Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TATARAN LINGUISTIK SEMANTIK

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Linguistik Umum

Semester 3 Kelas H Tahun Ajaran 2022/2023

Dosen Pengampu :
Rani Setiawaty S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh :
1. Siti Noor Arofah (202133309)
2. Sofiyani (202133318)
3. Siti Mutmainah (202133326)
4. Putri Ayu Sekarwangi (202133341)

UNIVERSITAS MURIA KUDUS


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan “makalah” ini yang berjudul “Tataran
Linguistik Semantik”. Tak lupa shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW
semoga kita mendapatkan syafaatnya dihari akhir kelak.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen mata kuliah Linguistik Umum, yaitu Ibu
Rani Setiawaty, S.Pd, M.Pd yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah
ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta
membantu dalam penyelesaian makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Terakhir kami mengucapkan maaf kepada para pembaca apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat kesalahan maupun kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesepurnaan makalah ini kedepannya.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Kudus, 20 Oktober 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
A. Latar Belakang......................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. Pengertian Semantik.............................................................................................................5
B. Objek Kajian Semantik.........................................................................................................6
C. Hakikat Makna......................................................................................................................6
D. Jenis Makna..........................................................................................................................7
1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual.................................................................7
2. Makna Referensial dan Non-referensial...........................................................................8
3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif............................................................................9
4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif........................................................................10
5. Makna Kata dan Makna Istilah.......................................................................................11
6. Makna Idiom dan Peribahasa..........................................................................................12
E. Relasi Makna......................................................................................................................13
F. Perubahan Makna...............................................................................................................16
G. Medan Makna.....................................................................................................................18
H. Komponen Makna..............................................................................................................19
BAB III..........................................................................................................................................22
PENUTUP.....................................................................................................................................22
A. Kesimpulan.........................................................................................................................22

2
B. Saran...................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa Sebagai
objek kajiannya. Hakikat bahasa bertujuan untuk menyampaikan pesan atau
mengkomunikasikan makna. Bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan
sekaligus sistemis. Sistemis yakni bahasa itu bukan suatu sistem tunggal melainkan terdiri
dari beberapa sub sistem. Salah sub sistem yaitu tataran linguistik semantik yang
merupakan cabang dari linguistik (Chaer, Linguistik Umum, 2007, p. 4).
Semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu satu
dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatikal, dan semantik. Kata semantik
disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari
hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, atau dengan kata
lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa.
Semantik adalah cabang linguistik yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu-ilmu
sosial lain seperti sosiologi atau antropologi, bahkan juga dengan filsafat dan psikologi.
Sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantik karena sering dijumpai kenyataan
bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk mengatakan sesuatu makna dapat menandai
identik kelompok dalam masyarakat.
Di dalam semantik, sebagaimana dinyatakan Chaer (2007: 297) bahwa satuan bahasa
yang satu dengan satuan bahasa yang lain memiliki relasi bentuk dan makna. Dalam
berbagai kepustakaan linguistik, makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik.
Makna dalam bahasa dapat dipahami dengan mempelajari aturan atau kaidah bahasa dan
menghubungkannya pada konteks pemakaian bahasa tersebut. Kebutuhan untuk
memahami, mengerti dan mencari merupakan esensi manusia yang paling dalam,
dikarenakan ekspresi makna merupakan esensi sebuah bahasa. Jika manusia belum

3
mengetahui makna dengan , berarti dia belum mengetahui apa saja yang dia bicarakan
(Tajuddin, 2008:2).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Semantik?
2. Sebutkan Objek Kajian Semantik?
3. Jelaskan Hakikat Makna?
4. Sebutkan dan Jelaskan Jenis Makna?
5. Sebutkan dan Jelaskan Relasi Makna?
6. Apa yang dimaksud dengan Perubahan Makna?
7. Apa yang dimaksud dengan Medan Makna?
8. Apa yang dimaksud dengan Komponen Makna?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Tataran Linguistik Semantik
2. Untuk mengetahui Objek Kajian Semantik
3. Untuk mengetahui Hakikat Makna
4. Untuk mengetahui Pengertian dan Jenis Makna
5. Untuk mengetahui Pengertian dari Relasi Makna
6. Untuk mengetahui Perubahan Makna
7. Untuk mengetahui Medan Makna
8. Untuk mengetahui Komponen Makna

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Semantik

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang
(sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel
Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan
untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal
yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang
makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi,
gramatika, dan semantik (Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, 1994, p. 2).
Semantik (dari bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema,
tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu
bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, semantik adalah pembelajaran
tentang makna. Semantik biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis,
pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatik,
penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.

Kata semantik itu sendiri menunjukkan berbagai ide - dari populer yang sangat
teknis. Hal ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menandakan suatu
masalah pemahaman yang datang ke pemilihan kata atau konotasi. Masalah pemahaman
ini telah menjadi subjek dari banyak pertanyaan formal, selama jangka waktu yang
panjang, terutama dalam bidang semantik formal. Dalam linguistik, itu adalah kajian
tentang interpretasi tanda-tanda atau simbol yang digunakan dalam agen atau masyarakat
dalam keadaan tertentu dan konteks. Dalam pandangan ini, suara, ekspresi wajah, bahasa
tubuh, dan proxemic memiliki semantik konten (bermakna), dan masing-masing terdiri dari
beberapa cabang kajian. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti struktur ayat dan tanda baca
menanggung konten semantik, bentuk lain dari bahasa menanggung konten semantik
lainnya (Nafinuddin, 2020) .

5
B. Objek Kajian Semantik

Objek kajian semantik terdiri dari :


1. Kata
Kata adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri.
Contoh : Minum, makan, duduk, lari, pulang, pergi, dst.
2. Frasa
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang memiliki makna.
Contoh : bermain bola, mencuci tangan dan kaki.
3. Klausa
Klausa adalah gabungan kata yang terdiri dari subjek dan predikat.
Contoh : Ibu sedang memasak, Gadis itu menangis tersedu-sedu, dst.
4. Kalimat
Kalimat adalah gabungan beberapa kata yang sedikitnya mengandung subjek dan
predikat.
Contoh :
a. Minggu depan, aku dan teman-teman akan pergi ke museum.
b. Ayah mencuci mobil.
c. Bagaimana kabarmu hari ini?

C. Hakikat Makna

Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna


adalah ’pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik.
Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan
(Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant,
Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada
konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau
signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan.
Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua
unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu
kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual) (Nafinuddin,
2020).

6
D. Jenis Makna

Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam bila
dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama jenis makna telah
dikemukakan orang dalam berbagai buku linguistik atau semantik. Kiranya jenis-jenis
makna yang dibicarakan pada subbab berikut ini sudah cukup mewakili jenis jenis makna
yang pernah dibicarakan orang itu.

1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual

a. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa
konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal 'sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai'; pinsil bermakna leksikal 'sejenis alat tulis yang
terbuat dari kayu dan arang': dan air bermakna leksikal 'sejenis barang cair yang biasa
digunakan untuk keperluan sehari-hari'. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan bahwa
makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi indra kita, atau makna apa adanya.
Kamus-kamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh
kata yang dijelaskannya. Oleh karena itulah, barangkali, banyak orang yang
mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus. Pendapat ini,
kalau begitu, memang tidak salah; namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang
bukan dasar, juga ada memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna
kias dan makna-makna yang terbentuk secara metaforis.
b. Makna Gramatikal
Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi,
reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks
ber dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai
baju’; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’; dengan
dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal ‘melakukan rekreasi’.
Contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna
gramatikal 'bahan'; dengan dasar madura melahirkan makna gramatikal 'asal'; dengan

7
dasar lontong melahirkan makna gramatikal bercampur: dan dengan kata Pak Kumis
(nama pedagang sate yang terkenal di Jakarta) melahirkan makna gramatikal 'buatan'.
Sintaktisasi kata-kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat Adik menendang
bola melahirkan makna gramatikal: adik bermakna 'pelaku', menendang bermakna
'aktif, dan bola bermakna 'sasaran'. Sintaktisasi kata-kata adik, menulis, dan surat
melahirkan makna gramatikal: adik bermakna ‘pelaku’, menulis bermakna ‘aktif’, dan
surat bermakna ‘hasil’.
c. Makna Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam
satu konteks. Misalnya, perhatikan makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat
(1) berikut!

(1a) Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.

(1b) Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.

(1c) Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.

(1d) Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa.

(1e) Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.

Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan
lingkungan penggunaan bahasa itu.

2. Makna Referensial dan Non-referensial

Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya,
atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah dan gambar adalah termasuk kata-kata
yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-
kata seperti dan, atau, dan karena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna
ferensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.

Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata, yang disebut kata-kata deiktik,
yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari
maujud yang satu kepada maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini
adalah kata-kata yang termasuk pronomina, seperti dia, saya, dan kamu; kata-kata
yang menyatakan ruang, seperti di sini, di sana, dan di situ; kata-kata yang

8
menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata yang disebut kata
penunjuk, seperti ini dan itu. Perhatikan ketiga kata saya pada kalimat-kalimat berikut
yang acuannya tidak sama!

Contoh :

(2) “Tadi pagi saya bertemu dengan Pak Ahmad”, kata Ani kepada Ali
(3) “O, ya?” sahut Ali, “Saya juga bertemu beliau tadi pagi.”
(4) “Di mana kalian bertemu beliau?" tanya Amin, "Saya sudah lama tidak berjumpa
dengan beliau”

Jelas, pada kalimat (2) kata saya mengacu pada Ani, pada kalimat (3) mengacu pada
Ali, dan pada kalimat (4) mengacu pada Amin.

Contoh lain, kata di sini pada kalimat (5) acuannya juga tidak sama dengan kata di sini
pada kalimat (6).

(5) “Tadi saya lihat Pak Ahmad duduk di sini, sekarang dia ke mana?” tanya Pak
Rasyid kepada para mahasiswa itu.
(6) “Kami di sini memang bertindak tegas terhadap para penjahat itu.” kata Gubernur
DKI kepada para wartawan dari luar negeri itu.

Jelas, kata di sini pada kalimat (5) acuannya adalah sebuah tempat duduk; tetapi pada
kalimat (6) acuannya adalah satu wilayah DKI Jakarta Raya.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

a. Makna Denotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang
dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenamya sama dengan makna
leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif ‘sejenis binatang yang biasa
diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya’. Kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan
tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal’. Kata rombongan
bermakna denotatif ‘sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan’.
Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari
sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang
"ditambahkan" pada makna denotatif tadi berhubungan dengan nilai rasa dari orang

9
atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada
contoh atas, pada orang yang beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam
mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila
mendengar kala itu. Kata kurus juga pada contoh di atas berkonotasi netral, artinya,
tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan (unfavorable); tetapi kaia ramping, yang
sebenarnya bersinonim deng kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa yang
mengenakkar orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kaa
kerempeng, yang sebenamya juga bersinonim dengan kata kurse de ramping itu,
mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan, orang akan
merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
b. Makna Konotatif
Makna konotatif adalah makna lain yang "ditambahkan" pada makna denotatif
tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang
menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh atas, pada orang yang
beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang negatif,
ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus juga pada
contoh di atas berkonotasi netral, artinya, tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan
(unfavorable); tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim deng kata kurus itu
memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan orang akan senang kalau
dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng, yang sebenamya juga bersinonim
dengan kata kurus dan ramping itu, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang
tidak mengenakkan, orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya
kerempeng.

4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif


a. Makna Konseptual

Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari
konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai’, dan kata rumah memiliki makna konseptual
‘bangunan tempat tinggal manusia’.

b. Makna Asosiatif

10
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan
dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian; kata merah
berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga ‘paham komunis’; dan kata buaya berasosiasi
dengan ‘jahat’ atau juga ‘kejahatan’.

5. Makna Kata dan Makna Istilah

a. Makna Kata
Kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah
kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam
penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam
konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Makna kata sendiri masih bersifat umum,
kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap
sama, seperti tampak pada contoh kalimat (7) dan (8) berikut :
(7) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(8) Lengannya luka kena pecahan kaca.

Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau
bermakna sama.

b. Makna Istilah

Berbeda dengan kata, Istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak
meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa
istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat
bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Umpamanya, kata tangan dan lengan yang menjadi contoh di atas. Kedua kata itu
dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian
dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari
pergelangan sampai ke pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah
dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda. Demikian juga
dengan kata kuping dan telinga. Dalam bahasa umum kedua kata itu merupakan dua
kata yang bersinonim, dan oleh karena itu sering dipertukarkan. Namun sebagai istilah
dalam bidang kedokteran keduanya memiliki makna yang tidak sama; kuping adalah

11
bagian yang terletak di luar, termasuk daun telinga, sedangkan telinga adalah bagian
sebelah dalam. Maka itu, yang biasanya diobati oleh dokter adalah telinga bukan
kuping.

Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah, yang karena sering
digunakan, lalu menjadi kosakata umum. Artinya, istilah itu tidak hanya digunakan di
dalam bidang keilmuannya, tetapi juga telah digunakan secara umum, di luar
bidangnya. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, istilah akseptor, spiral, akomodasi,
virus, dan kalimat telah menjadi kosakata umum; tetapi istilah debit, embisil, morfem,
alofon, dan variansi masih tetap sebagai istilah dalam bidangnya, belum menjadi kosa
kata umum.

6. Makna Idiom dan Peribahasa

a. Makna Idiom
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat "diramalkan" dari makna
unsur-unsumya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara
gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan yang
membeli menerima rumahnya’; bentuk menjual sepeda bermakna ‘yang menjual
menerima uang dan yang membeli menerima sepeda’; tetapi, dalam bahasa Indonesia
bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa
keras-keras’. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut
makna idiomatikal. Contoh lain dari makna idiom adalah bentuk membanting tulang
dengan makna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’, dan sudah
beratap seng dengan makna ‘sudah tua’.
Biasanya dibedakan orang adanya dua macam idiom, yaitu yang disebut idiom
penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud dengan idiom penuh adalah idiom yang
semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang
dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang,
menjual gigi dan meja hijau termasuk contoh idiom penuh. Sedangkan yang dimaksud
dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsumya masih memiliki makna
leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna ‘buku yang memuat
keterangan resmi mengenai suatu kasus’; daftar hitam yang bermakna ‘daftar yang

12
memuat nama-nama orang yang diduga atau dicurigai berbuat kejahatan’; dan koran
kuning dengan makna ‘koran yang biasa memuat berita sensasi’. Pada contoh tersebut,
kata buku, daftar, dan koran masih memiliki makna leksikalnya.
b. Makna Peribahasa
Makna Peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari
makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya
sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang
bermakna ‘dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki
asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu
berkelahi, tidak pernah damai. Contoh lain, peribahasa Tong kosong nyaring bunyinya
yang bermakna ‘orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu’. Makna ini
dapat ditarik dari asosiasi: tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi,
tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras, yang nyaring.

E. Relasi Makna

Yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara
satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Dalam pembicaraan tentang relasi
makna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim, polisemi,
homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi.
1. Sinonim

Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang me nyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul
dengan kata benar; dan pada contoh kalimat: Dika menendang bola dengan Bola ditendang
Dika.

Relasi sinonimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A
bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan
ujaran A. Secara konkret kalau kata betul bersinonim dengan kata benar, maka kata benar
itupun bersinonim dengan kata betul.

2. Antonim

13
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang
maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara yang satu dengan yang
lain. Misalnya, kata buruk berantonim dengan kata baik; kata mati berantonim dengan kata
hidup, kata guru berantonim dengan kata murid dan kata membeli berantonim dengan kata
menjual.

Hubungan antara dua satuan ujaran yang berantonim juga bersifat dua arah. Jadi, kalau
kata membeli berantonim dengan kata menjual maka kata menjual juga berantonim dengan
kata membeli.

3. Polisemi

Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna
lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian
tubuh manusia, seperti pada contoh kalimat (9); (2) ketua atau pemimpin, seperti pada
contoh kalimat (10); (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, seperti contoh kalimat (11).

Contoh kalimat :

(9) Kepalanya luka kena pecahan kaca.


(10) Kepala kantor itu bukan paman saya.
(11) Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor.

Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus)
adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna
konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu
komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu.

4. Homonimi

Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang ben tuknya “kebetulan”
sama; maknanya tentu saja berbeda karena masing-masing merupakan kata atau bentuk
ujaran yang berlainan. Umpamanya, antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata
pacar yang bermakna ‘kekasih’, antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa
yang berarti ‘sanggup’ dan juga antara kata mengurus yang berarti ‘mengatur’ dan kata
mengurus yang berarti ‘menjadi kurus’.

14
Sama dengan sinonimi dan antonimi, relasi antara dua buah ujaran yang homonimi
juga berlaku dua arah. Jadi, kalau pacar I yang bermakna ‘inai’ berhomonim dengan kata
pacar II yang bermakna ‘kekasih’ maka pacar II juga berhomonim dengan pacar I.

5. Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya
tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Umpamanya antara kata merpati dan kata
burung. Di sini kita lihat makna kata merpati tercakup dalam makna kata burung. Kita
dapat mengatakan merpati adalah burung, tetapi burung bukan hanya merpati bisa juga
tekukur, perkutut, kepodang, dan cendrawasih.
Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau merpati berhiponim
dengan burung, maka burung bukan berhiponim dengan merpati, melainkan berhipernim.
Dengan kata lain, kalau merpati adalah hiponim dari burung, maka burung adalah
hipernim dari merpati.
6. Ambiguiti Atau Ketaksaan
Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya ke gandaan makna akibat
tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi
pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat
digambarkan dengan akurat. Misalnya: bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan
maknanya menjadi
a. Buku sejarah itu baru terbit, atau
b. Buku itu memuat sejarah zaman baru.
Kemungkinan makna (a) dan (b) itu terjadi karena kata baru yang ada dalam
konstruksi itu, dapat dianggap menerangkan frase buku sejarah, dapat juga dianggap hanya
menerangkan kata sejarah.
7. Redundansi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan nya penggunaan unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimat Bola itu ditendang oleh Dika
tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Bola itu ditendang Dika. Jadi, tanpa
menggunakan preposisi oleh. Nah, penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundans,
berlebih-lebihan. Begitu juga dengan kalimat Nita mengenakan baju berwarna merah,

15
tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Nita berbaju merah. Maka, bentuk pertama
disebut redundans, terlalu berlebih-lebihan dalam menggunakan kata-kata.
Sebenarnya menurut teori semantik yang diajukan Verhaar (1978), makna kalimat
Bola itu ditendang oleh Dika dan Bola itu ditendang Dika adalah tidak sama. Yang sama
hanyalah informasinya. Dengan adanya kata oleh pada kalimat pertama, maka peran objek
pelaku lebih ditonjolkan. Pada kalimat kedua, yang tanpa preposisi oleh, penonjolan peran
pelaku itu tidak ada. Memang dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan
kata-kata secara efisien, sehingga kata-kata yang dianggap berlebihan, sepanjang tidak
mengurangi atau mengganggu makna (lebih tepat informasi), harus dibuang. Namun,
dalam analisis semantik, setiap penggunaan unsur segmental dianggap membawa makna
masing-masing.

F. Perubahan Makna

Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah; tetapi secara
diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat,
makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah; tetapi dalam waktu yang relatif lama
ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan ini bukan berlaku
untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada
sejumlah kata saja, yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi.
Adanya perkembangan konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan terjadinya
perubahan makna kata. Misalnya, dulu kapal-kapal menggunakan layar untuk dapat
bergerak. Oleh karena itu muncullah istilah berlayar dengan makna ‘melakukan
perjalanan dengan kapal atau perahu yang digerakkan tenaga layar’. Namun, meskipun
tenaga penggerak kapal sudah diganti dengan mesin uap, mesin diesel, mesin turbo,
tetapi kata berlayar masih tetap digunakan untuk menyebut perjalanan di air itu.
2. Perkembangan sosial budaya.
Perkembangan dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya, juga
menyebabkan terjadinya perubahan makna. Kata saudara misalnya, pada mulanya
berarti ‘seperut’, atau ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’; tetapi kini, kata
saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain, sebagai kata sapaan yang

16
diperkirakan sederajat baik usia maupun kedudukan sosial. Pada zaman feodal dulu,
untuk menyebut orang lain yang dihormati, digunakan kata tuan. Kini kata tuan yang
berbau feodal itu, kita ganti dengan kata bapak yang terasa lebih demokratis. Contoh
lain, kata sarjana dulu bermakna ‘orang cerdik pandai’ tetapi kini kata sarjana itu
hanya bermakna ‘orang yang telah lulus dari perguruan tinggi’. Dewasa ini betapa pun
luas dan dalamnya ilmu seseorang, jika dia bukan lulusan perguruan tinggi tidaklah
bisa disebut sarjana.
3. Perkembangan pemakaian kata.
Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosakata yang
berke naan dengan bidangnya itu. Umpamanya dalam bidang pertanian kita temukan
kosakata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama, dan panen; dalam bidang agama
Islam ada kosakata seperti imam, khatib, puasa, zakat, dan subuh, dan dalam bidang
pelayaran ada kosakata seperti berlabuh, berlayar, haluan, nakhoda, dan buritan.
Kosakata yang pada mulanya hanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam
perkembangan kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lain, dengan makna
yang baru atau agak lain dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya.
Umpamanya, kata menggarap dari bidang pertanian (dengan segala bentuk
derivasinya seperti garapan, penggarap, tergarap, dan penggarapan) digunakan juga
dalam bidang lain dengan makna ‘mengerjakan, membuat’, seperti dalam menggarap
skripsi, menggarap naskah drama, dan menggarap rancangan undang undang lalu
lintas. Kata membajak yang berasal dari bidang pertanian juga, sudah biasa kini
digunakan dalam bidang lain dengan makna ‘mencari keuntungan yang besar secara
tidak benar’, seperti dalam membajak buku, membajak lagu, membajak pesawat
terbang. Contoh lain, kata jurusan yang berasal dari bidang lalu lintas kini digunakan
juga dalam bidang pendidikan dengan makna ‘bidang studi, vak’, seperti dalam
jurusan bahasa asing, jurusan hukum perdata, dan jurusan ekonomi pembangunan.
4. Pertukaran tanggapan indra.
Alat indra kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing utuk menangkap gejala-
gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa getir, panas, dan asin ditangkap dengan
alat indra perasa, yaitu lidah; gejala yang berkenaan dengan bunyi ditangkap dengan
alat indra pendengar telinga; dan gejala terang dan gelap ditangkap dengan alat indra

17
mata. Namun, dalam perkembangan pemakaian bahasa banyak terjadi pertukaran
pemakaian alat indra untuk menangkap gejala yang terjadi di sekitar manusia itu.
Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa lidah menjadi
ditanggap oleh alat pendengar telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas;
kata manis yang seharusnya ditanggap dengan alat perasa lidah menjadi ditanggap
dengan alat indra mata, seperti dalam ujaran bentuknya sangat manis. Perubahan
tanggapan indra ini disebut dengan istilah sinestesia.
5. Adanya asosiasi.
Yang dimaksud dengan adanya asosiasi di sini adalah adanya hubungan antara sebuah
bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan bentuk ujaran itu,
sehingga dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud adalah sesuatu
yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu. Misalnya kata amplop. Makna amplop
sebenarnya adalah ‘sampul surat’; tetapi, dalam kalimat (12) berikut, amplop itu
bermakna ‘uang sogok’.
(12) Supaya urusan cepat beres, beri saja amplop.

Amplop yang sebenamya harus berisi surat, dalam kalimat itu berisi uang sogok. Jadi,
dalam kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok.

G. Medan Makna

Yang dimaksud medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal
adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu.
Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama
perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur
leksikal dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak
sama besarnya, karena hal tersebut berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat
pemilik bahasa itu. Medan wama dalam bahasa Indonesia mengenal nama nama merah,
coklat, biru, hijau, kuning, abu-abu, putih, dan hitam; dengan catatan, menurut fisika, putih
adalah campuran berbagai wama, sedangkan hitam adalah tak berwama. Untuk
menyatakan nuansa wama yang berbeda, bahasa Indonesia memberi keterangan
perbandingan, seperti, merah darah, merah jambu, dan merah bata. Bahasa Inggris

18
mengenal sebelas nama warna dasar, yaitu white, red, green, yellow, blue, brown, purple,
pink, orange, dan grey. Sedangkan dalam bahasa Hunanco, salah satu bahasa daerah di
Filipina, hanya terdapat empat wama, yaitu (ma) biru, yakni wama hitam dan warna gelap
lainnya; (ma) langit, yakni warna putih dan wama cerah lainnya; (ma)rarar, yakni
kelompok wama merah, dan (ma) latuy, yakni wama kuning. Hijau muda, dan coklat
muda.

Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga tidak sama banyaknya antara bahasa
yang satu dengan bahasa yang lain. Malah bisa juga konsep penamaannya berbeda. Dalam
bahasa Indonesia dikenal nama kakak dan adik, yaitu orang yang lahir dari ibu yang sama.
Bahasa Inggris menyebut orang yang lahir dari ibu yang sama dengan istilah brother dan
sister. Di sini jelas perbedaan konsep penamaan nya; bahasa Indonesia berdasarkan usia,
lebih tua atau lebih muda; sedangkan bahasa Inggris berdasarkan jenis kelamin, lelaki atau
perempuan.

Kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna,


berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi
dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik yang terdapat antara kata-
kata atau unsur-unsur leksikal itu.

Perhatikan contoh kalimat berikut

(13) Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak
dan tenggelam beserta segala isinya.

Kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam yang
merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama. Dalam
hal ini lingkungan kelautan. Contoh lain, kata-kata cabe, bawang, terasi, garam, merica,
dan lada berada dalam satu kolokasi, yaitu yang berkenaan dengan bumbu dapur.

H. Komponen Makna

Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang
dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dan sejumlah komponen (yang disebut komponen
makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat

19
dianalisis, dibutiri, atas disebutkan satu per satu, berdasarkan "pengertian-pengertian" yang
dimilikinya.

Contoh: kata ayah memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /+jantan/,


/+kawin/, dan /+punya anak/; dan kata ibu memiliki komponen makna /+manusia/,
/+dewasa/. /-jantan/, /+kawin/, dan /+punya anak/.

Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari
bentuk-bentuk yang bersinonim. Misalnya, pada kata ayah dan bapak adalah dua buah kata
yang bersinonim dalam bahasa Indonesia. Lalu, bahwa dua buah kata yang bersinonim
maknanya tidak persis sama. Oleh karena itu, kata ayah dan bapak pun, meskipun
bersinonim, tentu ada perbedaan maknanya. Di manakah letak perbedaannya itu? Kalau
kita analisis komponen makna yang dimiliki kata bapak dan ayah akan terlihat seperti ini.

Komponen makna ayah bapak

1. Manusia + +

2. Dewasa + +

3. Sapaan kepada orang tua laki- + +


laki

4. Sapaan kepada orang yang - +


dihormati

Dari bagan itu terlihat bahwa kata ayah dan bapak sama-sama memiliki komponen makna
1 sampai dengan 3 bedanya, kata ayah tidak memiliki komponen nomor 4 sedangkan kata
bapak memiliki komponen makna itu. Dengan demikian, anda bisa melihat beda makna
kata ayah dan bapak yang hakiki, yang menyebabkan kata bapak dalam ujaran (14)
berikut, tidak dapat ditukar dengan kata ayah dalam ujaran (15).

(14) Kami menghadap Bapak Gubernur Suryadi di kantornya.


(15) Kami menghadap Ayah Gubernur Suryadi di kantornya.

20
Kegunaan analisis komponen yang lain ialah untuk membuat prediksi makna-makna
gramatikal afiksasi, reduplikasi, dan komposisi dalam bahasa Indonesia. Misalnya:
membeo, mematung, membaja, dan membatu. Proses afiksasi dengan prefiks me- pada
nomina yang memiliki komponen makna /+hasil olahan/ akan memiliki makna gramatikal
‘membuat yang disebut kata dasarnya’. Misalnya, menyambal, menggulai, dan menyate.
Sedikit catatan mengenai kata mematung; di dalam buku-buku pelajaran tata bahasa
dikatakan mempunyai makna :

a. Menjadi atau berlaku seperti patung,


b. Membuat patung.

Adanya dua makna gramatikal ini karena komponen makna yang dimiliki kata patung
adalah memang (a) memiliki sifat atau ciri khas, dan (b) hasil olahan. Jadi, komponen
makna a. memberikan makna gramatikal (a), dan komponen makna b. memberikan makna
gramtikal (b).

Analisis komponen ini dapat digunakan untuk meramalkan makna gramatikal, dapat
juga kita lihat pada proses reduplikasi dan proses komposisi. Dalam proses reduplikasi,
yang terjadi pada dasar verba yang memiliki komponen makna /+sesaat/ memberi makna
gramatikal ‘berulang-ulang’ seperti pada memotong-motong, memukul-mukul dan
menendang-nendang. Sedangkan pada verba yang memiliki komponen makna /+bersaat/
akan memberi makna gramatikal ‘dilakukan tanpa tujuan’, seperti pada membaca-baca,
mandi-mandi, dan duduk-duduk. Jadi, dalam proses reduplikasi itu terlihat verba yang
memiliki komponen makna /+sesaat/ mempunyai makna gramatikal yang berbeda dengan
verba yang memiliki komponen makna /-sesaat/.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang
(sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel
Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan
untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal
yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang
makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi,
gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2). Dengan kata lain, semantik adalah pembelajaran
tentang makna. Semantik biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis,
pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatik,
penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.

Objek kajian semantik sendiri terdiri dari kata, frasa, klausa, dan kalimat. Menurut
teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah
’pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik.
Adapun jenis-jenis makna, yaitu diantaranya : (1) Makna Leksikal, Gramatikal, dan
Kontekstual; (2) Makna Referensial dan Non-referensial; (3) Makna Denotatif dan Makna
Konotatif; (4) Makna Konseptual dan Makna Asosiatif; (5) Makna kata dan Makna Istilah;
(6) Makna Idiom dan Peribahasa. Yang dimaksud relasi makna adalah hubungan semantik
yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Dalam
pembicaraan tentang relasi makna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut
sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi.
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah; tetapi secara
diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat,
makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah; tetapi dalam waktu yang relatif lama
ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah.

22
Pada medan makna yang dimaksud medan makna (semantic domain, semantic field)
atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan
karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta
tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama
perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna. Kemudian, makna yang
dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dan sejumlah komponen (yang disebut komponen
makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat
dianalisis, dibutiri, atas disebutkan satu per satu, berdasarkan "pengertian-pengertian" yang
dimilikinya.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini penyusun menyadari bahwa banyak kekeliruan dan
masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan dari semua pihak
untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun, untuk kelancaran pembuatan
makalah selanjutnya. Namun, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
terutama untuk pemakalah.

23
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, A. (1994). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Nafinuddin, S. (2020). Pengantar semantik (pengertian, hakikat, jenis). Pengantar Sematik,


1–21. https://doi.org/10.31219/osf.io/b8ws3
Pateda, M. (2010). Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

24

Anda mungkin juga menyukai