Anda di halaman 1dari 30

CRITICAL BOOK RIVIEW

MK. SOSIOLINGUISTIK
CRITICAL BOOK RIVIEW
PRODI S1 PBSID - FBS

Skor Nilai :

Disusun Oleh:

Kelompok 5

NAMA MAHASISWA :

ANGGI RIZKY ASLINA HARAHAP (2203311033)


ELFERINA Y SIREGAR (2202411021)
JOSEPIN PUTRI NADYA PURBA (2202411019)
NANCI CINDY CLAUDIA SIBARANI (2202411014)
WEANDY NABILA NR (2201111005)

DOSEN PENGAMPU : YULIANA SARI, S.Pd

MATA KULIAH : SOSIOLINGUISTIK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, yang berkuasa
atas seluruh alam semesta, karena berkat rahmat-Nya Critical Book Riview mata kuliah
Sosiolinguistik ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini kami sebagai penyusun mengucapkan Terima kasih kepada
Ibu Yuliana Sari, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Sosiolinguistik ini. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan Critical Book Riview ini tidak terlepas dari kesalahan
dan jauh dari kata sempurna.

Kami berharap semoga Critical Book Riview ini digunakan sebagaimana mestinya
dan bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan yang Maha Esa mencurahkan
rahmat dan karunianya kepada kita semua.

Medan, Oktober 2022

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................3
A. Rasionalisasi Pentingnya CBR................................................................................................
B. Tujuan Penulisan CBR............................................................................................................
C. Manfaat Penulisan CBR..........................................................................................................
D. Identitas Buku..........................................................................................................................
BAB II.......................................................................................................................................4
RINGKASAN ISI BUKU........................................................................................................4
A. BUKU UTAMA......................................................................................................................
B. BUKU PEMBANDING 1……………………………………………………………..16
C. BUKU PEMBANDING 2…………………..…………………………………………18

BAB III....................................................................................................................................24
PEMBAHASAN.....................................................................................................................24
A. PEMBAHASAN ISI BUKU.................................................................................................
BAB IV....................................................................................................................................26
PENUTUP...............................................................................................................................26
A. KESIMPULAN.....................................................................................................................
B. SARAN..................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR

Meriview atau membandingkan sebuah buku adalah kegiatan yang memberikan manfaat bagi
kita. Lebih kritis dalam berfikir dan juga berpendapat adalah manfaat utama dari melakukan
riview buku ini. Zaman sekarang sangat mudah menemukan berbagai jenis buku karena
begitu banyak referensi yang akan mempermudah kita. Saat ini kegiata membaca tidak hanya
dapat dilakukan di perpustakaan melalui handphone,kita dapat membaca buku dengan
berbagai aplikasi yang sudah tersedia.

B. Tujuan Penulisan CBR

a. Menumbuhkan pemikiran yang kritis terhadap suatu permasalah yang terjadi.

b. Dapat mencari kelebihan dan kekurangan dari setiap permasalahan yang terjadi.

c. Dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik dan terarah.

C. Manfaat Penulisan CBR

a. Menghasilkan sebuah kesimpulan yang sangat relevan.

b. Menghasilkan sebuah pembahasan yang sangat efektif.

D. Identitas Buku

BUKU UTAMA

1.

2.

3.

4.

1
5.

6.

BUKU PEMBANDING 1

2
1. Judul : Sosiolinguistik Perkenalan Awal

2. Editor : -

3. Pengarang: Abdul Chaer dan Leonie Agustina

4. Penerbit : PT RINEKA CIPTA

5. Kota Terbit : Jakarta

6. Tahun Terbit : 1995

7. ISBN : 979-518-647-7

Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi (Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi Di


Masyarakat). Jakarta. Kencana Prenada Media Grup. 2006.

BUKU PEMBANDING 2

1. Judul Buku : Sosiologi Komunikasi

2. Penulis : Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin S.Sos,


M.Si

3. Penerbit : Kencana Prenada Media Grup

4. Tebal Buku : xxii, 374 hlm; 23 cm

3
5. Kota Terbit : Jakarta

6. Tahun Terbit 2006

7. ISBN : 979-3925-38-8

BAB II

RINGKASAN ISI BUKU

Buku Utama

BAB I SOSIOLOGI DAN SOSIOLINGUISTIK

1. Sosiologi

Sosiologi adalah ilmu yang mempeajari struktur dan proses-proses sosial, termasuk
perubahan-perubahan sosial. Yang dimaksud dengan struktur sosial adalah keseluruhan
jalinan antar unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga
sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh
timbal balik anatara bebagai segi kehidupan bersama,seperti pengaruh timbal balik anatara
segi kehidupan ekonomi dengan kehidupan politik, kehidupanj hukum dengan kehidupan
agama, dan sebagainya. Perubahan sosial adalah pergeseran yang terjadi pada nilai-nilai
sosial, norma-norma sosial, pola perilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan sosial, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan
sebagainya.

Dinamika yang terjaadi pada sturktur sosial, proses sosial, akan bermuara pada terbentuknya
kebudayaan di dalam masyarakat. Dengan kata lain, ,asyarakat adalah orang yang hidup
bersama yang menghaslkan kebudayaan. Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan
cipta masyarakat.

2. Sosiolinguistik

Sosiolinguistim adalah ilmu yang mencoba mendalami hubungan bahasa dan masyarakat
dengan tujuan memeroleh pemahaman yang lebih baik tentang struktur suatu bahasa dan
bagaimana fungsi abhasa tersebut dalam komunikasi. Sosiolinguistik mulai dikenal luas pada
tahun 1960-an. Setelah decade itu, sosiolinguistik bertumbuh dengan cepat, terutama setelah
adanya temuan-temuan spektakuler, seperti adanya anggota keluarga di Inggris yang tidak
memiliki bahasa ibu sama sekali.

4
Studi sosiolinguistik berbeda dengan linguistic. Perbedaannya terdapat pada bidang telaah
maisng-masing disiplin itu. Linguistik menelaah bahasa dari kenyataan strukturnya semata-
mata dan melepaskan bahasa dari konteks sosialnya. Sosiolinguistik menelaah peristiwa-
peristiwa bahasa yang berhubungan dengan kehidupan dan budaya masyarakat pemakainya.

Tujuan pengkajian sosiolinguistik adalah untuk memahami berbagai situasi, nilai-nilai,


kepercayaan, dan lain-lain yang membentuk dan meberikan ciri-ciri khusus kepada
kelompok-kelompok masyarakat pemakai suatu bahasa. Dengan memahami hal-hal ini,
seseorang akan mengetahui factor-faktor apa saja yang berperan terhadap pilihan bahasa
yangdigunakan untuk memenuhi keperluan masing-masing kelompok.

5
BAB II

Beberapa ahli Sosiolinguistik telah memberikan definisi-defenisi mengenai kedwibahasaan


dengan titik perhatian yang beragam. Didalam buku ini, kedwibahasaan didefinisikan sebagai
kesanggupan orang atau sekelompok orang melahirkan atau membentuk ujaran bermakna
yang lengkap dalam bahasa lain.

Sekurang-kurangnya, ada empat faktor yang mendorong munculnya kedwibahasaan, yakni


(1) mobilitas penduduk, (2) gerakan nasionalisme, (3) pendidikan, dan (4) agama.

Pada umumnya, ahli-ahlu Sosiolinguistik membagi kedwibahasaan atas dua profil atau
tipe, masing-masing profil/tipe setara dan profil/tipe majemuk. Kedwibahasaan setara tampak
pada kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih secara terpisah, tanpa pernah terjadi
interferensi atau kontak di antara bahasa-bahasa yang dikuasai itu. Kedwibahasaan majemuk
dicirikan oleh adanya pengaruh bahasa pertamaterhadap penggunaan bahasa kedua yang di
pelajari.

Amerika Serikat adalah negara yang menyimpan kasus kedwibahasaan paling kompleks
dan menarik di dunia. Secara umum, bahasa-bahasa yang hidup di negara ini di bagi atas dua
kelompok, masing-masing (1) bahasa-bahasa minoritas dan (2) bahasa mayoritas. Bahasa
minoritas adalah bahasa yang digunakan oleh kedudukan yang berlatar belakang bahasa
bukan Inggris (Non English Language Background-NELB). Sebaliknya,bahasa mayoritas
adalah bahasa yang dipakai oleh penduduk yang berlatar belakang bahasa inggris.

Didalam situasi kedwibahasaan, seseorang hampir tidak mungkin menghindar dari


ketergantungan bahasa (language dependency). Ketergantungan bahasa ini menyebabkan
kedwibahasaan melakukan alih kode dan campur kode. Alih kode adalah peristiwa peralihan
penggunaan bahasa atau ragam bahasa oleh dwibahasawan karena berbagai faktor, misalnya
perubahan topik pembicaraan. Campuran kode adalah peristiwa pemakaian dua bahasa atau
lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain
secara konsisten.

Isu lain yang sering dibicarakan dalam konteks kedwibahasaan adalah interferensi dan
integrasi,kontak bahasa,serta pijin dan kreol. Interferensi adalah penyimpanan penggunaan
norma bahasa akibat pengenalan dwibahasawan terhadap bahasa lain. Namun demikian perlu
di catat bahwa interferensi hanyalah gejala parole. Karena itu, interferensi hanya menjadi
milik individu dwibahasawan. Sebaliknya,integrasi menjadi milik masyarakat bahasa karena
penyimpanan penggunaan norma bahasanya sudah merambah wilayah langgeng.

6
Kontak bahasa adalah saling pengaruh di antara bahasa yang hidup di dalam masyarakat
dwibahasawan sehingga menimbulkan perubahan di dalam bahasa yang dipengaruhi.

Pijin adalah bahasa baru yang terbentuk dari gabungan beberapa bahasa, tetapi belum
memiliki penutur asli. Kreol adalah bahasa baru yang juga terbentuk dari gabungan berapa
bahasa, tetapi sudah ada kelompok pemakaian bahasa yang mengaku sebagai penutur aslinya.
Dengan kata lain, dari status kebahasaannya, kreol lebih tinggi satu tingkat dari pijin.

BAB III BAHASA DAN INTERAKSI SOSIAL

Studi tentang bagaimana bahasa digunakan dalam per cakapan merupakan bahagian
penting dari sosiolinguistik. Ahli-ahli sosiolinguistik mengamati bagaimana bahasa dapat
digunakan untuk memanipulasi hubungan sosial dan mencapai tujuan-tujuan tertentu. Mereka
juga mengamati norma-norma yang mengatur suatu percakapan. Norma-norma itu mungkin
berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya Anak-anak harus mempelajari tidak saja
cara pengucapan, tata bahasa, dan kosa kata, melainkan juga mempelajari bagai mana
menggunakan bahasa itu secara tertib dalam percakapan agar dapat membangun suatu
hubungan sosial dan terlibat di dalam komunikasi dua arah. Trudgill menjelaskan, hal yang
harus dipelajari anak- anak adalah: bagaimana membangun satu percakapan. Satu aspek dari
bentuk percakapan adalah harus didasarkan pada prinsip saling menerima yang diorganisasi
dengan cara ter tentu yang menjamin hanya seorang pembicara saja yang berbicara pada satu
waktu.

KOMUNIKASI ANTAR-SUBKULTUR

Setiap orang harus berhati-hati terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang berbeda dalam
komunikasi lintas budaya, meskipun bisa saja terjadi komunikasi yang benar di antara sub-
subkultur yang berbeda dalam satu masyarakat. Trudgill (1984) menekankan hal ini dengan
memperhatikan hubungan yang berbeda antara bahasa dan interaksi sosial. Gagasan ini
muncul dari Bernstein yang beranggapan bahwa ada dua variasi bahasa yang tersedia bagi
pembicara yang lazim disebut sebagai kode luas (elaborated code) dan kode terbatas
(restricted code).

Kode luas cenderung digunakan dalam situasi debat atau forum-forum diskusi akademis.
Kode ini seakan-akan ingin mengesankan kepribadian pembicara melalui ucapan-ucapannya.
Sedangkan kode terbatas cenderung dipakai di dalam situasi informal, termasuk di dalamnya
situasi keluarga atau situasi di tengah-tengah teman. Kode ini seakan-akan hendak
mengesankan afiliasi pembicara ke dalam satu kelompok.

Bernstein telah memperlihatkan (sekurang-kurangnya untuk beberapa tipe bahasa Inggeris


British) hubungan antara pemakaian kedua kode itu dengan keanggotaan kelas sosial tertentu.
Namun demikian, tidak terdapat hubungan apa pun antara kode luas dan kode terbatas di satu
pihak dengan dialek dialek kelas sosial pada pihak lain.

7
Dalam sejumlah eksperimen, Bernstein telah menunjukkan bahwa anak-anak kelas menengah
memiliki kesempatan untuk mengetahui dan menggunakan kode luas dan kode terbatas
sekaligus, sedangkan anak-anak kelas buruh hanya memiliki kesempatan menggunakan kode
terbatas saja. Temuan-temuan Bernstein ini ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap
proses pendidikan. Satu penelitian memperlihatkan bahwa anak-anak kelas buruh tidak dapat
melakukan sesuatu dengan lebih baik di sekolah sebagaimana anak-anak kelas menengah
dengan tingkat kemampuan intelijensi yang sama. Teori Bernstein ini ditafsirkan sebagai
upaya pemberian pen jelasan tentang kemungkinan bahasa: bahwa meskipun situasi
pendidikan menuntut kemampuan menggunakan kode luas, anak-anak kelas buruh tetap saja
tidak dapat menggunakannya.

DIGLOSIA, SIKAP BAHASA, DAN PEMILIHAN BAHASA

Istilah diglosia sudah dikenal pada tahun 1930 an di Texas, tetapi istilah itu kemudian lama
tidak terdengar. Baru pada sekitar tahun 1950-an, tepatnya tahun 1958, seorang sarjana dari
Universitas Standford, C.A. Ferguson, mengemukakannya kembali dalam sebuah simposium
tentang urbanisasi dan bahasa-bahasa standar yang diselenggarakan oleh American
Anthropological Association di Washington DC. Sejak itu, istilah diglosia menjadi sangat
popular dan banyak menarik minat para ahli bahasa dan ahli sosiologi bahasa.

Istilah diglosia diambil dari bahasa Perancis, diglossie, yang sekaligus menggambarkan
keadaan atau situasi kebahasaan di negara itu. Di dalam bahasa Inggeris, sebenarnya tidak
terdapat istilah untuk menggambarkan keadaan dan situasi kebahasaan seperti yang dijumpai
di Perancis. Karena itu, istilah diglossia dalam bahasa Inggeris merupakan adaptasi dari
bahasa Perancis.

Analisis tentang diglosia berawal dari peristiwa kebahasaan yang terdapat di empat negara,
yaitu Arab, Yunani, Swiss, dan Haiti. Situasi pemakaian bahasa di empat negara tersebut
dipandang memiliki sifat khusus dan jarang terdapat di negara-negara lain. Kekhususan itu
terutama terlihat pada pemakaian bahasa yang berhubungan dengan fungsi dan prestise yang
tercermin di dalam karya sastra, pemerolehan bahasa, dan pembakuan bahasa.

Fishman (1972:73) memberikan batasan yang lebih luas. Menurut Fishman, istilah diglosia
sebaiknya digunakan untuk masyarakat yang mengenal dua bahasa (atau lebih) untuk
berkomunikasi di antara anggotanya. Fishman, misalnya, menunjuk masyarakat Paraguay
sebagai contoh masyarakat diglosik. Di tengah-tengah masyarakat Paraguay terdapat ragam
bahasa tinggi dan rendah yang masing-masing adalah bahasa Spanyol (bahasa imigran) dan
bahasa Guarani (bahasa lokal). Batasan Fishman ini senada dengan Wardhaugh. Menurut
Wardhaugh (2002:88), situasi diglosik muncul di dalam satu masyarakat yang memiliki dua
bahasa yang berbeda yang kedua-duanya memperlihatkan pemisahan fungsi secara jelas,
yakni satu bahasa digunakan di dalam satu situasi dan bahasa lainnya digunakan di dalam
situasi yang lain lagi.

Batasan diglosia yang yang dilontarkan Fishman maupun Wardhaugh pun bukannya tanpa
kritik. Sebagian sosiolinguis, di antaranya Hudson (1980), mengapresiasi batasan tersebut

8
sebagai sesuatu yang sangat luas. Menurut Hudson, apabila batasan Fishman itu diterima,
maka semua masyarakat di dunia akan menjadi masyarakat diglosik.

Demikianlah, keberadaan diglosia di suatu negara tidak dengan sendirinya mengimplikasikan


kedwibahasaan di masyarakat. Selama kebijakan mengenai diglosia-tanpa-kedwi bahasaan
berkembang tanpa disertai perkembangan konsensus sosial budaya, pendidikan, politik, dan
ekonomi di kalangan masyarakat kelas bawah, maka sangat mungkin terjadi tuntutan
pemisahan atau persamaan atas bahasa-bahasa yang berstatus rendah tidak akan pernah
terwujud. Kebijakan-kebijakan bahasa di Eropa Timur dan India, serta masalah-masalah
bahasa di wilayah Wales dan Belgia berpangkal dari masalah ini.

SIKAP BAHASA

Sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan (Triandis, 1971:2-4). Kesiapan ini
dapat mengacu kepada sikap mental dan saraf. Menurut Allport, sikap adalah kesiapan mental
dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh dinamis
kepada reaksi sese orang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu.

Lambert mengategorisasi sikap atas tiga komponen, masing-masing: (1) komponen kognitif,
(2) komponen afektif, dan (3) komponen konatif (lihat Chaer dan Agustina, 1995: 198).
Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan
yang biasanya meru pakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen
afektif menyangkut masalah penilaian, baik suka atau tidak suka terhadap sesuatu atau suatu
keadaan. Jika seseorang menyukai sesuatu, maka ia dikatakan memiliki sikap positif Jika
sebaliknya, seseorang tidak menyukai sesuatu, maka ia dikatakan memiliki sikap negatif.
Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir kesiapan
reaktif seseorang terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Melalui komponen konatif inilah
orang biasanya menduga bagaimana sikap seseorang terhadap sesuatu yang sedang
dihadapinya.

Ketiga komponen sikap di atas (kognitif, afektif, dan konatif) pada dasarnya berhubungan
dengan erat. Namun, sering kali pengalaman menyenangkan atau tidak menyenang kan yang
didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak
sejalan. Jika ketiga komponen itu berjalan seiring, maka bisa diputuskan bahwa perilaku
seseorang yang kasat mata itu akan sekaligus menunjukkan sikapnya. Jika sebaliknya yang
terjadi, maka perilaku tidak dapat digunakan sebagai basis untuk memprediks sikap
seseorang.

BAB V KEANEKARAGAMAN BAHASA

Bab ini membicarakan topik-topik verbal repertoar, masyarakat tutur, ragam bahasa,
peristiwa tutur, dan tindak tutur Verbal repertoar, yang sama pengertiannya dengan com
municative competence, tidak lain adalah kemampuan ber bahasa yang dimiliki oleh penutur
beserta kecakapan meng ungkapkannya sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma norma
pemakaiannya dalam konteks sosial. Verbal repertoar ini bervariasi pada setiap orang. Ada
orang yang menguasai satu bahasa ibu dengan pelbagai ragamnya. Ada juga orang yang

9
menguasai satu satu lebih bahasa lain lagi sebagai hasil pendidikan atau pergaulannya dengan
penutur bahasa di luar lingkungannya. Jika satu masyarakat atau sekelompok orang yang me
miliki verbal repertoar yang relatif sama dan penilaian yang sama terhadap norma-norma
pemakaian bahasa, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut merupakan satu masya
rakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukan sekedar sekelompok orang yang menggunakan
bentuk bahasa yang sama, melainkan juga sekelompok orang yang memiliki norma yang
sama dalamn menggunakan bentuk-bentuk bahasa itu. Ragam bahasa adalah variasi bahasa
yang dipengaruhi oleh topik yang dibicarakan, media yang digunakan, partisipan komunikasi,
suasana komunikasi, dan sebagainya. Ragam bahasa dapat dibedakan berdasarkan penutur
dan pengguna annya. Peristiwa tutur adalah keseluruhan peristiwa komunikasi dengan segala
faktor dan peranan faktor-faktor tersebut di dalam peristiwa itu. Peristiwa tutur merupakan
gejala sosial karena terjadi interaksi antar-penutur dalam situasi dan tempat tertentu.
Sebaliknya, tindak tutur adalah gejala individual, bersifat psikologis dan sangat ditentukan
oleh kemampuan berbahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Lebihn tegas, tindak
tutur adalah produk atau dampak suatu kalimat dalam kondisi tertentu.

VERBAL REPERTOAR DAN MASYARAKAT TUTUR

Istilah verbal repertoar mengingatkan kita kepada konsep communicative competence


yang pernah dikemukakan oleh Hymes Beberapa kalangan menilai, konsep communicative
competence merupakan konvergensi dari dikotomi-dikotomi langue-parole yang
diketengahkan de Saussure, atau konsep competence-performance yang ditawarkan
Chomsky. Com municative competence atau kemampuan komunikatif tidak lain adalah
kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh penutur beserta kecakapan mengungkapkannya
sesuai dengan fungal, situ, serta norma-norma pemakaiannya dalam konteks Sosial (Hymes,
1974). Ini berarti, untuk dapat disebut ber kemampuan komunikatif, seorang penutur harus
memiliki sendak-tidaknya lima kecakapan, yakni (1) kecakapan struktural untuk
membedakan kalimat-kalimat gramatikal dan tidak gramatikal, (2) kecakapan memilih
bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya, (3) kecakapan menyesuaikan ungkapan
dengan setiap perilaku, (4) kecakapan menginter pretasi makna referensial, dan (5) kecakapan
mempertimbangkan norma sosial dan nilai afektifnya. Kemampuan komunikatif ini bervariasi
pada setiap orang. Ada orang yang menguasai satu bahasa ibu dengan pelbagai variasi atau
ragamnya. Ada juga orang yang, selain mengua sai bahasa ibu, menguasai satu atau lebih
bahasa lain sebagai hasil pendidikan atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar
lingkungannya. Rata-rata seorang Indonesia yang pernah menduduki bangku sekolah
menguasai bahasa ibunya dan bahasa Indonesia. Selain itu, mereka mungkin menguasai satu
bahasa daerah lain atau lebih; menguasai bahasa asing, seperti bahasa Inggeris dan lainnya.
Seluruh kecakapan atau kemampuan komunikatif ini harus diper timbangkan dalam pemerian
bahasa secara menyeluruh. Dengan tidak mengabaikan adanya gradasi (perbedaan tingkat
penguasaan) di antara penutur-penuturnya, kemampuan komunikatif semacam ini pada
dasarnya dimiliki oleh setiap anggota masyarakat dan menjadi milik seluruh kelompok.
Kemampuan komunikatif seperti inilah yang dimaksud dengan verbal repertoar. Dalam
pengertian seperti itu dikenal dua jenis verbal repertoar, masing-masing verbal repertoar yang
dimiliki oleh penutur secara individual dan yang dimiliki oleh masyarakat secara menyeluruh.

10
Jenis yang pertama mengacu kepada keseluruhan alat-alat verbal (bahasa) yang dikuasai oleh
individu penutur, seperti pemilihan bentuk dan norma bahasa yang sesuai dengan fungsi dan
situasinya. Jenis yang kedua merujuk kepada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam
suatu masyarakat tutur serta norma-norma untuk menentukan pemilihan variasi bahasa sesuai
dengan konteks sosialnya. Jika suatu masyarakat atau sekelompok orang memiliki verbal
repertoar yang relatif sama dan penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian
bahasa, maka dapat dika takan bahwa masyarakat tersebut merupakan masyarakat butur
(speech community). Jadi, mayarakat tutur bukan sekedar kelompok orang yang
menggunakan bentuk bahasa yang sama, melainkan juga kelompok orang yang mempunyai
norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa itu. Kesimpulan ini dipertegas
oleh batasan masyarakat tutur yang dirumuskan Fishman. Menurut Fishman (1972:22),
masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang mengenal sekurang-kurangnya satu ragam
tutur dan norma-norma pemakaiannya secara tepat. Masyarakat tutur adalah istilah yang
netral. Artinya, latilah itu dapat digunakan untuk masyarakat yang luas dan besar dan dapat
pula digunakan untuk masyarakat yang kecil Di dalam pengertian seperti ini, setiap kelompok
orang di dalam masyarakat yang-karena tempat atau daerahnya, usia atau jenis kelamin,
lapangan kerja atau hobinya-menggunakan bahasa yang sama dan mempunyai penilaian yang
sama ter hadap norma-norma pemakaian bahasanya akan membentuk suatu masyarakat tutur
Demikian pula, kelompok pemakai bahasa di dalam demain-domain sal, seperti rumah
tangga.

RAGAM BAHASA

Pemakaian bahasa, selain dipengaruhi oleh faktor-faktor linguistik, juga dipengaruhi


oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik ini, secara garis besar, dapat
dibagi atas tiga kelompok, yaitu: sender/speaker, receiver dan setting (Bell, 1976:62). Dell
Hymes memerinci faktor-faktor yang memengaruhi pemakaian bahasa tersebut menjadi
delapan faktor, masing-masing (1) setting and scene (latar) yang mengacu kepada tempat dan
waktu terjadinya komunikasi, (2) participants (peserta komunikasi) yang mengacu kepada
siapa saja yang berpartisipasi dalam komunikasi, (3) ends (purpose and goal) yang mengacu
kepada hasil atau harapan dan tujuan mengadakan komunikasi, (4) sit audience yang
mengacu kepada urutan dan masalah atau isi yang dikemu kakan serta bentuk penyampaian
isi atau amanat yang dikomuni kasikan, (5) key yang mengacu kepada ragam atau variasi
bahasa yang digunakan sesuai dengan topik yang dibicarakan, hubungan antarpartisipan,
media yang digunakan, dan sebagainya, (6) instrumentalities yang mengacu kepada sarana
atau prasarana yang digunakan untuk berkomunikasi, (7) norm yang mengacu kepada bentuk
perilaku partisipan komunikasi, (8) genre yang nuturnya, akan dibicarakan siapa yang
menggunakan bahasa itu, di mana ia berdomisili, bagaimana kedudukan sosialnya, apa jenis
kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakannya. Berdasarkan penggunaannya, akan
dibicarakan untuk apa bahasa itu digunakan, dalam bidang apa, jalur dan alat apa yang
digunakan, dan bagaimana formalitas situasinya. Berikut ini akan diurai tiap ragam bahasa
berdasarkan pembagian di atas :

1. Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur

11
2. Ragam Bahasa Berdasarkan Penggunaannya

3. Piranti Penanda Ragam Bahasa

- Pinranti suara

- Piranti Ragam, Dialek, Variasi, Register, Bahasa, Kode

- Piranti Kualitas Suara

- Piranti Bunyi, Kata, dan Struktur Kalimat

PERISTIWA TUTUR DAN TINDAK TUTUR

Peristiwa Tutur di dalam setiap peristiwa tutur akan tampak beberapa unsur yang
memainkan peranan, antara lain penutur (speaker), pendengar (receiver), tempat bicara
(setting), pokok pem bicaraan (topics), suasana bicara (situation scene), dan lain sebagainya.
Dalam pembicaraan, seorang pembicara atau penutur selalu mempertimbangkan kepada siapa
dirinya berbicara, di mana, tentang masalah apa, kapan, dan dalam suasana bagaimana.
Semua pertimbangan itu akan me mengaruhi perilaku berbahasa penutur yang tercermin di
dalam cara berbicara, pemilihan kata, pemilihan struktur kalimat, dan sebagainya.
Keseluruhan peristiwa bicara atau komunikasi, dengan segala faktor dan peranan faktor-
faktor tersebut di dalam peristiwa nu, sering disebut sebagai peristiwa tutur (speech event)
(Suwito, 1983:30). Peristiwa semacam ini, misalnya, tampak di dalam sinuasi diskusi. Di
dalam diskusi, kita jumpai faktor-faktor yang mengambil peranan, antara lain, sebagai
berikut: a. Tempat diskusi: Sebuah ruang dengan tempat duduk yang sudah diatur sedemikian
rupa sehingga peserta diskusi dapat bertukar pikiran dengan sebaik-baiknya. b. Suasana
diskusi: Suasana yang memberi kesempatan kepada setiap peserta untuk mengemukakan
pendapat dan pikirannya, namun harus disertai kesadaran dan tanggung jawab sebagai
anggota kelompok diskusi. Suasana seperti ini memberikan nuansa lain daripada, misalnya,
suasana belajar biasa di kelas. e. Peserta diskusi: Semua peserta yang ambil bagian dalam
kegiatan diskusi yang dapat dikategorisasi menjadi d. Tujuan diskusi Tujuan diskusi adalah
mencapai kese moderator, notulis, narasumber, dan peserta biasa. pakatan pendapat mengenal
satu topik. Tujuan dimaksud akan dapat dicapai apabila semua peserta diakui menaati
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. e. Aturan diskusi: Ada aturan permainan yang
menjamin disku itu berlangsung dengan baik. Setiap peserta haris mematuhi aturan-aturan
tersebut.

f. Ragam bahasa : Sesuai dengan situasinya yang formal, maka ragam bahasa yang dipakai
adalah ragam baku, yaitu ragam yang menuntut kaidah-kaidah bahasa yang benar,
penggunaan istilah yang tepat, dan sebagainya.

2. Tindak tutur

a. Tindak Lokasi

12
b. Tindak Ilokusi

c. Tindak Perlokusi

BAB VI PERENCANAAN BAHASA

POLITIK BAHASA

Menurut Suwito (1983:132), perencanaan bahasa yang bak haruslah didasarkan


kepada politik atau kebijakan bahas Sebaliknya, politik bahasa iru dikatakan baik apabila
terencana, terinci, dan menyeluruh. Jadi, ada hubungan saling mengisi dan melengkapi antara
perencanaan bahasa dan politik bahasa. Perencanaan bahasa yang berlangsung tanpa didasari
politik bahasa akan tidak terarah dan tidak mengenai sasaran. Karena inalah, pembicaraan
mengenai perencanaan bahasa seyogianya diawali dengan perbincangan mengenal politik
bahasa. Istilah politik bahasa selalu dipadankan dengan kebijakan bahasa. Kedua istilah ini
sesungguhnya terjemahan dari bahasa Inggeris language policy. Di dalam buku ini digunakan
inilah politik bahasa. Politik bahasa dapat diarti…

PERENCANAAN BAHASA

Istilah perencanaan bahasa dalam bahasa Indonesia diter jemahkan dari bahasa
Inggeris: language planning. Istilah language planning pertama sekali digunakan oleh Haugen
(1959). Tetapi ada kalanya, istilah perencanaan bahasa diter jemahkan dari kata-kata Inggeris
yang lain, yakni language engineering, management of language, atau manipulation of
language. Semua istilah ini dimaksudkan untuk memberi pengertian tentang segala usaha dan
tindakan yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau lembaga terhadap bahasa agar
komunikasi di dalam satu negara dapat berlangsung secara lancar dan tertib. Suwito (1983)
menegaskan, peren canaan bahasa sesungguhnya adalah pengelolaan bahasa sedemikian rupa
sehingga dapat diperoleh efek komunikasi yang sebenar-benarnya. Menurut Moeliono
(1985:16), perencanaan bahasa dapat dibahas dari berbagai sudut pandang berikut: (1) siapa
yang menjadi pelakunya ?, (2) apa atau siapa yang akan menjadi sasaran perencanaan itu ?,
(3) bagaimana proses perencanaan itu berjalan ?, dan (4) persyaratan apa yang harus dipenuhi
agar keberhasilannya dapat diperkirakan dengan agak pasti? Pertanyaan-pertanyaan di atas
akan dijawab dan diurai melalui sub-subbab berikut ini

1. Perencanaan Bahasa

2. Sasaran Perencanaan

3. Kebijakan Pelaksanaan

PEMBAKUAN BAHASA

13
Menurut Suwito (1983:137), kebakuan bahasa meru pakan hasil suatu proses yang
dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: (1) melalui proses alamiah (natural) dan (2) melalui
proses perencanaan (artifisial). Kebakuan alamiah merupakan akibat dari suatu proses yang
terjadi di dalam bahasa itu sendiri, tanpa pengarahan apa pun yang sifatnya disengaja.
Kebakuan bahasa semacam ini memang mungkin terjadi karena bahasa pada hakikatnya
memiliki kemampuan potensial untuk "meng anur" dirinya sendiri. Aturan yang diperoleh
dari potensi yang demikian itulah yang sesungguhnya aturan substansial di dalam bahasa.
Namun demikian, kapan suatu bahasa men capai aturan dan sampai ke keadaan demikian itu,
tidak dapat dipastikan. Dalam hal ini, pemakai atau pemilik bahasa hanya mungkin
menunggu datangnya anugerah dari Yang maha kuasa. Apabila bahasa yang dipakai dan
dimiliki itu kebetulan bahasa yang sudah cukup "dewasa" dan secara historis meng
untungkan, mungkin tibanya saat kebakuan dan keteraturan bahasa itu memang tidak terlalu
lama. Tetapi, apabila bahasa yang dipakai dan dimiliki itu kebetulan bahasa yang masih muda
usia dan sejarah perkembangannya tidak begitu meng untungkan, maka tidak mustahil bahwa
yang diharapkan itu akan sangat lambat datangnya, atau tidak pernah terjadi sama sekali.
Bahkan lebih dari itu, bahasa tersebut bukan saja tidak menuju ke keteraturannya, melainkan
juga meng arah ke ketidak-teraturannya. Jika hal yang disebutkan terakhir ini memang
terjadi, maka apa yang disebut kebakuan bahasa alamiah itu benar-benar sebuah utopía.
Kebakuan artifisial adalah kebakuan bahasa yang diren canakan; kebakuan sebagai hasil
upaya manusia. Kebijakan perencanaan ini diambil karena adanya asumsi bahwa betapa pun
orang yakin akan adanya keteraturan alamiah pada setiap bahasa, pada hal-hal dan peristiwa-
peristiwa tertentu tidak jarang bahasa memperlihatkan ketidak teraturannya.

Ragam bahasa yang telah mengalami pembakuan itu biasanya memiliki ciri fungsi
dan ciri kebahasaan tertentu (Suwin, 1983 107, Moeliono (1982:28) yang membedakan nya
dari ragam bahasa nonbaku. Ciri fungsi bahasa baku antara lain digunakan di dalam: (1)
komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan khalayak, dan (4)
pembicaraan dengan orang yang dihormati. Ciri kebahassan bahasa baku menunjukkan
kecendekian atau kerasionalan sehingga tepat, seksama, dan abstrak Bentuk kalimatnya
mencerminkan ketelitian penalaran atau ilmiah objektif sehingga suku-suku kalimatnya mirip
dengan pro posisi logika. Leksikonnya terdiri atas satuan leksikal yang mengandung makrus
tunggal, tidak memperlihatkan ketaksaan, menegaskan perincian yang bertafsir-tafsir dan
melam bangkan konsep yang abstrak dan generik. Lebih konkret, Kridaklakna (1989-4)
menggambarkan ciri kebahasaan baku ini sebagai berikut: (1) penggunaan konjungsi-
konjungsl, seperti bahwa dan karena, secara koinsisten dan eksplisit, (2) penggunaan partikel-
kah dan -pun secara konsisten (3) penggunaan fungsi gramatikal (subjek, predikat, dan objek)
secara eksplisit dan konsisten, (4) penggunaan meN dan ber secara konsisten, (5) penggunaan
secara konsisten pola frase verbal aspek + pelaku + V misalnya sudah saya baca dalam
kalimat Surat ini sudah saya baca (bandingkan ciri substandar Pelaku + Aspek + V misalnya
saya sudah baca dalam kalimat Surat ini saya sudah baca), (6) penggunaan konstruksi yang
sintetis, misalnya mobilnya (nonstandar dia punya mobil); atau memberi tahu (nonstandar
kasih tahu). (7) terbatasnya jumlah unsur-unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek
regional dan bahasa-bahasa daerah yang masih dianggap asing. (8) penggunaan polaritas tutur
sapa yang konsisten, misal nya saya, tuan, anda, saudara (nonstandar aku, nama, nama, nama)

14
dan sebagainya, (9) unsur-unsur leksikal, seperti silakan, harap, kepadanya (nonstandar
padanya), pada + persona (nonstandar di +persona), pada+wektu (nonstandard+waktu),
dengan (nonstandar sama). Untuk membantu pemantapan kaidah-kaidah kebahasaan bahasa
baku itu biasanya diperlukan kodifikasi berupa pedoman ejaan, buku tata bahasa, dan kamus
imilah. Dengan pedoman pedoman ini, bahasa baku akan menjadi bentuk bahasa yang
dikodifikasikan, diterima, dan dijadikan model oleh masyarakat bahasa (Rusyana, 1984:104).
Dengan kata lain, bahasa Indo nesia baku akan dapat dipakai sebagai ukuran unnuk menen
tukan baik atau tidak baiknya, benar atau tidak benarnya bentuk atau makna suatu kesatuan
bahasa, seperti kalimat dan ungkapan, yang digunakan serang pemakai bahan pada ruang dan
waktu tertentu (Halim, 1984:15)

15
Buku Pembanding 1

A. ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

1. Alih Kode

Nanang dan Ujang, keduanya berasal dari Priangan, 15 menit sebelum kuliah dimulai sudah
hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tak menentu
dengan menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya. Sekali-sekali bercampur dengan
bahasa Indonesia tahun tapi pembicaraan menyangkut masalah pelajaran. Ketika mereka
sedang asyik bercakap-cakap masuklah Togar, teman kuliahnya yang berasal dari Tapanuli,
yang tentu saja tidak dapat berbahasa Sunda. Togar menyapa mereka dalam bahasa
Indonesia. Lalu segera mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Tidak lama kemudian masuk pula teman-teman lainnya, sehingga suasana menjadi riuh,
dengan percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya dengan menggunakan bahasa
Indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruang, mereka diam, tenang dan siap
mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib dalam bahasa
Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam bahasa Indonesia ragam
resmi, mahasiswa bertanya dalam ragam resmi dan seluruh percakapan berlangsung dalam
ragam resmi hingga kuliah berakhir. begitu kuliah selesai dan ibu dosa yang meninggalkan
ruang kuliah maka para mahasiswa itu menjadi ramai kembali dengan berbagai ragam santai,
ada pula yang bercakap-cakap dalam bahasa daerah. Peristiwa pergantian bahasa yang
digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia, ada berubahnya
dari ragam santai menjadi ragam resmi atau juga ragam resmi keragaman santai, inilah yang
disebut peristiwa alih kode.

Appel (1976:79) mendefinisikan Ali kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa
karena berubahnya situasi. Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi
antar bahasa tetapi dapat juga terjadi antara ragam ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam
satu bahasa.

Menurut Fisham (1976:15) mengenai penyebab terjadinya alih kode yaitu siapa berbicara,
dengan Bahasa apa, kepada siapa, kapan dan, dengan tujuan apa. dalam berbagai kepustakaan
linguistik secara umum penyebab kode itu disebutkan antara lain adalah :

1. Pembicara atau penutur

2. Pendengar atau lawan tutur

3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga


16
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya5. Perubahan topik pembicaraan

lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode misalnya karena si
penutur ingin mengimbangi kemampuan bahasa silawan tutur itu.

2. Campur Kode

Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau
lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Dalam alih kode di
setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-
masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan di
dalam campur kode pada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki
fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan serpihan saja tetapi fungsi atau otonomi and sebagai sebuah kode.

Thelander (1976:103) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya
bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke bahasa
lain maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa
tutur, klausa klausa maupun frasa frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran
dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi-fungsi sendiri, maka
peristiwa yang terjadi adalah campur kode.

Fasold (1984) menawarkan kriteria gramatika membedakan campur kode dan alih kode.
Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa. Dia telah melakukan
campur kode. Tetapi apabila satu kluasa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa,
dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain maka peristiwa yang
terjadi adalah alih kode.

Sebagai contoh perhatikan percakapan berikut yang dilakukan oleh para penutur
dwibahasawan Indonesia.

Cina Putunghoa di Jakarta, diangkat dari laporan Haryono (1990).

Lokasi : di bagian iklan kantor surat kabar Harian Indonesia.

Bahasa : Indonesia dan Cina Putunghoa

Waktu : Senin, 18 November 1988, pukul 11.00 wib

17
Penutur : Informan III (inf III) dan pemasang iklan (PI)

Topik : memilih halaman untuk memasang iklan

Inf III : Ni mau pasang di halaman berapa? (Anda, mau pasang di halaman berapa?)

PI : Di beban aja deh (di halaman delapan sajalah)

Inf III : Mei you a ! Kalau mau dihalaman lain, baiel di Baban penuh lho! Nggak ada lagi!
(Kalau mau di halaman lain. Hari Selasa halaman delapan penuh lho. Tidak ada lagi)

PI : na wo xian gaosu wode jingli ba. Ta yao de di baban a (Kalau demikian saya beritahukan
direktur dulu. Dia mau nya dihalaman delapan)

Inf III : Hao, ni guosu ta ba. Jintian degoang goa hen duo. Kalau mau ni buru-buru datang
lagi (baik, kamu beri tahu dia. Iklan hari ini sangat banyak. Kalau mau kamu harus segera
datang lagi)`

Buku Pembanding 2

BAB I. FILSAFAT SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Asal mula kajian komunikasi dalam sosiologi bermula dari akar tradisi pemikiran Karl Marx,
gagasan awal tentang karl marx tidak pernah terlepas dari pemikiran-pemikiran Hegel.
Menurut ritzer, pemikiran hegel yang paling utama dalam melahirkan pemikiran-pemikiran
tradisional konflik dan kritis adalah ajarannya tentang dialektika dan idealisme. Dialektika
adalah cara berpikir dan citra tentang dunia, dan idealisme adalah sebuah proses yang kekal
dalam kehidupan manusia, bahkan ada yang berkeyakinan bahwa proses mental tetap ada
walaupun kehidupan sosial dan fisik sudah tidak ada lagi.

18
Habermas bertolak dari pemikiran Marx, seperti potensi manusia, spesies makhluk, aktivitas
yang berperasaan. Ia mengatakan bahwa, Marx telah gagal membedakan antara dua
komponen analitik yang berbeda, yaitu kerja dan interaksi sosial. Di antara kerja dan interaksi
sosial, Mark hanya membahas kerja saja engan mengabaikan interaksi sosial. Jadi, kata
Habermas, ”ia hanya mengambil perbedaan antra kerja dan interaksi sosial sebagai titik
awalnya.”

Sumbangan pemikiran juga diberikan oleh John Dewey, yang sering disebut sebagai the first
philosopher of komunikasi itu dikenal hingga kini dengan filsafat pragmatik-nya, suatu
keyakinan bahwa sebuah ide itu benar jika ia berfungsi dalam praktik. Jadi, gagasan-gagasan
seharusnya bermanfaat bagi masyarakat, pesan-pesan ide harus tersampaikan dan memberi
kontribusi pada tingkat perilaku orang. Pesan ide membentuk tindakan dan perilaku
dilapangan.

BAB II. RUANG LINGKUP DAN KONSEPTUALISASI SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan, dengan struktur dan fungsi yang sangat sempurna,
disamping sebagai mahluk individual, mahluk sosial dan mahluk spiritual. Manusia adalah
mahluk sosial maka manusia pada dasarnya tidak mampu hidup sendiri di dalam dunia ini
baik sendiri dalam konteks fisik maupun sosial budaya. Sosiologi berpendapat bahwa
tindakan awal dalam penyelarasan fungsi-fungsi sosial dan berbagai kebutuhan manusia
diawali dengan melakukan interaksi sosial atau tindakan komunikasi satu dengan lainnya.
Fokus interaksi sosial dalam masyarakat adalah komunikasi itu sendiri.

Beberapa konsep penting yang berhubungan dengan sosiologi komunikasi adalah konsep
tentang sosiologi, community, komunikasi, telematika, merupakan konsep penting yang

kemudian melahirkan studi-studi interelasi yang penting untuk dibicarakan sekaligus juga
sebagai ruang lingkup dalam studi-studi sosiologi komunikasi.

19
Komunikasi di dalam masyarakat dibagi 5 jenis: Komunikasi antar pribadi, komunikasi
kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi sosial adalah salah satu bentuk komunikasi
yang lebih intensif, dimana komunikasi terjadi secara langsung antara komunikator dan
komunikan, sehingga situasi komunikasi berlangsung dua arah dan lebih diarahkan kepada
pencapaian suatu situasi integrasi sosial, melalaui kegiatan inilah aktualisasi dari berbagai
masalah yang dibahas, dan komunikasi massa.

BAB III. STRUKTUR DAN PROSES SOSIAL

Aguste comte berpendapat bahwa setiap masyarakat memiliki dua sistem kehidupan yang
berbeda sebagaimana yang dipelajari oleh sosiologi, walapun memiliki sisi yang berbeda,
keduanya menjadi sistem yang tak terpisahkan dari sebuah masyarakat secara umum. Sosial
statis meliputi struktur sosial masyarakat berupa kelompok dan lembaga sosial, lapisan serta
kekuasan, sedangkan sosial dynamic adalah fungsi masyarakat yang terlibat dalam proses
sosial, perubahan sosial, atau bentuk abstrak interaksi sosial.

Struktur dinamis ini dilihat memiliki kemikiripan dengan proses sosial. Proses sosial yang
dimaksud adalah dimana individu, kelompok, dan masyarakat bertemu, berinteraksi, dan
berkomunikasi sehingga melahirkan sistem sosial dan pranata sosial serta semua aspek
kebudayaan, bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial, sedangkan bentuk khususnya
adalah aktivitas sosial syarat terjadi interaksi sosial adalah adanya kontak sosial dan adanya
komunikasi.

BAB IV. PROSES KOMUNIKASI DALAM MASYARAKAT

Masyarakat memiliki struktur dan lapisan yang bermacam-macam, ragam struktur dan
lapisan masyarakat tergantung pada kompleksitas masyarakat itu sendiri. Sedangkann
substansi bentuk atau wujud komunikasi ditentukan oleh pihak yang terlibat dalam
komunikasi, cara yang di tempuh, kepentingan atau tujuan komunikasi, ruang lingkup yang
melakukannya, saluran yang digunakan, isi pesan yang disampaikan. Proses komunikasi
adalah sebuah proses media massa, namun secara akademik, kedua hal itu dapat dibedakan
satu dengan yang lainnya karena memiliki konsep dan substansi permasalahan yang berbeda-
beda.

20
Komunikasi massa adalah salah satu aktifitas sosial yang berfungsi dimasyarakat, fungsi
aktivias sosial memiliki dua aspek yaitu fungsi nyata yang dingginkan dan fungsi tidak
nyatayang tidak diinginkan, selain itu aktivitas sosial juga berfungsi melahirkan fungsi sosial
lain baha manusia memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat sempurna. Begitu pula
dengan fungsi komunikasi media massa sebagai aktivitas sosial masyarakat mempunyai
beberapa fungsi yaitu fungsi pengawasan,fungsi sosial learning, fungsi penyampaian
informasi,fungsi transformasi budaya, dan hiburan.

BAB V. PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA MASSA

Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua
unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat
secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola
kehidupan, budaya, dan sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau mengunakan
pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial yang baru.

Perubahan sosial terjadi ketika ada kesediaan anggota masyarakat meninggalkan unsur- unsur
budaya dan sistem sosial lama dan mulai beralih mengunakan unsur-unsur budaya dan sistem
sosial yang baru. Perubahan sosial dipandang sebagai konsep yang serba mencakup seluruh
kehidupan masyarakat baik pada ingkat individual, kelompok, masyarakat, negara, dan
duniayang mengalami perubahan. Hal-hal penting dalam perubahan sosial menyangkut aspek
yaitu perubahan pola pikir masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, perubahan budaya
materi. Konsep massa kemudian mengandung pengertian secara keseluruhan masyarakat
massa.

BAB VI. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MEDIA DAN KOMUNIKASI MASSA

Riwayat perkembangan komunikasi antarmanusia adalah sama dengan sejarah kehidupan


manusia itu sendiri, ada empat titik penentu utama dalam sejarah komunikasi manusia, yaitu :
ditemukan bahasa sebagai alat interaksi tercanggih manusia, berkembangnya seni tulisan dan
kemampuan bicara manusia menggunakan bahasa, berkembangnya kemampuan reproduksi
kata- kata ulis dengan mengunakan alat pencetak, dan lahirnya komunikasi elektronik, mulai
dari telegraf, telepon, radio, hingga televisi.

21
Perilaku manusia dan teknologi memiliki interaksi didalam lingkungan sosioteknologi,
hubungan komunikasi dimasyarakat, dikenal empat era komunkasi, yaitu era tulis, era media
cetak, era media telekomunikasi, era media komunikasi interaktif. Masyarakat percaya bahwa
perkembangan teknologi media berkembang dimulai dari media tulis dan cetak, media tulis
telah lama dikenal masyarakat dan menjadi pertanda permulaan peradaban sebuah bangsa.

Media transmisi bukanlah sekedar tentang penyimpanan serta penyebaran, tetapi informasi
yang ditransmisikan seketika sebelm beritanya ketinggalan. Transmisi media dibagi mejadi
tiga kategori: komunikasi, penyiaran, jaringan.

BAB VII. MASYARAKAT CYBER

Teknologi telah mengubah bentuk masyarakat manusia, masyarakat global adalah sebuah
kehidupan yang memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya-budaya bersama,
menghasilkan produk-produk industri bersama, menciptakan pasar bersama, dan lain-lain.

Perkembangan teknologi informasi juga tidak saja mampu menciptakan masyarakat dunia
global, namun secara materi mampu mengembangkan ruang gerak kehidupan baru bagi
masyarakat, sehingga tanpa disadari, komunitas manusia telah hidup dalam dua dunia
kehidupan,

yaitu kehidupan masyarakat nyata dan kehidupan masyarakat maya. Bahwa syarat-syarat
interkasi sosial dalam masyarakat nyata harus memiliki sossial contact dan adanya
komunikasi.

Masyarakat maya adalah revolusi terhadap sebuah perubahan masyarakat nyata. Perubahan
sosial dalam dalam cyber community memiliki dampak-dampak budaya yang sangat luas dan
tajam, karena selain sifat perubahannya yang mengglobal, perubahan sosial ini berlangsung
dengan sangat cepat, sehingga banyak menyebabkan efek ganda terhadap perubahan perilaku
pada masyarakat maya dan nyata serta menyebabkan gesekan-gesekan sosial yang tajam di
dalam kedua belahan masyarakat tersebut.

BAB VIII. REALITAS MEDIA DAN KONSTRUKSI SOSIAL MEDIA MASSA

22
Pada umumnya teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa
manusia adalah actor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia tidak
sepenuhnaya ditentukan oleh norma, kebiasaan, nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu
tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial.
Paradigm definisi sosial lebih tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia
tentang proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolos. Dalam proses sosial,
individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relative bebas di dalam
dunia sosialnya.

Realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap
dunia sosial di sekelilingnya, bahwa realitas dunia sosial itu ‘ada’ dalam diri sendiri dan
hukum yang menguasainya. Generalisasi yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia
dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang
memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosil serta memberi makna pada berbagai
bidang kehidupannya.

Nilai perubahan sosila memiliki kaitan dengan kapitalisme terutama yang menekankan gaya
hidup modern serta menempatkan nilai materi sebagai puncak nilai tertinggi. Nilai-nilai
perubahan sosial juga memiliki kesamaan dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh
kapitalisme, terutama karena keduanya mengagumkan materi dan secera beriringan
mengkonstruksi jalan pemikiran serta nilai-nilai yang membimbing reduktur dan pada desk
media massa dalam mengemas pemberitan-pemberitaan mereka.

23
BAB III

PEMAHASAN

A. PEMBAHASAN ISI BUKU

Menurut buku yang saya riview (sosiolinguistik perkenalan awal, 1995) mengenai campur
kode. Campur kode pada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki
fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan serpihan saja tetapi fungsi atau otonomi and sebagai sebuah kode.

Sedangkan, dalam buku yang saya gunakan sebagai pembanding (sosiolinguistik, 1995)
mengenai campuran ragam atau pergantian sandi bahasa. 'pergantian sandi bahasa', dimana
seorang penutur tunggal menggunakan ragam yang berlainan pada waktu-waktu yang
berbeda ini tentunya merupakan akibat otomatis dari adanya 'gaya' karena penutur yang sama
perlu menggunakan gaya berlainan pada keadaan yang berlainan ( untuk penjelasan tentang
pergantian sandi bahasa dalam masyarakat tertentu, lihat Denison, 1971; Parkin, 1977).

Jika hanya ini yang termasuk dalam pergantian sandi bahasa, maka konsep tersebut tidak
lebih dari apa yang sudah kita ketahui. Namun, yang ada temyata lebih dari itu. Pertama, ada
hal yang disebut pergantian sandi bahasa metaforis (Blom & Gumperz, 1971 ), di mana suatu
ragam yang lazimnya digunakan hanya pada satu jenis situasi digunakan juga pada situasi
yang berlainan jenis karena topiknya dari jenis yang lazimnya akan muncul pada jenis situasi
yang pertama. Suatu contoh yang dikutip oleh Jan-Petter Blom dan John Gumperz muncul
pada penelitian mereka di suatu kota di Norwegia utara, Hemnesberget, di mana dijumpai
situasi diaglosik dengan salah satu dari kedua bahasa Norwegia baku sebagai ragam tinggi
dengan dialek lokal, Ranamal, sebagai ragam rendah.

Contoh-contoh seperti ini menunjukkan bahwa para penutur mampu memanfaatkan


normanorma yang mengatur penggunaan ragam dengan cara yang sama seperti kalau mereka
memanfaatkan norma yang mengatur makna kata dengan menggunakan secara metaforis.

Buku yang berjudul “Sosiologi Komunikasi” merupakan buku karangan Prof. Dr.

H.M. Burhan Bungin, S.Sos. M.Si yang membahas tentang semua yang berhubungan dengan
teori, paradigma dan diskursus sosiologi komunikasi di masyarakat. Buku ini diterbitkan oleh
KENCANA PRENADA MEDIA GROUP dengan tebal buku 374 halaman.

24
Dari segi isi atau makna, buku ini sudah sangat bagus, dan dalam buku ini juga disajikan
dengan sangat lengkap dimulai dari pengertian-pengertian hingga sampai pada hakikat-
hakikat pembahasannya. Selain isi sub bab nya yang lengkap buku ini juga disajikan dengan
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca. Dengan penyajian yang
sederhana itu maka akan meningkatkan minat pembaca terhadap buku ini, sebab mereka tidak
akan memukan kata-kata yang sulit untuk diinterpretasikan. Tetapi materi yang dibahas
dalam buku ini teralu banyak yaitu terdapat xiii bab, sehingga pembaca agak sedikit sulit
untuk memahami keseluruhan materinya. Dan buku ini terlalu banyak menggunakan teori-
teori sehingga membuat pembaca juga bingung dalam memahaminya secara singkat.

25
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Appel (1976:79) mendefinisikan Ali kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa
karena berubahnya situasi. Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi
antar bahasa tetapi dapat juga terjadi antara ragam ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam
satu bahasa. Thelander (1976:103) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur
kode. Katanya bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu
bahasa ke bahasa lain maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam
suatu peristiwa tutur, klausa klausa maupun frasa frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan
frasa campuran dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi-fungsi
sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.

Kedua buku ini layak dibaca karena di dalamnya memuat Sosiolinguistik dan menjelaskan
dengan rinci. Setelah melihat isi buku secara keseluruhan, maka saya selaku Pengkritik dapat
menyimpulkan bahwa buku ini didalam nya di ulas dengan sangat komprehensif. buku ini
memberikan jawaban jawaban alternativ tentang bagaimana Bahasa Indonesia yang dapat
dirancang ulang agar bisa memberikan paradigma baru dalam proses belajar mengajar. buku
ini siap membuka gambaran, cakrawala pikiran kita tentang bagaimana buku sosiolinguistik
dari dulu hingga sekarang.

B. SARAN

Sebagai mahasiswa sepatut nya kita dapat memahami semua materi yang sudah di jelaskan
oleh dosen pengampu.Selain itu, kita dapat mencari referensi lain di dalam jurnal atau buku
yang bisa kita dapat dimana saja.

Hanya dengan cara dan metode tertentu pengetahuan dapat diperoleh. Ilmu pengetahuan yang
diperoleh tidak berguna bila tidak dibagi atau diberikan kepada orang lain. Ilmu pengetahuan
yang ada harus dimanfaatkan. Sebagai pembaca yang budiman kami meminta saran dan
kritikkannya agar makalah saya berikutnya dapat bermanfaat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Chaer,abdul dan agustina,leonie. 1995. Sosiolinguistik perkenalan awal. Jakarta: PT


RINEKA CIPTA.

Rochayah dan Djamil,misbach. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Pembinaan Dan


Pengembanan Bahasa.

Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi (Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi Di


Masyarakat). Jakarta. Kencana Prenada Media Grup. 2006.

27

Anda mungkin juga menyukai