Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONSEP WACANA DARI BERBAGAI BATASAN


TENTANG WACANA

Disusun Oleh Kelompok 2:

1. Anzza Fellda Kasvita (2203311041)


2. Lisnawati Sitorus (2203311028)
3. Rivani Afri Yuli (2203311039)
4. Wiwit Wanrah Nasution (2201111018)
5. Yusniati Zai (2202111005)

Kelas : Reguler E 2020


Mata Kuliah : Analisis Wacana
Dosen Pengampu : Dr. M. Oky Fardian Gafari, S. Sos., M. Hum

PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis diberikan kesempatan untuk menyelesaikan Makalah ini.
Pembuatan Makalah ini guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Analisis
Wacana.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Syamsul Arif, M.Pd., Ketua jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
2. Ibu Trisnawati Hutagalung, M.Pd., Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia
3. Ibu Fitriani Lubis, M.Pd., Ka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia
4. Bapak Dr. M. Oky Fardian Gafari, S. Sos., M. Hum Selaku Dosen mata
kuliah Analisis Wacana.
5. Teman-teman yang memberikan bantuan baik langsung maupun tidak
langsung
6. Kedua orang tua yang telah mendoakan dan memberikan dana dalam
penyelesaian Makalah ini.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna memperbaiki
dan menyempurnakan untuk ke depannya.
Penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada di dalam
Makalah yang berbentuk makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sebagaimana
mestinya.

Medan, Februari 2023

Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar
................................................................................................................................................
2

Daftar Isi
................................................................................................................................................
3..............................................................................................................................................

Bab 1 Pendahuluan
................................................................................................................................................
4

1.1 Latar Belakang


................................................................................................................................................
4

1.2 Rumusan Masalah


................................................................................................................................................
4

1.3 Tujuan
................................................................................................................................................
4

Bab 2 Kajian Teori


................................................................................................................................................
5

2.1 Pengertian Wacana


................................................................................................................................................
5

2.2 Prinsip Wacana


................................................................................................................................................
5

3
2.3 Konsep Wacana
................................................................................................................................................
6

2.4 Ciri-ciri Wacana


................................................................................................................................................
8

2.5 Pengertian Koheensi atau Keutuhan Wacana


................................................................................................................................................
9

2.6 Koherensi pada Tataran Wacana (Antarkalimat)


................................................................................................................................................
10

2.7 Koherensi dalam Wacana Naratif


................................................................................................................................................
13

2.8 Pembelajaran Bahasa Indonesia dari Sekolah Menengah Atas Berdasarkan Kurikulum
2013
........................................................................................................................................
18

Bab 3 Penutup
................................................................................................................................................
21

3.1 Simpulan
................................................................................................................................................
21

3.2 Saran
................................................................................................................................................
21

Daftar Pustaka
................................................................................................................................................
22

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wacana ialah satuan bahasa yang terdiri atas seperangkat kalimat yang
mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 2006:
49). Wacana merupakan tataran yang paling besar dalam hierarki kebahasaan. Sebagai
tataran terbesar dalam hierarki kebahasaan, wacana tidak merupakan susunan kalimat
secara acak, tetapi merupakan satuan bahasa, baik lisan, maupun tertulis. Wacana yang
disampaikan secara tertulis, penyampaian isi atau informasi disampaikan secara tertulis.
Ini dimaksudkan agar tulisan tersebut dapat dipahami dan diinterprestasikan oleh
pembaca.
Wacana merupakan salah satu kata yang dipakai untuk mengkaji berbagai disiplin
ilmu, seperti bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, budaya dan sebagainya. Di
satu sisi, ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang terbesar dari kalimat. Di
sisi lain, ada juga yang mengatakan bahwa wacana sebagai pembicaraan atau diskursus,
atau wacana sebagai praktik sosial. Untuk memahami lebih memdalam apa itu wacana
diperlukan beberapa konsep tentang hal tersebut.
Wacana berkaitan dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur
ekstralinguistik yang berkaitan dengan proses komunikasi seperti interaksi sosial
(konversasi dan pertukaran) dan pengembangan tema (monolog dan paragraf). Realitas
wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal.
Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan
kelengkapan struktur bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau
language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat
atau tanda-tanda yang bermakna).
Wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis.
Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau
dialog lengkap dan penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat
berwujud sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
Berdasarkan uraian di atas, betapa pentingnya apa itu wacana dan memahaminya
supayatidak terjadinya kesalah pahaman dalam pengertian wacana, maka dari itu kami
menbahastopik wacana.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep wacana dalam bahasa?
2. Apa saja berbagai batasan wacana dalam bahasa?
1.3 Tujuan

5
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan masalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep wacana dalam bahasa?
2. Untuk mengetahui berbagai batasan wacana dalam bahasa

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Wacana

Secara etimologis istilah “wacana” berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak


yang artinya berkata, berucap. Dalam dunia linguistik kata wacana digunakan sebagai
bentuk terjemahan dari istilah bahasa Inggris “discourse”. Bila ditelusuri kata discourse
berasal dari bahasa latin discursus yang berarti lari ke sana ke mari, lari bolak balik. Kata
itu diturunkan dari dis (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Dalam
perkembangannya kata discouse lebih banyak digunakan oleh para ahli bahasa dalam
kajian linguistik, sedangkan istilah discursus beserta bentuk adjektifnya diskursif lebih
banyak digunakan oleh para ilmuan sosial (Mulyono, 2005: 4).

Wacana merupakan kalimat–kalimat yang saling berkaitan antara yang satu dengan
yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Konsep itu membawa kita untuk
berhadapan dengan wacana tulis. wacana akan dilihat sebagai proses komunikasi.
Wacana dapat dipandang sebagai ujaran yang merupakan satuan yang lebih besar di atas
unit-unit lain, dan ujaran merupakan unit lebih kecil yang merupakan bagian dari wacana.
Dengan kata lain wacana muncul tidak sebagai sekumpulan unit-unit struktur bahasa
yang dikontekstualkan, tetapi lebih sebagai sekumpulan unit-unit penggunaan bahasa
yang dikontekstualkan (Deborah, 1994: 54). Karena ujaran sangat terikat oleh konteks,
konsep wacana ini pun menuntut adanya perhatian kepada semua aspek yang terlibat
dalam ujaran. Kita tidak hanya memperhatikan penurut dan petutur, tetapi juga aspek lain
seperti latar, amanat, kode, dan saluran.

Contoh :

A : Di mana bukunya ?

B : Bukunya ada di atas meja

Wacana tersebut tidak hanya dapat diinterpretasi sebagai bentuk kalimat tanya dan
kalimat jawaban. Lebih dari itu, wacana tersebut harus diinterpretasikan berdasarkan
prinsip tindak tutur yang terikat dengan konteks. Berdasarkan hal itu kita mengetahui
wacana 5 tersebut mengisyaratkan bahwa penutur dan mitra tutur mengetahui buku yang
ditanya, meskipun tidak dijelaskan buku yang mana. Jawaban di atas meja sudah
menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur saling memahami meja yang dimaksud.

6
2.2 Prinsip Wacana

Prinsip-prinsip wacana dapat dibagi beberapa bagian yaitu;

1. wacana bersifat empiris, berasal dari penggunaan bahasa dalam masyarakat tutur.

2. Wacana bukan suatu urutan linguistik, koherensinya tidak dapat dipahami jika
perhatiannya hanya terbatas pada bentuk linguistik dan makna.

3. Sumber koherensi berasal dari bentuk linguistik dan makna tetap terkait dengan makna
sosial dan kultural .

4. Struktur, makna dan tindak tutur wacana bersifat interaktif.

5. Tuturan yang dihasilkan dan ditafsirkan dalam konteks lokal berdasarkan situasi dan
tuturan lain.

6. Bagaimana sesuatu disampaikan, makna dan perilaku penutur memilih piranti


linguistik sebagai alternatif cara bertutur.

2.3 Konsep Wacana

Wacana dapat dilihat dari sudut pandang yang bermacam-macam, misalnya dari
sudut pandang linguistik, sudut pandang pragmatik. Pada bagian ini akan dibicarakan
konsep wacana dari sudut pandang linguistik dan pragmatik.

a. Konsep Wacana dari Sudut Pandang Linguistik dari sudut pandang linguistik konsep
wacana telah banyak dibicarakan. Secara umum para linguis sepakat bahwa wacana
merupakan bahasa dalam pemakaian, yaitu untuk berkomunikasi para pemakainya dalam
masyarakat bahasa.Bahkan, secara singkat sekali Cook (1989) menyatakan, “language in
use, for communicationis called discourse”. Unsur pembentuk wacana secara linguistik,
yaitu unsur segementalnya, mungkin terdiri atas satu atau lebih kalimat yang gramatikal
karena mungkin saja dalam suatu wacana terdapat kalimat yang tidak gramatikal. Dengan
demikian, secara potensial unsur segmental satu kalimat dapat merupakan representasi
wacana, namun dapat pula berupa kalimat-kalimat. Kalimat-kalimat dalam wacana dapat
saja tidak gramatikal. Idealnya kalimat-kalimat dalam wacana itu gramatikal.

Batasan lain diberikan oleh Stubbs (1984) dengan menyatakan “Discourse is


organization of language above the sentence or above the clause and naturally accurring
langguage.” Pernyataan tersebut pada intinya berisi bahwa wacana itu merupakan
organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa, dan wacana itu tentu saja merupakan
peristiwa pemakaian yang alamiah dalam bahasa. Selain itu, ia mengacaukan antara
konsep kalimat dan klausa, karena selama ini memang ada yang menyatakan bahwa
kalimat itu sama dengan klausa. Ia menambahkan organisasi wacana itu dikaji dengan
dasar intuitif, atau data hipotetik.

7
Wacana sering dikacaukan dengan istilah teks, karena wacana yang mengunakan
media tulisan sering disebut teks tertulis. Padahal sebenarnya teks merupakan
representasi wacana. Bahkan, adapula yang menyatakan bahwa teks dapat berupa lisan
dapat pula tertulis. Teks merupakan istilah teknis untuk mengacu rekaman verbal sebuah
tindak komunikasi. Wacana sebagai token teks, dan teks sebagai tipe wacana (Brown &
Yule, 1986: 5-6, van Dijk, 1977; Stubbs, 1984: 9).

Batasan wacana yang telah diberikan di atas belum mengaitkan dengan pesan atau
makna wacana. Secara ringkas Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia memberikan batasan
wacana dikaitkan dengan pesan atau makna dengan menyatakan bahwa wacana adalah
serentetan kalimat yangberkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara itu
(Depdikbud, 1988; 1998). Batasan ini memberikan kesan bahwa unsur wacana itu berupa
kalimat, dan perangkaian kalimat-kalimat, serta makna atas rangkaian kalimat-kalimat
itu. Di tempat lain wacana diberi batasan yang maknanya hampir sama, tetapi dengan
pengungkapan yang berbeda. Wacana dinyatakan sebagai rentetan kalimat yang berkaitan
yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi yang lain sehingga membentuk
satu kesatuan (Depdikbud, 1988;1998).

Definisi ini memandang wacana merupakan kalimat-kalimat yang saling berkait


satu sama lain dan membentuk satu kesatuan untuh. Konsep ini berhubungan dengan
wacana tulis. Berikut contoh wacana tulis yang terdiri atas rentetan kalimat.

(1) “ panen yang terjadi saat musim hujan mengakibatkan kualitas gabah petani buruh
sehingga harganya menjadi turun. Pemerintah harus melihat hal itu sebagai situasi yang
dihadapi petani saat ini. Pemerintah harus membeli gabah hasil panen petani meski
dengan resiko rugi. Pemerintah tidak dapat berkelit dengan menyatakan bahwa tidak
ada paksaan petani untuk menanam padi. Namun dalam konteks swasembada beras,
pilihan menanam padi merupakan program ketahanan pangan pemerintah, karena itu
tidak bisa lepas tangan (Kompas, 12 Maret 2009)

Wacana di atas terbentuk oleh beberapa kalimat. Kalimat satu dengan kalimat yang
lain memiliki keterkaitan. Hal itu dapat diketahui dengan adanya bentuk pengulangan
kata pemerintah. Pengulangan kata pemerintah tidak hanya sekedar mengulang, tetapi
difungsikan untuk mengkaitkan informasi yang ada pada kalimat pertama dengan
kalimat-kalimat berikutnya. Dengan rentetan kalimat itu menjadi kalimat yang utuh dan
padu. Bandingkan dengan wacana tulisan berikut ini.

(2) “setiap minggu pagi karno selalu membersihkan kuda peliharaannya. Di pasar
tradisional dapat kita jumpai kuda sebagai alat transportasi. Kuda dipacuan kuda
sangat kuat dan bagus. Sebagian orang menganggap sate kuda meningkatkan stamina
tubuh.”

Teks di atas kita tidak dapat mengetahui apa yang ingin diinformasikan. Kalimat-
kalimat itu seakan-akan berkaitan. Hal itu dapat diketahui dengan adanya pengulangan
kata kuda. Namun kalau anda memperhatikan dengan saksama kuda dibicarakan dalam
kalimat satu dan kalimat berikutnya merupakan kuda berbeda. Perbedaan itu
8
menyebabkan tidak adanya keutuhan dan kepaduan antarkalimat. sosiolinguistik. Paham
struktural memandang wacana sebagai satuan bahasa yang tertinggi. Wacana akan di
definisikan sebagai satuan bahasa yang dalam tataran gramatikal berada di atas kalimat
atau di atas klausa (Stubbs, 1983:1). Dari sudut pandang ini wacana dipandang sebagai
sebuah rangkaian struktur yang lebih tinggi dari pada kalimat, atau lebih tinggi dari unit
teks lain (Deborah 29). Hal ini memperkuat asumsi bahwa kalimat sebagai unit bagian
dari wacana. Konsekuensi pandangan ini adalah wacana harus di pandang sebagai bahasa
di atas kalimat. Berikut ini contoh wacana berdasarkan pandangan struktural. Ahli
linguistik lain, yaitu Deborah (1994) menjabarkan konsep wacana dalam tiga sudut
pandang, yaitu sudut pandang strukturalisme, fungsionalisme, dan sosiolinguistik. Paham
struktural memandang wacana sebagai satuan bahasa yang tertinggi. Wacana akan di
definisikan sebagai satuan bahasa yang dalam tataran

Gramatikal berada di atas kalimat atau di atas klausa (Stubbs, 1983:1). Dari sudut
pandang ini wacana dipandang sebagai sebuah rangkaian struktur yang lebih tinggi dari
pada kalimat, atau lebih tinggi dari unit teks lain (Deborah 29). Hal ini memperkuat
asumsi bahwa kalimat sebagai unit bagian dari wacana. Konsekuensi pandangan ini
adalah wacana harus di pandang sebagai bahasa di atas kalimat. Berikut ini contoh
wacana berdasarkan pandangan struktural.

b. Konsep Wacana dari Sudut Pandang Pragmatik Pandangan struktural berbeda dengan
pandangan fungsionalisme dalam memandang wacana. Apabila dilihat dari segi
penggunaan atau fungsi bahasa wacana adalah studi tentang semua aspek penggunaan
bahasa (Fasold, 1990:65). Sebelumnya Brown dan Yule (1983:1) menyatakan bahwa
menganalisis wacana tidak dapat dibatasi pada penggunaan bentuk-bentuk linguistik yang
terlepas dari tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi yang dipenuhi dari perancangan fungsi-
fungsi ini dalam urusan manusia sehari-hari. Ini adalah dasar fungsionalisme terhadap
wacana. Menurut pandangan ini wacana dilihat sebagai sebuah sistem (cara berbicara
yang diatur oleh sistem sosial dan budaya) yang diwujudkan melalui fungsi-fungsi
tersebut (Deborah, 1994:41). Hal ini mempertegas konsep wacana yang dikaitkan dengan
fungsi bahasa. Fungsi bahasa ini berhubungan dengan konsep wacana secara pragmatik.
Secara pragmatik wacana sebagai peristiwa pemakaian bahasa oleh masyarakat bahasa
dapat dipandang sebagai peristiwa tindak bahasa atau tindak tutur.

2.4. Ciri-ciri Wacana

Wacana jika memenuhi persyaratan atau ciri – ciri sebagai berikut:

1) Topik, topik merupakan pernyataan pendek, tapi berisi hal yang lebih luas sehinggga
dapat maknai oleh pendengar dan pemabaca.Pengungkap topik, peserta tutur atau penulis
melakuk-an tindak tutur tertentu sebagai bentuk ekspresi.

2) Kohesi dan koherensi, kohesi merupakan kepaduan antara unsur sintaksis yang satu
dengan yang lain termasuk konteks dalam satu wacana, sedangkan koherensi terbentuk
rekaman kebahasaan yang dari suatu peristiwa komunikasi yang utuh secara makna.

9
3) Tujuan (fungsi), suatu wacana dapat berfungsi informatif, emotif, sikap, persuatif, dan
asosiatif. Keteraturan, memiliki keteraturan kohesi maupun keteraturan dalam logika
yang masuk akal baik dalam kata, frasa, klausa, kalimat, maupun alenia.

4) Teks, ko-teks, dan konteks. Kontek adalah situasi yang melingkupi teks baik situasi
pembicaraan, pembicara, pendengar, waktu, topik, tempat, adegan, peristiwa, bentuk
amanat, kode, dan media. Ko-teks adalah, kesejajaran, koordinatif, dan hubungan teks
dengan teks lain.

2.5 Pengertian Koherensi atau Keutuhan Wacana


Koherensi merupakan unsur isi dalam wacana, sebagai organisasi semantis, wadah
gagasan-gagasan disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan
dengan tepat. Koherensi adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wacana.
Meskipun begitu, interpretasi wacana berdasarkan struktur sintaksis dan leksikal bukan
satu-satunya cara. Labov (dalam Sudaryat, 2009:152) menjelaskan bahwa kekoherensian
wacana ditentukan pula oleh reaksi tindak ujar yang terdapat dalam ujaran kedua
terhadap ujaran sebelumnya. Apabila seseorang menyapa orang yang tuli misalnya,
sering sapaan itu hanya diperkirakan saja maknanya sehingga jawabannya sering tidak
sesuai.
Misalnya:
A : Sekarang anak Ibu di mana kerjanya?
B : Baik, Nak. terima kasih.

Ujaran-ujaran berikut koheren karena B menjawab pertanyaan A secara tidak langsung.


A : Ada kuliah pukul 11.00. sekarang pukul berapa, Mbak?
B : Tuh, tukang pos juga baru lewat.

Dalam pengertian A dan B, tukang pos biasanya lewat pukul 11.00. jadi, B secara tidak
langsung telah menjawab A.
Menurut Widdowson (dalam Sudaryat, 2009:153) percakapan singkat tersebut mengikuti
salah satu kebiasaan dalam interaksi dengan urutan sebagai berikut.
A : Meminta B untuk melakukan sustu tindakan.
B : Menyatakan alasan untuk memenuhi permintaan itu.
C : Melakukan sendiri sambil memberi komentar.

Koherensi adalah keterkaitan unsur-unsur dalam teks, misalnya susunan konsep atau
gagasan, dan berkat hubungan-hubungan yang menggaris bawahi hal tersebut, isi teks
dapat dipahami dan relevan. Konsep dapat didefinisikan sebagai susunan pengetahuan
yang dapat diperoleh atau digerakkan sedikit lebih banyak oleh kesatuan dan konsistensi
pikiran. Jadi, konsep-konsep yang muncul bersama dalam dunia teks, berkaitan satu
sama lain sesuai dengan kesatuan dan konsistensi pikiran (Zaimar dan Harahap, 2009:17)

10
Sementara itu, Van Djik dalam Eriyanto (2008:242) mengemukakan bahwa koherensi
adalah pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang
menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren.
Sehingga, fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika
seseorang menghubungkannya.

2.6 Koherensi pada Tataran Wacana (Antarkalimat)


Masalah koherensi pada tataran wacana antar kalimat, terutama berkaitan dengan
konsep atau gagasan yang ditampilkan menurut (Zaimar dan Harahap, 2009:86). Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:

2.6.1 Adanya Kontinuitas Konsep dan Relasi yang Relevan


Pada tataran wacana yang ditampilkan bukan hanya kesesuaian makna antar
kata, melainkan masalah kontinuitas konsep dan relasinya yang relevan. Konsep adalah
konfigurasi pengetahuan yang dapat diperoleh atau diaktifkan dengan sedikit banyak
kesatuan dan konsistensi pikiran. Sedangkan relasi adalah hubungan antar konsep yang
tampil bersama dalam dunia teks.
Contoh:
1. Hari ini Sinta mempersiapkan suatu kejutan bagi keluarganya. Ibunya berulang
tahun. Diam-diam ia mempersiapkan suatu selamatan kecil. Setelah siap, ia
memperhatikan ruang makan sekali lagi. Ternyata masih ada yang kurang. Belum ada
bunga, padahal ibunya sangat menyukai bunga mawar. Maka Sinta pun pergi ke toko
bunga untuk membelinya.
2. Hari ini Sinta mempersiapkan suatu kejutan bagi keluarganya. Ibunya berulang
tahun. Diam-diam ia mempersiapkan suatu selamatan kecil. Setelah siap, ia
memperhatikan ruang makan sekali lagi. Ternyata masih ada yang kurang. Belum ada
bunga, padahal ibunya sangat menyukai bunga mawar. Maka Sinta pun pergi ke pasar
untuk membelinya.
3. Hari ini Sinta mempersiapkan suatu kejutan bagi keluarganya. Ibunya berulang
tahun. Diam-diam ia mempersiapkan suatu selamatan kecil. Setelah siap, ia
memperhatikan ruang makan sekali lagi. Ternyata masih ada yang kurang. Belum ada
bunga, padahal ibunya sangat menyukai bunga mawar. Maka Sinta pun pergi ke
bengkel untuk membelinya.

Contoh pertama mempunyai hubungan yang erat, karena konsep bunga dan toko bunga
sangat sejalan. Contoh kedua, kurang koheren, tetapi masih dapat dipahami, karena di
pasar pun terkadang ada penjual bunga. Namun contoh yang ketiga sama sekali tidak
koheren, karena konsep bunga tidak ada kaitannya dengan bengkel. Tidak adanya
pertalian makna ini menyebabkan wacana tidak koheren.

2.6.2 Adanya Perkembangan


Syarat dari sebuah wacana hendaknya ada perkembangan, baik perkembangan
dalam peristiwa maupun dalam cerita. Charolles dalam Zaimar (2009:88) menyatakan
perlunya ada perkembangan agar sebuah teks dianggap koheren, baik secara
strukturmakro maupun secara strukturmikro. Perkembangan itu harus disertai dengan
11
penambahan unsur semantik yang selalu diperbaharui. Hal ini akan tampak baik pada
urutan kalimat, maupun pada urutan peristiwa. Apabila susunan kalimat atau peristiwa
tidak tepat, maka perkembangan teks akan terganggu.
Contoh:
Tuti adalah seorang anak yatim, ayahnya telah meninggal. Ibunya adalah seorang
janda. Sebagai seorang wanita yang telah ditinggalkan oleh suami, ibunya hanya hidup
berdua dengan anak gadisnya. Ia adalah satu-satunya tempat bergantung bagi Tuti.
Karena ayahnya telah berpulang ke Rahmatullah. Sebagai wanita yang telah kehilangan
suami, ibu Tuti sering melamun mengingat mendiang suaminya. meskipun tidak
mempunyai suami, ibu Tuti akan tetap hidup berdua dengan anaknya.
Teks di atas tidak menunjukkan adanya perkembangan. Dari awal hingga akhir,
permasalahan yang dibicarakan hanya itu-itu saja. Teks ini kurang baik, karena tidak
memenuhi syarat koherensi. Mengenai hal ini, dapat dikemukakan pula bahwa dalam
suatu cerita, tidak dapat terus menerus berada dalam tahap pemaparan, melainkan harus
meningkat pada konflik, kemudian pada puncak konflik yang diikuti oleh adanya
peleraian hingga penyelesaian.

2.6.3 Tidak Ada Kontradiksi


Syarat lain dalam sebuah wacana antara kalimat utama dan kalimat penjelas tidak
ada kontradiksi. Charolles dalam Zaimar (2009:89) mengemukakan bahwa tidak boleh
ada kontradiksi dalam wacana, sehingga wacana itu dapat dianggap koheren. Dalam hal
ini, perlu diperhatikan bahwa dalam perkembangannya, baik secara strukturmikro
(tahapan klausa) maupun secara strukturmakro (tahapan urutan) sebuah wacana tidak
boleh mengandung pertentangan antara suatu unsur semantik dengan isi yang terdapat
dibagian lain wacana itu, baik yang ditampilkan secara eksplisit maupun implisit. Urutan
kaliamat yang tidak tepat, juga dapat memancing kontradiksi.
Contoh:
Tuti adalah seorang anak yatim. Sebagai orangtua tunggal, ibunya harus bekerja
membanting tulang untuk membiayai sekolah anaknya. Untunglah Tuti anak yang rajin
dan pintar, selalu membantu ibunya dengan berjualan kue setelah pulang dari sekolah.
Maklumlah, ayahnya tidak lagi mau memperdulikan nasibnya. Betapa pun sukar
hidupnya, Tuti dan ibunya tak mau merendahkan diri dengan meminta uang dari ayah
Tuti.
Teks di atas tidak koheren, karena di dalamnya terdapat kontradiksi. Di awal teks,
sudah dikatakan bahwa Tuti adalah seorang anak yatim, berarti ayah Tuti telah
meninggal, Tuti adalah seorang anak yatim. Namun, kemudian dikatakan ayahnya Tuti
tidak lagi mempedulikan mereka (ibu dan anak), seakan ayah Tuti masih hidup dan
mungkin bercerai dari ibu Tuti. Adanya kontradiksi ini menyebabkan teks tidak koheren.
2.6.4 Perlu Ada Identitas Individual
Sementara itu, identitas dalam sebuah wacana menjadi kategori yang penting
untuk menentukan kalimat tersebut koheren. Van Dijk dalam Zaimar (2009:90)
menyatakan bahwa salah satu penentu teks yang koheren adalah identitas individual.
Yang dimaksudkan dengan identitas individual adalah segala hal yang menjelaskan dan
mengacu pada “konsep” yang ditampilkan.

12
Contoh:
Udara mendung ketika Nina tiba di kantornya. Ia segera menuju keruangannya
dan menaruh tasnya di atas kursi. Di atas meja, dilihatnya setumpuk surat yang perlu
diperiksanya. Buku-buku dan alat tulis tersusun rapi di situ, seakan menanti
kehadirannya. Komputer yang biasa dipakainya, juga menantikan sentuhan tangannya.
Sayangnya, ia sama sekali tak mempunyai semangat kerja. Maka, ia pun berdiri dan
melangkahkan kakinya menuju toilet, ia memperbaiki rias wajahnya. Meenambah
sedikit bedak ke pipi, dan mengoleskan lipstik di bibirnya. Akhirnya, untuk menambah
kesegaran, ia menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya.
Pada teks di atas, terdapat dua konsep yang dibicarakan, yaitu konsep Nina dan
kantor.Yang dimaksud dengan konsep di sini adalah pusat pembicaraan/pokok
pembicaraan.Untuk mengetahui acuan kedua konsep ini, terlebih dahulu kita harus
mengenal makna ujaran itu. Acuan tergantung dari makna, karena sebelum pembaca atau
pendengar mengetahui acuan dalam suatu pembicaraan atau teks, ia harus mengetahui
dulu makna ujaran. Maka ujaran dapat diperoleh dengan mengenal beberapa identitas
individual yang dikemukakan dalam perluasan konsep. Identitas individual ini tidak
selalu mengacu pada manusia, melainkan juga dapat mengacu pada makhluk hidup
lainnya, bahkan juga pada benda. Hubungan antara konsep dan identitas individual
adalah cakupan, keanggotaan, sebagian keseluruhan dan kepemilikan. Misalnya, ruang
merupakan bagian dari kantor, meja adalah bagian dari ruangan, sedangkan suratsurat,
buku, alat tulis, dan komputer merupakan benda-benda yang termasuk dalam dunia
kantor. Kedua konsep itu dihubungkan oleh kata kerja yang berfungsi predikat.
Demikianlah keterkaitan antara satu unsur bahasa dengan unsur bahasa yang lain dalam
wacana yang koheren.

2.6.5 Perlunya Seleksi Fakta yang Akan Ditampilkan


Perlunya seleksi fakta yang akan ditampilkan mengemukakan tentang hubungan
koherensi dengan relevan ada tidaknya informasi yang ditampilkan dalam wacana. Ada
pendapat bahwa jika wacana mengemukakan suatu deskripsi keadaan atau peristiwa,
wacana itu bisa dianggap baik apabila semua fakta yang membentuk suatu situasi tertentu
ditampilkan (Van Dijk dalam Zaimar, 2009:91). Demikian juga suatu wacana yang
mengemukakan tindakan, dianggap lengkap bila didalamnya diuraikan semua peristiwa
yang mendukung tindakan itu. Padahal kelengkapan tersebut bisa luas sekali, dan suatu
wacana tidak perlu lengkap, karena hal itu tidak praktis dan secara pragmatik pun tidak
dianggap baik. Maka, dari sejumlah besar “informasi yang mungkin diberikan” harus
dilakukan seleksi.
Contoh:
a. Pak Joko tiba di rumah dari kantornya pukul 6 petang. Sebagaimana biasa ia
beserta keluarganya makan malam pada pukul 7.
b. Pak Joko tiba di rumah dari kantornya pukul 6 petang. Istrinya menyambutnya di
puntu depan. Anaknya segera mengambil tas yang dipegangnya dan
membawanya kedalam. Setelah berganti pakaian, Pak Joko makan malam
bersama keluarganya pukul 7.
c. Pak Joko tiba di rumah dari kantornya pukul 6 petang. Terlebih dahulu, ia
memasukan mobilnya ke garasi yang telah dibukakan pintunya oleh
13
pembantunya. Pak Joko segera keluar dari mobil, mengambil tasnya yang ada di
jok belakang, dan naik ke atas depan rumahnya. Istrinya telah menunggunya di
sana dan membantunya dengan senyuman manis. Sambil berjalan masuk, Pak
Joko merangkul pinggang istrinya dengan mesra serta memangku putranya yang
terkecil. Sedangkan si sulung segera mengambil tas yang dipegangnya dan
membawanya ke dalam. Pak Joko pergi ke kamar mandi untuk membersihkan
dan menyegarkan tubuhnya. Di situ telah tersedia air hangat dan handuk mandi.
Setelah mandi dan berganti pakaian, pada pukul 7, Pak Joko makan malam
bersama keluarga.
Sebenarnya ketiga contoh di atas berasal dari teks yang sama. Pada contoh yang
pertama, hanya ada dua peristiwa yang dikemukakan, yaitu peristiwa tiba dan makan
malam. Apa yang terjadi antara pukul 6 dan 7, sama sekali tidak diceritakan.
Sebenarnya, masih banyak lagi peristiwa dan keterangan lain yang tidak ditampilkan,
namun apabila tidak diperlukan untuk lanjutan cerita, contoh pertama itu sudah memadai
dan bisa dianggap koheren dengan lanjutan ceritanya. Itulah yang dinamakan seleksi.
Demikianlah, peristiwa seperti ini banyak ditemukan dalam wacana, hal itu berarti
bahwa peristiwa yang dikemukakan telah diseleksi. Sebaliknya, contoh yang kedua,
mengemukakan banyak peristiwa dan keterangan lain-lainnya, sehingga tampak lebih
jelas. Sementara itu contoh yang ketiga sangat lengkap, sehingga ada kemungkinan
membosankan pembaca, kecuali bila hal itu diperlukan seperti dalam suatu novel
tertentu. Ini berarti bahwa semua peristiwa ada keterangan pendukung harus relevan,
sehingga wacana dapat dianggap koheren.

2.7 Koherensi Dalam Wacana Naratif


Dalam wacana naratif, terdapat tiga macam hubungan, yang menyebabkan wacana
ini koheren.
a. Hubungan kausal antar suatu isi cerita yang merupakan fungsi-fugsi utama.
Hubungan ini merupakan kerangka cerita.
b. Hubungan antara cerita fiksi dan dunia realita. Apabila cerita itu menampilkan
genre tertentu seperti dongeng, maka perbedaan antara fiksi dan realita tidak
menjadi masalah. Namun apabila cerita menampilkan genre realis, maka
kesenjangan antara cerita fiksi dan realita, berdampak pada hoherensi cerita.
c. Hubungan antar unsur bahasa apa yang telah dikatakan terlebih dahulu harus
sesuai dengan apa yang dikatakan kemudian, agar wacana itu koheren.

Sarana Koherensi Wacana


Sarana koherensi wacana menurut Frank J.D’Angelo dalam Tarigan (2009:101) telah
meneliti serta mendaftarkan sarana koherensif bagi paragraf, berikut pembagiannya.

a. Penambahan Adisi
Sarana penghubung yang bersifat aditif atau berupa penambahan itu, antara lain: dan,
juga, lagi, pula.
Contoh:

14
Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, juga para tamu turut bekerja bergotong-royong
menumpas hama tikus di sawah-sawah di desa kami. Selain daripada menyelamatkan
tanaman, juga upaya itu akan meningkatkan hasil panen. Selanjutnya upaya itu akan
meningkatkan pendapatan masyarakat. Lagi pula upaya ini telah lama dianjurkan oleh
pemerintah kita.

b. Seri Rentetan
Sarana penghubung rentetan atau seri adalah pertama, kedua, .... berikut,
kemudian, selanjutnya, akhirnya.
Contoh:
Pertama-tama kita semua harus mendaftarkan diri sebagai anggota perkumpulan. Kedua,
kita membayar uang iuran. Berikutnya kita mengikuti segala kegiatan kegiatan, baik
berupa latihan maupun kursus-kursus. Kemudian kita mengikuti ujian, dan selanjutnya
kalau lulus kita diterima sebagai anggota tetap. Akhirnya kita diangkat menjadi penyuluh
bagi masyarakat pedesaab dalam hal-hal praktis mengenai kesehatan dan kesejahteraan
keluarga.

c. Pronomina
Sarana penghubung yang berupa kata ganti diri seperti saya, kami, mereka dia.
Kata ganti petunjuk ini, itu, sana, dan lain-lain.
Contoh:
Ini rumah saya, itu rumah kamu. Saya dan kamu mendapat hadiah dari pimpinan
perusahaan. Rumah kita berdekatan. Kita bertetangga. Rumah Lani dan rumah Mina di
seberang sana, Mereka bertetangga. Lani membeli rumah itu dengan harga lima ratus
juta rupiah. Harganya memang mahal. Dia memang bernasib baik.

d. Pengulangan Repetisi
Pengulangan repetisi atau pengulangan kata sebagai sarana koherensif wacana.
Contoh:
Dia mengatakan kepada saya bahwa kasih sayang itu berada dalam jiwa dan raga sang
ibu. Saya menerima kebenaran ucapan itu. Kasih sayang pertama saya diperoleh dari ibu.
Ibu melahirkan saya. Ibu mengasuh saya. Ibu memandikan saya. Ibu menyusui saya. Ibu
mencintai saya dan menyayangi saya. Saya tidak bisa melupakan jasa dan kasih sayang
ibu seumur hidup saya. Semoga ibu panjang umur dan dilindungi Tuhan.

e. Padan Makna, Sinonim


Penggunaan sarana koherensi wacana yang berupa sinonim atau padanan kata
(pengulangan makna).
Contoh:
Memang dia mencintai gadis itu. Wanita itu berasal dari Solo. Pacarnya itu memang
cantik, halus budi bahasa, dan bersifat keibuan sejati. Tak salah ia memilih kekasih, buah
hati yang pantas kelak dijadikan istri, teman hidup selama hayat dikandung badan. Orang
tuanya senang kepada bakal menantu mereka itu. Si kembang pujaan pun menyenangi
bakal mertuanya. Beruntung benar dia memiliki gadis Solo itu. Dan sebaliknya, putri
15
Solo itu pun memang mencintai pemuda desa yang tekun, tabah, jujur, yang telah
menggondol gelar Sarjana Pendidikan lulusan IKIP Bandung tahun yang lalu.

f. Keseluruhan Bagian
Wacana tersusun dari gagasan yang bersifat keseluruhan. Ada juga yang tersusun
dari bagian-bagian gagasan yang menuju keseluruhan. Hal ini memang sesuai dengan
salah satu dimensi yang harus dipenuhi dalam penyusunan kurikulum atau silabus
pengajaran bahasa. Dimulai dari bagian yang lebih besar ke bagian yang lebih kecil; dari
bagian yang umum menuju bagian yang lebih khusus. Tentu hal ini bergantung pada
tujuan dan tingkat kelas para siswa.
Penggunaan sarana koherensif seperti yang dimaksud, adalah sebagai berikut.

Contoh:
Saya membeli buku baru. Buku itu terdiri dari tujuh bab. Setiap bab terdiri dari sejumlah
pasal. Setiap pasal tersusun dari beberapa paragraf. Seterusnya setiap paragraf terdiri dari
beberapa kalimat. Selanjutnya kalimat terdiri dari beberapa kata. Semua itu harus
dipahami dari sudut pengajaran wacana.

16
g. Kelas Anggota
Pernyataan ini agak mirip dengan sarana yang telah dijelaskan di atas sarana
koherensif wacana yang memulai dari kelas ke anggota, mengelompokan benda yang
sejenis.
Contoh:
Pemerintah berupaya keras meningkatkan perhubungandarat, laut,dan udara. Dalam
bidang perhubungan darat telah digalakkan pemanfaatan ketera api dan kendaraan
bermotor. Kendaraan bermotor ini meliputi mobil, sepeda motor, dan lain-lain.

h. Penekanan
Dengan sarana penekanan pun dapat pula menambah tingkat kekoherensian
wacana.
Contoh:
Bekerja bergotong-royong itu bukan pekerjaan yang sia-sia. Nyatalah kini hasilnya.
Jembatan sepanjang tujuh kilometer yang menghubungkan kampung kita ini dengan
kampung di sebrang sungai lau biang ini telah sesekali kita kerjakan dengan AMD (Abri
Masuk Desa). Jelaslah hubungan antara dua kampung berjalan lebih lancar. Sudah tentu
hal ini memberi dampak positif bagi masyarakat kedua kampung. Kendaraan berjalan
lancar membawa hasil pertanian ke pasar. Perekonomian masyarakat kian meningkat.
Kehidupan masyarakat kian meningkat. Sebenarnyalah masyarakat harus memahami arti
perhubungan dalam kehidupan sehari-hari.
i. Komparasi Perbandingan
Komparasi atau perbandingan dapat menambah serta meningkatkan kekoherensifan
wacana.
Contoh:
Sama halnya dengan Paman Lukas, kita pun harus segera mendirikan rumah di atas
tanah yang baru kita beli itu. Sekarang rumah Paman Lukas itu hampir selesai. Mengapa
kita tidak membuat hal yang serupa selekas mungkin? Kita juga sanggup berbuat hal
yang sama, takkan lebih dari itu. Tetapi, tidak seperti rumah Paman Lukas yang
bertingkat, kita akan membangun rumah yang besar dan luas. Kita tidak perlu
mendirikan rumah bertingkat karena rumah kita cukup luas.

j. Kontras Atau Pertentangan


Kontras atau pertentangan para penulis dapat menambah kekoherensian karya tulisnya.

Contoh:
Aneh tapi nyata. Ada teman saya seangkatan, namanya Joni. Dia rajin sekali belajar,
tetapi setiap tentamen selalu tidak lulus. Harus mengulang. Namun demikian, dia tidak
pernah putus asa. Dia tenang saja. Tidak pernah mengeluh. Bahkan sebaliknya, dia
semakin rajin belajar. Sampai-sampai larut malam ia membaca. Tanpa keluhan apa-apa.
Akhirnya semua tentamen lulus juga. Dia menganut falsafah “biar lambat asal selamat.”
Kini ia telah menyelesaikan studinya dan diangkat menjadi guru SMA di Prabumulih.

k. Simpulan Hasil
Dengan kata-kata yang mengacu pada hasil atau simpulan, dapat juga meningkatkan
kekoherensian wacana.
Contoh:
Pepohonan telah menghijau di setiap pekarangan rumah dan ruangan kuliah di kampus
kami. Burung-burung beterbangan dari dahan ke dahan sambil bernyayi-nyanyi. Udara
segar dan sejuk nyaman. Jadi penghijauan di kampus itu telah berhasil. Demikianlah kini
keadaan kampus kami, berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, para
civitas akademika merasa bangga atas kampus itu.

l. Contoh Misal
Dengan pemberian contoh yang tepat dan serasi, dapat pula menciptakan
kekoherensian wacana sesuatu yang menggambarkan sebagian dari suatu keseluruhan.
Contoh:
Wajah pekarangan atau halaman rumah di desa kami telah berubah menjadi warung
hidup. Di pekarangan itu ditanam kebutuhan dapur sehari-hari, umpamanya: bayam,
tomat, cabai, talas, singkong, kacang panjang, lobak, dan lain-lain. Ada juga pekarangan
berupa apotek hidup. Betapa tidak, di pekarangan itu ditanami obat-obatan tradisional,
misalnya: kumis kucing, lengkuas, jahe, kunyit, sirih, serai, dan lain-lain. Sisa kelebihan
kebutuhan sehari-hari dari warung dan apotek hidup itu dapat pula dijual ke pasar,
sebagai contoh: cabai, bayam, kunyit, lengkuas. Biar sedikit, tetapi menghasilkan uang
juga.

m. Kesejajaran Pararel
Penggunaan kesejajaran atau paralelisme klausa sebagai sarana kekoherensian
wacana. Memiliki kesamaan bentuk atau imbuhan.
Contoh:
Waktu dia datang, memang saya sedang asik membaca, saya sedang tekun mempelajari
buku baru mengenai wacana. Karena asiknya, saya tidak mengetahui, saya tidak
mendengar bahwa dia telah duduk di kursi mengamati saya. Kemudian dia mendehem,
baru saya tahu bahwa ada kamu datang. Kami bersalaman, kami berpelukan, saling
melepas rindu sesama teman karib: kemudian kami asik berbincang-bincang mengenai
masa lalu yang penuh kenangan.

n. Lokasi Tempat dan Kala Waktu


Kata-kata yang mengacu pada lokasi dan waktu, dan tempat dan waktu pun dapat
meningkatkan kekoherensifan, seperti menyatakan perbedaan waktu atau jangka
perbuatan atau keadaan. Secara umum kala terdiri atas kala lampau, kala kini, kala akan
datang.
Contoh:
Mula-mula saya menempatkan barang itu di sini, kemudian saya pindahkan dan saya
meletakkannya di situ. Sementara itu tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Ruangan
kian terasa sempit. Tidak lama kemudian, anak saya mengangkat barang itu dan
menaruhnya di atas lemari. Akan tetapi, istri saya merasa kurang sedap dipandang mata.
Akhirnya dia mengambil barang itu dari atas lemari, dan dan menyimpannya di gudang.
2.8 Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas Berdasarkan
Kurikulum 2013

Istilah kurikulum (curricilum) berasal dari kata curir (pelari) dan curer (tempat
berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Pada saat itu kurikulum
diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seseorang. Pengertian tersebut diterapkan
dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh
oleh seseorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh
penghargaan atau ijazah (Ibrahim, 2011:2)
Perkembangan kurikulum di Indonesia terjadi dari masa ke masa. Setiap
perkembangan bertujuan untuk meningkat ke arah yang lebih baik. Perkembangan
kurikulum yang terjadi di Indonesia biasanya berkaitan dengan adanya pergantian
kurikulum. Setiap kurikulum yang diimplementasikan memiliki karakteristik yang berbeda,
misalnya dari segi isi yang dimaksud berkaitan dengan substansi dan materi pelajaran.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum terbaru yang diaplikasikan di Indonesia.
Kurikulum ini pun menawarkan kebaruan isi, misalnya pada substansi materi pelajaran
bahasa indonesia. Pada pelajaran bahasa indonesia terdapat perubahan materi yang berbeda
dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum 2013 Terdapat kompetensi inti dan
kompetensi dasar. Kompetensi inti meliputi kompetensi spiritual, sosial, pengetahuan, dan
keterampilan. Kompetensi inti dirancang seiring dengan meningkatnya usia peserta didik
pada kelas tertentu. Sedangkan kompetensi dasar berfungsi untuk mencapai kompetensi
inti.
Kompetensi dasar dikembangkan berdasarkan prinsip akumulatif, saling
memperkuat dan memperkaya antara mata pelajaran dan jenjang pendidikan (Abidin,
2014:21) Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pelajar pada mata pelajaran bahasa
Indonesia memiliki dua aspek, yaitu aspek berbahasa dan aspek psikologi. Kedua aspek
tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan. Aspek berbahasa terdiri dari
kemampuan menyimak, kemampuan berbicara, kemampuan membaca, dan kemampuan
menulis. Sedangkan aspek psikologi terdiri dari bakat, minat, berpikir, motivasi, dan sikap.

Materi pelajaran bahasa Indonesia tidak hanya sebatas kata, frasa, klausa, dan
kalimat, melainkan sudah sampai pada wacana.Wacana tersebut dianalisis sebagai satuan
yang otonom dan tidak terlepas dari konteks. Wacana yang digunakan dalam materi
pelajaran tidak terlepas dari wacana fiksi dan nonfiksi.
Pemilihan novel sebagai bahan penelitian dikarenakan novel merupakan salah satu
bahan ajar yang paling digemari oleh para siswa di sekolah menengah atas di samping
kesesuaiannya dengan kurikulum pada saat ini. Manfaat penelitian koherensi pada novel
bertujuan agar para siswa mengetahui secara jelas tentang konsep wacana yang baik
memiliki dua aspek yaitu kohesi dan koherensi. Jadi para siswa tidak hanya membaca saja
melainkan menganalisis struktur dari teks wacana yang disajikan dalam buku-buku
pelajaran.
Belajar bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 tidak hanya berada dalam
pelajaran di sekolah saja, melainkan juga untuk menegaskan pentingnya keberadaan bahasa
Indonesia di Indonesia sebagai ilmu pengetahuan. Pembelajaran teks di SMA dimaknai
sebagai satuan bahasa yang mengungkapkan makna secara kontekstual. Berbagai macam
teks yang terdapat di KD, yaitu deskripsi, prosedur, laporan, eksplanasi, eksposisi, diskusi,
surat, iklan, negosiasi, anekdot, dan pantun.
Penulis mengimplementasikan penelitian ini dengan pembelajaran bahasa indonesia
di SMA pada keterampilan membaca dan mencermati isi teks wacana. Wacana yang
digunakan berupa novel yang berjudul Cinta di Ujung Sajadah karya Asma Nadia. Materi
teks fiksi terdapat pada salah satu materi dengan kompetensi inti 3 memahami,
menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa
ingintahunya, dengan kompetensi dasar 3.4 menganalisis struktur dan kebahasaan teks
eksposisi, sehingga membutuhkan koherensi dalam membuat wacana yang baik.
Berkaitan dengan tujuan pembelajaran maka perlu diperhatikan dalam milih bahan
pembelajaran. Rahmanto (2005:27—31) menyatakan bahwa dalam memilih bahan
pembelajaran sastra, ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan.
a. Aspek Bahasa
Aspek bahasa dalam sastra adalah cara penulisan yang dipakai pengarang dan kelompok
pembaca yang ingin dijangkau. Oleh karena itu agar pengajaran sastra dapat berhasil, guru
perlu mengembangkan keterampilan untuk memilih bahan pengajaran sastra sesuai dengan
tingkat penguasaan bahasa siswanya.
b. Aspek Psikologi
Dalam pemilihan bahan pengajaran sastra perlu diperhatikan tingkat perkembangan
psikologis. Pada tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat, daya ingat, kemauan
mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama dan pemecahan problem yang dihadapi oleh
siswa. Oleh karena itu, bahan pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan jiwa anak sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai.
c. Aspek Latar Belakang Budaya
Dalam pembelajaran siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar
belakang yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka. Dengan demikian guru sastra
hendaknya memilih bahan pembelajaran menggunakan karya sastra dengan latar cerita
yang dikenal oleh para siswa. Dengan demikian siswa dapat tertarik dengan materi yang
disajikan.
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

Berwacana berarti terampil menyimak wacana, terampil berbicara dengan wacana dan
terampil membaca wacana, dan terampil menulis wacana dengan bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Dengan kata lain, tujuan pengajaran bahasa ialah agar para siswa terampil
berwacana lisan dan tulisan, terampil berbahasa lisan dan tulisan.

Tujuan wacana akan dapat dicapai dengan baik apabila didukung oleh bahan yang
sesuai untuk itu, sehingga para pendidik yang telah mengetahui, memahami, serta
menguasai seluk beluk wacana akan dapat mendidik para siswa terampil mengarang dan
terampil berpidato, serta terampil menulis dan terampil berbicara. Wacana bertindak dalam
menentukan ke arah mana khalayak akan dibawa. Pada akhirnya, memang wacana adalah
sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks
(realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok yang
kecenderungan- nya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan.

3.2. Saran

Penulisan konsep wacana berbahasa Indonesia harus memperhatikan pembentukan


kalimat yang membentuk paragraf yang utuh. Keterkaitan dalam pembentukan paragraf
dapat dilakukan dengan mengunakan penanda referensial. Penanda referensial merupakan
salah oleh karena itu, untuk mengkaji wacana dari sudut pandang dan objek yang berbeda.
Daftar Pustaka

Zamzami dkk. 2017. Yang Penting Wacana. Yogyakarta: UNY Press.

Rohana dkk. 2015. Analisis Wacana. Yogyakarta. CV: Samudra ALIF- MIM

Eriyanto. 2006. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum cetakan ketiga. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul.2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Djajasudarma, F. (2010). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.


Bandung: PT Refika Aditama.

Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana (Prinsip-prinsip Semantik dan

Pragmatik). Bandung: Yrama Widya.

Tarigan, H.G. (2011). Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Thahar.

Anda mungkin juga menyukai