Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

EPISTEMOLOGI IRFANI
Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu :
Sugeng Ali Mansur, M.Pd

Disusun oleh kelompok 12 :


Nur Liza Agustina (230501110143)
Muhammad Habib Al-Firdaus (230501110152)
Arya Duta Al-Hajry (230501110154)

KELAS A
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Pertama, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah
SWT. yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Epistemologi Irfani sebagai
tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan
kita Nabi Agung Nabi Muhammad SAW. Karena dengan jasa beliau kita dapat
merasakan indahnya agama Allah SWT. yakni agama Islam.
Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini, kami menghaturkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Ilmu yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga ingin mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah
ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saran dan tanggapan dari berbagai pihat sangat kami
harapkan demi penyusunan makalah yang lebih baik kedepannya. Semoga Paper
ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi masyarakat luas secara umum,
dengan izin-Nya.

Malang, 07 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan Masalah ............................................................................................ 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

A. Epistemologi Irfani....................................................................................... 3

1. Pengertian Epistemologi........................................................................... 3

2. Pengertian Al-Irfani .................................................................................. 3

B. Sumber Epistemologi Irfani ......................................................................... 6

C. Tahapan Memperoleh Pengetahuan Ruhani................................................. 8

BAB III.................................................................................................................. 10

PENUTUP ............................................................................................................. 10

A. Kesimpulan ................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum, Epistemologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang
kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani. Dalam pemetaan pemikiran
epistemologi ini, Muhammad „Abid al-Jabiri, seorang pemikir kontemporer
asal Maroko, memiliki andil besar dalam menjadikan epistemologi ini sebagai
kajian ilmiah. Dalam bukunya ‘Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (1989) (Formasi
Nalar Arab) ia mengatakan bahwa budaya dan tradisi pemikiran Islam pada
masa keemasan mengandung tiga struktur epistemologi yang saling bersaing,
yakni: bayani (eksplanasi), burhani (demonstrasi) dan irfani (gnostis).
Epistemologi bayani bertitik tolak pada teks-teks keagamaan dengan
menggunakan pendekatan konservatif, epistemologi burhani menggunakan
pendektan filsafat sedangkan epistemologi irfani menggunakan pendekatan
mistis.
Pada makalah ini, akan menjelaskan lebih detail tentang epistemologi irfani.
Epistemologi Irfani merupakan sebuah pengetahuan yang diperoleh melalui
intuisi, atau istilah agamanya disebut pengetahuan ma’rifah. Epistemologi
Irfani dalam sebuah kajian tafsir dalam pandangan penulis identik dengan
model dan corak tafsir sufistik. Metode ‘irfani adalah metode yang
menggunakan pengalaman dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Metode
ini menggunakan pengalaman atau penyaksian secara langsung dalam
mengungkap pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat Tuhan
kepada manusia.
Agar dapat memahami lebih dalam tentang epistemologi irfani, maka dari
itu kami tertarik untuk membuat makalah dengan judul: “Epistemologi Irfani”.

1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, terdapat beberapa rumusan masalah yang
terkandung dalam makalah ini, sebagai berikut :
1. Apa pengertian epistemologi irfani ?
2. Apakah Irfani berasal dari sumber luar Islam?
3. Bagaimana tahapan untuk memperoleh pengetahuan ruhani ?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah yang terkandung dalam makalah ini antara lain :
1. Menjelaskan pengertian epistemologi irfani.
2. Menjelaskan apakah Irfani berasal dari sumber luar Islam.
3. Menjelaskan bagaimana tahapan untuk memperoleh pengetahuan ruhani.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Epistemologi Irfani
1. Pengertian Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan (theory of knowledge), dilihat
secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani, epistemologi yang berarti
pengetahuan (knowledge), dan logos yang berarti teori tentang atau studi
tentang. Jadi secara terminologis, epistemologi merupakan cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan validitas
(keabsahan) pengetahuan. Dengan cara mengetahui unsur-unsur itulah
kemudian suatu pengetahuan dapat diiafirmasi validitasnya sebagai disiplin
ilmu yang berdiri sendiri. Lawan katanya adalah doxa yang berarti percaya,
yakni percaya begitu saja tanpa menggunakan bukti (taken for granted).1
2. Pengertian Al-Irfani
Irfani dari kata dasar bahasa Arab “ ‫ ” عرف‬semakna dengan “ ‫” معرفة‬,
berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu ( ‫) علم‬. Irfani atau
makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung
lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan
yang diperoleh lewat transformasi ( ‫ ) نقل‬atau rasionalitas ( ‫) عقل‬. Karena itu,
secara terminologis, Irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat Tuhan kepada
hamba-Nya ( ‫ ) كشف‬setelah adanya olah ruhani ( ‫ ) ریاضة‬yang dilakukan atas
dasar cinta (love).2
Epistemologi Irfani merupakan sebuah pengetahuan yang diperoleh
melalui intuisi, atau istilah agamanya disebut pengetahuan ma’rifah.
Epistemologi Irfani dalam sebuah kajian tafsir dalam pandangan penulis
identik dengan model dan corak tafsir sufistik. Model pengetahun ini dalam
kajian tafsir menimbulkan perbedaan pendapat mengingat adanya aspek

1
Abshor, M. U. Epistemologi Irfani (Sebuah Tinjauan Kajian Tafsir Sufistik). Jurnal At-Tibyan:
Jurnal Ilmu Alqur'an dan Tafsir, Vol. 3 No. 2 (2018). 250
2
Sutrisno, Peta Epistemologi Islam menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dalam Jurnal
Mukaddiamah, Nomor 9 tahun VI, 2000, h. 39.

3
pengetahuan yang bersumber dari dalam tanpa memperhatikan aspek
zahirnya. Sehingga ada yang menerima dan menolak. Epistemologi ini
dikembangkan dan digunakan dalam konteks masyarakat sufi, berbeda
dengan epistemologi burha>ni yang dikembangkan oleh para filosof atau
epistemologi baya>ni yang dikembangkan dan digunakan dalam keilmuan-
keilmuan Islam pada umumnya.
Istilah Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang
diperoleh secara langsung dari Tuhan (kasyf) lewat olah ruhani (riyâdlah)
yang dilakukan atas dasar hub (cinta) atau iradah (kemauan yang kuat),
sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi
(naql) atau rasionalitas (aql).3
Metode ‘irfani adalah metode yang menggunakan pengalamandalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Metode ini menggunakan pengalaman
atau penyaksian secara langsung dalam mengungkap pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakikat Tuhan kepada manusia. Menurut
filsafat, metode ‘irfaniini lebih dikenal dengan istilah intuisi.Sebagian
filosof membagi intuisi pada tiga macam. Pertama, berdasarkan
pengalaman indra, seperti pengetahuan tentang warna dan aroma suatu
objek. Kedua, berdasarkan nalar dan bersifak aksioma, seperti si A
adalah A, si A bukan B atau angka 10 lebih banyak dari angka 9.
Ketiga, ide cemerlang yang muncul secara tiba-tiba. Seperti yang
dialami ahli matematika Yunani Archimedes (212-287 M) ketika
kebingungan untuk membuktikan apakah mahkota Raja Hieron adalah
benar-benar emas murni atau telah dicampur oleh pandai emas yang
membuatnya dengan bahan selain emas? Namun yang menakjubkan,
justru jawaban dari kebingungan itu ditemukan bukan ketika berfikir, akan
tetapi jawaban itu “diinformasikan” Tuhan ketika berenang.
Dari pengalaman itu, kemudian pakar ini menemukan ide tentang
apa yang kemudian dinamai dengan berat jenis. Pengalaman serupa juga
pernah terjadi kepada Issac Newton (1642-1727 M). Pakar ini
menemukan gaya gravitasi setelah melihat apel yang terjatuh tidak jauh

3
Abshor, M. U. Op Cit. Hlm. 251

4
dari tempat ia duduk. Namun, hal yang perlu dicatat dalam konteks
intuisi jenis ketiga ini bahwa ide cemerlang itu hadir setelah didahului
pemikiran yang mendalam dan melelahkan menyangkut suatu objek, dan
ketika sang pemikir telah lelah, lalu beristirahat, tiba-tiba muncul jawaban
yangselama ini dicari dengan penuh kelelahan. Dua contoh yang
dekemukakan di atas adalah hal yang terjadi kepada pemikir dan
peneliti yang telah berfikir dalam mencari ilmu dan hakikat sesuatu
secara mendalam.
Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab intuisi ini bisa saja terjadi di
alam nyata, tetapi bisa juga terjadi di alam tidur. Mimpi yang dialami
manusia sering kali dialami manusia dalam bentuk tersirat, kemudian
makna dari mimpi itu baru disadari ketika kebenarannya terbukti di alam
nyata. Berulangnya sebuah mimpi yang kemudian terbukti di alam nyata
bisa menghasilkan penafsiran yang sama untuk mimpi itu. Seperti,
menafsirkan mimpi gigi tercabut atau rontok sebagai informasi tentang
kematian keluarga. Begitu juga yang terjadi kepada Umar bin Khaththab
yang bermimipi dipatuk seekor ayam jantan sebanyak dua kali.
kemudian beliau tafsirkan mimpi itu bahwa beliau akan dibunuh
seorang non-Arab, ternyata mimpi itu benar-benar terjadi di alam nyata.
Ibnu sina (980-1037 M) juga sangat sering mendapat jawaban melalui
mimpi menyangkut pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pikirannya di
alam nyata. Sebenarnya, metode ilmu jenis intuisi ini sudah
diinformasikan Allah dalam wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhhammad. Di sisi lain, Alquran juga menginformasikan bahwa ilmu
jenis ini juga telah diberikan kepada seorang nabi yang menjadi guru
seorang Nabi dan Rasul. Dengan demikian, perolehan ilmu jenis intuisi
ini adalah metode ilmiah yang diakui dalam ajaran Islam sekalipun
diingkari dalam metode ilmiah Barat.4

4
Rangkuti, C. Implementasi Metode Bayani, Burhani, Tajribi Dan ‘Irfani Dalam Studi Filsafat
Pendidikan Islam. WARAQAT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 1 No. 2 (2016). 6-8

5
B. Sumber Epistemologi Irfani
Persoalannya, benarkah irfani berasal dari sumber luar Islam? Benarkah
Islam sendiri tidak mempunyai ajaran soal irfani? Menurut Nicholson, irfani atau
sufisme adalah sesuatu yang rumit dan komplek, sehingga tidak bisa
dikemukakan jawaban sederhana atau berdasarkan satu aspek tentang
asalusulnya. Berdasarkan landasan ini kita mencoba melihat asal dan sumber
irfani.
Pendapat pertama, bahwa irfani berasal dari sumber Persia dan Majusi, jelas
tidak mempunyai dasar pijakan yang kokoh. (1) Perkembangan irfani dan
sufisme tidak sekedar upaya Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid Busthami. Banyak
tokoh Sufis Arab yang hidup di Mesir, Syiria dan Baghdad, seperti Dzun al-Nun
alMisri (w. 861 M), Abd al-Qadir Jailani (w. 1165 M), ibn Arabi (w. 1240 M),
Umar ibn Faridl (w. 1234 M), dan Ibn Athaillah al-Ikandari (w. 1309 M). Mereka
bahkan tokoh yang memberi pengaruh besar bagi perkembangan irfan
dikemudian hari. (2) Kemunculan Ma`ruf al-Kharki (w. 815 M) dan Bayazid
Busthami (w. 877 M) adalah setelah zaman Rasul, para sahabat dan angkatan
pertama kaum sufisme. Ini berarti mengabaikan sama sekali pengaruh kehidupan
Rasul, para sahabat dan tokoh pertama angkatan sufisme, seperti Hasan al-Basri
(w. 728 M), Malik ibn Dinar (w. 748 M), Rabiah al-Adawiyah (w. 752 M) dan
Ibrahim ibn Adham (782 M).5
Pendapat kedua, irfani dari Kristen. Memang diakui ada kemiripan antara
tasauf Islam dengan mistisisme Kristen, tetapi hal tidak cukup dijadikan alasan
bahwa irfan berasal dari sumber Kristen. Begitu pula tidak diingkari ada
pengaruh ajaran Kristen pada sebagian tokoh sufis, seperti al-Hallaj (858-913
M) yang menggunakan terminologi Kristen, seperti malakût, lahût dan nasût.
Tetapi, gejala seperti itu baru muncul pada masa akhir, setelah masa kedua dan
ketiga sufisme cukup mapan dan berpotensi menyangga munculnya angkatan
tasawuf berikutnya. Ajaran al-Qur`an, Sunnah, kehidupan Rasul dan para
sahabat lebih menyakinkan kita bahwa irfanidan latihan ruhani diambil dari
sumber Islam sendiri. Nicholson sendiri, pada kajian akhirnya, menyangkal

5
Nicholson, Mistik dalam Islam, terj. Tim Bumi Aksara, (Jakarta, Bumi Aksara, 1998), 8-9.

6
dasar irfani dari luar Islam. Menurutnya, Kristen memang mempunyai pengaruh
pada pertumbuhan irfan tetapi bukan sebagai sumbernya.
Pendapat ketiga, irfani dari sumber India. Tidak berbeda dengan pertama,
pendapat ini bahkan lebih tidak bisa diterima nalar. Tidak ada bukti konkrit yang
menunjukkan bahwa kaum sufis mengetahui doktrin dan latihan ruhani kaum
Hindu kecuali pada Abd al-Haqq ibn Sab`in (w. 1270 M), yang menulis al-
Risâlah al-Nuriyah. Disana ada bentuk pujian yang dikutip dari kalangan Hindu.
Tapi ini tidak ada artinya, karena sufisme dan irfani telah terpancang kuat lebih
dari 6 abad sebelumnya. Kaum orientalis sendiri, seperti Nicholson, O'leart dan
EG. Browne menolak pendapat tersebut.
Pendapat keempat, irfani dari Yunani, Neo-platonis atau Hermes. Tidak
diingkari adanya pengaruh Yunani terhadap irfan. Pemikiran illuminasi dan
wujud tunggal Plotinus (205-270 M) berpengaruh pada beberapa tokoh sufi,
seperti Suhrawardi (1153-1191 M), Ibn Arabi (1165-1240 M), ibn Faridl (w.
1234 M), Abd Karim al-Jilli (1365-1402 M) dan lainnya. Namun, menurut
Taftazani, hal itu bukan berarti semua tasawuf atau irfani Islam mesti bersumber
dari Yunani. Sebab, sikap angkatan pertama kaum sufi terhadap filsafat Yunani
berbeda dengan kaum teolog dan filosof abad-abad berikutnya. Para sufi tidak
membuka diri terhadap filsafat Yunani kecuali periode akhir, yakni ketika
mereka dengan sengaja berusaha mengkompromikan intuisinya dengan
wawasan intelektualnya, setelah masuk abad keenam hijriyah.6
Di samping itu, tasawuf atau irfani berkaitan dengan kesadaran dan
perasaan. Perasaan dan jiwa manusia adalah satu dan sama, meski berbeda ras
dan bangsa. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan
ruhani, bisa jadi sama, meski tanpa ada kontak diantara keduanya, sehingga
adanya kesamaan antara irfan dengan gnostisme asing bukan berarti
menunjukkan adanya keterpengaruhan. Karena itulah, pada aspek esoteris ini,
Ibn Arabi menelorkan ide wahdat al-adyân(kesatuan agama). Begitu pula yang
dilihat Huston Smith, bahwa hakekat seluruh agama ini adalah sama dan bertemu
dalam aspek esoterik (hakekat) atau irfan, meski pada aspek eksoterik berbeda.

6
Hadikusuma, W. Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding. Jurnal Ilmiah Syi'ar , Vol. 18 No. 1 (2018). 7-8

7
Inilah yang tidak dilihat oleh pengamat lain, termasuk Jabiri dari analisanya yang
menggunakan pendekatan antropologi. Dengan demikian, irfani sesungguhnya
berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya kemudian
dipengaruhi oleh faktor luar, Yunani, Kristen, Hindu atau yang lain. Beberapa
tokoh orientalis seperti Nicholson, Louis Massignon, Spencer Trimingham, juga
menyatakan hal yang sama tentang sumber asal irfani atau sufisme Islam.7

C. Tahapan Memperoleh Pengetahuan Ruhani


Pengetahuan dalam term ini tidak didasarkan atas teks seperti baya>ni ,
tetapi pada kasyf atau istilah Henri Bergson disebut pengetahuan intuitif,
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. karena itu, pengetahuan Irfani
tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan
kepada orang lain secara logis.
Dengan demikian pengetahuan Irfani setidaknya diperoleh melalui tiga
tahapan, tahap Pertama, persiapan untuk bisa menerima limpahan pengetahuan
dari Tuhan yang berupa (Kasyf), seseorang harus menempuh jenjang jenjang
kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani mulai dari
bawah hingga menuju puncak. (1) Taubat, kembali pada Allah dan menyesali
perbuatannya dengan sungguh. (2) Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu
yang subhat. (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
(4) Faqir, mengkosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan dan tidak
menghendaki apapun kecuali dari Allah SWT, (5) Sabar, menerima segala
bencana dengan laku sopan dan rela. (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang
ditentukan-Nya. (7) Ridha, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga
yang tersisa hanya gembira dan suka cita.
Tahap Kedua penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufism
seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara

7
Hadikusuma, W. Ibid. Hlm. 7-8

8
illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mutlaq (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat
realitas dirinya sendiri (musya>hadah) sebagai objek yang diketahui. Namun,
realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu
yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama. Sehingga objek yang
diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitulah
sebaliknya (Ittiha>d) yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut “Ilmu Hudhuri”
atau pengetahuan swaobjek (Self-ObjekKnowledge).
Tahap Ketiga, pengungkapan dengan pengalaman mistik diinterpretasikan
dan diungkapkan kepada orang lain lewat tulisan atau ucapan yang dalam
epistemologi alGhazali diungkapkannya sebagai ilmu laduni.15 Namun, karena
pengetahuan irfani bukan masuk dalam tatanan konsepsi dan representasi akan
tetapi kehadiran Tuhan masuk dalam diri setiap makhluq sehingga tidak bisa
dikomunikasikan maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.8

8
Abshor, M. U. Op Cit. Hlm. 253-254

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

10
DAFTAR PUSTAKA

Abshor, M. U. (2018). Epistemologi Irfani (Sebuah Tinjauan Kajian Tafsir


Sufistik). Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur'an dan Tafsir, 3(2), 249-264.

Hadikusuma, W. (2018). Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan


Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik dan
Peacebuilding. Jurnal Ilmiah Syi'ar 18 (1), 288055.

Nicholson. (1998). Mistik dalam Islam, terj. Tim Bumi Aksara. Jakarta: Bumi
Aksara.

Rangkuti, C. (2016). Implementasi Metode Bayani, Burhani, Tajribi Dan ‘Irfani


Dalam Studi Filsafat Pendidikan Islam. WARAQAT . Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, 1(2), 1-12.

Sutrisno. (2000). Peta Epistemologi Islam menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri.


Jurnal Mukaddiamah, Nomor 9 tahun VI, 39.

11

Anda mungkin juga menyukai