Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Preeklampsia merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya insufisiensi
plasenta yang dapat mengakibatkan hipoksia ante dan intrapartum, pertumbuhan janin
terhambat dan persalinan prematur. Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia
neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran dan transport oksigen dari ibu ke janin
sehingga terdapat gangguan persediaan oksigen dan dalam pengeluaran karbon dioksida
(Winknjosastro et al, 2007).
Pengaruh pada janin dengan ibu penderita preeklampsia bervariasi, dari yang paling
ringan sampai dengan kematian janin. Gangguan pertumbuhan janin sering ditemukan
bila berat dapat menyebabkan hipoksia intrapartum. Pengaruh pada janin ini berhubungan
dengan aliran darah uteroplasenta dan kemampuan arteri spiralis untuk dilatasi
sebagaimana seharusnya pada kehamilan. Menurut Smasaron dan Sargent pada
preeklamsia terjadi perubahan pada plasenta. Tahap pertama adalah proses yang
mempengaruhi arteri spiralis, yang menyebabkan kurangnya suplai darah ke plasenta.
Tahap kedua terjadi efek iskemia plasenta pada bagian ibu dan janin (Lintang, 2003).
Pada tahun 2013 dan 2014 dari 33 provinsidi Indonesia, Provinsi Jawa Tengah
menduduki peringkat kedua jumlah kasus kematian terbanyak yaitu mencapai 668 dan
644kasus (Kemenkes RI, 2015).Berdasarkan data profil kesehatan Jawa Tengah
menunjukkan AKI di Provinsi Jawa Tengah meningkat secara fluktuatif, pada tahun 2012
kematian ibu mencapai 675 kasus (116,34/100.000 KH), pada tahun 2013 mengalami
penurunan menjadi 668 kasus (118,62/100.000 KH) dan pada tahun2014 mengalami
penurunan kembali menjadi 644 kasus. Penyebab AKI di Jawa Tengah tahun 2012
sebanyak 26,09% disebabkan oleh Hipertensi dan Preeklampsia, sedangkan pada tahun
2013 hipertensi dan preeklampsia mencapai 28% (Dinkes ProvinsiJawa Tengah, 2014).
Preeklampsia adalah suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu, pada wanita yang sebelumnya normotensi. Keadaan ini ditandai
oleh peningkatan tekanan darah (≥ 140/90 mmHg) yang disertai oleh proteinuria
(Cunningham, et.all, 2010, p.706).Selain hipertensi, pada kondisi preeklampsia ibu hamil
juga mengalami leukositosis (peningkatan jumlah leukosit). Penelitian Bernard J, et.all
(2009) didapatkan bahwa terjadi peningkatan leukosit pada preeklampsia ringan dan
adanya peningkatan jumlah leukosit yang signifikan pada preeklampsia berat
dibandingkan kehamilan normal. Analisis lanjut membuktikan terjadi peningkatan
neutrofil pada total keseluruhan dari peningkatan leukosit pada preeklampsia. Terjadinya
leukositosis disebabkan oleh adanya peradangan/respon inflamasi pada preeklampsia
berat (Bernard, et.all, 2009).
Pada preeklampsia berat terjadi disfungi endotel yang memberi gambaran klinis
sebagai respon inflamasi sistemik menyeluruh. Beberapa pertanda disfungsi endotel
diaktivasi oleh trombosit dan neutrofil (Wikstrom, et.all, 2007). Penelitian Yusrianti, dkk
(2014) tentang kadar serum P38 MAPK (P38 Mitogen Activated Protein Kinase), profil
darah rutin pada pasien preeklampsia berat dibanding kehamilan normal menunjukkan
bahwa kadar lekosit penderita PEB lebih tinggi (15.174,00) dibanding pada pasien
dengan kehamilan normal (10.554,55) dengan nilai p=0,000, sedangkan kadar
hemoglobin dan trombosit tidak didapatkan perbedaan bermakna, juga didapatkan bahwa
terdapat korelasi positif antara p38 MAPK dengan kadar lekosit pada penderita PEB.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan untuk menanggulangi preeklamsi
pada masa kehamilan kita perlu mengetahui ilmu tentang obat-obat yng dapat digunakan
untuk menunjang asuhan yang akan diberikan.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah konsep dari Preeklamsia?
2. Apa saja faktor resiko dari Preeklamsi?
3. Apa saja patofisiologis terhadap Preeklamsia?
4. Apa etiologi terjadi nya Preeklamsia pada ibu hamil?
5. Apa saja klasifikasi dari Preeklamsia?
6. Apa macam-macam obat yang dapat mengantisipasi Preeklamsia?
7. Bagaimana cara kerja dari obat Preeklamsia dan Anti Konvulsi?
8. Bagaimana efek samping dari pemberian obat Preeklamsia dan Anti Konvulsi?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mampu memahami
dan menjelaskan patofisologidan penatalaksanaan Preeklamsia yang terjadi pada
masa kehamilan.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk memenuhi penugasan kelompok mata kuliah Farmakologi: Obat
Preeklamsia dan Anti Konvulsi
b. Untuk mengetahui konsep dari preeklamsia secara umum
c. Untuk mengetahui faktor resiko, etiologi, dan patofisiologi dari Preeklamsia
d. Untuk mengetahui klasifikasi dari Preeklamsia
e. Untuk mengetahu macam-macam obat yang dapat digunakan untuk penanganan
Preeklamsia dan Anti Konvulsi
f. Untuk mengetahui cara kerja dan efek samping obat Preeklamsia dan Anti
Konvulsi
D. MANFAAT
Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak yang membutuhkannya.
1. Bagi Institusi
Dapat memberikan informasi bagi pembelajaran terkait Farmakologi untuk
Preeklamsia dan Anti Konvulsi
2. Bagi Mahasiswa
Dapat memberikan informasi atau sebagai referensi bagi pembelajaran terkait
Farmakologi untuk kasus Preeklamsia.
3. Bagi Penulis
Menambah wawasan kepustakaan penulis terkait dengan farmakologi dan
Preeklamsia dan Anti Konvulsi
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Preeklampsia
1. Konsep Preeklampsia
Preeklampsia di dalam kehidupan awam sehari-hari dikenal sebagai keracunan
dalam kehamilan. Banyak orang yang kurang memahami mengapa dapat terjadi
keracunan saat hamil. Banyaknya jawaban mengenai pertanyaan ini sebaiknya
diluruskan dengan mengetahui pengertian preeklampsia terlebih dahulu. Preeklampsia
sangat erat kaitannya dengan hipertensi dalam kehamilan. Sebelum membahas
tentang preeklampsia, klasifikasi hipertensi dalam kehamilan juga harus diketahui
terlebih dahulu
Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda – tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umunya terjadi dalam
triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola
hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda – tanda lain.
Untuk menegakkan diagnosa preeklampsia, kanaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg
atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau
lebih. Kenaikan tekanan diastole sebenarnya lebih dapat dipercaya apabila tekanan
diastole naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 90 mmHg atau lebih, maka
diagnosis hipertensi dapat dibuat Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali
dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat
Hipertensi dalam kehamilan dibagi menjadi empat yaitu hipertensi kronik,
preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia, dan
hipertensi gestasional.4 Hipertensi kronik merupakan hipertensi yang timbul sebelum
umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang didiagnosis pertama kali setelah 20
minggu kehamilan dan menetap dalam 12 minggu pascapersalinan. Preeklampsia
adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria. Sedangkan eklampsia adalah preeklampsia ditambah dengan kejang-
kejang dan atau koma. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia yang
bisa diartikan hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi
kronik disertai dengan proteinuria. Hipertensi gestasional bisa juga disebut transient
hypertension merupakan hipertensi yang timbul pada kehamilan 7 tanpa disertai
dengan proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.
Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa preeklampsia adalah suatu
gangguan yang terjadi pada kehamilan yang biasanya mulai terlihat saat kehamilan
memasuki minggu ke - 20 yang biasanya diatandai dengan 9 meningkatnya tekanan
diastole sebanyak 15 mmHg atau lebih, sehingga mencapai 90 mmHg atau lebih, dan
meningkatnya tekanan sistolik sebanyak 30 mmHg hingga mencapai 140 mmHg atau
lebih, dengan dilakukannya minimal 2 kali pemeriksaan tekanan darah dalam rentang
waktu setiap 6 jam.

2. Faktor Risiko Preeklampsia


Faktor risiko pada ibu hamil yang dapat memicu preeklampsia adalah
primigravida, primipaternitas, hiperplasetosis misalnya mola hidatidosa, kehamilan
multipel, diabetes melitus, hidrops fetalis dan bayi besar; umur yang ekstrim, riwayat
keluarga pernah preeklampsia atau eklampsia, penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi
yang ada sebelum hamil.

3. Patofisiologi Preeklampsia
Patofisiologi preeklampsia belum terlalu jelas tapi ada beberapa teori yang
diungkapkan mengenai proses terjadinya preeklampsia. Teori-teori ini diungkapkan
tapi tidak dianggap mutlak benar. Teori yang pertama adalah teori kelainan
vaskularisasi plasenta. Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran
darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria 8 ovarika. Kedua pembuluh darah
tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi
cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis
dan arteri basalis memberi cabang arteria spiralis.
Pada hamil normal dengan sebab belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot arteria spiralis. Keadaan ini menyebabkan terjadinya dilatasi arteri
spiralis dan distensi serta dilatasi jaringan sekitar arteri spiralis. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah
uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah cukup adekuat dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
disebut dengan remodeling arteri spiralis.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi trofoblas ke dalam arteri
spiralis karena dinding arteri cukup kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis
tidak memungkinkan terjadi distensi dan dilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif
mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga
aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan
pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri
spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta

4. Etiologi
Preeklampsia Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui
secara pasti, tetapi pada umunya disebabkan oleh (vasospasme arteriola). Faktor –
faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya preeklampsia antara lain
:. (Yogi, 2014)
a. Umur ibu
Usia adalah usia individu terhitung mulai saat dia dilahirkan sampai saat berulang
tahun, semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan
lebih matang dalam berfikir. Insiden tertinggi pada kasus preeklampsia pada usia
remaja atau awal usia 20 tahun, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas
35 tahun.
b. Usia Kehamilan
Preeklampsia biasanya muncul setelah uia kehamilan 20 minggu. Gejalanya
adalah kenaikan tekanan darah. Jika terjadi di bawah 20 minggu, masih
dikategorikan hipertensi kronik. Sebagian besar kasus preeklampsia terjadi pada
minggu > 37 minggu dan semakin tua kehamilan maka semakin berisiko untuk
terjadinya preeclampsia(Manuaba, 2010).
c. Paritas
Paritas adalah keadaan seorang ibu yang melahirkan janin lebih dari satu. Menurut
Manuaba paritas adalah wanita yang pernah melahirkan dan dibagi menjadi
beberapa istilah :
1) Primigravida : adalah seorang wanita yang telah melahirkan janin untuk
pertama kalinya.
2) Multipara : adalah seorang wanita yang telah melahirkan janin lebih dari satu
kali.
3) Grande Multipara : adalah wanita yang telah melahirkan janin lebih dari lima
kali
d. Riwayat Hipertensi / Preeklampsia
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor utama.
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan
dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan
dampak perinatal yang buruk. (Noroyono, 2016).
e. Genetik
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali lipat.
Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3,6 kali
lipat. (Noroyono, 2016).
f. Penyakit terdahulu ( Diabetes Mellitus )
Jika sebelum hamil ibu sudah terdiagnosis diabetes, kemungkinan terkena
preeklampsia meningkat 4 kali lipat. Sedangkan untuk kasus hipertensi, Davies et
al mengemukakan bahwa prevalensi preeklampsia pada ibu dengan hipertensi
kronik lebih tinggi dari pada ibu yang tidak menderita hipertensi kronik.

5. Pembagian Preeklampsia
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan, preeklampsia berat, dan
eklampsia. Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan
menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
aktivasi endotel. Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan/ atau edema setelah kehamilan 20 minggu.
a. Hipertensi: sistolik/ diastolik ≥ 140/90 mmHg.
b. Proteinuria: ≥ 300 mg/ 24 jam atau ≥ 1 + disptik.
c. Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali
edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5g/ 24 jam.
Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala
sebagai berikut:
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg.
b. Proteinuria lebih 5 g/ 24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
c. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/ 24 jam.
d. Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan
pandangan kabur.
f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson).
g. Edema paru-paru dan sianosis.
h. Hemolisis mikroangiopatik.
i. Trombositopenia berat: < 100.000 sel/ mm3 atau penurunan trombosit dengan
cepat.
j. Gangguan fungsi hepar; peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai
dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia,
eklampsia dapat timbul pada ante, intra dan postpartum. Eklampsia postpartum
umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan. Pada
penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau
tanda-tanda khas yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya
kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut
sebagai impending eklampsia atau imminent eklampsia.
Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang
yang diikuti oleh koma. Tergantung dari saat timbulnya dibedakan
eklampsia gravidarum, eklampsia parturientum, dan eklampsia
peurperale. Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala didaerah frontal,
gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan
hiperrefleksia.

6. Macam-Macam Obat Pre Eklampsia dan Eklampsia


a. Magnesium Sulfat
Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa magnesium sulfat
merupakan drug of choice untuk mengobati kejang eklamptik (dibandingkan
dengan diazepam dan fenitoin). Merupakan antikonvulsan yang efektif dan
membantu mencegah kejang kambuh dan mempertahankan aliran darah ke uterus
dan aliran darah ke fetus. Magnesium sulfat berhasil mengontrol kejang eklamptik
pada >95% kasus. Selain itu zat ini memberikan keuntungan fisiologis untuk fetus
dengan meningkatkan aliran darah ke uterus.
Inisial: 4-6 g. IV bolus dalam 15-20 menit; bila kejang timbul setelah
pemberian bolus, dapat ditambahkan 2 g. IV dalam 3-5 menit. Kurang lebih 10-
15% pasien mengalami kejang lagi setelah pemberian loading dosis. Dosis
rumatan: 2-4 g./jam IV per drip. Bila kadar magnesium > 10 mg/dl dalam waktu 4
jam setelah pemberian per bolus maka dosis rumatan dapat diturunkan. Pada
Magpie Study, untuk keamanan, dosis magnesium dibatasi. Dosis awal terbatas
pada 4 g. bolus IV, dilanjutkan dengan dosis rumatan 1 g./jam. Jika diberikan IM,
dosisnya 10 g. dilanjutkan 5 g. setiap 4 jam. Terapi diteruskan hingga 24 jam.
b. Fenitoin
Fenitoin telah berhasil digunakan untuk mengatasi kejang eklamptik, namun
diduga menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Fenitoin bekerja menstabilkan
aktivitas neuron dengan menurunkan flux ion di seberang membran depolarisasi.
Keuntungan fenitoin adalah dapat dilanjutkan secara oral untuk beberapa hari
sampai risiko kejang eklamtik berkurang. Fenitoin juga memiliki kadar terapetik
dan penggunaannya dalam jangka pendek sampai sejauh ini tidak memberikan
efek samping yang buruk pada neonates.
Dosis awal: 10 mg/kgbb. IV per drip dengan kecepatan < 50 mg/min, diikuti
dengan dosis rumatan 5 mg/kgbb. 2 jam kemudian.
c. Diazepam
Telah lama digunakan untuk menanggulangi kegawatdaruratan pada kejang
eklamptik. Mempunyai waktu paruh yang pendek dan efek depresi SSP yang
signifikan. Dosis : 5 mg IV
d. Hidralazin
Merupakan vasodilator arteriolar langsung yang menyebabkan takikardi dan
peningkatan cardiac output. Hidralazin membantu meningkatkan aliran darah ke
uterus dan mencegah hipotensi. Hidralazin dimetabolisir di hati. Dapat
mengontrol hipertensi pada 95% pasien dengan eklampsia.
Dosis: 5 mg IV ulangi 15-20 menit kemudian sampai tekanan darah <110
mmHg. Aksi obat mulai dalam 15menit, puncaknya 30-60 menit, durasi kerja 4-6
jam.
e. Labetalol
Merupakan beta-bloker non selektif. Tersedia dalam preparat IV dan per
oral. Digunakan sebagai pengobatan alternatif dari hidralazin pada penderita
eklampsia. Aliran darah ke uteroplasenta tidak dipengaruhi oleh pemberian
labetalol IV.
Dosis: Dosis awal 20 mg, dosis kedua ditingkatkan hingga 40 mg, dosis
berikutnya hingga 80 mg sampai dosis kumulatif maksimal 300 mg; Dapat
diberikan secara konstan melalui infus; Aksi obat dimulai setelah5 menit, efek
puncak pada 10-20 menit, durasi kerja obat 45 menit sampai 6 jam.
f. Nifedipin
Merupakan Calcium Channel Blocker yang mempunyai efek vasodilatasi
kuat arteriolar. Hanya tersedia dalam bentuk preparat oral.
Dosis: 10 mg per oral, dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 120 mg/
hari
g. Klonidin
Merupakan agonis selektif reseptor 2 ( 2-agonis). Obat ini merangsang
adrenoreseptor 2 di SSP dan perifer, tetapi efek antihipertensinya terutama akibat
perangsangan reseptor 2 di SSP.
Dosis: dimulai dengan 0.1 mg dua kali sehari; dapat ditingkatkan 0.1-0.2
mg/hari sampai 2.4 mg/hari.Penggunaan klonidin menurunkan tekanan darah
sebesar 30-60 mmHg, dengan efek puncak 2-4 jam dan durasi kerja 6-8 jam. Efek
samping yang sering terjadi adalah mulut kering dan sedasi, gejala ortostatik
kadang terjadi. Penghentian mendadak dapat menimbulkan reaksi putus obat.

7. Efek Samping Dan Cara Mengatasinya


a. Penanganan aktif
Penderita harus segera dirawat, sebaiknya dirawat di ruang khusus di daerah
kamar bersalin. Tidak harus ruangan gelap.
Penderita ditangani aktif bila ada satu atau lebih kriteria ini :
1) Ada tanda-tanda impending eklampsia
2) Ada hellp syndrome
3) Ada kegagalan penanganan konservatif
4) Ada tanda-tanda gawat janin atau iugr
5) Usia kehamilan 35 minggu atau lebih
Pengobatan medisinal :
Diberikan obat anti kejang MgSO4 dalam infus dextrose 5% sebanyak 500 cc tiap
6 jam. Cara pemberian MgSO4 : dosis awal 2 gram intravena diberikan dalam 10
menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan sebanyak 2 gram per jam drip infus
(80 ml/jam atau 15-20 tetes/menit).
Syarat pemberian MgSO4 : frekuensi napas lebih dari 16 kali permenit, tidak ada
tanda-tanda gawat napas, diuresis lebih dari 100 ml dalam 4 jam sebelumnya,
refleks patella positif. MgSO4 dihentikan bila : ada tanda-tanda intoksikasi atau
setelah 24 jam pasca persalinan atau bila baru 6 jam pasca persalinan sudah
terdapat perbaikan yang nyata. Siapkan antidotum MgSO4 yaitu Ca-glukonas
10% (1 gram dalam 10 cc NaCl 0.9%, diberikan intravena dalam 3 menit). Obat
anti hipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau
tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg. Obat yang dipakai umumnya
nifedipin dengan dosis 3-4 kali 10 mg oral. Bila dalam 2 jam belum turun dapat
diberi tambahan 10 mg lagi. Terminasi kehamilan : bila penderita belum in partu,
dilakukan induksi persalinan dengan amniotomi, oksitosin drip, kateter Folley,
atau prostaglandin E2. Sectio cesarea dilakukan bila syarat induksi tidak terpenuhi
atau ada kontraindikasi partus pervaginam. Pada persalinan pervaginam kala 2,
bila perlu dibantu ekstraksi vakum atau cunam.
b. Penanganan konservatif
Pada kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa disertai tanda-tanda
impending eklampsia dengan keadaan janin baik, dilakukan penanganan
konservatif. Medisinal: sama dengan pada penanganan aktif. MgSO4 dihentikan
bila ibu sudah mencapai tanda-tanda pre-eklampsia ringan, selambatnya dalam
waktu 24 jam. Bila sesudah 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini
dianggap sebagai kegagalan pengobatan dan harus segera dilakukan terminasi.

B. Anti Konvulsi
1. Pengertian
Anti Konvulsi merupakan golongan obat yang identik dan sering hanya digunakan
pada kasus- kasus kejang karena Epileptik. Golongan obat ini lebih tepat dinamakan
ANTI EPILEPSI, sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit
lain.
Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan
saraf pusat yang timbul spontan dengan episode singkat (disebut Bangkitan atau
Seizure), dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini
biasanya disertai kejang (Konvulsi), hiperaktifitas otonomik, gangguan sensorik atau
psikis dan selalu disertai gambaran letupan EEG obsormal dan eksesif.  Berdasarkan
gambaran EEG, apilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang bersifat paroksimal.
2. Mekanisme Kerja
Terdapat dua mekanisme antikonvulsi yang penting, yaitu :
a. Dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptic
dalam fokus epilepsi.
b. Dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada
neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi.
c. Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik. Berbagai
obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak,
terutama yang mempengaruhi system inhibisi yang melibatkan GABA dalam
mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.
3. Efek Samping Dan Cara Mengatasinya
a. Efek samping obat anti konvulsi:
1) Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang
2) b. Tenang
3) c. Ruam kulit
4) d. Pembengkakan gusi 
5) e. Penambahan berat badan, rambut rontok  
b. Cara Mengatasi efek samping obat Anti konvulsi:
1) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lain dari benda keras, tajam atau
panas.
2) Longgarakan pakaian, bila mungkin miringkan kepala kesamping untuk
mencegah sumbatan jalan nafas.
3) Biarkan kejang berlangsung, jangan memasukkan benda keras diantara gigi
karena dapat mengakibatkan gigi patah.
4) Biarkan istirahat setelah kejang, karena penderita akan bingung atau
mengantuk setelah kejang.
5) Laporkan adanya serangan pada kerabat dekat penderita epilepsy ( penting
untuk pemberian pengobatan dari dokter ).
6) Bila serangan berulang dalam waktu singkat atau mengalami luka berat,
segera larikan ke rumah sakit.
4. Contoh Obat Anti Konvulsi
Beberapa Obat Golongan Antikonvulsi/ Antiepilepsi
a. Golongan Hidantoin
Pada golongan ini terdapat 3 senyawa yaitu Fenitoin, mefentoin dan etotoin,
dari ketiga jenis itu yang tersering digunakan adalan Fenitoin dan digunakan
untuk semua jenis bangkitan, kecuali bangkitan Lena.Fenitoin merupakan
antikonvulsi tanpa efek depresi umum SSP, sifat antikonvulsinya penghambatan
penjalaran rangsang dari focus ke bagian lain di otak.
b. Golongan Barbiturat
Golongan obat ini sebagai hipnotik- sedative dan efektif sebagai antikonvulsi,
yang sering digunakan adalah barbiturate kerja lama (Long Acting Barbiturates)
Jenis obat golongan ini antara lain fenobarbital dan primidon, kedua obat ini dapat
menekan letupan di focus epilepsy.
c. Golongan Oksazolidindion
Salah satu jenis obatnya adalah trimetadion yang mempunyai efek
memperkuat depresi pascatransmisi, sehingga transmisi impuls berurutan
dihambat , trimetadion juga dalam sediaan oral mudah diabsorpsi dari saluran
cerna dan didistribusikan ke berbagai cairan tubuh.
d. Golongan Suksinimid
Sering digunakan di klinik adalah jenis etosuksimid dan fensuksimid yang
mempunyai efek sama dengan trimetadion. Etosuksimid diabsorpsi lengkap
melalui saluran cerna, distribusi lengkap keseluruh jaringan dan kadar cairan
liquor sama dengan kadar plasma. Etosuksimid merupakan obat pilihan untuk
bangkitan lena.
e. Golongan Karbamazepin
Obat ini efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik
klonik dan merupakan obat pilihan pertama di Amerika Serikat untuk mengatasi
semua bangkitan kecuali lena.
Karbamazepin merupakan efek analgesic selektif terutama pada kasus neuropati
dan tabes dorsalis, namun mempunyai efek samping bila digunakan dalam jangka
lama, yaitu pusing, vertigo, ataksia, dan diplopia.
f. Golongan Benzodiazepin
Salah satu jenisnya adalah diazepam, disamping senagai anti konvulsi juga
mempunyai efek antiensietas dan merupakan obat pilihan untuk status epileptikus.
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu :
1. Preeklampsia di dalam kehidupan awam sehari-hari dikenal sebagai keracunan
dalam kehamilan. Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda – tanda hipertensi,
edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Hipertensi dalam
kehamilan dibagi menjadi empat yaitu hipertensi kronik, preeklampsia-eklampsia,
hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia, dan hipertensi gestasional.
2. Faktor risiko pada ibu hamil yang dapat memicu preeklampsia adalah
primigravida, primipaternitas, hiperplasetosis misalnya mola hidatidosa,
kehamilan multipel, diabetes melitus, hidrops fetalis dan bayi besar; umur yang
ekstrim, riwayat keluarga pernah preeklampsia atau eklampsia, penyakit-penyakit
ginjal dan hipertensi yang ada sebelum hamil.
3. Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan, preeklampsia berat, dan
eklampsia.
4. Macam-macam obat yang dapat digunakan untuk penanganan preeklamsia atau
eklamsia, yaitu obat Magnesium sulfat, Fenotinin, Diazepam, Nifedipin,
Hidralazin, Labetalol, Klonidin
5. Anti Konvulsi merupakan golongan obat yang identik dan sering hanya digunakan
pada kasus- kasus kejang karena Epileptik. Golongan obat ini lebih tepat
dinamakan anti epilepsy.
6. Macam-macam obat yang dapat digunakan untuk Anti Konvulsi: Golongan
Hidantoin, Golongan Barbiturat, Golongan Oksazolidindion, Golongan
Suksinimid, Golongan Karbamazepin
B. SARAN
Preeklamsia atau Eklamsia yang biasa disebut dengan racun kehamilan
merupakan salah satu faktor yang membahayakan ibu hamil bahkan dapat merenggut
nyawa. Maka dari situ sebagai nakes kita harus dapat mencegah dan mengatasi
permasalahan yang terjadi pada masa kehamilan seperti preeklamsia.
DAFTAR PUSTAKA

Tuner. 2010. Ilmu Sosial di Indonesia Perkembangan dan Tantangan. Jakarta : Pustaka

Obor Indonesia

ISFI.2005.ISO Indonesia.PT Anem kosong.Jakarta

H.T.Tan,Drs dan Raharja,Kirana,Drs.1993.Swamedikasi.DepKes RI

DEPKES.2009.IONI.CV sagung Seto.Jakarta

H.T.Tan,Drs dan Raharja,Kirana,Drs. 2011. Obat-obat penting. Jakarta.PT Elex

Media Komputindo.Jakarta

Buku pelajaran Farmakologi untuk SMF.1994. Jakarta. Bakti Husada

Sukmawati, Ellyzabeth, dkk. 2018. Farmakologi keidanan. Jakarta. TIM

Anda mungkin juga menyukai