Anda di halaman 1dari 20

Makalah

“BERFIKIR KRITIS”

ANALISIS WACANA
Dosen Pengampu : Suparmi, S.Tr Keb, S. Pd, .M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Dwi Kristiana P1337424420040


Kristianti Fadeilla Putri P1337424420045
Kitri Winda Sari P1337424420051
Devi Natalia P1337424420059
Laudita Puspa Amartya P1337424420062
Dewi Riyanti Kurnia S P1337424420065
Diah Ayu Wulandari P1337424420066
Tiara Bella Murbha A P1337424420173
Maya Kurnia Putri P1337424420175
Wahyu Metasari P1337424420187
Afina Giyani Putri P1337424420204

PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT karena limpahan

rahmat serta anugerah dari-Nya kami kelompok 3 mampu untuk menyelesaikan

tugas makalah dengan judul "ANALISIS WACANA” sebagai penugasan mata

kuliah epideminologi dalam prodi kebidanan yang merupakan bagian penting

dalam proses belajar mengajar dalam memberikan teori perkuliahan

epideminologi.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi

agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan

Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling

benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya

karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak

yang telah mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah

ini hingga selesai. Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya

makalah yang telah kami buat ini mampu memberikan informasi yang manfaat

kepada setiap pembacanya.

Semarang, 2 Februaru 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
D. Manfaat 2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Wacana 3
B. Pengertian Analisis Wacana 4
C. Waca berdasarkan Realitas 5
D. Wacana berdasarkan Media Komunikasi 6
E. Wacana berdasarkan Pengungkapan 10
F. Wacana berdasarkan Cara Pembeberan (Pemaparan)11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 16
B. Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kata wacana berasal dari kosa kata Sansekerta vacana yang artinya
‘bacaan’. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna
dan bahasa Jawa Baru menjadi wacana yang berarti bicara, kata, atau
ucapan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Diknas, 2008) bahwa
wacana tidaklah lain dari komunikasi verbal atau percakapan; atau
pertukaran ide secara verbal. Di situ juga dicatat bahwa wacana adalah
keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008: 1552) masih mencatat rumusan yang lebih detail, yaitu
bahwa dalam bidang linguistik, wacana merupakan satuan bahasa
terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh
seperti buku, artikel, pidato, dan khotbah. Kajian wacana termasuk ke
dalam kajian bahasa dalam penggunaannya. Berdasarkan sebuah penelitian
sebuah wacana muncul dari sebuah kontsruksi realita oleh pelaku yang
dimulai dengan adanya realitas pertama berupa keadaan, benda, pikiran,
orang, peristiwa dan sebagainya. Menurut Darma (2009) analisis wacana
adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa
yang nyata dalam komunikasi. Ini berarti bahwa kajian wacana tidak
hanya berkenaan dengan kajian kepemilikan representasi kebahasaan,
tetapi juga dengan kajian terhadap faktor-faktor nonkebahasaan yang
menentukan apakah sebuah pesan dapat diterima atau tidak dalam kegiatan
komunikatif. Analisis wacana merupakan penggambaran secara rasional
mengenai hubungan runtutan yang berada dalam kesatuan yang teratur,
sehingga jelas bagaimana kaitan unsur-unsur di dalam kesatuan itu dan
bagaimana bentuk rangkaian koherennya. Menurut de Beaugrande dan
Dressler (1986) untuk bisa dipahami, sebuah teks haruslah memenuhi
tujuh standar tekstualitas yakni : (i) kohesi, (ii) koherensi, (iii)

1
intensionalitas, (iv) keberterimaan (acceptability), (v) informativitas, (vi)
situasionalitas, dan (vii) intertekstualitas. Jika ketujuh standar tidak
dipenuhi, sebuah teks tidak akan menjadi komunikatif. Tujuh standar
tekstualitas itu sebagai constitutive principles, yakni prinsip-prinsip yang
bersifat integratif yang bersifat wajib dalam komunikasi tekstual.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan wacana?
2. Apakah yang dimaksud dengan analisis wacana?
3. Apa saja jenis wacana menurut realitasnya?
4. Apa saja jenis wacana menurut media komunikasinya?
5. Apa saja jenis wacana menurut cara mengungkapkannya?
6. Apa saja jenis wacana menurut cara pemaparannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian wacana.
2. Untuk mengetahui pengertian analisis wacana.
3. Untuk mengetahui jenis wacana menurut realitasnya.
4. Untuk mengetahui jenis wacana menurut media komunikasinya.
5. Untuk mengetahui jenis wacana menurut cara mengungkapkannya.
6. Untuk mengetahui jenis wacana menurut cara pemaparannya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wacana
Wacana dalam bahasa inggris disebut discourse. Secara bahasa, wacana
berasal dari bahasa Sansekerta “wac/wak/vak” yang artinya “berkata, berucap”
kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata ‘ana’
yang berada di belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna
“membendakan”. Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai
perkataaan atau tuturan. Menurut kamus bahasa kontemporer, kata wacana itu
mempunyai tiga arti. Pertama, percakapan; ucapan; tuturan. Kedua,
keseluruhan cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa
terbesar yang realisasinya merupakan bentuk karangan yang utuh.
Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap diatas kalimat dan satuan
gramatikal yang tertinggi dalam hierarki gramatikal. Sebagai satuan bahasa
yang terlengkap, wacana mempunyai konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang
dapat dipahami oleh pembaca dan pendengar. Sebagai satuan gramatikal yang
tertinggi, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan
gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnnya. Persyaratan gramatikal
dalam wacana ialah adanya wacana harus kohesif dan koherens. Kohesif
artinya terdapat keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana. Sedangkan
koheren artinya wacana tersebut terpadu sehingga mengandung pengertian
yang apik dan benar. Wacana yang koherens tetapi tidak kohesif sepeti contoh:
Andi dan budi pergi ke hitec-mall, dia ingin membeli laptop.

3
Contoh tersebut tidak tidak kohesif karena kata dia tidak jelas mengacu
kepada siapa, kepada Andi atau Budi, atau kepada keduanya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa wacana yang baik adalah wacana yang kohesif dan
koherens.Selain wacana sebagai satuan bahasa terlengkap diatas kalimat dan
satuan gramatikal tertinggi dalam hierarki gramatikal, masih banyak lagi
pengertian lain tentang wacana. Lubis mendefinisikan bahwa wacana adalah
kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis, atau diucapkan, atau
dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda. Sementara White
mengartikan wacana adalah dasar untuk memutuskan apa yang akan ditetapkan
sebagai suatu fakta dalam masalah-masalah yang akan dibahas dan dasar untuk
menentukan apa yang sesuai untuk memahami fakta-fakta sebelum ditetapkan,
dimana White dalam hal ini lebih melihat wacana sebagai sebab daripada
sebagai akibat.

B. Pengertian Analisis Wacana


Analisis wacana adalah ilmu yang baru muncul beberapa puluh tahun
belakangan ini, sebelumnya aliran-aliran linguistik hanya membatasi
penganalisaannya pada sosial kalimat saja, namun belakangan ini barulah para
ahli bahasa memalingkan perhatiannya pada penganalisaan wacana.
Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam suatu
komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Melalui
analisis wacana, kita tidak hanya mengetahui isi teks yang terdapat pada suatu
wacana, tetapi juga mengetahui pesan yang ingin disampaikan, mengapa harus
disampaikan, dan bagaimana pesan-pesan itu tersusun, dan dipahami. Analisis
Wacana akan memungkinkan untuk memperlihatkan motivasi yang
tersembunyi di belakang sebuah teks atau di belakang pilihan metode
penelitian tertentu untuk menafsirkan teks.
Objek kajian atau penelitian analisis wacana pada umumnya berpusat
pada bahasa yang digunakan sehari-hari, baik yang berupa teks maupun lisan.
Jadi objek kajian atau penelitian analisis wacana adalah unit bahasa diatas
kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan dan konteks yang eksis

4
dikehidupan sehari-hari, misalnya naskah pidato, rekaman percakapan yang
telah dinaskahkan, percakapan langsung, catatan rapat, dan sebagainya, dan
pembahasan wacana pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap
hubungan antara konteks-konteks yang terdapat dalam teks. Pembahasan itu
bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau antara ujaran (utterances)
yang membentuk wacana.

Wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media


komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya,
wacana merupakan verbal dan nonverbal sebagai media komunikasi berwujud
tuturan lisan dan tulis, sedangkan dari segi pemaparan, kita dapat memperoleh
jenis wacana yang disebut naratif, deskriptif, prosedural, ekspositori dan
hortatori.

C. Wacana Berdasarkan Realitas

Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994: 6-7) realitas wacana dalam hal


ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian
kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan
kelengkapan struktural bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal
atau language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa yakni
rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna (bahasa isyarat). Wacana
nonbahasa yang berupa isyarat, antara lain berupa:

1. Isyarat dengan gerak-gerik sekitar kepala atau muka, meliputi:

a. Gerakan mata, antara lain melotot, berkedip, menatap tajam (dapatkah


kita menentukan maknanya. Misalnya, melotot = marah; melotot =
’menyuruh pergi’, dan sebagainya).

b. Gerak bibir, antara lain senyum, tertawa, meringis.

c. Gerak kepala, antara lain mengangguk, menggeleng.

5
d. Perubahan raut muka (wajah), antara lain mengerutkan kening, bermuka
manis, bermuka masam.

2. Isyarat yang ditunjukkan melalui gerak anggota tubuh selain kepala,


meliputi:

a. Gerak tangan, antara lain melambai, mengepal, mengacungkan ibu jari,


menempelkan telunjuk pada bibir, menunjuk dahi.

b. Gerak kaki, antara lain mengayun-ayun, menghentak-hentakkan,


menendang-nendang.

c. Gerak seluruh tubuh, antara lain seperti terlihat pada pantomim, memiliki
makna wacana sebagai teks.

Tanda-tanda nonbahasa yang bermakna berupa:

(1) Tanda rambu-rambu lalu lintas

(2) Tanda lalu lintas, misalnya dengan warna lampu pada rambu-rambu lalu
lintas: merah berarti ‘berhenti’, kuning berarti ‘siap untuk maju’, dan
hijau berarti ‘boleh maju’; tanda diluar lalu lintas adalah bunyi-bunyi
yang dihasilkan dari kentongan, misalnya, berarti ada bahaya. Realitas
makna kentongan diwujudkan oleh masyarakat pendukung wacana
tersebut.

D. Wacana Berdasarkan Media Komunikasi


Berdasarkan media komunikasinya, wacana dapat diklasifikasikan atas
wacana lisan dan tulisan.
1. Wacana tulis

6
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:52) wacana tulis atau written
discourse adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media
tulis.

Menurut Mulyana (2005:51-52) wacana tulis (written discourse) adalah


jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana
sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan. Sampai
saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisian
untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau
apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia.

Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya dengan teks atau naskah.


Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana yang tampaknya terus
berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Kedua istilah tersebut kurang
mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi istilah teks atau naskah
tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf) sedangkan gambar tidak
termasuk didalamnya. Padahal gambar atau lukisan dapat dimasukkan pula
kedalam jenis wacana tulis (gambar). Sebagaiman dikatakan Hari Mukti
Kridalaksana dalam Mulyana (2005:52), wacana adalah satuan bahasa yang
terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal
tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata,
kalimat, paragraf atau karangan yang utuh (buku, novel, ensiklopedia, dan
lain-lain) yang membawa amanat yang lengkap dan cukup jelas berorientasi
pada jenis wacana tulis.

Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994: 7-8) wacana dengan media


komunikasi tulis dapat berwujud antara lain:

a. Sebuah teks/ bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang
mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh, misalnya sepucuk
surat, sekelumit cerita, sepenggal uraian ilmiah.

7
b. Sebuah alinea, merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah
alinea, dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi
yang utuh.

c.  Sebuah wacana (khusus bahasa Indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh


sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem
elipsis.

Perhatikanlah makna yang terdapat dalam pernyataan berikut:

“Ade mencintai bapaknya, saya juga.”

Ketidakhadiran verba pada klausa kedua (‘saya juga’) dan juga


ketidakhadiran objek yang diramalkan klausa kedua adalah:

 ..........................., saya juga mencintai bapak saya

Atau ..........................., saya juga mencintai bapak Ade

2. Wacana lisan

Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:55) wacana lisan atau spoken


discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media
lisan.

Menurut Mulyana (2005:52) wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis


wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dalam bahasa verbal.
Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran
(utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasrnya bahasa kali pertama
lahir melalui mulut atau lisan. Oleh karena itu, wacana yang paling utama,
primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Kajian yang sungguh-sungguh
terhadap wacana pun seharusnya menjadikan wacana lisan sebagai sasaran
penelitian yang paling utama. Tentunya, dalam posisi ini wacana tulis
dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata.

8
Wacana lisan memiliki kelebihan dibanding wacana tulis. Beberapa
kelebihan wacana lisan di antaranya ialah:

a. Bersifat alami (natural) dan langsung.

b. Mengandung unsur-unsur prosodi bahasa (lagu, intonasi).

c. Memiliki sifat suprasentensial (di atas struktur kalimat).

d. Berlatar belakang konteks situasional.

Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:122) wacana lisan diciptakan atau


dihasilkan dalam waktu dan situasi yang nyata. Oleh sebab itu, dalam semua
bentuk wacana lisan terdapat kaidah-kaidah atau aturan-aturan mengenai
siapa yang berbicara (kepada siapa) apabila (waktunya). Dengan perkataan
lain, dalam wacana lisan, kita harus mengetahui dengan pasti:

a. Siapa yang berbicara

b. Kepada siapa

c. Apabila; pada saat yang nyata

Sebagai pegangan dalam pembicaraan selanjutnya dalam buku kecil ini,


maka yang dimaksud dengan wacana lisan adalah satuan bahasa yang
terlengkap dan terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan
koherensi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir
yang nyata disampaikan secara lisan.

Disamping terdapat banyak persamaan, terdapat juga sejumlah perbedaan


antara wacana tulis dan wacana lisan. Perbedaan itu dapat pula kita anggap
sebagai ciri masing-masing. Dalam uraian berikut ini akan kita bicarakan
beberapa hal yang merupakan ciri atau unsur khas wacana lisan, antara lain:

a. Aneka tindak

b. Aneka gerak

c. Aneka pertukaran

9
d. Aneka transaksi

e. Peranan kinesik

Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:7) sebagai media komunikasi,


wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran (tuturan)
lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya berupa:

a. Sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir,
misalnya obrolan di warung kopi.

b. Satu penggalan ikatan percakapan (rangkaian percakapan yang lengkap,


biasanya memuat: gambaran situasi, maksud, rangkaian penggunaan bahasa)
yang berupa:

Ica : .........................

Ania : “Apakah kau punya korek?”

Rudi : “Tertinggal di ruang makan tadi pagi.”

Penggalan wacana ini berupa bagian dari percakapan dan merupakan situasi
yang komunikatif.

E. Wacana Berdasarkan Cara Pengungkapan

1. Wacana langsung

Wacana langsung atau direct discourse adalah kutipan wacana yang


sebenarnya dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi (Kridalaksana dalam Henry
Guntur Tarigan, 1987:55).

2. Wacana Tidak Langsung

Wacana tidak langsung atau indirect discourse adalah pengungkapan


kembali wacana tanpa mengutip harfiah kata-kata yang dipakai oleh
pembicara dengan mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu,

10
antara lain dengan klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya.
(Kridalaksana, 1964: 208-9).

F. Wacana Berdasarkan Cara Pembeberan (Pemaparan)

Wacana pembeberan atau expository discourse adalah wacana yang tidak


mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan
bagian-bagiannya diikat secara logis (Kridalaksana dalam Henry Guntur
Tarigan, 1987:56).

1. Wacana naratif (narasi)

Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:8) wacana naratif adalah


rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan hal atau kejadian
(peristiwa) melalui penonjolan pelaku. Isi wacana ditujukan ke arah
memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini
terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu, cara-cara bercerita, atau
aturan alur (plot).

Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:45-46) wacana


narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Dalam narasi
terdapat unsu-unsur cerita yang penting misalnya unsur waktu, pelaku, dan
peristiwa. Dalam wacana narasi harus ada unsur waktu, bahkan unsur
pergeseran waktu itu sangat pentng. Unsur pelaku atau tokoh merupakan
pokok yang dibicarakan, sedangkan unsur peristiwa adalah hal-hal yang
dialami oleh sang pelaku.

Wacana narasi pada umumnya ditujukan untuk menggerakan aspek emosi.


Dengan narsi, penerima dapat membentuk citra atau imajinasi. Aspek
intelektual tidak banyak digunakan dalam memahami wacana narasi.

11
2. Wacana deskriptif (deskripsi)

Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:11) wacana deskriptif berupa


rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik
berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Wacana itu
biasanya bertujuan mencapai penghayatan dan imjinatif terhadap sesuatu
sehingga pendengar atau pembaca seolah-olah merasakan atau mengalami
sendiri secara langsung. Wacana deskriptif ini, ada yang hanya memaparkan
sesuatu secara objektif dan ada pula yang memaparkannya secara imajinatif.
Pemaparan secara objektif bersifat menginformasikan sebagaimana adanya,
sedangkan pemaparan secara imajinatif bersifat menambahkan daya khayal.
Daya khayal yang didapatkan didalam novel atau cerpen, atau isi karya
sastra pada umumnya.

Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:37-38) wacana


deskripsi merupakan jenis wacana yang ditujukan kepada penerima pesan
agar membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal. Aspek kejiwaan
yang dapat mencerna wacana tersebut adalah emosi. Hanya melalui emosi,
seseorang dapat membentuk citra atau imajinasi tentang sesuatu. Oleh sebab
itu, ciri khas wacana deskripsi ditandai dengan pengggunaan kata-kata atau
ungkapan yang bersifat deskriptif, sepertirambutnya ikal, hidungnya
mancung, dan matanya biru. Dalam wacana ini biasanya tidak digunakan
kata-kata yang bersifat evaluatif yang terlalu abstrak seperti, tinggi sekali,
berat badan tidak seimbang, matanya indah, dan sebagainya.

Wacana deskripsi banyak digunakan dalam katalog penjualan dan juga data-
data kepolisian. Kalimat yang digunakan dalam wacana deskripsi umumnya
kalimat deklaratif dan kata-kata yang digunakan bersifat objektif. Wacana
deskripsi cenderung tidak mempunyai penanda pergeseran waktu seperti
dalam wacana narasi.

3. Wacana Prosedural (Eksposisi)

12
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:9) wacana prosedural dipaparkan
dengan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan
secara kronologis. Wacana prosedural disusun untuk menjawab pertanyaan
bagaimana cara mengerjakan atau menghasilkan sesuatu.

Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:38-39) wacana


eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima
(pembaca) agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat
berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima. Oleh
sebab itu, untuk memahami wacana eksposisi, diperlukan proses berpikir.

Wacana eksposisi menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kata


tanya bagaimana. Oleh karena itu, wacana tersebut dapat digunakan untuk
menerangkan proses atau prosedur suatu aktivitas. Khusus untuk
menerangkan proses dan prosedur, kalimat-kalimat yang digunakan dapat
berupa kalimat perintah disertai dengan kalimat deklaratif.

4. Wacana Hortatori (Argumentasi)

Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:39-40) wacana


argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha
mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang
dipertahankan, baik yang didasarkan pertimbangan logis maupun emosional
(Rottenberg, 1988:9). Senada dengan itu, Salmon (1984:8) memberikan
definisi argumentasi sebagai seperangkat kalimat yang disusun sedemikian
rupa sehingga beberapa kalimat berfungsi sebagai bukti-bukti yang
mendukung kalimat lain yang terdapat dalam perangkat itu.

Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:10) wacana hortatori adalah


tuturan yang berisi ajakan atau nasihat. Tuturan dapat pula berupa ekspresi
yang memperkuat keputusan untuk menyakinkan. Wacana ini tidak disusun
berdasarkan urutan waktu, tetapi merupakan hasil. Wacana ini digunakan
untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar terpikat akan suatu

13
pendapat yang dikemukakan. Isi wacana selalu berusaha untuk memiliki
pengikut atau penganut, atau paling tidak menyetujui pendapat yang
dikemukakannya itu, kemudian terdorong untuk melakukan atau
mengalaminya. Yang termasuk wacana hortatori antara lain khotbah, pidato
tentang politik.

Sebuah wacana dikategorikan argumentasi apabila bertolak dari adanya isu


yang sifatnya kontroversi antara penutur dan mitra tutur. Dalam kaitannya
dengan isu tersebut, penutur berusaha menjelaskan alasan-alasan yang logis
untuk meyakinkan mitra tuturnya (pembaca atau pendengar). Biasanya,
suatu topik diangkat karena mempunyai nilai, seperti indah, benar, baik,
berguna, efektif atau swebaliknya.

Pada dasarnya, kekuatan argumen terletak pada kemampuan penutrur dalam


mengemukakan tiga prinsip pokok, yaitu apa yang disebut pernyataan,
alasan, dan pembenaran. Pernyataan mengacu pada kemampuan penutur
dalam menentukan posisi. Alasan mengacu pada kemampuan penutur untuk
mempertahakn pernyataannya dengan memberikan alasan-alasan yang
relevan. Pembenaran mengacu pada kemampuan penutur dalam
menunjukkan hubungan antara pernyataan dan alasan.

5. Wacana Ekspositori

Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:10-11) wacana ekpositori bersifat


menjelaskan sesuatu. Biasanya berisi pendapat atau simpulan dari sebuah
pandangan. Pada umumnya, ceramah, pidato, atau artikel pada majalah dan
surat kabar termasuk wacana ekspositori. Wacana ini dapat berupa
rangkaian tuturan yang menjelaskan atau memeparkan sesuatu. Isi wacana
lebih menjelaskan dengan cara menguraikan bagian-bagian pokok pikiran.
Tujuan yang ingin dicapai melalui wacana ekspositori adalah tercapainya
tingkat pemahaman akan sesuatu.

14
Wacana ekspositori dapat berbentuk ilustrasi dengan contoh, berbentuk
perbandingan, uraian kronologis, identifikasi. Identifikasi dengan orientasi
pada meteri yang dijelaskan secara rinci atau bagian demi bagian.

6. Wacana Dramatik

Wacan dramatik menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan sedikit


bagian naratif. Pentas drama merupakan wacana dramatik. Drama dahulu
dikenal dengan sebutan ‘sandiwara’, tetapi sekarang lebih dikenal dengan
nama drama.

7. Wacana Epistolari

Wacana epistolari digunakan di dalam hal surat-surat, dengan sistem dan


bentuk tertentu. Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan alinea
penutup.

8. Wacana Seremonial

Wacan seremonial berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di


masyarakat bahasa. Wacan seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada
upacara perkawinan, upacara kematian, upacara syukuran, dsb.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk


linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat
semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana
adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada
level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level
yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial
diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip
dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya.
Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian
bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari
penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya,
maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.  
B. Saran

Diharapkan setelah membaca makalah ini, pembaca untuk lebih


memahami mengenai analisis wacana kritis dengan mengetahui syarat-syarat
karya sastra terlebih dahulu dengan menggunakan suatu pendekan serta model
dalam analisis wacana kritis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

16
Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik. 2006. Analisis Wacana. Malang:
Bayumedia Publishing.

Henry Guntur Tarigan. 1987. Pengajaran wacana. Bandung: Angkasa.

https://ikrimahmaifandi.wordpress.com/2012/08/05/analisis-wacana/
(Diakses 02 Februari 2021 Pukul 21.10 WIB)

Mulyana. 2005. Kajian wacana. Yogyakarta: Tiara wacana.

T. Fatimah Djajasudarma. 1994. Wacana (Pemahaman dan hubungan antar


unsur). Bandung: PT. UNESCO.Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik.
2006. Analisis Wacana. Malang: Bayumedia Publishing.

17

Anda mungkin juga menyukai