi dan dibesarkan di keluarga berbahasa Inggris
di Amerika, secara fisik dia mewarisi gen orangtuanya, tetapi dia tidak mewarisi
bahasa orangtuanya, melainkan berbahasa orangtua angkatnya, yakni berbahasa
Inggris. Proses demikian disebut transmisi kultural.
Komunikasi binatang tidak berlangsung melalui transmisi kultural,
melainkan naluriah belaka. Binatang terlahir dengan seperangkat simbol yang
diproduksi secara naluriah. Misalnya, burung yang dilahirkan selama tujuh
minggu tidak mendengar suara burung lain, secara naluriah dia akan
mengeluarkan suara yang kedengarannya tidak normal.
Ciri keempat bahasa ialah Duality (dualitas), artinya ialah bahasa manusia
terbentuk pada dua tingkatan strukur secara simultan. Ini disebut dualitas
(artikulasi ganda). Pada tingkatan pertama ialah unsur-unsur yang tidak punya
makna sama sekali, tetapi ketika unsur-unsur itu digabung baru menimbulkan
makna (Widdowson, 2009: 6). Misalnya, kita dapat mengucapkan bunyi n, b, dan
i. Secara individual bunyi itu sama sekali tidak punya makna. Tetapi ketika bunyi-
bunyi itu digabung menjadi ‘bin’ atau ‘nib’ baru punya arti. Karena itu, manusia
itu pada suatu tingkatan memiliki bunyi yang berbeda, dan pada tingkatan yang
lain makna yang berbeda pula. Binatang sama sekali tidak memiliki kemampuan
memproduksi atau menggabungkan bunyi berbeda dengan makna berbeda. Gerak
komunikasi binatang sejatinya bersifat naluriah semata.

21
2.4 Perbedaan Sistem Komunikasi Manusia dan Hewan

Perbedaan antara Bahasa Manusia dengan “komunikasi hewan” Ada


beberapa hal yang membedakan antara bahasa (language) dengan tindakan-
tindakan penyampaian pesan lainnya, seperti: tangisan bayi, gonggongan anjing,
dan tarian lebah atau yang biasa dikenal dengan “waggle dance”. Terdapat
beberapa pendapat mengenai perbedaan-perbedaan ini. Yang pertama adalah yang
disampaikan oleh Nan Bernstein Ratner dkk. Menurutnya ada beberapa
karakteristik khusus yang hanya terdapat pada bahasa manusia. Karakteristik
tersebut antara lain:

1. Bahasa manusia memiliki hierarchical structure. Pesan (dalam bahasa


manusia) dapat dibagi kedalam unit-unit analisis yang lebih kecil.
2. Bahasa manusia memiliki sifat infinite creativity. Pengguna bahasa dapat
meenghasilkan dan memahami kalimat-kalimat dalam bahasa mereka
tanpa terbatas. Hal ini sangat berbeda dengan hewan yang hanya dapat
menghasilkan bahasa secara terbatas.
3. Bahasa manusia dapat mengungkapkan pengalaman pengguna bahasanya
meskipun pengalaman tersebut bersifat abstrak. Hal ini tidak terdapat
dalam bahasa hewan. Mereka hanya dapat mengungkapkan hal-hal yang
terdapat di depan mereka. Jika bendanya tidak ada, maka mereka (hewan)
tidak dapat menyampaikan pesan yang sama.
4. Bahasa merupakan sebuah rule-governed system of behavior. Dalam
tangisan bayi atau gonggongan anjing tidak ada salah dan benar. Anjing
dapat menggonggong semau mereka. Namun, dalam bahasa manusia ada
sistem-sistem tertentu yang membuat sebuah kata/kalimat dapat diterima
atau ditolak. Sistem ini menjadikan bahasa dapat dipelajari dan digunakan
sevara konstan (Ronald Wardhaugh, hal. 3). Terdapat dua macam sistem
dalam bahasa yaitu: sistem bunyi dan sistem arti (the system of sounds and
the system of meanings).
5. Bahasa bersifat arbitrary. Bahasa Inggris, seperti bahasa-bahasa lainnya,
memiliki konvensi mengenai penempatan kata dalam kalimat. Aturan-
aturan inilah yang bersifat arbitrary; tidak ada alasan yang riil mengapa

22
bahasa Inggris membutuhkan konvensi-konvensi gramatikal tertentu.
Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris Noun Phrase harus mendahului
Verb Phrase dan objek mengikuti Verb Phrase(biasanya disebut S-V-O
word order), meski tidak semua kalimat dalam bahasa Inggris mengikuti
kaidah ini. Selain dalam aturan penyusunan kata dalam kalimat,
kearbitarian bahasa juga dapat dilihat dalam kata itu sendiri. Sebagai
contoh, tidak ada alasan mengapa ‘sebuah pohon’ disebut ‘tree’ dalam
bahasa Inggris, dan tentu saja hal ini juga berlaku untuk bahasa-bahasa
lainnya.

Sebagai makhluk Tuhan manusia dan hewan dalam sistem komunikasi


memiliki persamaan dan perbedaan apabila lebih diteliti persamaan berikut
persamaan manusia dan hewan sama-sama mempunyai alat ujaran untuk
menghasilkan bunyi yaitu paru-paru, laring, paring, dan mulut, sehingga baik
manusia maupun bintang mampu melakaukan komunikasi dengan anggota
kelompoknya dengan memiliki alat ujaran yang sama walaupun dengan proporsi
yang berbeda antara manusia dengan binatang mampu melakukan komunikasi
walaupun sangat terbatas sebagai contoh seseorang yang memiliki hewan piaraan
karena setiap hari bertemu dan melakukan komunikasi maka binatang piaraan
tersebut mampu diajak untuk berkomunikasi, misalnya waktu dipanggil maupun
disuruh melakukan sesuatu oleh manusia.
Perbedaan sistem komunikasi antara manusia dan hewan adalah struktur
mulut, lidah, dan organisasi otaknya. Struktur mulut pada hewan misalnya
simpanse lidah mempunyai ukuran yang tipis dan panjang . ukuran mulud yang
sempit tidak banyak ruang untuk menggerakan lidak ke atas, ke bawah, ke depan,
dan kebelakang. Ruang gerak yang sangat terbatas tidak memungkinkan binatang
untuk memodifikasi arus udara menjadi bunyi yang berbeda-beda dan distingtif.
Berbeda dengan manusia yang mempunyai rongga mulut yang cukup besar dan
lidah yang pendek sehingga memudahkan lidah untuk bergerak sehingga mudah
untuk memodifikasi arus udara menjadi bunyi. Laring pada binatang seperti
simpanse terletak dekat dengan jalur udara ke hidung sehingga waktu bernafas
laring tadi terdorong ke atas menutup lubang udara yang ke hidung. Epiglottis dan
velum pada binatang juga membentuk kelep yang kedap air sehingga binatang

23
dapat bernafas dan minum serta makan secara simultan.
Berbeda dengan manusia rongga mulut manusia yang relatip kecil, lidah
yang tebal dan pendek yang pleksibel untuk digerakan posisi laring maupun
epiglottis manusia yang jauh dari mulut sangat menguntungkan dalam pembuatan
suara. Gigi manusia yang jaraknya rapat, tingginya rata, dan tidak miring ke depan
membuat udara yang keluar dari mulut mudah diatur, bibir manusia yang bisa
digerakan secara fleksibel mampu menghasilkan bunyi tertentu.
Disamping bentuk tubuh dan ciri-ciri fisikal lain yang membedakan manusia
dan binatang adalah otak. Perbandingan antar otan manusia dan otan binatang
baik struktur maupun organisasinya sangat berbeda. Perbedaan neurologis seperti
ini yang membedakan bahwa manusia dapat berbahsa sedangkan hewan tidak bisa
berbahasa.

24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia adalah makhluk Tuhan paling sempurna di antara makhluk hidup
lain. Manusia sempurna karena dibekali akal budi. Dengan akal budi, manusia
dimampukan untuk memahami berbagai hal termasuk bahasa.
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi. Namun, lambang bunyi yang
dimaksudkan sebagai bahasa adalah bunyi yang diproduksi oleh alat ucap
manusia. Bahasa yang dihasilkan oleh artikulator manusia memiliki ciri khusus
yang membedakannya dengan alat komunikasi hewan. Hewan tidak menggunakan
bahasa untuk saling berkomunikasi seperti halnya manusia menggunakan bahasa.
Hanya manusia yang memiliki, menggunakan, serta membuat bahasa. Hewan
berkomunikasi dengan bentuk visual, suara, ataupun dengan penciumannya.
Bentuk- bentuk komunikasi tersebut memiliki tujuan dan fungsi masing-masing.
"Bahasa" hewan bukanlah bahasa seperti manusia. "Bahasa" hewan adalah
alat komunnikasi yang tidak perlu dipelajari dan diajarkan Bahasa manusia adalah
hasil dari kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan. Manusia mampu
menggunakan simbol-simbol untuk berkomunikasi, yaitu bahasa. Bahasa manusia
beragam bergantung pada suku dan bangsa. Manusia mampu mengembangkan
atau memelajari dan mempratikkan bahasa lain. Hewan tidak bisa seperti itu
walaupun beberapa hewan ada yang mampu dilatih mengucapkan beberapa
kosakata (seperti burung beo, simpanse), tetapi tidak memahami maknanya.
Manusia menemukan tulisan, jika tidak maka manusia berkomunikasi dengan
lisan. Dengan ditemukannya tulisan ruang komunikasi manusia menjadi luas.
Hewan tidak mampu menemukan temuan-temuan baru dan tidak pula mampu
membuat tulisan. Hewan tidak dapat berbahasa seperti layaknya manusia. Karena
anatomi otak manusia dengan hewan sangatlah berbeda. Namun, dengan adanya
pelatihan dan pengajaran yang dilakukan oleh para peneliti terhadap hewan yang
akan dilatih hewan dapat menirukan bahasa manusia. Hal ini membutuhkan
pelatihan yang secara terus menerus. Meskipun hasilnya tetap hewan tersebut
tidak berbahasa, tetapi hanya mampu menirukan bahasa yang telah
dilatihkan kepadanya.

25
3.2 Saran

a. Bagi pembaca sebaiknya lebih banyak lagi membaca literatur yang ada,
khususnya literatur dari penulis yang ahli dalam bahasa, sehingga diharapkan
mampu memahami konsep secara mendalam tentang hakikat bahasa yang
seutuhnya.

b. Bagi penulis lanjutan sebaiknya mencari literatur-literatur yang terbaru, baik


dalam bentuk text book, e-book, maupun jenis lainnya tentang kajian hakikat
bahasa sehingga diharapkan mampu memahami dan menuangkan konsep
bahasa secara mendalam dan mengajarkannya sebagai sebuah ilmu.

26
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.


Dardjowidjojo, Soenjono 2016. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kirom, Dina Ashlikhatul 2015. "Makalah Psikolinguistik Hewan dan
Pembelajaran Bahasa", http://dynavanesha11.blogspot.com/2015/12/makalah-
psikolinguistik-hewan-dan.html, diakses pada 12 Oktober 2018. dalam
Dwiyani, Suci. 2017. "Apakah Hewan Berbahasa Seperti Manusia?", dalam
http://sucidwiyani12.blogspot.com/2017/02/normal-0-false- false-false-in-x-
none-x.html, diakses pada 12 Oktober 2018,

27

Anda mungkin juga menyukai