Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

STUDI KEISLAMAN: DISIPLIN KEILMUAN RUMPUN BAYANI DALAM ISLAM

Mata Kuliah: Studi Keislaman

Disusun oleh
Muhammad Iqbal (2120901043)

Dosen Pengampu: Drs. Abu Mansur, M.Pd. I

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Disiplin Keilmuan
Rumpun Bayani Dalam Islam” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada mata kuliah Studi Keislaman. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Obyek Kajian dan Sistematika Ajaran Islam bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. Abu Mansur, M.Pd. I, selaku
dosen mata kuliah studi keislaman yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Palembang, 13 Oktober 2021

Muhammad Iqbal

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................5
BAB 2 PEMBAHASAN...........................................................................................................6
2.1 Pengertian Bayani........................................................................................................6
2.2 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa..................................7
2.3 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Kalam.................................11
2.4 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Tauhid.................................16
2.5 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ushul Fiqh...................................21
2.6 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Fiqih....................................26
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................................28
3.1 Kesimpulan................................................................................................................28
3.2 Saran..........................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................29

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradaban Islam pada saat ini sangat lah menarik untuk dikaji dariberbagai segi. Salah
satu hal yang menarik untuk dikaji adalah segala bentuk pemikiran yang berkembang dalam
khazanah perkembangan keilmuan Islam. Bentuk pemikiran yang ada di dunia ini sangat lah
banyak dan perkembangan pemikiran ini terjadi pertama kali di dunia barat, seiring
perkembangan keilmuan barat, perkembangan keilmuan Islam juga mengalami
perkembangan. Pemikiran Islam, walaupun dalam perkembangan pertamanya bersentuhan
dengan keilmuan barat, tetapi bentuk pemikiran Islam tidak lah sama dengan barat. Bahkan
perkembangan keilmuannya bisa dikatakan melebihi pemikiran barat.

Salah satu bagian dari pemikiran Islam adalah filsafat, dalam perkembangannya filsafat
Islam membahas segala macam aspek sejak dahulu, sebenarnya manusia telah mengenal
bentuk filsafat pemikiran, salah satu nya adalah pembahasan tentang epistemologi.
epistemologi bisa dikatakan sebagai cara manusia untuk memperoleh pengetahuan. Islam
mempunyai bentuk epistemologi yang sangat menarik untuk dikaji dan dipelajari yang
tentunya berbeda dengan bentuk epistemologi dalam dunia barat.

1.2 Rumusan Masalah


2. Apa yang dimaksud dengan ilmu bayani?
3. Bagaimana kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu bahasa dalam
tradisi akademik dalam Islam?
4. Bagaimana kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu kalam dalam
tradisi akademik dalam Islam?
5. Bagaimana kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu tauhid dalam
tradisi akademik dalam Islam?
6. Bagaimana kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ushul fiqh dalam
tradisi akademik dalam Islam?
7. Bagaimana kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu fiqh dalam tradisi
akademik dalam Islam?
1.3 Tujuan Penulisan
2. Untuk mengetahui pengertian ilmu bayani
3. Untuk mengetahui kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu bahasa
dalam tradisi akademik dalam Islam
4. Untuk mengetahui kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu kalam
dalam tradisi akademik dalam Islam
5. Untuk mengetahui kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu tauhid
dalam tradisi akademik dalam Islam

4
6. Untuk mengetahui kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ushul fiqh
dalam tradisi akademik dalam Islam
7. Untuk mengetahui kontribusi ilmu bayani dalam mengembangkan ilmu fiqh
dalam tradisi akademik dalam Islam

5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bayani
Bayani secara etimologis mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan dan ketetapan.
Sedangkan secara terminology bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’, dan
ijtihad. Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganilisis teks. Maka sumber
epitimologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi islam dapat di kelompokkan
menjadi 2 yakni:

1. Teks nash (alquran dan sunnah nabi SAW)


2. Teks non nash berupa karya para ulama Objek kajian yang umum dengan pendekatan
bayani adalah:
1. Gramatika dan sastra (nahwu dan balaghah)
2. Hukum
3. Filologi
4. Teologi
5. Dalam beberapa kasus dibidang ilmu-ilmu alquran dan hadist

Artinya metode bayani adalah sebentuk epistemology yang menjadikan teks tertulis seperti
alquran, hadist, pendapat atau fatwa ulama, sebagai bentuk basis utama untuk membentuk
pengetahuan. Pola bayani (kajian semantik), pola ini lebih menitik beratkan pada kajian
bahasa dalam bentuk penafsiran gramatikal, seperti kapan suatu kata itu berarti hakiki atau
majazi. Bagaimana cara memilih salah satu arti kata musytarak, mana yang qath’I serta mana
ayat yang zanni dan sebagainya. Kemudian secara garis besar epistemologi bayani
merupakan suatu cara mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti menganggap teks sebagai
pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak
pada teks. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks atau
penalaran yang berpijak pada teks. Bagi al-jabiri, istilah nalar bayani dimaksudkan sebagai
sistem berpikir atau episteme yang menjadikan bahasa arab sebagai basis bagi sistem
penalarannya, serta menjadikan qiyas (analogi) sebagai metode berpikirnya. Untuk itu perlu
adanya terobosan pendekatan pemikiran yang konstruktif agar teks yang ada dapat dipahami
secara tepat dan komperehensif sehingga sesuai dengan konteks ujian permasalahan yang
ada.

6
Istilah bayan terbagi menjadi dua pegertian: Pertama; kaidah penafsiran wacana (tafsir
al-khitab) dan produksi wacana (intaj al-khitab). Pengertian tafsir di sini merujuk kepada
zaman nabi dimana para sahabat menafsirkan kalimat dan susunan kalimat yang ada di al-
qur’an atau paling tidak merujuk pada masa Khalifah ar-Rasyidin dimana masyarakat
bertanya kepada sahabat tentang makna yang “tersembunyi’ dalam al-qur’an. Sedangkan
produksi wacana dengan munculnya friksi politik, kelompok aliran teologis setelah peristiwa
‘tahkim’ dalam dunia Islam.Contohnya di kalangan sahabat, Ibn Abbas (68 H) dikenal dan
menjadi rujukan tafsir al-Qur’an, sehingga para ulama terdahulu menjulukinya dengan
tarjumanul al-qur’an (terjemahan al-Qur’an).  Dia menjadi ikon rujukan riwayat yang kuat
pada bidang tafsir.

2.2 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa


A. Ilmu Nahwu
Ilmu nahwu secara bahasa merupakan ilmu yang memahami tentang aturan atau
harakat akhir dalam sebuah kalimat (Rofa’, Nashab, khofad, dan Jazm). Sedangkan menurut
istilah, ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari fungsi-fungsi kaidah pada suatu kalimat,
mengetahui

Jika salah dalam memberi harakat diakhir atau ditengah kalimat maka akan
berdampak pada makna kaliamt atau kata tersebut.

Pada ilmu Nahwu juga membahas tentang struktur atau kedudukan sebuah kalimat.
Misalnya apakah kalimat tersebut termasuk dalam susunan jumlah FI’IL fail atau mubtada
Khabar dan lain sebagainya.

Adapun untuk mempelajari Ilmu tersebut kita harus bersungguh-sunngguh agar benar
benar dapat memahami teks berbahasa Arab khususnya teks yang tidak ada harakat nya atau
biasa disebut Arab gundul. Kita dapat mempelajari nya dengan merujuk kepada kitab kitab
nahwu seperti jurumiyyah, imrithy, Alfiyah. Dan berbagai buku tentang ilmu Nahwu lainnya.

Tujuan Mempelajarari Ilmu Nahwu

Tujuan mempelajari atau memahami ilmu nahwu adalah untuk membiasakan


seseorang untuk menggunakan bahasa arab lisan maupun tulisan secara baik dan benar sesuai
dengan kaidah-kaidah sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan. pada intinya

7
adanyakaidah nahwu ini dibuat supaya tidak terjadinya lahn, yaitu tidak terjadinya kesalahan-
kesalahan, tidak terjadinya penambahan dari para pendengar maupun pembaca di dalam
tujuan dan maksud sebuah kalimat bahasa arab.

Manfaat Memahami Ilmu Nahwu

Manfaat memahami ilmu nahwu yaitu

1. Memudahkan kita untuk menentukan harokat bahasa arab, apalagi ketika mempelajari
kitab kuning yang gundul.
2. Memudahkan kita dalam memahami kalimat bahasa arab.
3. Memberi peluang untuk mempunyai keahlian dalam bahasa arab.
4. Memudahkan kita mengambil referensi dari kitab kuning ataupun kalimat bahasa arab
lainnya.

Peran Penting Memahami Ilmu Nahwu

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, bahwasannya pedoman agama islam yaitu salah
satunya kitab al-qur’an, yang dimana al-qur’an ini isinya menggunakan bahasa arab. Banyak
orang berpendapat bahwa bahasa arab itu sulit untuk dipahami. Salah satu ilmu untuk
memudahkan mempelajari bahasa arab itu terlebih dahulu dengan memahami ilmu nahwu.

Ilmu nahwu ini mempunyai peran penting dalam memahami teks-teks bahasa arab,
menjaga lisan dari kesalahan dalam berbicara dan khususnya untuk memahami makna
alqur’an dan hadits.

B. Ilmu Sharaf

Ilmu sharaf yakni ilmu yang mengetahui perubahan kata, asalnya kata tersebut dari
awal, tengah dan di akhir huruf. Ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kata dalam
bahasa arab dan mengetahui bentuk kata, perubahan bentuk kata ini bisa disebut dengan
Tashrif. Karena itu dinamakan dengan Ilmu Sharaf (perubahan). Di dalam ilmu sharaf ini kita
akan membahas tentang asal muasal kata dan perubahan kata serta pembentukan kata.
misalnya saja kata istighfar di ambil daru bahasa arab yaitu ‫ استغفر‬berasal dari kata ‫ غفر‬dan
masih banyak contoh-contoh lain yang dibahas dalam ilmu sharaf.

8
Macam-macam tashrif

Tashrif dalam ilmu sharaf terbagi menjadi dua macam :


1.Tashrif ishtilahi
Tashrif istilahi adalah perubahan kata dari satu bentuk ke bentuk lain dengan makna yang
berbeda-beda. Dan perubahan pada kata yang didasarkan atas perbedaan bentuk katanya
seperti merubah suatu kata kerja lampau menjadi kata kerja bentuk sedang, kata kerja
berbentuk perintah dan lainnya.
2. Tashrif lughawi
Tashrif lugowi adalah perubahan bentuk kata pada satu shighat dari ghaib ke mukhathab ke
mutakallim, dari mufrad ke mutsana ke jama’, dan dari mudzakkar ke muanats. … Mufrad
artinya satu, mutsana artinya dua, dan jama’ artinya banyak (lebih dari dua).

Manfaat memahami ilmu sharaf

1.memudahkan dalam pencarian arti kata bahasa Arab dalam kamus Arab-
Indonesia
2.bisa menentukam arti kaya yang tidak terdapat di dalam kamus sehingga tidak
bergantung pada kamus terus menerus
3.mampu meberikan harakat dengan baik dan benar dalam tulisan arab gundul
ataupun dalam kitab kuning serta mampu menerjemahkan secara baik.
4. menentukan asal kata dan memudahkan dalam pencarian arti di dalam kamus.

C. Ilmu Balaghah

Menurut Ahmad al-Hasyimiy dalam Maman Dzul Iman, secara etimologis “Balagah”
berarti sampai dan mencapai titik seperti ungkapan

” ‫“ – بلغ فالن مراده – إذا وصل إليه – وبلغ الركب المدينة – إذا انتهى إليها‬
“ Si Fulan telah mencapai tujuannya dan kendaraan telah sampai di kota”.
Kata balagah itu sendiri diambil dari perkataan orang Arab:

9
” ‫“ بلغت الغاية إذ انتهيت‬
“ Saya telah mencapai tujuan”.
Secara terminologis, menurut Ali al-Jarimi dan Mustafa Amin Balagah adalah

‫ه‬ll‫ال في‬ll‫ذى يق‬ll‫وطن ال‬ll‫تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة فصحيحة لها في النفس أثرخالب مع مالءمة كل كالم للم‬
‫واألشخاص الذين يخاطبون‬.

“Menyampaikan makna luhur secara jelas dengan ungkapan yang benar dan fasih
serta memiliki pengaruh yang memikat hati disertai dengan persesuaian setiap perkataan
dengan tempat dimana perkataan tersebut diucapkan dan dengan orang yang diajak
berbicara.”
Sedangkan balagah sebagai disiplin ilmu menurut Imam Akhdari adalah ilmu untuk
mempelajari kefasihan bicara. Dengan demikian maka dalam ilmu ini dibahas juga tentang
‫( فصاحة الكلمات‬Kefasihan Kata / kata -kata yang fasih atau jelas) dan ‫( فصاحة الكالم‬Kefasihan
kalimat) kata fasih dalam bahasa Arab terambil dari kata ‫ الفصا حة‬kata tersebut memiliki arti
terang atau jelas. Suatu kalimat dinamakan fasih apabila kalimat itu terang pengucapannya,
jelas artinya dan bagus susunannya.

Kalimat yang fasih adalah kalimat yang jelas maknanya, mudah bahasanya, dan baik
susunannya. Oleh karena itu, setiap kata dalam kalimat yang fasih itu harus sesuai dengan
pedoman sharaf, jelas maknanya, komunikatif, mudah lagi enak.
Menurut Ahmad al-Hasyimiy kata yang fasih adalah kata yang terhindar dari empat hal yaitu
sebagai berikut :
‫ ( تنا فر الحروف‬kata-kata yang sukar diucapkan )
‫ ( غرابة االستعمال‬ungkapan yang terdiri atas kata-kata yang asing, jarang dipakai )
‫ ( مخا لفة القياس‬kata-kata yang menyalahi atau tidak sesuai dengan kaidah umum ilmu sarf )
‫ ( الكراهة في السمع‬kata yang tidak enak didengar )

2.3 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Kalam


A. Pengertian
Kalam (‫ )الكَاَل ُم‬dalam istilah ilmu nahwu adalah sesuatu yang di dalamnya berkumpul
empat perkara. Yakni lafadz (ucapan), murokkab (tersusun), mufid (memberi faidah) dan bil
wadl'i (dengan bahasa arab).

10
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Jurumiyah:

‫الكالم هو اللفظ المركب المفيد بالوضع‬


Artinya:
"Kalam adalah lafadz yang tersusun yang memberi faidah dengan menggunakan
bahasa arab."

Untuk memahami pengertian ini, kita perlu mempelajari lebih dalam apa yang
dimaksud dengan lafadz, murakkab, mufid dan bil wadl'i. Sehingga kita bisa
mengetahui secara utuh apa itu kalam.

1. Lafadz
Yang dimaksud dengan lafadz adalah suara/ucapan lisan yang mengandung huruf
hijaiyah. Misalnya lafadz "kitaabun" (‫)كتاب‬, "masjidun" (‫ )مسجد‬dan "Zaidun" (‫)زيد‬.

Lafadz-lafadz tersebut merupakan ucapan lisan yang mengandung huruf hijaiyah.


Lafadz terbagi dua. Ada lafadz muhmal dan ada lafadz musta'mal.
Lafadz muhmal, adalah lafadz yang tidak berguna, yakni ucapan lisan yang mengandung
huruf hijaiyah tapi tidak terpakai. Contoh kita secara ngasal berucap "Jajaban juba" (‫ججبن‬
‫ )جوبا‬atau "daizun" (‫ )ديز‬yang entah apa artinya.
Ucapan tersebut termasuk lafadz karena merupakan suara lisan yang mengandung huruf
hijaiyah. Hanya saja, lafadz tersebut tergolong lafadz muhmal, karena tidak dipakai dan tidak
pula memiliki arti.
Lafadz musta'mal, adalah lafadz yang berguna, yakni ucapan lisan yang mengandung
huruf hijaiyah dan digunakan. Contohnya lafadz "kitaabun" (‫)كتاب‬, "masjidun" (‫ )مسجد‬dan
"Zaidun" (‫)زيد‬.
Lafadz-lafadz tersebut biasa digunakan dalam percakapan. Kitaabun diucapakan merujuk
pada buku, masjid merujuk tempat ibadah dan Zaid adalah nama orang.

2. Murakkab (Tersusun)
Murakkab adalah sesuatu yang tersusun dari dua susunan kata atau lebih. Sehingga bila
suatu lafadz hanya terdiri dari satu kata, maka lafadz tersebut bukan murakkab.

11
Contoh murakkab:
‫زَ ْي ٌد قَائِ ٌم‬
Artinya: "Zaid adalah yang berdiri"

Kalimat "zaidun qoimun" (‫ ) َز ْي ٌد قَائِ ٌم‬merupakan murakkab karena tersusun dari dua kata,
yakni kata ‫ زيد‬dan kata ‫قائم‬.

Apabila hanya ‫ زيد‬saja atau ‫ قائم‬saja, maka itu bukan murakkab karena tidak tersusun. Dan
jika bukan murakkab, maka tidak bisa disebut kalam.

Adapun murakkab yang menjadi syarat kalam adalah murakkab isnadiy, bukan murakkab
tarkib majzi dan murakkab idlofiy. (Pembahasan tentang murokkab insyallah akan dibahas di
postingan khusus).

3. Mufid (Memberi Faidah)


Mufid artinya ucapan yang memberi faidah/ makna. Sehingga seseorang yang mendengar
ucapan tersebut tidak mempertanyakan dan tidak penasaran lagi mendengarnya. Dan bisa
diam dengan nyaman.

Contoh mufid,

‫زَ ْي ٌد قَائِ ٌم‬


Artinya: "Zaid adalah yang berdiri"

Ucapan di atas mufid. Karena sudah memberikan makna dengan susunan sempurna.

Contoh ucapan yang tidak mufid:


‫اِ ْن قَا َم زَ ْي ٌد‬
Artinya: "Jika zaid berdiri,"

Ucapan di atas tidak mufid karena tidak memberikan makna sempurna. Sebab dalam
ucapan tersebut terkandung kata "in" (ْ‫ )اِن‬yang artinya "jika". Dimana "in" termasuk huruf
syarat yang membutuhkan jawab. Biasanya jawabnya memiliki arti "maka".

12
Sedangkan di sini jawabnya tidak ada. Sehingga maknanya menjadi nanggung. Orang
yang mendengar ucapan tersebut akan penasaran dan tidak nyaman.

Oleh karena itu lafadz ‫ اِ ْن قَا َم َز ْي ٌد‬tidak mufid, sehingga tidak bisa disebut kalam.

4. Bil Wadl'i
Adapun bil wadh’i (‫ )بالوضع‬sebagian ulama menafsirkannya dengan maksud (‫)بالقصد‬.
Maka perkataan orang yang tidur dan lengah/lalai tidak dinamakan kalam menurut ulama
nahwu. Sebagian lain menafsirkan dengan bahasa Arab (‫ )العربي‬maka perkataan orang
‘ajam/non-Arab seperti Turki, Barbar tidak dinamakan kalam menurut ulama nahwu.

Berikut ini contoh kalam yang sudah memenuhi empat syarat (Berupa lafadz, murakkab,
mufid dan bil wadl'i) adalah sebagai berikut:

‫َم ْن َج َّد َو َج َد‬


Artinya, "Barang siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil."

Ucapan di atas merupakan kalam karena sudah memenuhi 4 syarat, yakni (1) lafadz,
berupa ucapan yang mengandung huruf hijaiyyah, (2) murakkab, karena tersusun dari
beberapa kata, (3) mufid, karena memberi faidah berupa makna sempurna, dan (4) bil wadl'i,
berupa bahasa arab.
B. Pembagian Kalam
Kalam atau kalimat terbagi menjadi 3, yaitu kalimat isim, kalimat fi'il dan kalimat huruf. Hal
ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ajurumiyah;

ٌ ْ‫ َو َحر‬،ٌ‫ َوفِ ْعل‬،‫ اِ ْس ٌم‬: ٌ‫َوأَ ْق َسا ُمهُ ثَاَل ثَة‬


‫ف‬

Artinya, "Pembagian kalam ada tiga: Isim, Fi'il, dan Huruf".


1. Isim
Pengertian isim adalah sebagai berikut:

‫ َولَ ْم تُ ْقتَ َر ْن بِ َز َم ٍن َوضْ عًا‬،‫ َوه َُو َكلِ َمةٌ َدلَّت َعلَى َم ْعنًى فِي نَ ْف ِسهَا‬،‫اال ْس ُم‬
ِ

13
Artinya, "isim adalah kata yang menunjukkan terhadap makna yang ada pada dirinya
tanpa dibarengi dengan penempatan waktu."

Jadi isim itu selalu memiliki makna tersendiri. Hal ini berbeda dengan huruf yang
tidak memiliki makna kecuali sudah bersanding dengan kalimat lain. 

Isim pun tidak bisa dibarengi dengan penempatan waktu yang jumlahnya ada 3. Yaitu
waktu yang sudah berlalu (zaman madli), waktu yang sedang berlangsung (zaman hal), dan
waktu yang akan datang (zaman mustaqbal). Beda dengan fi'il yang selalu dibarengi dengan
penempatan waktu tersebut.

Contoh kalimat isim:


-  ٌ‫ ِكتَاب‬ / Kitaabun / Buku
- ‫زَ ْي ٌد‬ / Zaidun / Zaid (Nama orang)
ٌ ‫بَي‬ / Baytun / Rumah
- ‫ْت‬
- ‫أَنَا‬ / Ana / Saya
- ‫هَ َذا‬ / Hadza / Ini

Dalam contoh di atas lafadz memiliki makna tersendiri, yaitu artinya sebuah buku.
Dan lafadz kitaabun tidak bisa dibarengi penempatan zaman yang tiga, tidak bisa dikatakan
misalnya, "telah buku", "sedang buku" dan "akan buku".

Begitu pun dengan contoh-contoh isim yang lainnya, seluruhnya memiliki makna sendiri,
tanpa pernah bisa dibarengi dengan penempatan waktu.
2. Fi’il
Pengertian fi'il adalah sebagai berikut:

ْ ‫ َوا ْقتُ ِرن‬،‫ َوه َُو َكلِ َمةٌ َدلَّت َعلَى َم ْعنًى فِي نَ ْف ِسهَا‬،ُ‫الفِ ْعل‬
‫َت بِ َز َم ٍن َوضْ عًا‬

Artinya, "Fi'il adalah kalimat yang menunjukkan terhadap makna yang ada pada
dirinya dan dibarengi dengan penempatan waktu."

14
Sebagaimana isim, fi'il pun selalu memiliki makna sendiri. Hal ini berbeda dengan
huruf yang tidak memiliki makna kecuali sudah bersanding dengan kalimat lain. 

Namun fi'il dibarengi dengan penempatan waktu yang jumlahnya ada 3, yaitu waktu
yang sudah berlalu (zaman madli), waktu yang sedang berlangsung (zaman hal), dan waktu
yang akan datang (zaman mustaqbal).

Jika fi'il menunjukan makna yang sudah berlalu, maka fi'il tersebut dinamakan fi'il
madhi. Contohnya:
- ‫قَا َم‬ / Qooma / Telah berdiri

Jika fi'il menunjukan makna yang sedang berlangsung atau akan berlangsung, maka
fi'il tersebut dinamakan fi'il mudhori. Contohnya:
- ‫يَقُوْ ُم‬ /  Yaquumu / Sedang berdiri / Akan berdiri

Dan jika fi'il yang mutlak menunjukan makna yang belum terjadi dan baru akan
dilaksanakan serta berupa perintah, maka fi'il tersebut dinamakan fi'il amar. Contohnya:
- ‫قُ ْم‬ / Qum! / Berdirilah!
3. Huruf
Pengertian huruf adalah sebagai berikut:
‫ َوهُ َو َكلِ َمةٌ دَلَّت َعلَى َم ْعنًى فِي َغي ِْرهَا‬، ُ‫ال َحرْ ف‬

Artinya, "Huruf adalah kalimat yang menunjukkan terhadap makna di selainnya".


Maksud dari pengertian ini kurang lebih menunjukkan bahwa huruf itu tidak memiliki
makna. Adapun huruf dapat menunjukkan makna bila sudah bersanding dengan kalimat
lainnya, yakni kalimat isim maupun fi'il.
Contoh kalimat huruf:
‫ ك‬،‫ ب‬،‫ في‬،‫ هل‬،‫ و‬، ‫ل‬

Huruf-huruf tersebut belum bisa menunjukan makna selagi belum disandingkan


dengan kalimat lain, yakni isim dan fi'il.
Misal jika kita menemukan huruf ‫ ل‬saja sendirian, kita akan kebingungan untuk tahu
maknanya. Namun jika ‫ ل‬sudah disandingkan dengan kalimat lain, maka maknanya akan
ketahuan. Sebagai contoh:

‫ال ِكتَابُ لِزَ ْي ٍد‬

Artinya, "Buku itu milik Zaid"

15
Makna ‫ ل‬dalam lafadz ‫ لِزَ ْي ٍد‬mengandung arti "milik".

َ‫َكتَ ْبنَا لِنَحْ فَظ‬

Artinya, "Kami menulis agar kami hafal".

Makna ‫ ل‬dalam lafadz َ‫ لِنَحْ فَظ‬mengandung arti "agar".


2.4 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Tauhid
A. Ilmu Tauhid Uluhiyah
Kata Uluhiyah berasal dari kata alaha – ya’lahu – ilahan – uluhah yang bermakna
menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan. Sehingga ta’alluh diartikan sebagai
penyembahan yang disertai rasa kecintaan dan pengagungan. Tauhid uluhiyah adalah
keyakinan yang teguh bahwa hanya Allah yang berhak disembah disertai dengan pelaksanaan
pengabdian atau penyembahan kepadanya saja dan tidak mengalihkannya kepada yang
selainnya. Ungkapan yang paling detail tentang makna ini adalah ucapan syahadat yaitu Laa
Ilaaha Illallaah yang maknanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.
Dengan kata lain tauhid uluhiyah adalah mengiktikadkan bahwa Allah sendirilah yang
berhak disembah dan berhak dituju oleh semua hamba-Nya, atau dengan kata lain
tauhid uluhiyah adalah percaya sepenuhnya bahwa Allah berhak menerima semua
peribadatan mahluk, dan hanya Allah sajalah yang sebenarnya yang harus disembah.

Manusia bersujud kepada Allah. Allah tempat meminta, Allah tempat mengadu nasibnya,
manusia wajib mentaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. Semua yang bersifat kebaktian
kepada Allah tanpa perantara (wasilah). Allah melarang kita menyembah selainnya, seperti
menyembah batu, menyembah matahari dan lain sebagainya. Dan itu semua adalah
perbuatan syirik yang sangat besar dosanya dan sangat dibenci Allah, bahkan Allah tidak
akan mengampuni dosa musyrik itu.

Dengan kata lain yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah meyakini bahwa tidak ada tuhan
selain Allah SWT. firman Allah SWT:

‫وا لهكم ا له واحد الا له االهوا لرحمن ا لرحيم‬

“Dan tuhanmu adalah tuhan yang maha esa, tidak ada tuhan selain dia, yang maha pemurah
lagi maha penyayang”. (QS. Al-Baqoroh: 163).

16
Singkatnya, keyakinan tentang Allah. Allah sebagai tuhan satu-satunya,
baik dzat maupun sifatnya, dan perbuatan itulah yang disebut tauhid uluhiyah. Uluhiyah kata
nisbatnya dari kata Al-Illah yang berarti tuhan yang wajib ada, yaitu Allah,
sedangkan uluhiyah berarti Allah sebagai satu-satunya tuhan.

Satu adalah Esa pada Dzat-Nya, berarti bahwa dzat Allah SWT tidak tersusun dari


bagian-bagian, hal itu disebabkan karena dzat Allah SWT itu bukan benda fasik. Tidak
seperti benda-benda fisik dan benda-benda lainnya.

Kemudian dengan keyakinannya dia bermuamalah kepada Allah dengan ihlas,


beribadah dan menghambakan diri hanya kepadanya, serta berdo’a dan berseru hanya
kepadanya, ia juga mengimani bahwa Allah pengatur segala urusan, pencipta segala mahluk,
pemilik asmaul husna dan sifat-sifat sempurna.

Jadi tauhid Uluhiyah ialah kita percaya bahwa Allah lah satu-satunya tuhan yang
wajib disembah dan tiada sekutu baginya. Untuk membedakan antara
tauhid Rububiyah dan Uluhiah secara singkatnya adalah tauhid uluhiyah hanya dimiliki oleh
orang-orang mu’min saja, sedangkan tauhid rububiyah semua orang mempercayainya,
sekalipun dia adalah orang kafir.

Tauhid uluhiyah merupakan konsekuensi tauhid rububiyah. Syaikh Abdurrazzaq bin


Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah menjelaskan, “Kemudian, sesungguhnya keimanan
seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah
kepada-Nya serta kesempurnaan perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiya’: 92).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian.”
(QS. Al-Baqarah: 21)”.

B. Ilmu Tauhid Rububiyah

Kata at-tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan. Kata wahhada meliputi


makna kesendirian sesuatu dengan dzat, sifat atau af’alnya (perbuatannya), dan tidak adanya
sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal kesendiriannya.

Secara bahasa rububiyah berasal dari kata Rabb. Kata Rabb digunakan dengan


penggunaan yang haqiqi dan juga digunakan untuk yang lain secara majazi atau idhafi, dan
tidak untuk yang lain. Rububiyah adalah kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama Allah

17
SWT, yaitu “Rabb”. Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain: al-Murabbi
(pemelihara), al-Nashir (penolong), al-Malik (pemilik), al-Muslih (yang memperbaiki), al-
Sayyid (tuan), dan al-Wali (wali). Sedangkan menurut istilah tauhid rububiyah berarti
“percaya bahwa hanya Allah-lah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang
dengan takdirnya Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan
sunnah-sunnah-Nya. Dan karena Allah adalah Rabb yang hak bagi semesta alam, maka Dia
sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain, wajib mengesakan-Nya dalam
ketuhanan, dan tidak menerima adanya sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat
ketuhanan tidak mungkin ada pada yang lain dari makhluk-Nya.

Tauhid rububiyah adalah suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam dunia beserta


isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada yang menjadikan
yaitu Allah SWT. Allah maha kuat tiada kekuatan yang menyamai af’al Allah. Maka
timbullah kesadararan bagi mahluk untuk mengagungkan Allah. Mahluk harus bertuhan
hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut dengan
tauhid rububiyah. Jadi tauhid rububiyah adalah tauhid yang berhubungan dengan ketuhanan.

Sebagaimana telah dikatahui bahwa iman kepada wujud Allah, ke-Esaan,


serta rububiyyah-Nya atas seluruh mahluknya merupakan perkara yang memang hati telah
tercipta dan jiwa telah terbentuk untuknya, juga telah sepakat atasnya seluruh umat, sebab
Allah sangat jelas dan sangat nyata sehingga tidak memerlukan dalil untuk membuktikan
wujudnya. Firman Allah SWT:

‫قا لت رسلهم افى ا هلل شك فا طر ا لسموات وا الرض‬

“Berkata para rasul mereka: ‘Apakah ada keraguan-keraguan terhadap Allah, pencipta langit
dan bumi…?”. (QS. Ibrahim: 10).

Allah pencipta alam beserta isinya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an:

‫ذا لكم ا هلل ربكم ال ا له اال هو خا لق كل شيء فعبدوه وهو على كل شيء وكيل‬

“Yang memiliki sifat-sifat demikian itu ialah Allah tuhan kamu, tidak ada tuhan selain dia,
pencipta segala sesuatu maka sembahlah dia, dialah pemelihara segala sesuatu”. (QS. Al-
An’am: 102).

18
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya kata rububiyah meyakini bahwa Allah SWT sebagai
tuhan satu-satunya yang menguasai dan mengurus serta mengatur alam semesta.
Tauhid rububiyah akan rusak apabila kita mengakui bahwa yang mengurus alam ini ada dua
tuhan ataupun lebih. Seperti dipercayai oleh bangsa persi pada zaman dahulu. Adapun Al-
Qur’an menetapkan ke-Esaan Allah dalam menjadikan alam (tauhid rububiyah) dengan
berbagai dalil dan akal yang logis. Memang Al-Qur’an mengokohkan ke-Esaan Allah
sebagaimana Al-Qur’an mengokohkan adanya Allah.

C. Ilmu Tauhid Al Asma Washshifat


Iman kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah yang telah disebutkan dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma dan sifat-sifat Allah secara utuh
tanpa menyamakannya dengan sifat dan nama manusia. Allah berfirman:

‫يعلم ما بين ايد يهم وما خلفهم واليحيطون به علما‬

“Dia mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka
sedang ilmu-ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya”. (QS. Thaha: 110).

Manhaj Ahlussunah Waljamaah dalam bab asma dan sifat-sifat Allah adalah


mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang telah ditetapkannya untuk dirinya atau yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan
Sifat, atau merubah maknanya. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah.
Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat. Tamtsil sama dengan Tasybih,
yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya.
Hal itu sejalan dengan apa yang telah digariskan Allah melalui firmannya:

‫ليس كمثله شيء وهوا لسميع ا لبصير‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengannya dan dia maha pendengar lagi maha
penyayang. (QS. Asy-Syura: 11)

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata:
Rasulullah SAW bersabda:

19
“Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya
(membacanya) maka ia akan masuk surga.

Terdapat kesepakatan diantara para ulama salaf bahwa wajib mengimani semua nama-


nama Allah. Misalnya Al-Qadir (yang maha kuasa) mengandung makna bahwa kita harus
percaya bahwa Allah maha kuasa untuk melakukan segala hal, dan bahwa kekuasaan-Nya
adalah sempurna dan segala hal yang ada di alam berasal dari kekuasaan-Nya.

Dalam teologi islam terdapat pertentangan mengenai masalah apakah tuhan


mempunyai sifat atau tidak. Sifat, dalam arti sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri.
Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian lain mengatakan tidak. Disinggung
Muhammad Abduh dalam risalah ia menyebut sifat-sifat tuhan. Mengenai masalah
apakah sifat itu termasuk esensi tuhan ataukah lain dari esensi tuhan. Ia jelaskan bahwa hal
itu terletak diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tetapi sungguhpun demikian
ia kelihatannya lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi tuhan
walaupun ia tidak tegas mengatakan demikian.

Al-Qur’an menawarkan terhadap orang-orang kafir dan penolak dalil dimana pikiran-
pikiran rasional tidak mempunyai pilihan selain untuk menegaskan dan dimana tidak ada
pikiran logis yang dapat menolaknya. Allah maha mulia berfirman:

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu (sebab)pun ataukah mereka telah menciptakan (diri
mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan seluruh langit dan bumi itu? Namun
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (QS. Ath-Thur: 35-36).

Al-Qur’an mengatakan kepada mereka, “Kamu ada dan kamu tidak dapat
mengingkari hal ini, langit dan bumi ada diluar keraguan apapun”, ini semata-mata
merupakan persoalan yang masuk akal terhadap pikiran yang rasional bahwa hal-hal yang ada
pasti memiliki sebab-sebab keberadaannya. Hukum ini menyatakan bahwa suatu hal mungkin
tidak dapat terjadi dengan sendirinya, dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya tanpa hal
lain yang menyebabkannya. Karena sesuatu itu tidak memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri

20
untuk eksis dengan sendirinya. Dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya menyebabkan
sesuatu yang lain untuk eksis. Karena sesuatu itu tidak dapat memberikan suatu lainnya apa
yang ia sendiri tidak miliki.

2.5 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ushul Fiqh


Dalam dunia pengetahuan, suatu teori yang dahulu dianggap paling “benar” bisa akan
diubah atau ditolak oleh teori baru yang muncul hari ini. Proses ini berjalan secara terbuka.
Teori yang telah didapatkan hari ini dan mungkin dianggap paling kuat, tidak mustahil akan
ditolak dan diubah hari esok, dan begitu seterusnya. Oleh sebab itu, perubahan teori dalam
ilmu-ilmu keislaman (termasuk uṣūl al fiqh), harus memperhatikan kebutuhan perkembangan
zaman.

1. Dari Ideologi Menuju Utopia

Suatu pemikiran, konsep dan teori baru dapat menjadi ideologi atau utopia bagi
pemikiran, konsep dan teori sebelumnya. Apabila pemikiran, konsep dan teori baru berpijak
pada sistem yang sekarang sedang berlangsung, maka pemikiran, konsep dan teori tersebut
disebut dengan ideologi. Akan tetapi, apabila pemikiran, konsep dan teori tidak berpijak pada
sistem, atau sistem lain, maka disebut dengan utopia. Sifat ideologis atau utopis suatu ilmu
dapat dilihat dari penerapan pemikiran, konsep dan teori dari ilmu tersebut, apakah memakai
sistem yang telah berlangsung atau memakai sistem lain. Ilmu uṣūl al fiqh yang dipahami
oleh kebanyakan ilmuwan dan diajarkan di PTAI Indonesia bersifat ideologis, karena tetap
memakai sistem yang sedang berlangsung sampai sekian lamanya hingga kini. Ilmu uṣūl al
fiqh sebenarnya adalah alat, namun yang terjadi dalam kebiasaan PTAI Indonesia, ilmu ini
menjadi doktrin, bahkan seolah menjadi dogma agama. Konsekuensinya, jangankan merubah
atau mengembangkan, melakukan kajian kritis saja pelakunya sering merasa “takut”,
sehingga tidak dilakukan.38 Karl Mannheim sebagaimana dikutip oleh Muhyar Fanani,
membagi utopia menjadi dua, yaitu; utopia absolut dan utopia relatif. Utopia absolut apabila
pemikiran, konsep dan teori baru tidak dapat direalisasikan kapanpun dan dimanapun.
Sementara utopia relatif memandang pemikiran, konsep dan teori baru dapat direalisasikan.
Apabila dicermati sejarah perkembangan uṣūl al fiqh dari masa awal pembetukannya hingga
kini, maka sebetulnya ilmu ini mengalami beberapa keadaan yang mempunyai sifat
pergeseran dari utopia, ideologi, atau kembali pada utopia lagi. Sejarah perkembangan ilmu
uṣūl al fiqh pada awalnya adalah metodologi bagi seluruh pemikiran intelektual Islam,
kemudian dalam perjalanannya dipersempit hanya pada kajian hukum saja. Pada masa awal

21
perkembangan ilmu uṣūl al fiqh, setidaknya ada dua mazhab besar, yaitu aliran mutakallimӣn
(Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah) dan aliran fukaha (H}anafiyah). Kedua
mazhab ini mempunyai pemahaman dan cara kerja tersendiri terkait dengan ilmu uṣūl al fiqh,
meski sama-sama bercorak literalistik. Teori atau konsep uṣūl al fiqh yang ditawarkan oleh
kedua mazhab merupakan teori atau konsep yang baru dari kacamata filsafat ilmu. Kuatnya
pengaruh teori dan konsep yang ditawarkan oleh kedua mazhab terhadap generasi seterusnya,
hingga lima abad (dari abad 2 H – 7 H) menjadikan konsep atau teori uṣūl al fiqh menjadi
sebuah doktrin atau dogma agama. Pada abad 8 H (- w. 790 H/1388M) muncul al Syāṭibī
yang menambahkan teori maqāṣid al syarī’ah dalam ilmu uṣūll al fiqh. Namun, teori ini juga
tidak menghapus semua teori lama yang masih bersifat literalistik. Maka meminjam istilah
Thomas Kuhn dalam perspektif filsafat ilmu, al Syāṭibī tidak melakukan paradigm shift,
karena hanya melengkapi teori lama.40 Al syāṭibī tidak melakukan perubahan revolusioner
sebagaimana dimaksud oleh Kuhn. Perkembangan selanjutnya adalah ilmu uṣūl al fiqh
direvitalisasi oleh para pembaharu modern seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan
Turabi. Karena tidak memiliki teori baru, maka oleh Hallaq mereka dimasukkan dalam
golongan religious utilitiaranism. Sedangkan pembaharu seperti Muhammad Syahrur, Fazlur
Rahman, dan Asymawi, yang menawarkan teori baru dan meninggalkan teori uṣūl al fiqh
lama, maka oleh Hallaq dimasukkan dalam golongan religious liberalism. 41 Para pembaharu
yang termasuk pada religious liberalism menawarkan sebuah utopia ilmu uṣūl al fiqh yang
tidak berangkat dari teori atau pemikiran lama.

2. Pengembangan Paradigma

Uṣūl al Fiqh Thomas Samuel Kuhn (Pakar sejarah sains Amerika) yang menulis The
Structure of Scientific Revolutions (1962) menjelaskan bahwa, perkembangan ilmu bersifat
revolusioner, bukan evolusioner (pandangan Karl Popper). Perkembangan ilmu atau sains
tidak ditentukan oleh falsifikasi empiris-logis, tetapi ditentukan oleh kesepakatan-
kesepakatan sosial masyarakat ilmuwan. Dalam perkembangannya, kesepakatan lama
digantikan dengan kesepakatan baru dan berlangsung secara revolusioner. Pergantian ini
benar-benar baru, dan kesepakatan ini dinamakan Paradigma.42 Paradigma menurut Kuhn
dapat membantu komunitas ilmiah untuk membatasi disiplinnya dan menciptakan penemuan-
penemuan, merumuskan persoalan, memilih metode yang tepat dalam menjawab persoalan,
dan lain-lainnya, paradigma adalah sesuatu yang esensial bagi penyelidikan ilmiah (scientific
inquiry). Proses munculnya suatu paradigma adalah melalui proses kompetisi antara berbagai
macam teori. Teori yang terbaik dan disepakati komunitas ilmiah, karena keunggulannya

22
dalam menyelesaikan problem ilmiah akan menjadi pondasi bagi munculnya normal science.
Normal science terdiri dari satu paradigma saja, karena apabila terdapat banyak paradigma,
maka akan tumpang tindih dan tidak menjadi normal science lagi. Paradigma tidak ada yang
sempurna yang dapat menjawab semua problem ilmiah.

3. Pengembangan Metode Uṣūl al Fiqh

Dalam perspektif filsafat ilmu, peninjauan ulang atau pengembangan suatu ilmu adalah
suatu keniscayaan, tak ada ilmu yang selesai dan tertutup, ia selalu memerlukan
pengembangan. Apabila suatu ilmu sudah tidak menerima kritik atau pengembangan, maka ia
telah menjadi suatu ideologi. Uṣūl al fiqh bukanlah sebuah ideologi, ia merupakan sebuah
“alat” pengembangan kaidah untuk menemukan maksud Tuhan. Sebagaimana pada masa
awal pembetukannya, ilmu ini digunakan sebagai kaidah penemuan hukum Islam yang sangat
terkait erat dengan faktor ruang dan waktu yang dihadapi oleh masyarakat. Pada masa awal
pembetukannya, dan karena sifat dasar dari ilmu uṣūl al fiqh adalah ilmu yang terbuka
(konsep ilmiah), maka usaha pengembangan terhadapnya adalah sah, dan bahkan suatu
keharusan. Pengembangan ilmu dimulai dari epistemologi ilmu itu sendiri sebagai metode
penemuan hukum Islam. Oleh sebab itu, dari kacamata filsafat ilmu pengembangan ilmu uṣūl
al fiqh dapat dilakukan dengan cara mempertanyakan kembali “asal/sumber” pengetahuan
dalam ilmu uṣūl al fiqh, mempertanyakan kembali hakikat pengetahuan ilmu uṣūl al fiqh,
watak (karakteristik) pengetahuan itu. Pertanyaanpertanyaan itu merupakan problem yang
harus dikaji ulang dalam pengembangan uṣūl al fiqh di dunia modern, agar ilmu uṣūl al fiqh
dapat “membumi”. Pengembangan epistemologi uṣūl al fiqh, seharusnya menempatkan
epistemologi uṣūl al fiqh dalam koridor filsafat ilmu untuk pengkajian lebih dalam dan benar,
bukan ditempatkan sebagai “ilmu” tersendiri yang harus dihafal definisi-definisinya.46 Ilmu
uṣūl al fiqh seharusnya dipahami dan diletakkan sebagai sebuah disiplin ilmu, sebagai alat
pengembangan yang selalu aktif dan dinamis, sehingga dapat menjadi pencerahan.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa metode yang diterapkan ilmu uṣūl al fiqh klasik
adalah metode “literalistik” yang berpegang pada dominasi teks, baik dari segi grammar atau
sintaksisnya.47 Dengan meminjam kerangka analisis al Jabiry, model berpikir yang
memusatkan pada teks dan bahasa atau penalaran terhadap teks, maka epistemologi uṣūl al
fiqh klasik termasuk epistemologi bayānī. Memang benar bahwa uṣūl al fiqh adalah kaidah
umum atau metode penemuan hukum Islam, dimana wilayah kajian pembentukan kaidah
adalah wilayah kerja akal/ rasio. Namun metode yang digunakan oleh akal untuk menentukan
kaidah-kaidah umum tersebut lebih dominan pembahasannya mengani teks, sehingga akal

23
hanya sebagai alat penalaran yang masih sangat terpaku pada dominasi teks tersebut. Meski
demikian, tidak semua pemikir setuju bahwa uṣūl al fiqh klasik menggunakan paradigma
literalistik. Sebagai contoh adalah uṣūl al fiqh yang dibangun oleh al Ghazali (450-505 H).
Rasionalisme-deduktif menjadi jantung seluruh teori uṣūl al fiqh al Ghazali. Rasionalisme
menjiwai 3 model

metode penalaran, yakni penalaran semantik yang berbasis pada kaidah bahasa Arab,
penalaran maknawi yang berdasar pada makna implisit teks, dan penalaran qiyas yang
berlandaskan pada pencarian illat. Selanjutnya, pada abad 8 H muncul al Syāṭibī dengan teori
maqāṣid al syari’ah sebagai metode penemuan hukum Islam dalam ilmu uṣūl al fiqh. Metode
ini tidak lagi terpaku pada literalisme teks, tetapi menyempurnakannya dengan
memperhatikan realitas empirik kemasyarakatan atau kemanusiaan. Penalaran ini disebut
juga dengan model penalaran rasional-induktif. Realitas rasional dan empirik harus dibangun
dalam paradigma pengembangan metode ushul fiqh. Hanya saja, dalam perspektif filsafat
ilmu, kehadiran al Syāṭibī tidak menghapus paradigma lama, hanya melengkapi saja. Hal
demikian tidak dapat disebut oleh Thomas Kuhn dengan pergeseran paradigma (paradigm-
shift). Pergeseran paradigma jelas terlihat pada pengembangan metode dalam uṣūl al fiqh
yang diperkenalkan oleh para pemikir kontemporer. Misalnya, teori ḥudӣd Muhammad
Syahrur, double movement Fazlur Rahman, Naskh Ahmad an Na’im, dan lain sebagainya.
Mereka meninggalkan paradigma uṣūl al fiqh klasik dengan corak yang liberal. Oleh sebab
itu, Wael B. Hallaq menyebut para pemikir tersebut sebagai religious-liberalism. 51
Pengembangan metode dari literalistik, rasional-deduktif, rasional-induktif, sampai empiris-
rasional, merupakan metode pengembangan yang ditawarkan oleh para pakar uṣūl al fiqh
dalam menemukan maksud Tuhan. Hanya saja, beragamnya metode dan pengembangan yang
ditawarkan belum dapat diterima oleh ulama uṣūl itu sendiri. Menanggapi hal demikian dan
untuk menghilangkan pudarnya pesona ilmu agama, maka diperlukan peran penguasa dalam
paradim-shift.

4. Langkah Aplikatif dalam Pengembangan Uṣūl al Fiqh

Pengembangan ilmu uṣūl al fiqh harus dilakukan terus menerus dan tanpa henti (ongoing
research), sehingga ilmu uṣūl al fiqh selalu dapat memenuhi kebutuhan zaman, dimanapun
dan kapanpun. Tidak ada persoalan umat Islam yang ditinggalkan oleh uṣūl al fiqh, baik
persoalan politik, ekonomi, kenegaraan, dan lain sebagainya. Untuk pengembangan ilmu uṣūl
al fiqh, perlu dilakukan langkah-langkah yang memudahkan para pakar dalam pengembangan

24
ilmu ini. Qodri Azizy melalui kajiannya terhadap fase-fase konstruksi ilmu keislaman yang
meliputi 6 fase, maka ia menawarkan minimal 4 hal yang harus dilakukan, yaitu:

1. Pemanfaatan ilmu bantu untuk pemahaman ulang (reinterpretasi) ajaran Islam, yang
meliputi ilmu sosial, ilmu humanities, dan sains-teknologi.

2. Mereformasi posisi beberapa ilmu, dari segi metode pengajaran sampai


pengembangannya.

3. Dontruksi dan inovatif ilmu-ilmu keislaman, serta rekostruksi keilmuan Islam yang
dianggap baku untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan zaman melalui Pendekatan
interdisipliner, multidisipliner, atau bahkan trans disipliner.

4. Pengembangan ilmu-ilmu keislaman -terutama yang dipahami hanya untuk akhirat


saja, dengan bantuan berbagai disiplin ilmu sebagai ilmu yang juga berguna di dunia.

Langkah yang ditawarkan oleh Qodri di atas merupakan pengembangan ilmu keislaman
secara umum –termasuk ilmu uṣūl al fiqh.

Sementara Muhyar Fanani menjelaskan bagaimana langkah aplikatif dalam


pengembangan ilmu ushul fiqh, yaitu meliputi pengembangan teoritis-epistemologis dan
pengembangan praktis-metodologis. Pengembangan teoritis-epistemologis berusaha
menangkap substansi ilmu ushul fiqh dan mengembangkan paradigmanya. Untuk menangkap
substansi ilmu ushul fiqh diperlukan langkah-langkah:

1. Mengidentifikasi eksemplar-eksemplar dalam ilmu uṣūl al fiqh.

2. Menemukan paradigma dalam eksemplar-eksemplar.

3. Mengidentifikasi teori-teori yang bernaung dalam paradigma-paradigma uṣūl al fiqh.

Sementara untuk pengembangan paradigma uṣūl al fiqh perlu dilakukan


langkahlangkah:

1. Menelusuri kaitan antara paradigma dengan konteks sosio-historisnya.

2. Mencari kemungkinan paradigma baru berdasarkan analisis persoalan sosiohistoris


kontemporer.

3. Mencari teori-teori baru dalam paradigma baru. Kedua langkah aplikatif di atas
hanyalah sebuah contoh model pengembangan uṣūl al fiqh dengan kacamata filsafat ilmu.

25
Adanya langkah-langkah aplikatif ini diharapkan dapat mempermudah dalam pengembangan
ushul fiqh, dan pengembangan ini dapat diterima oleh masyarakat muslim.

2.6 Kontribusi Ilmu Bayani dalam Mengembangkan Ilmu Fiqih


Secara etimologi, al-Mujmal berarti global atau tidak terperinci, secara umum dan
keseluruhan atau bisa juga sekumpulan sesuatu tanpa memperhatikan satu persatunya.
Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa redaksi yang diberikan beberapa ahli Ushul
berikut ini. Menurut Hanafiyah, mujmal adalah lafal yang mengandung makna secara
global dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian
lafal itu sendiri, melainkan melalui penjelasan dari pembuat syari’at yakni Allah SWT
dan Rasulullah saw.

Sedangkan menurut Jumhur ulama ushul fiqh, mujmal adalah perkataan atau perbuatan
yang tidak jelas petunjuknya. Abu Ishaq al-Syirazi (w.476 H) ahli ushul fiqh dari kalangan
Syafi’iyah, mujmal adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga memahaminya
memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan) atau bila ada penafsiran dari pembuat mujmal
(Syari’). Selain itu, al-Bazdawi dalam kitab ushul fiqhnya, mengajukan definisi mujmal yaitu
ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang dimaksud
di antara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Sementara itu, ada juga pengertian
mujmal yang dikemukakan Zakiuddin Sya’ban (guru besar dalam bidang syari’ah pada
fakultas hukum Universitas ‘Ayn Syams Mesir), yaitu lafal yang tidak bisa dipahami
maknanya kecuali dengan penafsiran dan penjelasan dari penyampai atau pembuat lafat
mujmal itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian mujmal secara istilah di atas, dapat dipahami bahwa
meskipun masing-masing ahli ushul berbeda dalam memberikan redaksinya, namun secara
substansi, semuanya saling melengkapi dan mengarah pada makna yang sama yaitu suatu
lafal atau ungkapan yang belum jelas dan tidak dapat dipahami maksudnya dan untuk
mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan inilah disebut dengan al-
bayan, baik penjelasan itu dari Allah langsung atau pun penjelasan melalui Rasulullah
Saw.Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa mujmal adalah lafal yang kandungan
maknanya masih global dan memerlukan perincian atau penjelasan dari pembuat mujmal atau
syara’ itu sendiri.
PEMBAGIAN AL-MUJMAL

26
Al-Mujmal Lafal mujmal jika dilihat dari segi penyebab kemujmalannya, terbagi menjadi
tiga macam, yaitu:
a. Lafal itu mengandung makna lebih dari satu dan tidak ada makna yang menentu untuk
diketahui atau dengan kata lain lafal itu muystarak. Sebagai contoh: seandainya ada seorang
laki-laki yang mewasiatkan sepertiga hartanya kepada para hamba atau budak-budaknya.
Sementara ia juga memiliki beberapa budak dan juga bekas tuan-tuannya yang telah
memerdekakannya, sehingga kemudian orang tersebut meninggal dan dia belum sempat
menjelaskan tentang siapa-siapa diantara dua golongan itu yang dia kehendakinya. Karena
sesungguhnya lafal al-Mawali pada wasiat itu bersifat mujmal. Hal Ini disebabkan makna
yang dikehendaki salah satu keduanya, dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali dari
orang yang bersangkutan. Dan ini adalah menurut pendapatnya ulama Hanafiyah.
Contoh lainnya adalah surat al-Baqarah ayat 228:
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'…
Lafal quru’ dalam ayat ini bersifat mujmal, karena secara etimologi mengandung dua
makna, yaitu haid dan suci. Apabila dipilih salah satu makna, maka harus didukung oleh dalil
lain, baik dari al-Qur’an, sunnah, maupun melalui ijtihad.
b. Lafal-lafal yang dinukilkan oleh Syari’ dari arti kata secara bahasa yang sudah dikenal
dan dialihkan menjadi istilah khusus (teknis dalam hukum) yang dikehendaki Syari’, seperti
kata-kata sholat, zakat dan haji. Padahal di kalangan orang Arab, kata-kata ini sudah umum
dan digunakan oleh mereka. Namun kemudian, Syari’at datang dan menghendaki makna
khusus yakni yang terkait dengan hukum. Sehingga (makna-makna) dari lafal-lafal itu tidak
bias diketahui kecuali melalui penjelasan dari Syari’. Oleh karena itu, bila ada kata-kata
tersebut dalam teks hukum Islam (nash Syar’i) maka ia disebut lafal mujmal, hingga ada
(datang) penjelasan Syari’ dan jika tidak ada penjelasannya, maka tidak ada cara (jalan) untuk
mengetahuinya. Karenanya, sunnah Nabi saw, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan
berfungsi untuk menafsirkan (menjelaskan) arti kata sholat termasuk juga rukun, syarat dan
tata caranya. Demikian juga sama dengan penjelasan as-Sunnah terkait zakat dan haji dalam
nash.
c. Lafal yang maknanya asing ketika digunakan. Seperti kata “‫ ”الھلوع‬dalam firman Allah
SWT, yakni Surat al-Ma’arij ayat 19:
Artinya:” Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”.
Pada ayat tersebut, kata “‫ ”الھلوع‬memiliki arti sangat keluh kesah dan sedikit sabar. Kata
ini disebut mujmal karena penggunan artinya yang asing ini tidak dapat diketahui kecuali

27
oleh Syari’ sendiri, mengingat Syari’lah yang menyifati manusia dengan kata “‫وع‬ll‫”الھل‬
tersebut.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dalam beberapa kasus dibidang ilmu-ilmu alquran dan hadist Artinya metode bayani
adalah sebentuk epistemology yang menjadikan teks tertulis seperti alquran, hadist, pendapat
atau fatwa ulama, sebagai bentuk basis utama untuk membentuk pengetahuan.Secara
langsung dalam arti menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung
yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks.Untuk itu perlu adanya terobosan
pendekatan pemikiran yang konstruktif agar teks yang ada dapat dipahami secara tepat dan
komperehensif sehingga sesuai dengan konteks ujian permasalahan yang ada.
Kalam (‫ )الكَاَل ُم‬dalam istilah ilmu nahwu adalah sesuatu yang di dalamnya berkumpul
empat perkara. Yakni lafadz (ucapan), murokkab (tersusun), mufid (memberi faidah) dan bil
wadl'i (dengan bahasa arab).

Kalam atau kalimat terbagi menjadi 3, yaitu kalimat isim, kalimat fi'il dan kalimat huruf.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ajurumiyah;

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah tentang “DISIPLIN KEILMUAN RUMPUN BAYANI
DALAM ISLAM” ini saya menyadari masih banyak kekurangan. Maka dari itu, saya tidak
menutup saran dan kritik dari pembaca untuk saya agar dapat meningkatkan kualitas
penyusunan makalah dimasa yang akan datang.

28
DAFTAR PUSTAKA

https://bengkelarab.wordpress.com/category/nahwu/

https://bengkelarab.wordpress.com/category/shorof/

https://bengkelarab.wordpress.com/category/balaghah/

https://www.santripedia.com/2020/06/pengertian-kalam-dalam-ilmu-nahwu.html

https://www.santripedia.com/2020/07/pembagian-kalam-isim-fiil-dan-huruf.html

http://jakhinjj.blogspot.com/2016/04/makalah-tauhid-rububiyah-uluhiyah-asma.html

https://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-ahkam/article/download/1069/429

5_6273747072449512269.pdf

29

Anda mungkin juga menyukai