Disusun oleh
Muhammad Iqbal (2120901043)
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada mata kuliah Studi Keislaman. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Obyek Kajian dan Sistematika Ajaran Islam bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. Abu Mansur, M.Pd. I, selaku
dosen mata kuliah studi keislaman yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Muhammad Iqbal
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................5
BAB 2 PEMBAHASAN...........................................................................................................6
2.1 Pengertian Bayani........................................................................................................6
2.2 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa..................................7
2.3 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Kalam.................................11
2.4 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Tauhid.................................16
2.5 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ushul Fiqh...................................21
2.6 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Fiqih....................................26
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................................28
3.1 Kesimpulan................................................................................................................28
3.2 Saran..........................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................29
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradaban Islam pada saat ini sangat lah menarik untuk dikaji dariberbagai segi. Salah
satu hal yang menarik untuk dikaji adalah segala bentuk pemikiran yang berkembang dalam
khazanah perkembangan keilmuan Islam. Bentuk pemikiran yang ada di dunia ini sangat lah
banyak dan perkembangan pemikiran ini terjadi pertama kali di dunia barat, seiring
perkembangan keilmuan barat, perkembangan keilmuan Islam juga mengalami
perkembangan. Pemikiran Islam, walaupun dalam perkembangan pertamanya bersentuhan
dengan keilmuan barat, tetapi bentuk pemikiran Islam tidak lah sama dengan barat. Bahkan
perkembangan keilmuannya bisa dikatakan melebihi pemikiran barat.
Salah satu bagian dari pemikiran Islam adalah filsafat, dalam perkembangannya filsafat
Islam membahas segala macam aspek sejak dahulu, sebenarnya manusia telah mengenal
bentuk filsafat pemikiran, salah satu nya adalah pembahasan tentang epistemologi.
epistemologi bisa dikatakan sebagai cara manusia untuk memperoleh pengetahuan. Islam
mempunyai bentuk epistemologi yang sangat menarik untuk dikaji dan dipelajari yang
tentunya berbeda dengan bentuk epistemologi dalam dunia barat.
4
6. Untuk mengetahui kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ushul fiqh
dalam tradisi akademik dalam Islam
7. Untuk mengetahui kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu fiqh
dalam tradisi akademik dalam Islam
5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bayani
Bayani secara etimologis mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan dan ketetapan.
Sedangkan secara terminology bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’, dan
ijtihad. Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganilisis teks. Maka sumber
epitimologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi islam dapat di kelompokkan
menjadi 2 yakni:
Artinya metode bayani adalah sebentuk epistemology yang menjadikan teks tertulis seperti
alquran, hadist, pendapat atau fatwa ulama, sebagai bentuk basis utama untuk membentuk
pengetahuan. Pola bayani (kajian semantik), pola ini lebih menitik beratkan pada kajian
bahasa dalam bentuk penafsiran gramatikal, seperti kapan suatu kata itu berarti hakiki atau
majazi. Bagaimana cara memilih salah satu arti kata musytarak, mana yang qath’I serta mana
ayat yang zanni dan sebagainya. Kemudian secara garis besar epistemologi bayani
merupakan suatu cara mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti menganggap teks sebagai
pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak
pada teks. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks atau
penalaran yang berpijak pada teks. Bagi al-jabiri, istilah nalar bayani dimaksudkan sebagai
sistem berpikir atau episteme yang menjadikan bahasa arab sebagai basis bagi sistem
penalarannya, serta menjadikan qiyas (analogi) sebagai metode berpikirnya. Untuk itu perlu
adanya terobosan pendekatan pemikiran yang konstruktif agar teks yang ada dapat dipahami
secara tepat dan komperehensif sehingga sesuai dengan konteks ujian permasalahan yang
ada.
6
Istilah bayan terbagi menjadi dua pegertian: Pertama; kaidah penafsiran wacana (tafsir
al-khitab) dan produksi wacana (intaj al-khitab). Pengertian tafsir di sini merujuk kepada
zaman nabi dimana para sahabat menafsirkan kalimat dan susunan kalimat yang ada di al-
qur’an atau paling tidak merujuk pada masa Khalifah ar-Rasyidin dimana masyarakat
bertanya kepada sahabat tentang makna yang “tersembunyi’ dalam al-qur’an. Sedangkan
produksi wacana dengan munculnya friksi politik, kelompok aliran teologis setelah peristiwa
‘tahkim’ dalam dunia Islam.Contohnya di kalangan sahabat, Ibn Abbas (68 H) dikenal dan
menjadi rujukan tafsir al-Qur’an, sehingga para ulama terdahulu menjulukinya dengan
tarjumanul al-qur’an (terjemahan al-Qur’an). Dia menjadi ikon rujukan riwayat yang kuat
pada bidang tafsir.
Jika salah dalam memberi harakat diakhir atau ditengah kalimat maka akan
berdampak pada makna kaliamt atau kata tersebut.
Pada ilmu Nahwu juga membahas tentang struktur atau kedudukan sebuah kalimat.
Misalnya apakah kalimat tersebut termasuk dalam susunan jumlah FI’IL fail atau mubtada
Khabar dan lain sebagainya.
Adapun untuk mempelajari Ilmu tersebut kita harus bersungguh-sunngguh agar benar
benar dapat memahami teks berbahasa Arab khususnya teks yang tidak ada harakat nya atau
biasa disebut Arab gundul. Kita dapat mempelajari nya dengan merujuk kepada kitab kitab
nahwu seperti jurumiyyah, imrithy, Alfiyah. Dan berbagai buku tentang ilmu Nahwu lainnya.
7
adanyakaidah nahwu ini dibuat supaya tidak terjadinya lahn, yaitu tidak terjadinya kesalahan-
kesalahan, tidak terjadinya penambahan dari para pendengar maupun pembaca di dalam
tujuan dan maksud sebuah kalimat bahasa arab.
1. Memudahkan kita untuk menentukan harokat bahasa arab, apalagi ketika mempelajari
kitab kuning yang gundul.
2. Memudahkan kita dalam memahami kalimat bahasa arab.
3. Memberi peluang untuk mempunyai keahlian dalam bahasa arab.
4. Memudahkan kita mengambil referensi dari kitab kuning ataupun kalimat bahasa arab
lainnya.
Seperti yang sudah dijelaskan tadi, bahwasannya pedoman agama islam yaitu salah
satunya kitab al-qur’an, yang dimana al-qur’an ini isinya menggunakan bahasa arab. Banyak
orang berpendapat bahwa bahasa arab itu sulit untuk dipahami. Salah satu ilmu untuk
memudahkan mempelajari bahasa arab itu terlebih dahulu dengan memahami ilmu nahwu.
Ilmu nahwu ini mempunyai peran penting dalam memahami teks-teks bahasa arab,
menjaga lisan dari kesalahan dalam berbicara dan khususnya untuk memahami makna
alqur’an dan hadits.
B. Ilmu Sharaf
Ilmu sharaf yakni ilmu yang mengetahui perubahan kata, asalnya kata tersebut dari
awal, tengah dan di akhir huruf. Ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kata dalam
bahasa arab dan mengetahui bentuk kata, perubahan bentuk kata ini bisa disebut dengan
Tashrif. Karena itu dinamakan dengan Ilmu Sharaf (perubahan). Di dalam ilmu sharaf ini kita
akan membahas tentang asal muasal kata dan perubahan kata serta pembentukan kata.
misalnya saja kata istighfar di ambil daru bahasa arab yaitu استغفرberasal dari kata غفرdan
masih banyak contoh-contoh lain yang dibahas dalam ilmu sharaf.
8
Macam-macam tashrif
1.memudahkan dalam pencarian arti kata bahasa Arab dalam kamus Arab-
Indonesia
2.bisa menentukam arti kaya yang tidak terdapat di dalam kamus sehingga tidak
bergantung pada kamus terus menerus
3.mampu meberikan harakat dengan baik dan benar dalam tulisan arab gundul
ataupun dalam kitab kuning serta mampu menerjemahkan secara baik.
4. menentukan asal kata dan memudahkan dalam pencarian arti di dalam kamus.
C. Ilmu Balaghah
Menurut Ahmad al-Hasyimiy dalam Maman Dzul Iman, secara etimologis “Balagah”
berarti sampai dan mencapai titik seperti ungkapan
” “ – بلغ فالن مراده – إذا وصل إليه – وبلغ الركب المدينة – إذا انتهى إليها
“ Si Fulan telah mencapai tujuannya dan kendaraan telah sampai di kota”.
Kata balagah itu sendiri diambil dari perkataan orang Arab:
9
” “ بلغت الغاية إذ انتهيت
“ Saya telah mencapai tujuan”.
Secara terminologis, menurut Ali al-Jarimi dan Mustafa Amin Balagah adalah
هllال فيllذى يقllوطن الllتأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة فصحيحة لها في النفس أثرخالب مع مالءمة كل كالم للم
واألشخاص الذين يخاطبون.
“Menyampaikan makna luhur secara jelas dengan ungkapan yang benar dan fasih
serta memiliki pengaruh yang memikat hati disertai dengan persesuaian setiap perkataan
dengan tempat dimana perkataan tersebut diucapkan dan dengan orang yang diajak
berbicara.”
Sedangkan balagah sebagai disiplin ilmu menurut Imam Akhdari adalah ilmu untuk
mempelajari kefasihan bicara. Dengan demikian maka dalam ilmu ini dibahas juga tentang
( فصاحة الكلماتKefasihan Kata / kata -kata yang fasih atau jelas) dan ( فصاحة الكالمKefasihan
kalimat) kata fasih dalam bahasa Arab terambil dari kata الفصا حةkata tersebut memiliki arti
terang atau jelas. Suatu kalimat dinamakan fasih apabila kalimat itu terang pengucapannya,
jelas artinya dan bagus susunannya.
Kalimat yang fasih adalah kalimat yang jelas maknanya, mudah bahasanya, dan baik
susunannya. Oleh karena itu, setiap kata dalam kalimat yang fasih itu harus sesuai dengan
pedoman sharaf, jelas maknanya, komunikatif, mudah lagi enak.
Menurut Ahmad al-Hasyimiy kata yang fasih adalah kata yang terhindar dari empat hal yaitu
sebagai berikut :
( تنا فر الحروفkata-kata yang sukar diucapkan )
( غرابة االستعمالungkapan yang terdiri atas kata-kata yang asing, jarang dipakai )
( مخا لفة القياسkata-kata yang menyalahi atau tidak sesuai dengan kaidah umum ilmu sarf )
( الكراهة في السمعkata yang tidak enak didengar )
10
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Jurumiyah:
Untuk memahami pengertian ini, kita perlu mempelajari lebih dalam apa yang
dimaksud dengan lafadz, murakkab, mufid dan bil wadl'i. Sehingga kita bisa
mengetahui secara utuh apa itu kalam.
1. Lafadz
Yang dimaksud dengan lafadz adalah suara/ucapan lisan yang mengandung huruf
hijaiyah. Misalnya lafadz "kitaabun" ()كتاب, "masjidun" ( )مسجدdan "Zaidun" ()زيد.
2. Murakkab (Tersusun)
Murakkab adalah sesuatu yang tersusun dari dua susunan kata atau lebih. Sehingga bila
suatu lafadz hanya terdiri dari satu kata, maka lafadz tersebut bukan murakkab.
11
Contoh murakkab:
زَ ْي ٌد قَائِ ٌم
Artinya: "Zaid adalah yang berdiri"
Kalimat "zaidun qoimun" ( ) َز ْي ٌد قَائِ ٌمmerupakan murakkab karena tersusun dari dua kata,
yakni kata زيدdan kata قائم.
Apabila hanya زيدsaja atau قائمsaja, maka itu bukan murakkab karena tidak tersusun. Dan
jika bukan murakkab, maka tidak bisa disebut kalam.
Adapun murakkab yang menjadi syarat kalam adalah murakkab isnadiy, bukan murakkab
tarkib majzi dan murakkab idlofiy. (Pembahasan tentang murokkab insyallah akan dibahas di
postingan khusus).
Contoh mufid,
Ucapan di atas mufid. Karena sudah memberikan makna dengan susunan sempurna.
Ucapan di atas tidak mufid karena tidak memberikan makna sempurna. Sebab dalam
ucapan tersebut terkandung kata "in" (ْ )اِنyang artinya "jika". Dimana "in" termasuk huruf
syarat yang membutuhkan jawab. Biasanya jawabnya memiliki arti "maka".
12
Sedangkan di sini jawabnya tidak ada. Sehingga maknanya menjadi nanggung. Orang
yang mendengar ucapan tersebut akan penasaran dan tidak nyaman.
Oleh karena itu lafadz اِ ْن قَا َم َز ْي ٌدtidak mufid, sehingga tidak bisa disebut kalam.
4. Bil Wadl'i
Adapun bil wadh’i ( )بالوضعsebagian ulama menafsirkannya dengan maksud ()بالقصد.
Maka perkataan orang yang tidur dan lengah/lalai tidak dinamakan kalam menurut ulama
nahwu. Sebagian lain menafsirkan dengan bahasa Arab ( )العربيmaka perkataan orang
‘ajam/non-Arab seperti Turki, Barbar tidak dinamakan kalam menurut ulama nahwu.
Berikut ini contoh kalam yang sudah memenuhi empat syarat (Berupa lafadz, murakkab,
mufid dan bil wadl'i) adalah sebagai berikut:
Ucapan di atas merupakan kalam karena sudah memenuhi 4 syarat, yakni (1) lafadz,
berupa ucapan yang mengandung huruf hijaiyyah, (2) murakkab, karena tersusun dari
beberapa kata, (3) mufid, karena memberi faidah berupa makna sempurna, dan (4) bil wadl'i,
berupa bahasa arab.
B. Pembagian Kalam
Kalam atau kalimat terbagi menjadi 3, yaitu kalimat isim, kalimat fi'il dan kalimat huruf. Hal
ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ajurumiyah;
َولَ ْم تُ ْقتَ َر ْن بِ َز َم ٍن َوضْ عًا، َوه َُو َكلِ َمةٌ َدلَّت َعلَى َم ْعنًى فِي نَ ْف ِسهَا،اال ْس ُم
ِ
13
Artinya, "isim adalah kata yang menunjukkan terhadap makna yang ada pada dirinya
tanpa dibarengi dengan penempatan waktu."
Jadi isim itu selalu memiliki makna tersendiri. Hal ini berbeda dengan huruf yang
tidak memiliki makna kecuali sudah bersanding dengan kalimat lain.
Isim pun tidak bisa dibarengi dengan penempatan waktu yang jumlahnya ada 3. Yaitu
waktu yang sudah berlalu (zaman madli), waktu yang sedang berlangsung (zaman hal), dan
waktu yang akan datang (zaman mustaqbal). Beda dengan fi'il yang selalu dibarengi dengan
penempatan waktu tersebut.
Dalam contoh di atas lafadz memiliki makna tersendiri, yaitu artinya sebuah buku.
Dan lafadz kitaabun tidak bisa dibarengi penempatan zaman yang tiga, tidak bisa dikatakan
misalnya, "telah buku", "sedang buku" dan "akan buku".
Begitu pun dengan contoh-contoh isim yang lainnya, seluruhnya memiliki makna sendiri,
tanpa pernah bisa dibarengi dengan penempatan waktu.
2. Fi’il
Pengertian fi'il adalah sebagai berikut:
ْ َوا ْقتُ ِرن، َوه َُو َكلِ َمةٌ َدلَّت َعلَى َم ْعنًى فِي نَ ْف ِسهَا،ُالفِ ْعل
َت بِ َز َم ٍن َوضْ عًا
Artinya, "Fi'il adalah kalimat yang menunjukkan terhadap makna yang ada pada
dirinya dan dibarengi dengan penempatan waktu."
14
Sebagaimana isim, fi'il pun selalu memiliki makna sendiri. Hal ini berbeda dengan
huruf yang tidak memiliki makna kecuali sudah bersanding dengan kalimat lain.
Namun fi'il dibarengi dengan penempatan waktu yang jumlahnya ada 3, yaitu waktu
yang sudah berlalu (zaman madli), waktu yang sedang berlangsung (zaman hal), dan waktu
yang akan datang (zaman mustaqbal).
Jika fi'il menunjukan makna yang sudah berlalu, maka fi'il tersebut dinamakan fi'il
madhi. Contohnya:
- قَا َم / Qooma / Telah berdiri
Jika fi'il menunjukan makna yang sedang berlangsung atau akan berlangsung, maka
fi'il tersebut dinamakan fi'il mudhori. Contohnya:
- يَقُوْ ُم / Yaquumu / Sedang berdiri / Akan berdiri
Dan jika fi'il yang mutlak menunjukan makna yang belum terjadi dan baru akan
dilaksanakan serta berupa perintah, maka fi'il tersebut dinamakan fi'il amar. Contohnya:
- قُ ْم / Qum! / Berdirilah!
3. Huruf
Pengertian huruf adalah sebagai berikut:
َوهُ َو َكلِ َمةٌ دَلَّت َعلَى َم ْعنًى فِي َغي ِْرهَا، ُال َحرْ ف
15
Makna لdalam lafadz لِزَ ْي ٍدmengandung arti "milik".
Manusia bersujud kepada Allah. Allah tempat meminta, Allah tempat mengadu nasibnya,
manusia wajib mentaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. Semua yang bersifat kebaktian
kepada Allah tanpa perantara (wasilah). Allah melarang kita menyembah selainnya, seperti
menyembah batu, menyembah matahari dan lain sebagainya. Dan itu semua adalah
perbuatan syirik yang sangat besar dosanya dan sangat dibenci Allah, bahkan Allah tidak
akan mengampuni dosa musyrik itu.
Dengan kata lain yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah meyakini bahwa tidak ada tuhan
selain Allah SWT. firman Allah SWT:
“Dan tuhanmu adalah tuhan yang maha esa, tidak ada tuhan selain dia, yang maha pemurah
lagi maha penyayang”. (QS. Al-Baqoroh: 163).
16
Singkatnya, keyakinan tentang Allah. Allah sebagai tuhan satu-satunya,
baik dzat maupun sifatnya, dan perbuatan itulah yang disebut tauhid uluhiyah. Uluhiyah kata
nisbatnya dari kata Al-Illah yang berarti tuhan yang wajib ada, yaitu Allah,
sedangkan uluhiyah berarti Allah sebagai satu-satunya tuhan.
Jadi tauhid Uluhiyah ialah kita percaya bahwa Allah lah satu-satunya tuhan yang
wajib disembah dan tiada sekutu baginya. Untuk membedakan antara
tauhid Rububiyah dan Uluhiah secara singkatnya adalah tauhid uluhiyah hanya dimiliki oleh
orang-orang mu’min saja, sedangkan tauhid rububiyah semua orang mempercayainya,
sekalipun dia adalah orang kafir.
17
SWT, yaitu “Rabb”. Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain: al-Murabbi
(pemelihara), al-Nashir (penolong), al-Malik (pemilik), al-Muslih (yang memperbaiki), al-
Sayyid (tuan), dan al-Wali (wali). Sedangkan menurut istilah tauhid rububiyah berarti
“percaya bahwa hanya Allah-lah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang
dengan takdirnya Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan
sunnah-sunnah-Nya. Dan karena Allah adalah Rabb yang hak bagi semesta alam, maka Dia
sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain, wajib mengesakan-Nya dalam
ketuhanan, dan tidak menerima adanya sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat
ketuhanan tidak mungkin ada pada yang lain dari makhluk-Nya.
“Berkata para rasul mereka: ‘Apakah ada keraguan-keraguan terhadap Allah, pencipta langit
dan bumi…?”. (QS. Ibrahim: 10).
Allah pencipta alam beserta isinya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an:
ذا لكم ا هلل ربكم ال ا له اال هو خا لق كل شيء فعبدوه وهو على كل شيء وكيل
“Yang memiliki sifat-sifat demikian itu ialah Allah tuhan kamu, tidak ada tuhan selain dia,
pencipta segala sesuatu maka sembahlah dia, dialah pemelihara segala sesuatu”. (QS. Al-
An’am: 102).
18
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya kata rububiyah meyakini bahwa Allah SWT sebagai
tuhan satu-satunya yang menguasai dan mengurus serta mengatur alam semesta.
Tauhid rububiyah akan rusak apabila kita mengakui bahwa yang mengurus alam ini ada dua
tuhan ataupun lebih. Seperti dipercayai oleh bangsa persi pada zaman dahulu. Adapun Al-
Qur’an menetapkan ke-Esaan Allah dalam menjadikan alam (tauhid rububiyah) dengan
berbagai dalil dan akal yang logis. Memang Al-Qur’an mengokohkan ke-Esaan Allah
sebagaimana Al-Qur’an mengokohkan adanya Allah.
“Dia mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka
sedang ilmu-ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya”. (QS. Thaha: 110).
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengannya dan dia maha pendengar lagi maha
penyayang. (QS. Asy-Syura: 11)
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata:
Rasulullah SAW bersabda:
19
“Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya
(membacanya) maka ia akan masuk surga.
Al-Qur’an menawarkan terhadap orang-orang kafir dan penolak dalil dimana pikiran-
pikiran rasional tidak mempunyai pilihan selain untuk menegaskan dan dimana tidak ada
pikiran logis yang dapat menolaknya. Allah maha mulia berfirman:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu (sebab)pun ataukah mereka telah menciptakan (diri
mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan seluruh langit dan bumi itu? Namun
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (QS. Ath-Thur: 35-36).
Al-Qur’an mengatakan kepada mereka, “Kamu ada dan kamu tidak dapat
mengingkari hal ini, langit dan bumi ada diluar keraguan apapun”, ini semata-mata
merupakan persoalan yang masuk akal terhadap pikiran yang rasional bahwa hal-hal yang ada
pasti memiliki sebab-sebab keberadaannya. Hukum ini menyatakan bahwa suatu hal mungkin
tidak dapat terjadi dengan sendirinya, dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya tanpa hal
lain yang menyebabkannya. Karena sesuatu itu tidak memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri
20
untuk eksis dengan sendirinya. Dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya menyebabkan
sesuatu yang lain untuk eksis. Karena sesuatu itu tidak dapat memberikan suatu lainnya apa
yang ia sendiri tidak miliki.
Suatu pemikiran, konsep dan teori baru dapat menjadi ideologi atau utopia bagi
pemikiran, konsep dan teori sebelumnya. Apabila pemikiran, konsep dan teori baru berpijak
pada sistem yang sekarang sedang berlangsung, maka pemikiran, konsep dan teori tersebut
disebut dengan ideologi. Akan tetapi, apabila pemikiran, konsep dan teori tidak berpijak pada
sistem, atau sistem lain, maka disebut dengan utopia. Sifat ideologis atau utopis suatu ilmu
dapat dilihat dari penerapan pemikiran, konsep dan teori dari ilmu tersebut, apakah memakai
sistem yang telah berlangsung atau memakai sistem lain. Ilmu uṣūl al fiqh yang dipahami
oleh kebanyakan ilmuwan dan diajarkan di PTAI Indonesia bersifat ideologis, karena tetap
memakai sistem yang sedang berlangsung sampai sekian lamanya hingga kini. Ilmu uṣūl al
fiqh sebenarnya adalah alat, namun yang terjadi dalam kebiasaan PTAI Indonesia, ilmu ini
menjadi doktrin, bahkan seolah menjadi dogma agama. Konsekuensinya, jangankan merubah
atau mengembangkan, melakukan kajian kritis saja pelakunya sering merasa “takut”,
sehingga tidak dilakukan.38 Karl Mannheim sebagaimana dikutip oleh Muhyar Fanani,
membagi utopia menjadi dua, yaitu; utopia absolut dan utopia relatif. Utopia absolut apabila
pemikiran, konsep dan teori baru tidak dapat direalisasikan kapanpun dan dimanapun.
Sementara utopia relatif memandang pemikiran, konsep dan teori baru dapat direalisasikan.
Apabila dicermati sejarah perkembangan uṣūl al fiqh dari masa awal pembetukannya hingga
kini, maka sebetulnya ilmu ini mengalami beberapa keadaan yang mempunyai sifat
pergeseran dari utopia, ideologi, atau kembali pada utopia lagi. Sejarah perkembangan ilmu
uṣūl al fiqh pada awalnya adalah metodologi bagi seluruh pemikiran intelektual Islam,
kemudian dalam perjalanannya dipersempit hanya pada kajian hukum saja. Pada masa awal
21
perkembangan ilmu uṣūl al fiqh, setidaknya ada dua mazhab besar, yaitu aliran mutakallimӣn
(Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah) dan aliran fukaha (H}anafiyah). Kedua
mazhab ini mempunyai pemahaman dan cara kerja tersendiri terkait dengan ilmu uṣūl al fiqh,
meski sama-sama bercorak literalistik. Teori atau konsep uṣūl al fiqh yang ditawarkan oleh
kedua mazhab merupakan teori atau konsep yang baru dari kacamata filsafat ilmu. Kuatnya
pengaruh teori dan konsep yang ditawarkan oleh kedua mazhab terhadap generasi seterusnya,
hingga lima abad (dari abad 2 H – 7 H) menjadikan konsep atau teori uṣūl al fiqh menjadi
sebuah doktrin atau dogma agama. Pada abad 8 H (- w. 790 H/1388M) muncul al Syāṭibī
yang menambahkan teori maqāṣid al syarī’ah dalam ilmu uṣūll al fiqh. Namun, teori ini juga
tidak menghapus semua teori lama yang masih bersifat literalistik. Maka meminjam istilah
Thomas Kuhn dalam perspektif filsafat ilmu, al Syāṭibī tidak melakukan paradigm shift,
karena hanya melengkapi teori lama.40 Al syāṭibī tidak melakukan perubahan revolusioner
sebagaimana dimaksud oleh Kuhn. Perkembangan selanjutnya adalah ilmu uṣūl al fiqh
direvitalisasi oleh para pembaharu modern seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan
Turabi. Karena tidak memiliki teori baru, maka oleh Hallaq mereka dimasukkan dalam
golongan religious utilitiaranism. Sedangkan pembaharu seperti Muhammad Syahrur, Fazlur
Rahman, dan Asymawi, yang menawarkan teori baru dan meninggalkan teori uṣūl al fiqh
lama, maka oleh Hallaq dimasukkan dalam golongan religious liberalism. 41 Para pembaharu
yang termasuk pada religious liberalism menawarkan sebuah utopia ilmu uṣūl al fiqh yang
tidak berangkat dari teori atau pemikiran lama.
2. Pengembangan Paradigma
Uṣūl al Fiqh Thomas Samuel Kuhn (Pakar sejarah sains Amerika) yang menulis The
Structure of Scientific Revolutions (1962) menjelaskan bahwa, perkembangan ilmu bersifat
revolusioner, bukan evolusioner (pandangan Karl Popper). Perkembangan ilmu atau sains
tidak ditentukan oleh falsifikasi empiris-logis, tetapi ditentukan oleh kesepakatan-
kesepakatan sosial masyarakat ilmuwan. Dalam perkembangannya, kesepakatan lama
digantikan dengan kesepakatan baru dan berlangsung secara revolusioner. Pergantian ini
benar-benar baru, dan kesepakatan ini dinamakan Paradigma.42 Paradigma menurut Kuhn
dapat membantu komunitas ilmiah untuk membatasi disiplinnya dan menciptakan penemuan-
penemuan, merumuskan persoalan, memilih metode yang tepat dalam menjawab persoalan,
dan lain-lainnya, paradigma adalah sesuatu yang esensial bagi penyelidikan ilmiah (scientific
inquiry). Proses munculnya suatu paradigma adalah melalui proses kompetisi antara berbagai
macam teori. Teori yang terbaik dan disepakati komunitas ilmiah, karena keunggulannya
22
dalam menyelesaikan problem ilmiah akan menjadi pondasi bagi munculnya normal science.
Normal science terdiri dari satu paradigma saja, karena apabila terdapat banyak paradigma,
maka akan tumpang tindih dan tidak menjadi normal science lagi. Paradigma tidak ada yang
sempurna yang dapat menjawab semua problem ilmiah.
Dalam perspektif filsafat ilmu, peninjauan ulang atau pengembangan suatu ilmu adalah
suatu keniscayaan, tak ada ilmu yang selesai dan tertutup, ia selalu memerlukan
pengembangan. Apabila suatu ilmu sudah tidak menerima kritik atau pengembangan, maka ia
telah menjadi suatu ideologi. Uṣūl al fiqh bukanlah sebuah ideologi, ia merupakan sebuah
“alat” pengembangan kaidah untuk menemukan maksud Tuhan. Sebagaimana pada masa
awal pembetukannya, ilmu ini digunakan sebagai kaidah penemuan hukum Islam yang sangat
terkait erat dengan faktor ruang dan waktu yang dihadapi oleh masyarakat. Pada masa awal
pembetukannya, dan karena sifat dasar dari ilmu uṣūl al fiqh adalah ilmu yang terbuka
(konsep ilmiah), maka usaha pengembangan terhadapnya adalah sah, dan bahkan suatu
keharusan. Pengembangan ilmu dimulai dari epistemologi ilmu itu sendiri sebagai metode
penemuan hukum Islam. Oleh sebab itu, dari kacamata filsafat ilmu pengembangan ilmu uṣūl
al fiqh dapat dilakukan dengan cara mempertanyakan kembali “asal/sumber” pengetahuan
dalam ilmu uṣūl al fiqh, mempertanyakan kembali hakikat pengetahuan ilmu uṣūl al fiqh,
watak (karakteristik) pengetahuan itu. Pertanyaanpertanyaan itu merupakan problem yang
harus dikaji ulang dalam pengembangan uṣūl al fiqh di dunia modern, agar ilmu uṣūl al fiqh
dapat “membumi”. Pengembangan epistemologi uṣūl al fiqh, seharusnya menempatkan
epistemologi uṣūl al fiqh dalam koridor filsafat ilmu untuk pengkajian lebih dalam dan benar,
bukan ditempatkan sebagai “ilmu” tersendiri yang harus dihafal definisi-definisinya.46 Ilmu
uṣūl al fiqh seharusnya dipahami dan diletakkan sebagai sebuah disiplin ilmu, sebagai alat
pengembangan yang selalu aktif dan dinamis, sehingga dapat menjadi pencerahan.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa metode yang diterapkan ilmu uṣūl al fiqh klasik
adalah metode “literalistik” yang berpegang pada dominasi teks, baik dari segi grammar atau
sintaksisnya.47 Dengan meminjam kerangka analisis al Jabiry, model berpikir yang
memusatkan pada teks dan bahasa atau penalaran terhadap teks, maka epistemologi uṣūl al
fiqh klasik termasuk epistemologi bayānī. Memang benar bahwa uṣūl al fiqh adalah kaidah
umum atau metode penemuan hukum Islam, dimana wilayah kajian pembentukan kaidah
adalah wilayah kerja akal/ rasio. Namun metode yang digunakan oleh akal untuk menentukan
kaidah-kaidah umum tersebut lebih dominan pembahasannya mengani teks, sehingga akal
23
hanya sebagai alat penalaran yang masih sangat terpaku pada dominasi teks tersebut. Meski
demikian, tidak semua pemikir setuju bahwa uṣūl al fiqh klasik menggunakan paradigma
literalistik. Sebagai contoh adalah uṣūl al fiqh yang dibangun oleh al Ghazali (450-505 H).
Rasionalisme-deduktif menjadi jantung seluruh teori uṣūl al fiqh al Ghazali. Rasionalisme
menjiwai 3 model
metode penalaran, yakni penalaran semantik yang berbasis pada kaidah bahasa Arab,
penalaran maknawi yang berdasar pada makna implisit teks, dan penalaran qiyas yang
berlandaskan pada pencarian illat. Selanjutnya, pada abad 8 H muncul al Syāṭibī dengan teori
maqāṣid al syari’ah sebagai metode penemuan hukum Islam dalam ilmu uṣūl al fiqh. Metode
ini tidak lagi terpaku pada literalisme teks, tetapi menyempurnakannya dengan
memperhatikan realitas empirik kemasyarakatan atau kemanusiaan. Penalaran ini disebut
juga dengan model penalaran rasional-induktif. Realitas rasional dan empirik harus dibangun
dalam paradigma pengembangan metode ushul fiqh. Hanya saja, dalam perspektif filsafat
ilmu, kehadiran al Syāṭibī tidak menghapus paradigma lama, hanya melengkapi saja. Hal
demikian tidak dapat disebut oleh Thomas Kuhn dengan pergeseran paradigma (paradigm-
shift). Pergeseran paradigma jelas terlihat pada pengembangan metode dalam uṣūl al fiqh
yang diperkenalkan oleh para pemikir kontemporer. Misalnya, teori ḥudӣd Muhammad
Syahrur, double movement Fazlur Rahman, Naskh Ahmad an Na’im, dan lain sebagainya.
Mereka meninggalkan paradigma uṣūl al fiqh klasik dengan corak yang liberal. Oleh sebab
itu, Wael B. Hallaq menyebut para pemikir tersebut sebagai religious-liberalism. 51
Pengembangan metode dari literalistik, rasional-deduktif, rasional-induktif, sampai empiris-
rasional, merupakan metode pengembangan yang ditawarkan oleh para pakar uṣūl al fiqh
dalam menemukan maksud Tuhan. Hanya saja, beragamnya metode dan pengembangan yang
ditawarkan belum dapat diterima oleh ulama uṣūl itu sendiri. Menanggapi hal demikian dan
untuk menghilangkan pudarnya pesona ilmu agama, maka diperlukan peran penguasa dalam
paradim-shift.
Pengembangan ilmu uṣūl al fiqh harus dilakukan terus menerus dan tanpa henti (ongoing
research), sehingga ilmu uṣūl al fiqh selalu dapat memenuhi kebutuhan zaman, dimanapun
dan kapanpun. Tidak ada persoalan umat Islam yang ditinggalkan oleh uṣūl al fiqh, baik
persoalan politik, ekonomi, kenegaraan, dan lain sebagainya. Untuk pengembangan ilmu uṣūl
al fiqh, perlu dilakukan langkah-langkah yang memudahkan para pakar dalam pengembangan
24
ilmu ini. Qodri Azizy melalui kajiannya terhadap fase-fase konstruksi ilmu keislaman yang
meliputi 6 fase, maka ia menawarkan minimal 4 hal yang harus dilakukan, yaitu:
1. Pemanfaatan ilmu bantu untuk pemahaman ulang (reinterpretasi) ajaran Islam, yang
meliputi ilmu sosial, ilmu humanities, dan sains-teknologi.
3. Dontruksi dan inovatif ilmu-ilmu keislaman, serta rekostruksi keilmuan Islam yang
dianggap baku untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan zaman melalui Pendekatan
interdisipliner, multidisipliner, atau bahkan trans disipliner.
Langkah yang ditawarkan oleh Qodri di atas merupakan pengembangan ilmu keislaman
secara umum –termasuk ilmu uṣūl al fiqh.
3. Mencari teori-teori baru dalam paradigma baru. Kedua langkah aplikatif di atas
hanyalah sebuah contoh model pengembangan uṣūl al fiqh dengan kacamata filsafat ilmu.
25
Adanya langkah-langkah aplikatif ini diharapkan dapat mempermudah dalam pengembangan
ushul fiqh, dan pengembangan ini dapat diterima oleh masyarakat muslim.
Sedangkan menurut Jumhur ulama ushul fiqh, mujmal adalah perkataan atau perbuatan
yang tidak jelas petunjuknya. Abu Ishaq al-Syirazi (w.476 H) ahli ushul fiqh dari kalangan
Syafi’iyah, mujmal adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga memahaminya
memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan) atau bila ada penafsiran dari pembuat mujmal
(Syari’). Selain itu, al-Bazdawi dalam kitab ushul fiqhnya, mengajukan definisi mujmal yaitu
ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang dimaksud
di antara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Sementara itu, ada juga pengertian
mujmal yang dikemukakan Zakiuddin Sya’ban (guru besar dalam bidang syari’ah pada
fakultas hukum Universitas ‘Ayn Syams Mesir), yaitu lafal yang tidak bisa dipahami
maknanya kecuali dengan penafsiran dan penjelasan dari penyampai atau pembuat lafat
mujmal itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian mujmal secara istilah di atas, dapat dipahami bahwa
meskipun masing-masing ahli ushul berbeda dalam memberikan redaksinya, namun secara
substansi, semuanya saling melengkapi dan mengarah pada makna yang sama yaitu suatu
lafal atau ungkapan yang belum jelas dan tidak dapat dipahami maksudnya dan untuk
mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan inilah disebut dengan al-
bayan, baik penjelasan itu dari Allah langsung atau pun penjelasan melalui Rasulullah
Saw.Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa mujmal adalah lafal yang kandungan
maknanya masih global dan memerlukan perincian atau penjelasan dari pembuat mujmal atau
syara’ itu sendiri.
PEMBAGIAN AL-MUJMAL
26
Al-Mujmal Lafal mujmal jika dilihat dari segi penyebab kemujmalannya, terbagi menjadi
tiga macam, yaitu:
a. Lafal itu mengandung makna lebih dari satu dan tidak ada makna yang menentu untuk
diketahui atau dengan kata lain lafal itu muystarak. Sebagai contoh: seandainya ada seorang
laki-laki yang mewasiatkan sepertiga hartanya kepada para hamba atau budak-budaknya.
Sementara ia juga memiliki beberapa budak dan juga bekas tuan-tuannya yang telah
memerdekakannya, sehingga kemudian orang tersebut meninggal dan dia belum sempat
menjelaskan tentang siapa-siapa diantara dua golongan itu yang dia kehendakinya. Karena
sesungguhnya lafal al-Mawali pada wasiat itu bersifat mujmal. Hal Ini disebabkan makna
yang dikehendaki salah satu keduanya, dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali dari
orang yang bersangkutan. Dan ini adalah menurut pendapatnya ulama Hanafiyah.
Contoh lainnya adalah surat al-Baqarah ayat 228:
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'…
Lafal quru’ dalam ayat ini bersifat mujmal, karena secara etimologi mengandung dua
makna, yaitu haid dan suci. Apabila dipilih salah satu makna, maka harus didukung oleh dalil
lain, baik dari al-Qur’an, sunnah, maupun melalui ijtihad.
b. Lafal-lafal yang dinukilkan oleh Syari’ dari arti kata secara bahasa yang sudah dikenal
dan dialihkan menjadi istilah khusus (teknis dalam hukum) yang dikehendaki Syari’, seperti
kata-kata sholat, zakat dan haji. Padahal di kalangan orang Arab, kata-kata ini sudah umum
dan digunakan oleh mereka. Namun kemudian, Syari’at datang dan menghendaki makna
khusus yakni yang terkait dengan hukum. Sehingga (makna-makna) dari lafal-lafal itu tidak
bias diketahui kecuali melalui penjelasan dari Syari’. Oleh karena itu, bila ada kata-kata
tersebut dalam teks hukum Islam (nash Syar’i) maka ia disebut lafal mujmal, hingga ada
(datang) penjelasan Syari’ dan jika tidak ada penjelasannya, maka tidak ada cara (jalan) untuk
mengetahuinya. Karenanya, sunnah Nabi saw, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan
berfungsi untuk menafsirkan (menjelaskan) arti kata sholat termasuk juga rukun, syarat dan
tata caranya. Demikian juga sama dengan penjelasan as-Sunnah terkait zakat dan haji dalam
nash.
c. Lafal yang maknanya asing ketika digunakan. Seperti kata “ ”الھلوعdalam firman Allah
SWT, yakni Surat al-Ma’arij ayat 19:
Artinya:” Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”.
Pada ayat tersebut, kata “ ”الھلوعmemiliki arti sangat keluh kesah dan sedikit sabar. Kata
ini disebut mujmal karena penggunan artinya yang asing ini tidak dapat diketahui kecuali
27
oleh Syari’ sendiri, mengingat Syari’lah yang menyifati manusia dengan kata “وعll”الھل
tersebut.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam beberapa kasus dibidang ilmu-ilmu alquran dan hadist Artinya metode bayani
adalah sebentuk epistemology yang menjadikan teks tertulis seperti alquran, hadist, pendapat
atau fatwa ulama, sebagai bentuk basis utama untuk membentuk pengetahuan.Secara
langsung dalam arti menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung
yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks.Untuk itu perlu adanya terobosan
pendekatan pemikiran yang konstruktif agar teks yang ada dapat dipahami secara tepat dan
komperehensif sehingga sesuai dengan konteks ujian permasalahan yang ada.
Kalam ( )الكَاَل ُمdalam istilah ilmu nahwu adalah sesuatu yang di dalamnya berkumpul
empat perkara. Yakni lafadz (ucapan), murokkab (tersusun), mufid (memberi faidah) dan bil
wadl'i (dengan bahasa arab).
Kalam atau kalimat terbagi menjadi 3, yaitu kalimat isim, kalimat fi'il dan kalimat huruf.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ajurumiyah;
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah tentang “DISIPLIN KEILMUAN RUMPUN BAYANI
DALAM ISLAM” ini saya menyadari masih banyak kekurangan. Maka dari itu, saya tidak
menutup saran dan kritik dari pembaca untuk saya agar dapat meningkatkan kualitas
penyusunan makalah dimasa yang akan datang.
28
DAFTAR PUSTAKA
https://bengkelarab.wordpress.com/category/nahwu/
https://bengkelarab.wordpress.com/category/shorof/
https://bengkelarab.wordpress.com/category/balaghah/
https://www.santripedia.com/2020/06/pengertian-kalam-dalam-ilmu-nahwu.html
https://www.santripedia.com/2020/07/pembagian-kalam-isim-fiil-dan-huruf.html
http://jakhinjj.blogspot.com/2016/04/makalah-tauhid-rububiyah-uluhiyah-asma.html
https://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-ahkam/article/download/1069/429
5_6273747072449512269.pdf
29