Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FILSAFAT ILMU

Metode Berfikir Khas Islam


Dosen pengampu: Kholid Zamzami, M.Si

Disusun oleh:

ENDANG PURWANTI/ 16620066

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telahmemberikan rahmat serta
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul "Metode Berfikir
Khas Islam" ini tepat waktu.Makalah ini disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester II
mata kuliah Filsafat Ilmu yang berisikan mengenaisistem berfikir dalam Islam, yakni bayani,
burhani dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang
pengetahuan.
Saya menyadari bahwa makalah inimasih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang bersifat membangun saya kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir
kata saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini, khususnya kepada Bapak Kholid Zamzami, M.Si selaku dosen
pengampu mata kuliah, yang senantiasa memberikan bimbingan serta pengajarannya pada
saya dan teman-teman seperjuangan. Semoga Allah SWT meridhai segala usaha kita semua.
Amin.

Malang, 20 Maret 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................1
BAB I.....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................................3
A.    LATAR BELAKANG MASALAH.........................................................................................3
B.     RUMUSAN MASALAH..........................................................................................................3
C.    TUJUAN PENULISAN............................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI.........................................................................................4
B. EPISTEMOLOGIS BAYANI..................................................................................................4
C. EPISTEMOLOGI BURHANI.................................................................................................7
D. EPISTEMOLOGI IRFANI....................................................................................................12
E. KEUNGGULAN DAN KEKURANGAN EPISTEMOLOGI BAYANI, BURHANI DAN
IRFANI....................................................................................................................................14
F. PERKEMBANGAN EPISTEMOLOGI YANG DIGUNAKAN PADA SAAT INI...........15
BAB III................................................................................................................................................17
PENUTUP...........................................................................................................................................17
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................17
B. SARAN....................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH


Pada dasarnya sejarah perkembangan Islam memiliki banyak urgensi. Ia tidak hanya
sekedar berbicara tentang aliran-aliran pemikiran, apalagi sekedar uraian tentang sejarah
perkembangan pemikiran Islam lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan
bahasan tentang proses berfikir kritis, analisis dan sistematis.
Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme,
rasionalisme dan intuisisme.Sementara itu, dalam pemikiran filsafat hindu di nyatakan bahwa
kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman
pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran
besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan(epistemologi). Setidaknya ada tiga model
sistem befrikir dalam Islam, yakni bayani, burhani dan irfani, yang masing-masing
mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Dalam makalah  ini, akan di bahas mengenai metode berfikir khas Islam, epistemologi
Bayani, Burhani dan Irfani.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana metode berfikir khas Islamepistemologi bayani ?
2. Bagaimana metode berfikir khas Islamepistemologi burhani ?
3. Bagaimana metode berfikir khas Islamepistemologi irfani ?

C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun yangtujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memahami dan mendeskripsikan pengertian metode berfikir khas
Islam  epistemologi bayani.
2. Memahami dan mendiskripsikan pengertian metode berfikir khas
Islam episeimologi burhani.
3. Memahami dan mendiskripsikan pengertian metode berfikir khas
Islam  epistemologi irfani.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Epistemologi atau teori pengetahuan (theory of knowledge), secara etimologis,
berasal dari kata Yunani epistemologi yang berarti pengetahuan (knowledge), dan
logos yang berarti teori tentang atau studi tentang. Jadi secara terminologis,
epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode, dan validitas (keabsahan) pengetahuan. Dengan cara mengetahui
unsur-unsur itulah kemudian suatu pengetahuan dapat diiafirmasi validitasnya sebagai
disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Lawan katanya adalah doxa yang berarti percaya,
yakni percaya begitu saja tanpa menggunakan bukti (taken for granted).1
Beberapa persoalan pokok yang terkandung dalam epistemologi adalah
hakekat (esensi), eksistensi dan ruang lingkup pengetahuan, sumber-sumber
pengetahuan, metodologi ilmu tentangcara mengetahui suatu pengetahuan, sarana
yang digunakan dalam rangka kerja metodologis tersebut dan uji validitas
pengetahuan.2
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa epistemologi ilmu berorientasi
pada persoalan filsafat, metode dan system. Secara filsafat, epistemologi adalah ilmu
yang berorientasi untuk mencari hakikat untuk kebenaran ilmu, secara metode,
berorientasi untuk mengantar manusia dalam memperoleh ilmu dan secara system
yaitu berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah herarki sistematis.3

B. EPISTEMOLOGIS BAYANI
1. Pengertian Bayani
Secara etimologis, term bayani mengandung beragam arti yaitu:
kesinambungan (al-waslu): keterpilahan ( al-fashlu): jelas dan terang (al-zhuhur
wa al-wudlhuh): dan kemampuan membuat terang dan generik. Sebagai sebuah
episteme, keterpilahan dan kejelasan tadi mewujud dalam al-bayan al-ibarat
“perpektif”’ dan “ metode” yang sangat menentukan pola pemikiran tidak hanya
1
Wiliam James Earle, Introduction to Philosophy, (New York-Toronto : Mc. Grawhill, Inc, 1992), hlm.21.
2
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan IlmuPengetahuan,
(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm.32.
3
M. Rikza Chamami, Epistemologi Keilmuan Islam, (Semarang: Universitas Islam Negeri Walisongo, 2014), hlm.
5.

5
dalam lingkup “ estetik-susastra”, melainkan juga dalam lingkup “ logic-
diskursif”. Dengan kata lain bayan berubah menjadi sebuah terminologi yang
disamping mecakup arti segala sesuatu yang melengkapi tindakan mamahami. 4
Epistemologi bayani muncul bukan sebagai hal yang sui generis, akan tetapi ia
memiliki akar historisnya dalam sejarah budaya dan tradisi pemikiran Arab.
Sebagiman dimaklumi , bahasa Arab diyakin sebagai bahasa wahyu Tuhan. Oleh
karena itu, cukup berdasar bila dikatakan bahwa determinan historis awal-mula
paradaban Islam adalah sinergi bahasa dan agama. Awal mula aktivitas ilmiah
yang mewarnai budaya Arab Islam berupa penghimpunan bahasa Arab dan
peletakan dasar-dasar tata kebahasaannya seiring dengan upaya mamahami ajaran
agama dan memproduksi wacana keagamaan yang membangun “ Rasionalitas –
keagamaaan Arab” dengan produk intelektualnya, yaitu ilmu kebahasaan dan ilmu
agama.5 Nuansa iklim intelektual-kultural semacam itu melahirkan komunitas
agamawan-intelektual yang menempati posisi otoritatif dalam ranah keagamaan
dan keilmuan.Mereka adalah kalangan ulama bayani, meminjam istilah al-Jabiri,
yang secara kolegial berperan dalam menetapkan ilmu-ilmu Arab Islam yaitu
nahu, balagah, fikih dan kalam.
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks
(nas), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan
yang digali melalui inferensi istidlal). Secara langsung artinya mamahami tes
sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.
Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah
sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal
atau rasio bisa babas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar
pada teks.Dalam bayani, rasio diangggap tidak mampu memberikan penegtahuan
kecuali disandarkan pada teks.Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik bayani
adalah aspek esoterik (syari‟at).6
2. Perkembangan Bayani
Pada masa Syafi’I (767-820), bayani berarti nama yang mencakup makna-
makna yang mencakup masalah-masalah ushul atau pokok dan yang berkembang

4
Mahmud Arif, “ Pertautan Epistemologi Bayani dan pendidikan Islam”, Al-Jami‟ah , Vol.40, No.1, (January-June
2002), hlm.13.
5
M.Abid al-Jabiri, Takwin….,op.cit, hlm. 75.
6
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-„Aql al-„Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), hlm. 38,
Lihat A. Khodari Sholeh (ed.), “M.Abed al-Jabiri : Model Epistemologi Hukum Islam”, dalam “Pemikiran Islam
Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm.233.
6
hingga ke furu atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’I membagi bayan dalam
lima bagian dan tingkatan yaitu :
a. Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang
telah di jelaskan Tuhan dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-
Nya.
b. Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan
sunnah.
c. Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan
sunnah.
d. Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an.
e. Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atau sesuatu yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang
pokok adalah Al-Qur’an, sunnah dan Qiyas kemudian ditambah Ijma.Al- Jahizh
(868 M) mengkritik konsep Syafi’I di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan Syafi’I
baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana
memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal
menurutnya inilah yang terpenting dalam proses bayani. Karena itu sesuai dengan
asumsinya bayan adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana dan bukan
sekedar aturan-aturan penafsiran wacana. Jahizh menetapkan lima syarat bayani
yaitu :
a. Kefasihan ucapan
b. Seleksi huruf dan lafal
c. Adanya keterbukaan makna
d. Adanya kesesuaian antara kata dan makna
e. Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan kebenaran yang  di
sampaikan dan mengakui kelemahan serta  kesalahan konsepnya sendiri.
Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas
atas kata-kata sulit dalam Al-Qur’an  tetapi telah berubah menjadi sebuah metode
bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan atasnya, kemudian
memberikan uraian secara sistematis  atas pemahaman tersebut kepada pendengar
bahkan sebagai alat untuk memenangkan perdebatan.

7
Menurut Ibnu Wahab, bayani bukan diarahkan untuk mendidik mendengar
tetapi sebuah metode untuk membangun konsep ashul furu caranya dengan
menggunakan paduan pola yang di pakai ulama fiqih dan kalam.

3. Metode Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan.
Pertama berpegang pada teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua,
menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
Dalam kajian ushul fiqh, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu
masalah berdasarkan suatu masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya
adalam teks, karena adanya kesamaanillah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi
dalam melakukan qiyas :
a. Adanya al-ashl,  yaitu nash suci yang memberikan hukum dan di pakai
sebagai ukuran.
b. Al-far, yakni ssesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
c. Hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
d. Illah, yakni keadaan tertentu yang di pakai sebagai dasar ketetapan
hukum ashl.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dariqurmah.Arak dari perasan
kurma disebut far (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan
ia akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat
dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannyaillah karena memabukkan.
Hasilnya arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni
sama-sama memabukkan.
C. EPISTEMOLOGI BURHANI
1. Pengertian Burhani
Burhan secara bahasa adalah argumentasi yang kuat dan jelas. Dalam istilah
logika, alburhan adalah aktifitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu
proposisi melalui pendekatan deduksi dengan cara menghubungkan proposisi yang
satu yang telah terbukti secara aksiomatik..Dengan demikian, burhan merupakan
aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu.7
Model berpikir Burhani selalu bersentuhan dengan nalar tau aql. Menurut
Abed al-Jabiri yang mengikuti perspektif Andre Lalande, secara global ada
tipologi nalar yaitu, nalar pembentuk atau aktif (al-Aql al-Mukawwin) dan nalar
7
Al-Jabiri, Bunyat..., op.cit.,46.
8
terbentuk atau dominan (al-Aql al-Mukawwan). Nalar aktif merupakan naluri
dimana manusia mampu menarik asas-asas umum. Dan berdasarkan
pemahamannya terdapat hubungan antara segala sesuatu. Sedangkan nalar
dominan adalah sejumlah asas kaidah yang dijadikan sebagai kaidah atau
pegangan dalam berargumentasi (istidlal). Jika yang pertrama bersifat universal,
maka disebut dengan akal universal atau al aql al kauni. Dan yang kedua bersifat
universal, karena dijadikan sebagai system kaidah yang dibakukan dan diterima
oleh era tertentu. Secara otentik, Aristoteles mengaplikasikan epistemology
burhani tanpa dipengaruhi nalar dominan Arab yang bernuansa burhani dan irfani.
Epistemologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya
sesuatu yaitu berdasarkan komponen kemampuaan alamiah manusia berupa
pengalaman dan akar tanpa didasari teks wahyu suci, yang memunculkan
peripatik. Jadi, sumber pengetahuan nalar burhani adalah realitas-empiris, alam,
sosial dan humanities. Maksudnya, ilmu itu dipperoleh dari hasil penelitipan,
percobaan, eksperimen baik dilaboratorium atau di alam nyata, baik yang bersifat
sosial maupun nalar.
Rasio atau akal menurut prinsip filosofis al-Ghazali adalah fitrah instintif
sebagai orisinal yang menjadi sarana manusia dalam memahami realitas segala
sesuatu. Dalam bukunya ihya ‘Ulumi ad-Din, ia mengatakan bahwa :

‫العقل منبع العلم و مطلعه واساسه والعلم يجرى مجرى الثمرة من الشجرة والنور من‬

‫الشمس والرؤية من العين‬.

“akal adalah sumber, tempat berpancar dan asas ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan timbul darinya, seperti buah timbul dari pohon, cahaya timbul dari
matahari dan pengelihatan timbul dari mata”.

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang detail yang terjadi
di dunia tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.
Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil bentuk akibat, sedangkan
pengetahuan tuhan merupakan sebagai sebab bagi wujud perincian tersebut. Disini
akal manusia mempunyai banyak kegiatan akan tetapi , perannya mencoba
menduduki dirinya sebagai perumus kandungan wahyu, dan tidak memiliki posisi
bebas untuk menjadi sumber.mengemukakan prinsip pokok tentang akal, sebagai
berikut:

9
a. Akal aktif / “al-‘aql al-fa’al/ active intellect, bersumber dari segala akal
manusia yang bersifat universal dan satu.
b. “aqlun bilquwwah/ receptive intellect, adalah pikiran yang berkuasa sahari-
hari terhadap diri manusia.
c. “monopsychism”, akal dan jiwa manusia adalah satu, yang bersifat
universal dan abadi. Jasmani manusia boleh meninggal, tetapi akal dan
jiwanya tetap hidup.
d. Akal manusia ada yang bersifat “fi’li” yaitu pemikiran yang praktis, dan
bersifat “nazary” yaitu pemikiran yang mendalam dan teoritis yang
memandang segala sesuatu dengan ilmu pengetahuan.
e. akal manusia itu adalah “rasio”, harus bebas dan berdiri diatas segal-
galanya, sedangkan agama dan wahyu tuhan adalah penyempurna bagi
akal.
2. Epistemologi Burhani dan Persentuhannya dengan Dunia Arab
Menurut ahli sejarah filsafat, Heraclitus adalah orang pertama yang
mengemukakan  pemikiran tentang logos, atau yang disebut akal universal (al-‘aql
al-kauni). Untuk menjelaskan sistem yang menguasai jalannya kosmos yang jauh
dari mitolog dan mite, filosofis ini menggagas adanya “hukum universal” (al-
qanun al-kulli), yang mengatur realitas dan mengontrol proses menjadi realist
(becoming) yang terjadi secara terus-menerus dan abadi.. Konsep akal universal
dikembangkan oleh filosofis yunani, Aristoteles.Sebelum aristoteles, metode-
metode logika dan filsafat diuraikan secara terpisah, tidak teratur serta tidak ada
klarifikasi yang jelas.Jadi aristoteles lah yang menyusun metode logika tersebut
secara sistematis beserta uraiannya.Logika dijadikan sebagai langkah awal dan
pembuka ilmu-ilmu filsafat.
Dalam sistem filsafat Aristoteles lebih menekankan aspek rsionalitas akal
daripada aspek spiritualitas moral.Dalam pandangan aristoteles, alam semesta bisa
dipahami dengan akal. Demikian itu, karena system yang mendasari alam dan
orang yang memahami tidak lain berarti  memahami akal. Dengan kata lain, dalam
konsep yunani aristoteles, akal berarti ‘memahami sebab’. Di atas fondasi akal
universal (logos) yang mencari hubungan sebab akibat atau hukum universal yang
rasionalistik dengan system pengetahuan yunani yang dibangun. Kemudian,
pemikiran yunani yang telah terdokumentasikan, ditransfer ke dunia arab melalui
terjemahan diera Al-Ma’mun dengan tokoh-tokohnya, sebagai berikut:
a. Abdullah bin Muqoffa
10
b. Hunain bin Ishaq
c. Abu Bisyr Matta bin Yunus
d. Ishaq bin Hunain dan lainnya.

Akan tetapi, persoalannya berbeda dengan konsep nalar Yunani yang


berkaitan dengan upaya memahami sebab, yaitu pengetahuan. Dalam pemikiran
arab, pengetahuan bukan usaha untuk menyingkapkan hubungan antara fenomena
alam dengan yang lainnya, akan tetapi untuk membedakan objek pengetahuan
( baik indrawi ataupun sosial) antara yang baik dan yang buruk.

Sedangkan menurut Al-Jabiri, aspek akhlak atau nilai tidak hanya pada kata-
kata berintikan ‘a, qa, la, tetapi juga seluruh kata yang memiliki kedekatan
maknadengannya seperti dzihn, nuha, hija, fikr, dan fuad.Semua kata itu
mengandung aspek nilai dan etis, bukan aspek epistemologis (seperti mencegah
dari kehancuran, dari perbuatan tercela dan dari kesalahan, bukan mencari
sebab).  Jika melihat dari al-Quran, akan ditemukan bahwa makna nilai yang
dikaitkan dengan ‘aql dan yang semakna dengannya, umumnya mengekspresikan
perbedaan antara yang baik dan yang buruk, antara hidayah dan kesesatan.
      Jadi, ketika sistem pengetahuan burhani yunani yang bersentuhan dengan
pemikiran arab, tidak lagi sepenuhnya bersifat logis-filosofis. Akan tetapi  melalui
pemikiran / nalar arab dengan persepektif normatifnya, para filosofis muslim
mengakses wacana filsafat yunani yang bersaifat objektif. Menurut Marshall G.
Hodgson dalam telaah historis-filosofisnya mengungkapkan hal yang sama bahwa
sebagai seorang filosof muslim harus mempunyai dorongan yang kuat terhadap
pencarian diskursus rasional yunani, tetapi konstelasi intelektual masyarakat yang
bercorak islam tetap memberikan pengaruh. Para filosof muslim terdorong untuk
menyajikan bahan-bahan filosofis rasional dalam sintesa-sintesa yang baru dan
independen yang bercorak islam.

Selain itu para filosof muslim membagi akal menjadi dua macam yaitu akal
praktis, dan akal teoritis. Akal praktis ini berkaitan dengan tindakan (etika), akan
tetapi lebih difokuskan pada akal teoritis. Disini akal dapat menyempurnakan
penerapan pancaindra dan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan karena akal dapat
melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra-indra kita (baik lahir
ataupun batin) yaitu kemampuan untuk bertanya secara kritis. Misalnya akal dapat
bertanya mengenai kapan suatu peristiwa itu terjadi, dan apa yang menyebabkan
peristiwa itu, oleh siapa, dan bagaimana. Dengan demikian, tidak diragukan lagi
11
pentingnya akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun kelebihan yang paling
istimewa dari akal yaitu terletak pada kecakapan untuk menangkap “kuiditas” dan
“esensi”dari sesuatu yang diamati atau dipahami. Dengan kemampuan ini, akal
manusia dapat mengetahui konsep universal dari sebuah objek yang diamatinya
lewat indra yang bersifat abstrak dan tidak berhubungan dengan data data-data
partikuler.

3. Metode Burhani
Sebagai aktivitas kognitif, metode Burhani atau Demonstrasi merupakan
bentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan
konklusi yang bernilai.Metode demonstrativ berasal dari filosof terkenal yunani
yaitu Ariestoteles. Menurut ariestoteles, yang dimaksud dengan metode
demonstrative adalah silogisme ilmiyah yakni silogisme yang apabila seseorang
memilikinya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya, silogisme adalah
seperangkat metode berfikir dimana seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan
baru dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari berbagai
premis), erlepas apakah pengetahuan tersebut benar atau salah dan sesuai dengan
realitas atau tidak.
      Metode demonstrative adalah suatu metode rasional logis yang digunakan oleh
para filosof. Selain itu empat macam metode rasional lainnya adalah sebagai
berikut:
a. Non-demonstratif yaitu dialektif yang berkenaan dengan pertanyaan-
pertanyaan dan jawaban dialektiks.
b. Sofistik yaitu metode yang membicarakan pemikiran analogis yang
mengajarkan lawan dari kebenaran.
c. Retorik yaitu metode yang berhubungan dengan jenis persuasi dan
dampaknya atas pendengar dalam pidato.
d. Poetika adalah metode yang berkaitan dengan pemikiran analogis yang
mengajarkan penciptaan perumpamaan dan kiasan.

Dari metode-metode diatas yang dipandang paling akuarat adalah metode


Demonstratif karena digunakan sebagai metode ilmiah dasar yang aplikasinya
meluas tidak hanya dibidang logika dan filosofis, tetapi juga dibidang empiris dan
matematika.

Metode Burhani, pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional
yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan
12
atau teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan keabsahan dan akurasi
pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Misalnya dengan memperhatikan
validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor dan minor,
serta ada tidaknyamiddle trem yang sah yang mengantarai kedua premis tersebut.
Bentuk formal inilah yang disebut silogisme yaitu berupa mengambil kesimpulan
dari premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsure yang sama,
yang disebut middle trem (al-hadd al-ausath).

Sebuah silogisme baru dikatakan domonstratif apabila premis-premisnya


didasarkan pada kebenaran yang sudah teruji kebenarannya bukan didasarkan
pada opini, karena hanya pada premis-premis yang benar, kesimpulannya dapat
dipastikan benar. Contohnya klasik silogisme demonstratif : “semua manusia akan
mati (fana). Socrates adalah manusia, maka Socrates akan mati. Dari pernyataan
diatas  “semua manusia akan mati” disebut premis mayor, sedangkan “Socrates
adalah manusia, maka akan mati” disebut premis minor. Kata “manusia” yang
muncul dalam kedua premis tersebut adalahmiddle trem.Jiuka premis mayor dan
mayor benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan “Socrates akan mati adalah
benar.Oleh karena itu perlu adanya criteria yang ketat tentang kebenaran tersebut
melalui adanya verifikasi dan flasifikasi.

D. EPISTEMOLOGI IRFANI
1. Pengertian Irfani
Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan
kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk ke dalam pikiran
sebelum dikemukakan kepada orang lain. Dengan demikian, secara metodologi,
pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu persiapan,
penerimaan dan pengungkapan, baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Tahap
pertama, persiapan.50 Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan, seseorang
biasanya harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh
berbeda pendapat tentang jumlah jenjang yang harus dilalui ini. Namun,
setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani,semuanya berangkat dari
tingkatan yang paling dasar menuju tingkatan.8

8
Zulpa Makiah, Epistemologi Bayani, Burhani Dan Irfani Dalam Memperoleh Pengetahuan Tentang Mashlahah,
(Banjarmasin: IAIN Antasari), hlm. 13
13
Irfan dari kata dasar bahasa Arab Arafah semakna dengan makrifat berarti
pengetahuan, tapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu
menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau
rasionalitas (aql).Karena itu secara terminologis, irfan biasa diartikan sebagai
pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh
Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah rohani yang dilakukan atas dasar
cinta.
2. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam lima fase :
a. Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriah. Apa yang disebut
baru ada dalam bentuk perilaku zuhud.
b. Fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriah. Jika awalnya zuhud
dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini di
tangan Robiah Al-Adawiyah (801 M) zuhud dilakukan atas dasar cinta
pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
c. Fase pertmbuhan, terjadi pada abad 3-4 hijriah, para tokoh sufisme
mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa
dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan
(akhlak).
d. Fase puncak, terjadi pada abad ke lima hijriah. Pada periode ini irfan
mencapai masa gemilang .irfan menjadi jalan yang jelas karakternya
untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan
kebahagiaan.
e. Fase spesifikasi, terjadi pada abad ke enam dan tujuh hijriah berkat
pengaruh Al-Ghazali yang besar, irfan menjadi semakin di kenal dan
berkembang dalam masyarakat Islami. Pada fase ini, secara
epistemologi irfan telah terpecah menjadi dua aliran yaitu irfan sunni
dan irfan teoritis.
f. Fase kemunduran terjadi pada abad ke- 8. Sejak abad itu irfan tidak
mengalami kemajuan bahkan mengalami kemunduran.
3. Metode Irfani
Pengetahuan irfan tidak di dasarkan atas teks seperti bayani tetapi
pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia relaitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah
14
ruhani, dimana dengan kesucian hati, di harapkan Tuhan akan melimpahkan
pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, di konsep kemudian di
kemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan : persiapan, penerimaan dan
pengungkapan dengan lisan atau tulisan.

E. KEUNGGULAN DAN KEKURANGAN EPISTEMOLOGI BAYANI,


BURHANI DAN IRFANI
Pada prinsipnya,islam telah memiliki epistemologi yang komperhensif sebagai
kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, hanya saja dari tiga kecenderungan
epistemologi yang ada (Bayani, Burhani dan Irfani), dalam perkembangannya lebih di
dominasi oleh cara berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir Irfan yaitu
(kasyf) yang sangat sufistik, kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan
pada pengguna rasio secara optimal.
Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-qur”an dan Hadist)
sebagai sumber utama islam yang berpikir universal sehingga sebagai pedoman dan
patokan.
Dalam Epistemologi bayani sebenarnya ada pengguna rasio, akan tetapi relatif
sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Pengguna yang terlalu dominan atas
epistemologis ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena
ketidamampuan merespon perkemabangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi
bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal
menjadi terpasung dibawa bayang-bayang teks, dan tdak menempatkannya secara
sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun diatas semangat
akal dan logika dan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi
burhani.Namun kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah
sering tidak sinkronnya teks dan reaitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam
pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks dari
pada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
Diantara keunggulan Irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber
dari intuisi-intuisi,musya>hadah, dan muka>syafah lebih dekat dengan kebenaran dari
pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan
kalangan sufi menyatakan bahwa indera-indera manusia dan fakultas akalnya hanya
menyentuh wilayah lahiriyah alam dan manifestasinya, namun manusia dapat
15
berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam
(Allah) melaui dimensi-dimensi batiniyahnya sendiri dan hal ini akan sangat
berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan
dan ketergantungan lahiriyah.Namun kendala ataupun keterbatasan irfani antara lain
adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati hanya segelintir manusia yang mampu sampai
pada taraf pencucian diri yang tinggi disamping itu, irfani sangat subjektif menilai
sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di
atas akal,seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran
yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyum masuk
kealam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama versi kuno yang dikembangkan
pemikiran Hermefisicm.Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas
nalar, serta pijakannya pada logika paradaksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa
harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan
epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang
berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.

F. PERKEMBANGAN EPISTEMOLOGI YANG DIGUNAKAN PADA SAAT INI


Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai
kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan
epistemologis yang ada [bayani, irfani dan burhani ], dalam perkembangannya lebih
didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak
berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu
memperhatikan pada penggunaan rasio [ burhani ] secara optimal.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal], tapi
relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu
dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan
beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini
dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder,
sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak
menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada
logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-
sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis

16
dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir
manusia .
Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam
dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang
bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari
epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian
terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan
manusia. Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan
setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al-
Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi
manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah,
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar
dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam
epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio
belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih,
akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan
dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya.
Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka
munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau
perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang
potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang
dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi
penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya
adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan
iman seorang muslim.9
Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut Al-Qur’an sebagaiulul
albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga
mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut Al-Qur’an dinilai sebagai
khairan katsiran.  Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak
dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang. Dalam ungkapan
Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara mantap bila
mau membangun peradaban modern yang segar.
9

17
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab Islam yang di dasarkan atas
otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah
sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau
rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada
teks.
Pengetahuan irfan tidak di dasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf,
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak
di peroleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian
hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk
dalam pikiran, di konsep kemudian di kemukakan kepada orang lain secara logis.
Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, yaitu:
persiapan, penerimaan, dan pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci,
burhani sama sekali tidak mendasarkan diri terhadap pada teks burhani menyandarkan
diri pada kekuatan rasio, akal, yang di lakukan lewat dalil-dalil logika.
Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan
pengetahuan lewat analogi furu kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan
lewat proses penyatuan rohani kepada Tuhan, sedangkan burhani menghasilkan
pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah
diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio,
bukan teks atau intuisi.Rasio inilah yang memberikan penilaian keputusan terhadap
informasi yang masuk lewat indera.

B. SARAN
Mencari solusi dari setiap permasalahan haruslah bijak, diperlukan pula
metode yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Maka perlu adanya kemauan

18
yang kuat untuk memahami pola pikir khususnya dalam Islam sehingga nantinya
keputusan yang diambil tidak akan menyalahi kita sebagai muslim.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri, Muhammad Abed.1991. Bunyah Al-Aql Al- Arabi.Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqafi


Al- Arabi.
Arif, Mahmud. Al-Jami’Ah. Pertautan Epistemologi Bayani Dan Pendidikan Islam
(Vol.40.No.1).
Chamami, M. Rikza.2014.Epistemologi Keilmuan Islam.Semarang: Universitas Islam Negeri
Walisongo.
Earle,Wiliam James.1992.Introduction To Philosophy.New York-Toronto : Mc. Grawhill,Inc.
Makiah, Zulpa. Epistemologi Bayani, Burhani Dan Irfani Dalam Memperoleh Pengetahuan
Tentang Mashlahah.Banjarmasin: IAIN Antasari.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM.2002.Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan IlmuPengetahuan.Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

19
EPISTEMOLOGI ISLAM BAYANI, BURHANI DAN IRFANI - Makalah Filsafat Ilmu
1. 1. 1| Filsafat Ilmu EPISTEMOLOGI ISLAM BAYANI, BURHANI DAN IRFANI Disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Dosen Pembimbing: M. Nursyahid, M.Si Disusun oleh: Iis Piska Jihad
Achmad Gojali Siti Nur Aisyah Siti Rahmah II F A K U L T A S T A R B I Y A H P E N D I D I K A N A G A
M A I S L A M S T A I A L - K A R I M I Y A H SAWANGAN DEPOK 2014
2. 2. 2| Filsafat Ilmu KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat Limpahan dan Rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan
tugas makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini disusun agar dapat memperluas ilmu tentang Filsafat
Ilmu: Epistemologi Islam; Bayani, Burhani dan Irfani yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber informasi dan juga referensi. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para Mahasiswa STAI Al-
Karimiyah. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,
kepada para mahasiswa/i, dosen pembimbing dan pembaca pada umumnya kami meminta kritik dan
sarannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang. Penulis
3. 3. 3| Filsafat Ilmu DAFTAR ISI Kata
Pengantar...........................................................................................1 Daftar
isi.....................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar
Belakang................................................................................3 B. Rumusan
Masalah...........................................................................3 C. Tujuan
Penulis.................................................................................3 BAB II PEMBAHASAN A. EPISTEMOLOGI
BAYANI (Penalaran Berdasarkan Teks) .......................................................4 B. EPISTEMOLOGI
BURHANI (Pengetahuan Berdasarkan Prinsip Logika) ….…………….……5 C. EPISTEMOLOGI IRFANI
(Penalaran Berdasarkan Intuisi) …….…………………………...6 BAB III
PENUTUP...................................................................................8 DAFTAR
PUSTAKA................................................................................9
4. 4. 4| Filsafat Ilmu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epistemologi Bayani adalah metode
pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung dan
dijustifikasi oleh akal kebahasan yang digali lewat inferensi (istidlal). Epistemologi Burhani, sebuah
penyadaran diri pada kekuatan rasio atau akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Prinsip-prinsip
logis inilah yang menjadi acuan sehingga dalil-dalil agama sekalipun hanya dapat diterima sepanjang
sesuai dengan prinsip ini1 Epistemologi Irfani adalah salah satu model penalaran yang dikenal dalam
tradisi keilmuan Islam, disamping bayani dan burhani. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hubungan
antara Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani? 2. Apa saja kaitannya antara ketiga Epistemologi
tersebut? C. Tujuan Penulis 1. Mampu mengetahui pengertian Epistemologi Bayani 2. Mampu
mengetahui pengertian Epistemologi Burhani 3. Mampu mengetahui pengertian Epistemologi Irfani 4.
Agar mengetahui hubungan antara ketiga Epistemologi tersebut 1 A-Jabir, Isykaliyat Al-Fikr Al-Arabi Al-
Mu’ashir (Beirut: Markaz Dirasah Al-Arabiyah, 1989), hlm. 59
5. 5. 5| Filsafat Ilmu BAB II PEMBAHASAN A. EPISTEMOLOGI BAYANI (Penalaran Berdasarkan Teks)
Epistemologi Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahasan yang digali lewat inferensi (istidlal).
Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.2
Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat). A.
Perkembangan Bayani Istilah bayani dari kata bahasa Arab bayan, berarti penjelasan (eksplanasi).3
Sementara itu, secara terminologi, bayan mempunyai dua arti, yaitu : 1. Sebagai aturan-aturan
penafsiran wacana (qawanin tafsir al-khithabi) 2. Syarat-syarat memproduksi wacana (syuruth intaj al-
khithab). Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna
terminologis ini baru lahir belakangan, yaitu pada masa kodofikasi (tadwin). Dari segi metodologi, Al-
Syafii membagi bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan: 1. Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut
2. Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah 3. Bayan yang
keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah 4. Bayan sunnah sebagai uraian atas
sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Quran 2 Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-Arabi ( Beurit: al-Markaz al-
Tsaqafi al Al-Arabi, 1991), hlm. 38. Al- Jabiri, lengkapnya M. Abid al-Jabiri, adalah seorang pemikir
Muslim konteporer asal Maroko, dosen pada fakultas Adab, Universitas Muhammad V, di Rabat,Maroko.
3 Al-Jabiri (1936-2010 M).
6. 6. 6| Filsafat Ilmu 5. Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam
Al-Quran maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Al-Syafii kemudian menyatakan bahwa
yang pokok (shul) ada tiga, yaitu Al-Quran, sunnah, dan qiyas, kemudian ditambah ijma. 4 B. Sumber
Pengetahuan Dalam ushul al fiqih, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Al-
Quran dan hadits.5 Oleh karena itu, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses
transmisi teks dari generasi ke generasi.6 Ini penting bagi bayani, karena sebagi sumber pengetahuan
benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi
bisa dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Karena itu
kenapa pada masa tadwin (kodifikasi), khusunya kodifikasi hadits, para ilmuan begitu ketat dalam
menyeleksi sebuah teks yang bisa diterima. B. EPISTEMOLOGI BURHANI (Pengetahuan Berdasarkan

20
Prinsip Logika) Berbeda dengan Epistemologi Bayani yang mendasarkan diri pada teks dan Irfani yang
mendasarkan diri pada intuisi atau pengalaman spiritual, burhani menyadarkan diri pada kekuatan rasio
atau akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. A. Perjalanan Burhani Al-Burhani (demonstratif), secara
sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi
(qadhiyah) melalui 4 Ibid., hlm. 23. 5 Abd Wahab Khallaf, Ilm ushul al-fiqih (Kuwait: Dari al-Qalam,
1978), hlm. 34-35 6 Al-Jabiri, Bunyah.... hlm. 116
7. 7. 7| Filsafat Ilmu pendekatan deduktif (Al-Istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi). B. Bahasa dan Logika
Sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil
logika memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera yang
dikenal dengan istilah Tasawur dan Tashdiq. Tasawur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan
data-data dan indera, sedangkan Tashdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep
tersebut.7 C. EPISTEMOLOGI IRFANI (Penalaran Berdasarkan Intuisi) A. Pengertian Epistemologi Irfani
Epistemologi irfani adalah salah satu model penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, di
samping bayani dan burhani. Epistemologi ini dikembangkan dan digunakan dalam masyarakat sufi,
berbeda dengan epistemologi burhani yang dikembangkan dan digunakan dalam keilmuan- keilmuan
Islam pada umumnya. Istilah irfan sendiri berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa, semakna dengan
makrifat, yang berarti pengetahuan, tetap berbeda dengan ilmu (ilm). 8 irfan atau makrifat berkaitan
dengan pengetahuan yang diperolah secara langsung dari Tuhan (kasyf) lewat olah ruhani (riyadhah)
yang dilakukan atas dasar huf (cinta) atau iradah (kemauan yang kuat), sedangkan ilmu menunjuk pada
pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). 7 Ibn Rusyd, Kaitan
Filsafat dengan Syariat, hlm. 56 8 Al-Jabiri , Bunyah al-Aql al-Arabi ( Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-
Arabi, 1993), hlm. 251
8. 8.  Keempat, sarana yang digunakan dalam filsafat adalah rasio dan intelek, sedang sarana yang
dipakai dalam irfan adalah qalb (hati) dan kejernihan jiwa yang diperoleh lewat riyadlah secara terus-
menerus. 9 9 Ibid, hlm. 24. Ketiga, tujuan tertinggi dalam filsafat adalah memahami alam sedang
capaian akhir irfan adalah kembali kepada Tuhan, sedemikian rupa sehingga tidak ada jarak antara arif
dengan Tuhan.  Kedua, dalam pandangan filsafat, eksistensi alam sama riilnya dengan eksistensi
Tuhan, sedang dalam pandangan irfan, eksistensi Tuhan meliputi segala sesuatu dan adalah
manifestasi berbagai asma dan sifat- sifat-Nya.  Pertama, filsafat mendasarkan argumentasinya pada
postulat-postulat atau aksioma-aksioma, sedang irfan mendasarkan argumen-argumennya pada visi dan
intuisi. 8| Filsafat Ilmu B. Irfan, Etika, dan Filsafat Menurut Muthahhari (1920-1979M), irfan terdiri atas 2
aspek: praktis dan teoretis. Aspek praktis adalah bagian yang mendiskusikan hubungan antara manusia
dengan alam dan hubungan antara manusia dan Tuhan. Aspek teoretis irfan mendiskusikan hakikat
semesta, manusia dan Tuhan sehingga irfan teoretis mempunyai kesamaan dengan filsafat yang juga
mendiskusikan tentang hakikat semesta. Meski demikian, irfan tetap tidak sama dengan filsafat.
9. 9. 9| Filsafat Ilmu BAB III PENUTUP KESIMPULAN Untuk mendapatkan pengetahuan, Epistemologi
Bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan
kaidah bahasa Arab, seperti Nahwu dan Sharaf sebagai alat analisis. Kedua, menggunakan metode
qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama Epistemologi Bayani. Epistemologi Burhani, dengan
menggunakan prinsip-prinsip logika dan mengandalkan kekuatan nalar, telah berjasa mengembangkan
pemikiran Filsafat Islam. Dalam Epistemologi Irfani, seseorang harus menempuh perjalanan spiritual
lewat tahapan-tahapan tertentu (maqam) dan mengalami kondisi-kondisi batin tertentu sebagai sarana
pencapaian pengetahuan irfan siap untuk menerimanya, diantaranya adalah: Pertama, Taubat. Kedua,
Wara’. Ketiga, Zuhud. Keempat, Faqir. Kelima, Sabar. Keenam, Tawakkal dan Ketujuh, Ridha.
ANALISIS Berdasarkan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan
“realitas”, persoalan pokok (tool of analysis) yang ada di dalamnya adalah sekitar masalah lafal-makna
dan ushul- furu.
10. 10. 10| Filsafat Ilmu DAFTAR PUSTAKA Nasrah, “Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam”,
Universitas Sumatera Utara Nasution, Khoiruddin, “Pengantar Studi islam”. Yogyakarta: Tazzaff dan
ACAdeMIA, 2009. Zainuddin, M. “Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam”. Yogyakarta : Bayu Media,
2003.

21

Anda mungkin juga menyukai