Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH LINGUISTIK UMUM

Dibuat untuk memenuhi tugas kuliah


”Wacana”
Dosen pengampu : Dr.Gunta Wirawan,M.Pd.

Disusun oleh kelompok 10:


El-roy Setiawan (11308504220003)
Rizqy Ihsan Maulana (11308504220021)
Yehezkiel Perdana Pehatta (11308504220025)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEKOLAH


TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
KOTA SINGKAWANG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Wacana ”

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Linguistik Umum. Selain itu, makalah
ini bertujuan menambah wawasan tentang Wacana bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Gunta Wirawan,M.Pd. selaku Dosen


Mata Kuliah Linguistik Umum,Yang sudah memberikan kepercayaan kepada kami dalam
menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Singkawang, 3 November 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………………………….ii

BAB I…………………………………………………………………………………………………………………………………………..1
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………………………..1
A.Latar Belakang…………………………………………………………………………………………………………………….1
B.Rumusan Masalah……………………………………………………………………………………………………………….2
C.Tujuan…………………………………………………………………………………………………………………………………2
BAB II……………………………………………………………………………………………………………………………..………….3
PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………………………..……….……………3
A.Pengertian Wacana…………………………………………………………………………………………….……………….3
B.Ciri-ciri dan Sifat Wacana…………………………………………………………………………………………….……….4

C.Jenis-jenis Wacana……………………………………………………………………………………………………………….5

D.Alat Kohesi Wacana………………………………………………………………………………………………………….….6

E.Konteks Wacana…………………………………………………………………………………………………………………..9

BAB III……………………………………………………………………………………………………………………………………….10

PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………………………………..10

A.Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………………………….10

B.Saran……………………………………………………………………………………………………………………………………10

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………………………..11

ii
1

BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ilmu linguistik telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Misalnya, analisis
morfologi dan sintaksis masa lalu menggunakan metode analisis unsur dan penyusunan (Item
and arrangement), dan kini analisis morfologi dan sintaksis bertumpu pada analisis unsur dan
proses (Item and procces). Demikian juga, teori dan teknik analisis wacana sudah demikian
maju. Misalnya, dulu para linguis menganalisis wacana secara turun-temurun menggunakan
pendekatan kohesi dan koherensi. Sekarang para analis wacana sudah bekerja lebih luas lagi,
yaitu menganalisis wacana dengan teori modern, yang kritis, sosiologis, dan psikologis.
Dalam dunia linguistik diketahui bahwa pakar perintis analisis wacana adalah Zellig M.
Harris (1952) dengan judul artikelnya “Discourse Analysis”, sedangkan pakar mutakhir (yang
pernah saya baca) adalah Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips (2007) dengan judul
PUJANGGA
bukunya Analisis Wacana: Teori dan Metode, terjemahan Imam Suyitno dkk.dari Discourse
Analysis: Theory and Method.
Analisis wacana merupakan suatu kajian yang menganalisis bahasa yang digunakan
masyarakat secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Kajian terhadap suatu
wacana
dapat dilakukan secara struktural dengan menghubungkan teks dengan konteks, serta melihat
suatu wacana secara fungsional dengan menganalisis tindakan yang dilakukan seseorang
untuk
tujuan tertentu, misalnya untuk memberikan makna kepada partisipan yang terlibat.
Selain analisis wacana konvensional, tiga pendekatan yang berbeda pada analisis wacana
modern juga dijadikan bahan penelitian ini, yaitu (1) Analsis Wacana Posstrukturalis, (2)
Analisis Wacana Kritis, dan (3) Analisis Wacana Psikologis (Psikologi Kewacanaan).
Kumpulan beberapa hasil penelitian ilmiah ini bertujuan ingin memberikan wawasan
dan keberanian kepada para linguis muda untuk mulai menganalisis wacana secara kritis,
filosofis, dan psikologis. Semoga juga, tulisan ini akan memberikan inspirasi kepada linguis
muda tersebut untuk segera keluar dari “zona nyaman”, artinya keluar dari analisis wacana
konvensional yang sudah terakar dan teradat secara turun-temurun ke analisis wacana modern
2

yang kritis. Dengan cara begitu, saya menaruh rasa percaya diri akan lahirnya makalah-
makalah
yang mengupas secara kritris dan berani terhadap beberapa wacana yang mengundang
perhatian
publik karena dianggap kontroversial oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, seperti
analisis
terhadap 1) "Wacana Penodaan Agama oleh Ahok", (2) "Wacana Kebangkian PKI di
Indonesia
oleh Alfian Tanjung”, (3) “Wacana Uang RI yang Bergambar Palu Arit (PKI) oleh Habieb
Rizieq Shihab”, (4) “Dampak Kunjungan Raja Salman bagi Perekonomian Indonesia”, dan
(5)
"Wacana Pidato Megawati yang Tidak Percaya akan Adanya Alam Baka.”

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas,maka masalah yang akan kami
bahas adalah sebagai berikut:
1.Pengertian wacana!
2.Ciri-ciri dan sifat wacana!
3.Jenis-jenis wacana!
4.Alat kohesi wacana!
5.Konteks wacana!

C.Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.Untuk mengetahui pengertian wacana.
2.Untuk mengetahui ciri-ciri wacana dan sifat wacana.
3.Untuk mengetahui jenis-jenis wacana.
4.Untuk mengetahui alat kohesi wacana.
5.Untuk mengetahui konteks wacana.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Wacana

Pengertian wacana sekurang-kurangnya dapat dilihat dari empat sudut pandang,yaitu


penggunaannya oleh masyarakat umum,asal usul katanya,kedudukannya dalam satuan
kebahasaan,dan kaitannya dengan konsep tentang bahasa.Dalam penggunaannya oleh
masyarakat umum,kata wacana mengandung arti ‘’gagasan awal yang belum matang dan
dengan sengaja dilontarkan untuk memperoleh tanggapan’’atau ‘’percakapan atau
obrolan’’(Ayatrohedi 2002:12).Pengertian tersebut tampak pada ungkapan hal ini baru
sekedar wacana,rencana ini masih berupa wacana,program ini perlu diwacanakan yang
sering diucapkan oleh banyak orang,terutama para pejabat atau politisi.
Ditinjau dari asal usul katanya,kata wacana berasal dari kata vacana’bacaan’ dalam
Bahasa sanskerta.Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno dan Jawa
Baru menjadi wacana dan wacana ‘bicara,kata,ucapan’.Kata wacana dalam bahasa Jawa
Baru kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana yang berarti
‘ucapan,percakapan,kuliah’(Poerwadarminta 1976:1144).Seiring dengan penggunaannya
yang semakin meluas,komponen arti kata wacana juga semakin bertambah banyak.Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat dijelaskan bahawa wacana
mengandung arti sebagai berikut.
1 komunikasi verbal;percakapan; 2 keseluruhan tutur yang merupakan satu
kesatuan;3 satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau
laporan utuh,seperti novel,buku,artikel,pidato,atau khotbah;4 kemampuan atau prosedur
berpikir secara sistematis;kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan
akal budi;5 pertukaran ide secara verbal(Sugono 2008:1552).(Pengubahaan ejaan dari
penulis).
Kata wacana dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai padanan (atau terjemahan)
kata discourse dalam bahasa Inggris.Dilihat dari asal usul katanya,kata discourse itu berasal
dari bahasa Latin discursus ‘lari kian kemari’.Kata discursus itu diturunkan dari bentuk
discurrere.Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere ’lari,berjalan
kencang’(Webster 1983:522).Oleh sebab itu,di Indonesia ada juga orang yang menggunakan
kata diskursus sebagai hasil adaptasi dari discursus dalam bahasa Latin.
Dilihat dari kedudukannya dalam satuan kebahasaan,wacana dimengerti sebagai
satuan kebahasaan atau satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat
(Stubbs 1983:10 dan Mchoul 1994:940).Sampai sekarang ada sekurang-kurangnya sepuluh
satuan kebahasaan yang dikenal dalam ilmu bahasa,yaitu (i) wacana,(ii) paragraph, (iii)
kalimat,(iv) klausa,(v) frasa,(vi) kata,(vii) morfem,(viii) silabel,(ix) fonem,(x) fona atau
bunyi.Dari sepuluh satuan kebahasaan itu,wacana berada di atas tataran kalimat.Selain
itu,wacana juga dimengerti sebagai “satuan bahasa terlengkap,dalam hierarki gramatikal
4

merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.Wacana kalimat,atau kata yang


membawa amanat yang lengkap”(Kridalaksana 1993:231).
Dilihat dari konsep tentang bahasa,wacana merupakan “bahasa dalam
penggunaan” (language in use) (Brown and Yule 1983:1).”Bahasa dalam penggunaan”bearti
bahasa yang digunakan dalam komunikasi verbal.Bahasa dalam komunikasi verbal berarti
bahasa yang digunakan dalam konteks.Dengan demikian,wacana terdiri atas dua unsur
pokok,yaitu unsur bahasa dan konteks.Unsur bahasa dan disebut pula teks.Oleh sebab
itu,dengan meminjam istilah Haliday dan Hasan (1992),wacana merupakan satuan
kebahasaan yang terdiri atas teks dan konteks.Teks tidak hanya merupakan unsur bahasa
tertulis sebagaimana menurut pengertian umum,melainkan juga unsur bahasa lisan.Dalam
hal ini teks berupa satuan-satuan kebahasaan.Konteks merupakan unsur-unsur luar bahasa
yang melingkupi teks.
Berdasarkan pengertian wacana dari empat sudut pandang tersebut,wacana
dapat dimengerti sebagai satuan kebahasaan terbesar atau tertinggi yang terbentuk oleh
teks dan konteks.Sebagai satuan kebahasaan tertinggi,wacana dapat berupa gugus kalimat
(sentence cluster),paragraf atau alinea,penggalan wacana (pasal,subbab,bab,episode),dan
wacana utuh (novel,puisi,syair lagu,khotbah,pengumuman,iuklan,berita,dialog).

B.Ciri-ciri dan Sifat Wacana


terdapat ciri dan sifat wacana, yaitu sebagai berikut;
a. Wacana berupa rangkaian ujaran lisan maupun tulisan yang mengandung tuturan.
b. Rangkaian ujaran yang mengungkap suatu hal.
c. Penyajiannya sistematis, koherensi, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya
d. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian tersebut.
e. Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental sehingga menjadi wacana yang utuh.
5

C.Jenis-jenis Wacana

Itu ada berbagai jenis. Berbagai jenis wacana itu dapat dikelompokkan menurut dasar
tertentu. Dasar pengelompokan itu antara lain (i) media yang dipakai untuk mewujudkannya,
(ii) keaktifan partisipan komunikasi, (iii) tujuan pembuatan wacana, (iv) bentuk wacana, (v)
langsung tidaknya pengungkapan wacana, (vi) genre sastra, (vii) isi wacana, dan (viii) dunia
maya (periksa Baryadi 2002). Berdasarkan media yang dipakai untuk mewujudkannya, dapat
dikemukakan dua jenis wacana, yaitu (i) wacana lisan (spoken discourse) dan (ii) wacana
tertulis (writen discourse). Wacana lisan adalah wacana yang dihasilkan dengan diucapkan.
Wacana lisan diterima dan dipahami dengan cara mendengarkannya. Wacana lisan sering
dikaitkan dengan wacana interaktif (interactive discourse) karena wacana lisan dihasilkan
dari proses interaksi atau hubungan komunikatif secara verbal antarpartisipan komunikasi
(Tarigan 1987: 52). Contoh wacana lisan adalah dialog dokter dan pasien, interogasi polisi
dan pesakitan, tawar menawar dalam peristiwa jual beli, diskusi, rapat, musyawarah,
percakapan melalui telepon, mantra, ceramah, khotbah, stand up comedy, dan pidato. Wacana
tertulis adalah wacana yang diwujudkan secara tertulis. Untuk menerima dan memahami
wacana tertulis, si penerima harus membacanya. Wacana ini sering dikaitkan dengan wacana
noninterkatif (noninteractive discourse) karena proses pemroduksian wacana ini tidak dapat
langsung ditanggapi oleh penerimanya (Baryadi 1989: 4). Contoh jenis wacana tertulis adalah
surat, pengumuman tertulis, berita di surat kabar, tajuk rencana, iklan cetak, cerita pendek,
novel, naskah drama, wacana prosedural, dan undang-undang. Berdasarkan keaktifan
partisipan komunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (i) wacana monolog
(monologue discourse), wacana dialog (dialogue discourse), dan wacana polilog (polylogue
discourse) atau percakapan (conversation atau exchange). Wacana monolog adalah wacana
yang pemroduksiannya hanya melibatkan pihak pembicara. Wacana monolog dapat
dibedakan menjadi wacana monolog lisan seperti ceramah, khotbah, kampanye, petuah dan
wacana monolog tertulis seperti wacana berita, pengumuman tertulis, wacana prosedural, dan
wacana narasi tertulis. Wacana dialog adalah wacana yang pemroduksiannya melibatkan dua
pihak yang bergantian sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana dialog adalah tegur
sapa, tanya jawab guru dengan murid, dialog dokter dan pasien, tawar-menawar dalam
peristiwa jual-beli, dan interogasi polisi dengan pesakitan. Wacana polilog adalah wacana
yang diproduksi melalui tiga jalur atau lebih. Pemroduksian wacana polilog pada dasarnya
sama dengan pemroduksian wacana dialog karena keduanya melibatkan pihak-pihak yang
bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana polilog adalah
percakapan, diskusi, rapat, musyawarah, sidang, dan sarasehan. Berdasarkan tujuan
pembuatannya, wacana dapat dibedakan menjadi (i) wacana narasi, (ii) wacana deskripsi, (iii)
wacana eksposisi, (iv) wacana eksplanasi, (v) wacana argumentasi, (vi) wacana persuasi, (vii)
wacana informatif , (viii) wacana prosedural, (ix) wacana hortatori, (x) wacana humor, (xi)
wacana regulatif, dan (xii) wacana jurnalistik. Secara berurutan, wacana-wacana tersebut
dibuat dengan tujuan untuk (i) menceritakan sesuatu, (ii) memerikan sesuatu, (iii)
memaparkan sesuatu, (iv) menjelaskan sesuatu, (v) memberikan alasan, (vi) membujuk atau
memengaruhi, (vii) menyampaikan informasi, (viii) menyajikan langkah-langkah melakukan
suatu perbuatan, (ix) memberi nasihat, (x) melucu, (xi) mengatur, dan (xii) melaporkan
sesuatu. Perbedaan tujuan tersebut juga menyebabkan perbedaan struktur dan ciri kebahasaan
setiap jenis wacana. Berdasarkan bentuknya, wacana dapat dibedakan menjadi (i) wacana
6

epistolari, (ii) wacana kartun, (iii) wacana komik, (iv) wacana syair lagu, dan (iv) wacana
mantra atau wacana doa Aneka jenis wacana tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda.
Menurut langsung-tidaknya pengungkapan, wacana dibedakan menjadi wacana langsung dan
wacana tidak langsung. Wacana langsung adalah kutipan wacana yang sebenarnya dibatasi
oleh intonasi dan pungtuasi (Kridalaksana 1993: 231). Wacana tidak langsung adalah
pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip harfiah kata-kata yang dipakai oleh
pembicara dengan mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain
dengan klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya (Kridalaksana 1993: 231). Menurut
genre sastra, wacana lazim dibedakan menjadi wacana prosa, wacana puisi, dan wacana
drama. Wacana-wacana tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda pula. Berdasarkan
isinya, wacana dapat dibedakan menjadi wacana politik, wacana olah raga, wacana ekonomi,
wacana ilmiah, wacana filsafat, wacana pertanian, wacana pendidikan, dan sebagainya.
Wacana-wacana tersebut memiliki register yang berbeda-beda. Seiring dengan pesatnya
penggunaan teknologi informasi, muncullah jenis-jenis wacana baru dalam dunia maya.
Jenis-jenis wacana baru dalam dunia maya ini perlu didata dan dikodifikasi sehingga dapat
diketahui identitasnya.

D.Alat Kohesi Wacana


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada banyak ahli yang telah membahas alat-alat
kohesi di dalam wacana, di antaranya ialah M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hasan, David
Nunan, Harimurti Kridalaksana, dan Untung Yuwono. Menurut Halliday dan Hasan (1976),
alat kohesi terdiri atas lima unsur, yaitu referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, dan kohesi
leksikal. Dalam referensi dikenal adanya referensi eksoforis dan referensi endoforis. Pada
referensi endoforis, dikenal pula referensi anaforis dan referensi kataforis. Selain itu,
referensi tersebut juga dibagi lagi atas referensi personal, referensi demonstratif, dan referensi
komparatif. Referensi personal dibedakan lagi berdasarkan pronomina personal dan
pronomina milik, referensi demonstratif dibedakan lagi menjadi referensi demonstratif netral
dan referensi demonstratif selektif. Halliday dan Hasan membagi substitusi atas substitusi
nominal, substitusi verbal, dan substitusi klausal. Begitu juga dengan elipsis, elipsis dibagi
atas elipsis nominal, elipsis verbal, dan elipsis klausal. Adapun konjungsi dibagi atas empat
bagian, yaitu konjungsi adversatif, konjungsi aditif, konjungsi temporal, konjungsi kausal,
satuan konjungsi lainnya, dan fungsi kohesi intonasi. Universitas Indonesia Alat-alat
kohesi..., Astri Yuniati, FIB UI, 2009 Sementara itu, kohesi leksikal terdiri atas reiterasi dan
kolokasi. Reiterasi terdiri atas repetisi, sinonimi dan sinonimi dekat, superordinat, dan kata
umum, sedangkan kolokasi dibedakan atas mutually exlusive categories ‘kategori saling
menghindarkan’, particular type of oppositeness ‘tipe khusus dari perlawanan’, superordinat,
sinonimi dan sinonimi dekat, antonimi, converses ‘kosok bali’, same ordered series ‘seri
urutan yang sama’, unordered lexical sets ‘satuan leksikal yang tidak berurutan’, part to
whole ‘sebagian dengan keseluruhan’, part to part ‘sebagian dengan sebagian’, dan ko-
hiponim. Hampir sama dengan Halliday dan Hasan, Nunan (1993) dalam Introducing
Discourse Analysis membagi alat kohesi atas kohesi referensial, substitusi, elipsis, dan kohesi
leksikal. Kohesi referensial juga dibedakan atas referensi anaforik dan referensi kataforik.
Selain itu, berdasarkan tipe objeknya, Nunan juga membagi kohesi referensial menjadi
referensi personal, referensi demonstratif, dan referensi komparatif. Adapun substitusi
dibedakan pula atas substitusi nominal, substitusi verbal, dan substitusi klausal. Begitu juga
7

dengan elipsis dibedakan atas elipsis nominal, elipsis verbal, dan elipsis klausal. Selain itu,
Nunan juga membedakan konjungsi atas konjungsi adversatif, konjungsi aditif, konjungsi
temporal, dan konjungsi kausal. Pada kohesi leksikal juga dibedakan atas reiterasi—yang
terdiri dari repetisi, sinonimi, superordinat, dan kata umum—dan kolokasi. Kridalaksana
(1978) menggunakan istilah kohesi dengan aspek-aspek yang meliputi aspek semantis, aspek
leksikal, dan aspek gramatikal. Aspek semantis meliputi hubungan semantis antara bagian-
bagian wacana dan kesatuan latar belakang semantis. Hubungan semantis antara bagian-
bagian wacana dapat diperinci lagi menjadi hubungan sebab-akibat, hubungan alasan-akibat,
hubungan sarana-hasil, hubungan sarana-tujuan, hubungan latar-kesimpulan, hubungan
kelonggaran-hasil, hubungan syarat-hasil, hubungan perbandingan, hubungan parafatis,
hubungan amplikatif, hubungan aditif yang berhubungan dan tidak berhubungan dengan
waktu, hubungan identifikasi, hubungan generik-spesifik, dan hubungan ibarat. Sementara
itu, kesatuan latar belakang semantis meliputi kesatuan topik, hubungan sosial para
pembicara, dan jenis medium penyampaian yang dipakai. Universitas Indonesia Alat-alat
kohesi..., Astri Yuniati, FIB UI, 2009 Aspek leksikal meliputi ekuivalensi leksikal, antonim,
hiponim, kolokasi, kosok bali, pengulangan, serta penutup dan pembuka wacana. Adapun
aspek gramatikal terdiri dari konjungsi, elipsis, paralelisme, dan bentuk penyilih yang
meliputi anaforis dan kataforis. Yuwono (2005) membedakan alat kohesi atas alat kohesi
gramatikal dan alat kohesi leksikal. Alat kohesi gramatikal meliputi referensi, substitusi,
elipsis, dan konjungsi, sedangkan alat kohesi leksikal meliputi reiterasi dan kolokasi. Pada
alat kohesi gramatikal, referensi dibedakan atas referensi eksoforis dan referensi endoforis.
Selain itu, berdasarkan tipe objeknya, Yuwono juga membagi referensi atas referensi
personal, referensi demonstrativa, dan referensi komparatif. Adapun substitusi dibedakan
pula atas substitusi nominal, substitusi verbal, dan substitusi klausal. Begitu juga dengan
elipsis dibagi pula atas elipsis nominal, elipsis verbal, dan elipsis klausal. Sementara itu,
konjungsi dibedakan berdasarkan kedudukannya di dalam kalimat yang meliputi konjungsi
antarkalimat dan konjungsi intrakalimat. Pada kohesi leksikal, Yuwono pun membaginya atas
reiterasi dan kolokasi. Reiterasi ini terdiri dari repetisi, sinonimi, hiponimi, metonimi, dan
antonim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam pendapat para ahli di atas terdapat
beberapa persamaan dan perbedaan unsur serta istilah yang digunakan. Dalam pendapat
Halliday-Hasan dan Nunan banyak terdapat persamaan, seperti pembagian alat-alat kohesi
dan istilah-istilah yang digunakan. Namun, pada pendapat Nunan pembagian alat kohesi
tersebut tidak diperinci lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih spesifik sehingga
penggolongan alat-alat kohesi tersebut masih bersifat umum. Dalam pendapat Nunan,
referensi personal dan demonstratif, serta kolokasi tidak dibedakan lagi menjadi bagian yang
lebih spesifik, sementara dalam pendapat Halliday dan Hasan, referensi personal dibedakan
lagi atas pronomina persona dan pronomina milik; referensi demonstratif dibedakan atas
referensi demonstratif netral dan selektif; konjungsi meliputi enam bagian, serta kolokasi
dibedakan atas sebelas kategori (mutually exlusive categories, particular type of oppositeness,
superordinates, synonim and near synonim, antonym, Universitas Indonesia Alat-alat
kohesi..., Astri Yuniati, FIB UI, 2009 converses, same ordered series, unordered lexical sets,
part to whole, part to part, dan ko-hiponim). Sementara itu, dalam pendapat Kridalaksana,
yang dimaksud dalam aspek semantis—terutama kesatuan latar belakang semantis—
kajiannya sudah di luar teks dan bersifat kontekstual sehingga unsur-unsur tersebut tidak
termasuk ke dalam tataran kohesi, atau lebih tepatnya termasuk ke dalam tataran koherensi.
Seperti ahli-ahli lainnya, Kridalaksana juga membahas aspek leksikal dan aspek gramatikal.
8

Aspek gramatikal yang dikemukakan Kridalaksana memuat paralelisme, sedangkan substitusi


tidak tercakup dalam kajiannya. Selain itu, beliau juga memakai istilah berbeda untuk
menyebut referensi, yakni bentuk penyilih. Pada aspek leksikal, Kridalaksana mencantumkan
beberapa unsur, seperti ekuivalensi leksikal, antonim, kosok bali, serta pembuka dan penutup
wacana yang dalam pendapat Haliday dan Hasan serta Nunan tidak terdapat. Namun, pada
pendapat Kridalaksana tidak terdapat sinonimi. Perbedaan lainnya, yaitu jika dalam Halliday-
Hasan dan Nunan terdapat superordinat dan kata umum, dalam Kridalaksana hanya terdapat
hiponimi. Tidak jauh berbeda dengan pendapat yang diungkapkan sebelumnya, Yuwono juga
membagi alat-alat kohesi seperti yang dilakukan Halliday-Hasan serta Nunan. Namun,
Yuwono mencantumkan antonimi dan metonimi dalam alat kohesi leksikal dan menyebut
istilah superordinat dengan istilah sebaliknya, hiponimi. Dengan demikian, sebagai dasar
penelitian, penulis akan menggunakan pendapat Halliday dan Hasan yang sudah
dikombinasikan dengan pendapat ahli lain. Hal ini dilakukan penulis karena di dalam
pendapat Halliday dan Hasan tidak semua unsur dapat diaplikasikan ke dalam data berbahasa
Indonesia (seperti referensi demonstratif netral) dan banyak unsur lain (seperti antonimi dan
metonimi) dari pendapat ahli lain yang bisa diterapkan dalam data berbahasa Indonesia,
khususnya pada iklan kolom bidang jasa ini. Selain itu, dalam Halliday dan Hasan terdapat
pula alat kohesi yang tumpang tindih batasannya, seperti kata umum (general word) yang
dinyatakan bahwa kedudukannya berada di antara perbatasan satuan leksikal dan substitusi
(Halliday dan Hasan, 1976: 280). Universitas Indonesia Alat-alat kohesi..., Astri Yuniati, FIB
UI, 2009 Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, kata umum—yaitu kata-kata yang memiliki
makna yang lebih umum dari kata lainnya—juga dapat termasuk ke dalam superordinat.
Dengan demikian, alat kohesi tersebut tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini. Menurut
Halliday dan Hasan (1976), kohesi merupakan suatu konsep semantis yang mengacu pada
hubungan makna yang ada di dalam sebuah teks. Kohesi terjadi jika interpretasi suatu unsur
dalam teks bergantung pada unsur lain. Istilah teks di sini dibedakan dari wacana. Menurut
B.H. Hoed, wacana adalah bentuk absrak dari suatu bangun teoritis, yang masih berada pada
tingkat langue sementara itu, teks ialah bentuk konkret dari wacana yang berada pada tataran
parole. Dengan demikian, yang dimaksud dengan teks adalah salah satu bentuk konkret dari
wacana. Pada tataran teks, kohesi merupakan kaitan semantis antara satu ujaran dengan
ujaran lainnya di dalam teks tersebut, sedangkan pada tataran wacana, kohesi merupakan
keterkaitan semantis antara satu proposisi dengan proposisi lainnya di dalam wacana tersebut.
Dengan demikian, pada penelitian ini dibahas alat-alat kohesi pada teks iklan kolom bidang
jasa sebagai kesatuan wacana yang utuh, bukan alat-kohesi pada wacana iklan kolom bidang
jasa. Adapun keterkaitan semantis itu pada tataran teks diperlihatkan oleh alat-alat kohesi
yang meliputi alat kohesi gramatikal dan kohesi leksikal berikut ini.
9

E.Konteks Wacana
Satuan bahasa yang dianalisis dalam analisis wacana adalah satuan bahasa yang
terdapat dalam konteks. Satuan terkecil dalam wacana adalah kalimat atau unsur kalimat.
Sasaran analisis wacana bukanlah struktur kalimat tetapi status nilai fungsional kalimat dan
konteksnya. Berdasarkan uraian tersebut analisis wacana selalu memanfaatkan konteks, baik
itu konteks linguistik maupun konteks ekstralinguistik.
Analisis wacana memiliki banyak sasaran, bergantung pada tujuan yang menjadi
target analisis itu. Pada uraian berikut akan mempelajari penggunaan konteks dalam analisis
wacana untuk mengenali struktur wacana, maka referensi dan inferensi dalam wacana, unsur-
unsur serta keterkaitannya dengan wacana yang terbatas pada :
1. Pengunaan konteks untuk mencari acuan
Konteks dapat digunakan untuk menentukan acuan. Acuan adalah hal atau benda yang
disebut, dirujuk atau yang dimaksudkan dalam wacana. Acuan dapat terbentuk berdasarkan
konteks wacana. Salah satu acuan yang dicari dalam teks adalah acuan sebuah kata deiksis.
Kata deiksis adalah kata yang acuannya dapat berpindah-pindah atau berganti-ganti. Acuan
itu bergantung pada konteks tempat beradanya acuan itu.
9
2. Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan
Hubungan tuturan dan maksud penutur dapat dipilah menjadi dua kategori yaitu :
hubungan langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung adalah hubungan yang
terungkap secara eksplisit. Hubungan tidak langsung adalah hubungan yang dinyatakan
secara implisit. Pemahaman terhadap maksud yang tidak langsung itu memerlukan pemikiran
bertahap, salah satu maksud yang dicari berdasarkan konteks adalah makna acuan atau
kepastian acuan.
3. Pengunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar
Bentuk yang memiliki unsur tak terujar itu sering disebut dengan bentuk eliptis.
Bentuk tak terujar itu hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks. Bentuk eliptis banyak
ditemukan dalam wacana dialog. Bentuk eliptis itu bukanlah bentuk yang salah, bahkan
karena konteks bentuk eliptis itu merupakan bentuk yang cocok dengan konteks.
Contoh :
(1).     Kemana saja anda tadi pagi?
(2).     Kerumah adik
(1).     Kemana saja anda tadi pagi?
(2).     Saya tadi pagi kerumah adik.
10
11

BAB 3
PENUTUP
A.Kesimpulan
Ditinjau dari asal usul katanya,kata wacana berasal dari kata vacana’bacaan’
dalam Bahasa sanskerta.Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno dan
Jawa Baru menjadi wacana dan wacana ‘bicara,kata,ucapan’. Terdapat ciri dan sifat wacana,
yaitu sebagai berikut;
a. Wacana berupa rangkaian ujaran lisan maupun tulisan yang mengandung tuturan.
b. Rangkaian ujaran yang mengungkap suatu hal.
c. Penyajiannya sistematis, koherensi, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya
d. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian tersebut.
e. Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental sehingga menjadi wacana yang utuh.
Berbagai jenis wacana itu dapat dikelompokkan menurut dasar tertentu. Dasar
pengelompokan itu antara lain (i) media yang dipakai untuk mewujudkannya, (ii) keaktifan
partisipan komunikasi, (iii) tujuan pembuatan wacana, (iv) bentuk wacana, (v) langsung
tidaknya pengungkapan wacana, (vi) genre sastra, (vii) isi wacana, dan (viii) dunia maya
(periksa Baryadi 2002).

B.Saran
Demikian makalah yang telah kami buat,semoga apa yang penulis paparkan bisa
menjadi tambahan pengentahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat belum sempurna masih banyak
kekurangannya,maka dari itu penulis berharap agar masukan dan saran dari pembaca
yang baik agar makalah ini menjadi lebih baik kedepannya.
12

DAFTAR PUSTAKA

https://repository.usd.ac.id/28645/1/1789_ANALISIS%2BWACANA%2BPDF.pdf
https://eprints.uny.ac.id/66032/3/BAB%20II.pdf
https://www.academia.edu/10194210/Konteks_Wacana
http://digilib.uinsby.ac.id/15514/8/Bab%203.pdf
https://sg.docworkspace.com/d/sID7nssGzAdu0jZsG?sa=00&st=1t

Anda mungkin juga menyukai