Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PENGERTIAN IRFANI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tafsir Irfani
Dosen pengampu: Dr. Abdullah Mahmud M.Ag

Disusun oleh:
Umi Fadhilah_G100210006
Lina Saffanatun Nisa’_G100210033
Artifah Tomi rahmawati_G100210037
Salwa Aida Fitria_G100210048

PROGRAM STUDI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... 2
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................. 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................. 4
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................ 5
C. TUJUAN PENULISAN .......................................................................................................... 5
BAB II..................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 6
A. PENGERTIAN IRFANI .......................................................................................................... 6
B. TAHAPAN MEMPEROLEH PENGETAHUAN IRFANI ..................................................... 7
C. IMPLEMENTASI IRFANI DALAM KEHIDUPAN ............................................................ 19
BAB III ................................................................................................................................................. 21
KESIMPULAN ............................................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 21

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pengertian Irfani”.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Tafsir Irfani. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai
pengertian irfani.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Abdullah Mahmud, Drs. M.Ag, selaku dosen
mata kuliah Tafsir Irfani yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan tema yang menjadi tugas kami .
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam Bunyah al-’Aql al-’Arabi Muhammad Abid al-Jabiri mengurai idenya berawal
dari kegelisahan beliau mengamati fenomena dunia Arab modern yang gagap dengan laju
zaman. Maka hadirlah rumusan kerangka teoritik dari tiga masalah umat. Pertama,
kecenderungan sufistik yang mereduksi segala sesuatu menjadi “mistis”, yang lepas dari
realitas. Kedua, tendensi filosofis yang mereduksi semuanya harus masuk akal. Ketiga,
tendensi hukum yang mereduksi segalanya harus selaras dengan teks.(Damanik, 2019)
Dari tiga masalah umat tersebut, al-Jabiri menawarkan metode bayani, irfani dan burhani
untuk merekonstruksi cara berpikir. Seyogyanya ketiga pendekatan tidak dibiarkan berjalan
sendiri-sendiri. Ketiganya harus berjalin berkelindan agar tercapai kontruksi berfikir yang utuh
dan dapat dipertanggungjawabkan.(Rangkuti, 2020)
Pengertian dari 3 metode yang ditawarkan adalah,
1. Bayani, metode berfikir yang berdasarkan pada teks kitab suci (Al-quran). Secara leksikal-
etimologis, term bayani atau bayan mengandung beragam arti, yaitu, kesinambungan (al-
washl), keterpilahan (al-fashl), jelas dan terang (al-zhuhur wa alwudhuh) dan kemampuan
membuat terang dan jelas. Pendekatan bayani melahirkan sejumlah produk hukum islam
(fiqih islam) dan bagaimana cara menghasilkan hukum dimaksud (ushul fiqih) dengan
berbagai variasinya. Selain itu juga melahirkan sejumlah karya tafsir Al-quran. Menurut
Abid Al- jabiri, nalar bayani terdapat dalam kajian ilmu kebahasaan, nahwu, fiqih
(yurisprudensi islam), teologi (ilmu kalam) dan ilmu balaghah. (Idrus, 2019)
2. Irfani adalah model penalaran yang berdasarakan atas pendekatan dan pengalaman spiritual
langsung atas realitas yang tampak. bidik irfani adalah esoterir atau bagian batin, oleh karena
itu, rasio yang dugunakan hanya untuk menjelaskan pengalaman spritual. metodologi dan
pendekatan irfani mampu menyusun dan mengembangkan ilmu kesufian. Kalangan
Irfaniyyun dalam dunia Islam menjadikan istilah dzahir-batin sebagai konsep yang
melandasi cara berpikirnya dalam memandang dunia dan memperlakukan segala
sesuatunya. Pola sistem berpikir yang mereka pakai adalah berangkat dari yang batin
menuju yang dzahir: dari makna menuju lafadz. Batin bagi mereka adalah sumber
pengetahuan, karena batin adalah hakekat, sementara dzahir teks adalah penyinar.(Wati &
Hasanah, 2021)

4
3. Burhani dalam khasanah kosa kata Arab, menurut Ibn Mansyur berarti argumen yang
jelas dan tegas atau kerangka berfikir yang tidak didasarkan pada teks suci maupun
pengalaman spritual melainkan berdasarkan keruntutan logika. Kebenaran harus
dibuktikan secara empirik dan diakui menurut penalaran logis. Pendekatan burhani
mampu menyusun cara kerja keilmuan dan mampu melahirkan sejumlah teori dan
praktis ilmu seperti : ilmu-biologi, fisika, astronomi, geologi dan bahkan ilmu
ekonomi, pertanian dan pertambangan. Menurut al-Jabiri, epistemologi burhani
merupakan cara berpikir masyarakat Arab yang bertumpu pada kekuatan natural
manusia, pengalaman empirik dan penilaian akal, dalam mendapatkan pengetahuan
tentang segala sesuatu. Sebuah pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat.
(Aini & Prastowo, 2022)
Dari berbagai penjelasan diatas, maka tulisan ini akan membahas lebih detail tentang
pengertian irfani, tahapan memperoleh pengetahuan irfani dan implementasinya dalam
kehidupan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan tiga masalah dalam makalah ini
1. Apakah pengertian irfani
2. Bagaimana memperoleh pengetahuan irfani
3. Seperti apakah implementasi irfani dalam kehidupan

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, ada tiga tujuan yang ingin
dicapai,
1. Memaparkan pengertian irfani
2. Memaparkan tahapan memperoleh pengetahuan irfani
3. Memaparkan implementasi irfani dalam kehidupan

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IRFANI

Sebagaimana yang telah diuraikan sekilas pada pendahuluan, bahwa irfani adalah model
penalaran berdasar pada pendekatan dan pengalaman spiritual langsung atas realitas yang
tampak. Oleh karenanya rasio yang digunakan hanya menjelaskan pengalaman spritual.
Maka perlu diketahui bahwa, Irfani dari segi bahasa bermakna diam dan tenang. Namun
secara harfiyah al ‘irfan adalah mengetahui, berfikir dan mengkaji dengan dalam. Penjelasan
lain, Irfani dari kata dasar bahasa Arab “ ‫ ” ﻋﺮف‬semakna dengan “ ‫” ﻣﻌﺮﻓﺔ‬, pengetahuan. Tetapi
ia berbeda dengan ilmu ( ‫) ﻋﻠﻢ‬. Sehingga irfan disini lebih khusus dari pada ilmu. Irfani atau
makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh langsung melalui pengalaman
(experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh melalui
transformasi/naql ( ‫ ) ﻧﻘﻞ‬atau rasionalitas/aql ( ‫) ﻋﻘﻞ‬. (Samsudin, 2019)
Irfani dalam tinjauan terminologis bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat Tuhan kepada hamba-Nya ( ‫) ﻛﺸﻒ‬

setelah adanya olah ruhani ( ‫ ) رﯾﺎﺿﺔ‬yang dilakukan atas dasar cinta (love). (Mustofa et al.,
2022)
Berbeda dari bayani dan burhani, sasaran bidik Irfani adalah aspek esetorik (bersifat
khusus, rahasia atau terbatas) apa yang ada dibalik teks atau dengan ungkapan lain.
Sedangkan ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh dengan
mengandalkan sarana indera dan intelek melalui,
Pertama, istidlal. Istidlal secara umum berarti pengambilan dalil, baik menggunakan dalil
Qur`an, as-Sunnah, maupun al- Maslahah, dengan menggunakan metode yang muttafaq yakni
Qur`an, as-Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas, atau metode yang masih mukhtalaf yakni Mazhab as-
Shahabi, al-Urf, dan Syar`u Man Qablana, istihsan, istihlah maupun sad al-dzara’i.(Muhaimin,
2018)
Kedua, nazhari. Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran. Lebih jelasnya,
dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa
diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain.(Khamid, 2021)
Ketiga, burhan. Burhan adalah bukti dari Allah untuk menunjukkan suatu kebenaran yang di
turunkan kepada hamba-hamba nya yang terpilih, dan untuk membantah bagi orang-orang
yang tidak mempercayai-Nya.(Wijaya, 2015)
6
Maka ‘Irfani (pengetahuan esoterik) pengetahuan yang diperoleh dengan qalb (hati)
melalui,
1. Kasyf
Kasyf merupakan buah ketakwaan yang sebagiannya diberikan Tuhan di dunia kepada
orang yang telah mensucikan dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi orang yang
menemukan kasyf bukan hasil dari ketakwaan disebut kasyf syaythaniyyah.(Arif et al.,
2020)
2. Ilham
Ilham artinya dalam Islam adalah sesuatu yang bersumber dari Allah ataupun malaikat,
yang membuat seseorang dapat memahami perintah, larangan, motivasi, hingga ancaman.
Ilham berbeda dengan wahyu atau rasa was-was dalam hati. Ilham datang dari malaikat
sedangkan rasa was-was datangnya dari setan.(Asmaya, 2018)
3. I’iyan (persepsi langsung)
Persepsi langsung (direct perception), menyatakan bahwa persepsi terbentuk dari
perolehan informasi secara langsung dari lingkungan.
4. Isyraq
Isyraqiyyah Suhrawardi merupakan aliran yang mengandalkan perolehan pengetahuan
melalui suatu pencerahan spiritual, dan bukan melalui rasionalisasi (pemikiran rasional).
Wujud, dalam aliran ini, identik dengan cahaya. Sumber segala cahaya adalah
Tuhan.(Faza, 2019)
Pengetahuan dalam term ini tidak didasarkan atas teks seperti bayani , tetapi pada kasyf
atau pengetahuan intuitif, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan Irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya, masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara
logis.

B. TAHAPAN MEMPEROLEH PENGETAHUAN IRFANI

Pengetahuan Irfani dapat diperoleh melalui tiga tahapan,


Tahap pertama, persiapan untuk bisa menerima limpahan pengetahuan dari Tuhan
yang berupa Kasyf. Seseorang harus menempuh jenjang jenjang kehidupan spiritual.
Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani mulai dari awal hingga menuju akhirnya
atau puncak.
7
Taubat
Secara Bahasa, at-taubah berasal dari kata ‫ب‬
َ ‫ ت ََو‬yang bermakna kembali. Dia
bertaubat, artinya ia kembali dari dosanya (berpaling dan menarik diri dari dosa) Taubat,
kembali kepada Allâh dengan melepaskan hati dari belenggu yang membuatnya terus-menerus
melakukan dosa lalu melaksanakan semua hak Allâh Azza wa Jalla .
Secara Syar’i, taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allâh, menganggapnya
buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan
memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.
Adapun syarat-syarat taubat adalah
• Hendaknya taubat itu dilakukan dengan ikhlas. Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat
adalah kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya terhadap Allâh,
harapannya untuk pahala disertai rasa takut akan tertimpa adzab-Nya. Ia tidak menghendaki
dunia sedikitpun dan juga bukan karena ingin dekat dengan orang-orang tertentu. Jika ini
yang dia inginkan maka taubatnya tidak akan diterima. Karena ia belum bertaubat kepada
Allâh Azza wa Jalla namun ia bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia yang dia
inginkan.
• Menyesali serta merasa sedih atas dosa yang pernah dilakukan, sebagai bukti penyesalan
yang sesungguhnya kepada Allâh dan luluh dihadapan-Nya serta murka pada hawa nafsunya
sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan. Taubat seperti ini adalah
taubat yang benar-benar dilandasi akidah, keyakinan dan ilmu.
• Segera berhenti dari perbuatan maksiat yang dia lakukan. Jika maksiat atau dosa itu
disebabkan karena ia melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia langsung
meninggalkan perbuatan haram tersebut seketika itu juga. Jika dosa atau maksiat akibat
meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang
diwajibkan itu seketika itu juga. Ini apabila hal-hal wajib yang ditinggalkan itu bisa diqadha’
misalnya zakat atau haji.
Taubat orang yang terus-menerus melakukan perbuatan maksiat itu tidak sah. Jika ada
seseorang yang mengatakan bahwa dia bertaubat dari perbuatan riba, namun dia tidak
meninggalkan perbuatan ribawi itu, maka taubat orang ini tidak sah. Bahkanini termasuk
mempermainkan Allâh Azza wa Jalla . Orang seperti ini, bukan semakin dekat kepada Allâh
namun sebaliknya dia semakin jauh. Begitu juga, misalnya ada orang yang menyatakan
dirinya bertaubat dari meninggalkan shalat fardhu secara berjama’ah, namun dia tetap saja
meninggalkan shalat ini, dia tetap tidak berjama’ah. Taubat orang ini juga tidak diterima.

8
Jika maksiat itu berkaitan dengan hak-hak manusia, maka taubatnya tidak sah kecuali
setelah ia membebaskan diri dari hak-hak tersebut. Misalnya, apabila maksiat itu dengan
cara mengambil harta orang lain atau menentang hak harta tersebut, maka taubatnya tidak
sah sampai ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya apabila ia masih hidup, atau
dikembalikan kepada ahli warisnya, jika telah meninggal. Apabila diketahui ia tidak
memiliki ahli waris, maka harta itu diserahkan ke baitul mâl. Dan apabila tidak diketahui
pemilik harta yang diambilnya tersebut, maka ia sedekahkan harta tersebut atas nama
pemiliknya. Apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah (menggunjing) seorang
Muslim, maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu, bila yang
dighibah tahu, atau ia khawatir orang yang digunjing akan tahu. Jika tidak, maka cukup
baginya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digunjing dan memujinya di
tempat ia menggunjingnya dahulu. Karena sesungguhnya perbuatan baik akan
menghilangkan keburukan.
Dan taubah seseorang dari dosa tertentu tetap sah, sekalipun ia masih terus-menerus
melakukan dosa yang lain. Karena perbuatan manusia itu banyak macamnya, dan imannya
pun bertingkat-tingkat. Namun orang yang bertaubat dari dosa tertentu itu tidak bisa
dikatakan dia telah bertaubat secara mutlak. Dan semua sifat-sifat terpuji dan kedudukan
yang tinggi bagi orang yang bertaubat, hanya bisa diraih dengan bertaubat dari seluruh dosa-
dosa.
• Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang. Karena ini
merupakan buah dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya. Jika ia mengatakan
telah bertaubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari
nanti, maka taubatnya saat itu belum benar. Karena taubatnya hanya sementara, si pelaku
maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja. Taubatnya ini tidak menunjukkan
bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu menjauh darinya dan selanjutnya
melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla.
• Taubat itu dilakukan bukan pada saat masa penerimaan taubat telah habis. Jika taubat itu
dilakukan setelah habis waktu diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima.
Berakhirnya waktu penerimaan taubat itu ada dua macam: (Pertama,) bersifat umum berlaku
untuk semua orang dan (kedua) bersifat khusus untuk setiap pribadi.

Wara’
“Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah”.
Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana
9
mestinya, mengagungkan larangan dan syi’ar-syi’ar-Nya, akan melakukan pengagungan
sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala di dunia maupun di akhirat.
Maka wara’ di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan
banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak
merugikan agamanya.
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara’ adalah kehati-hatian
mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk
maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫ت ﻓَﻘَدْ ا ْستَب َْﺮأَ ِل ِد ْﯾنِ ِه َوﻋ ِْﺮ‬
‫ﺿ ِه‬ ِ َّ‫ام بَ ِي ٌن َوبَ ْينَ ُه َمﺎ أ ُ ُﻣ ْو ٌر ُﻣ ْﺸت َ ِب َهﺎتٌ الَﯾَ ْﻌﻠَ ُم ُه َّن َﻛثِي ٌْﺮ ﻣِ نَ الن‬
ُّ ‫ ﻓَ َم ِن اتَّﻘَى ال‬,‫ﺎس‬
ِ ‫ﺸبُ َهﺎ‬ َ ‫ِإ َّن ْال َحالَ َل بَ ِي ٌن َو ِإ َّن ْال َح َﺮ‬
“Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal
syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari
hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.”
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya
bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: “Dan sesungguhnya orang
yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan).”
Maka wara’ yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin ‘Ubaid
rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri
sendiri di setiap kedipan mata.
Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap
akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya.
Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya:
‘Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram.
Barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan
yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka
barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh”.
Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan:
‘Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa
menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti
memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat
menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada
penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak
ada waktu untuk beribadah, pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan
10
disaksikan dengan pandangan mata.(Gani, 2020)
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara’ adalah kemampuannya meninggalkan
sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-
Khaththabi rahimahullah: ‘Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara’ adalah
menjauhinya.’ Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan
rahimahullah: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’: “Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.”

Zuhud
Imam Al-Ghazali menerangkan zuhud yang berkaitan harta duniawi. Menurutnya,
banyak orang keliru memahami zuhud. Banyak orang mengira, zuhud merupakan kondisi
papa dan menjauhi kehidupan (harta) duniawi. Ini anggapan keliru yang terlanjur populer di
masyarakat.
Imam Al-Ghazali kemudian meluruskan kekeliruan pandangan terkait zuhud
sebagaimana berikut :“Ketahuilah, banyak orang mengira, orang yang meninggalkan harta
duniawi adalah orang yang zuhud (zahid). Padahal tidak mesti demikian. Pasalnya,
meninggalkan harta dan berpenampilan “buruk” itu mudah dan ringan saja bagi mereka yang
berambisi dipuji sebagai seorang zahid,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul
Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz IV, halaman 252).
Berapa banyak kelompok rahib, kata Imam Al-Ghazali, yang mengonsumsi sedikit
makanan setiap harinya? Mereka juga mendiami padepokan tanpa pintu? Tetapi mereka
mengharapkan perhatian masyarakat agar disebut sebagai kelompok yang zuhud. Padahal
sikap demikian sama sekali tidak menunjukkan kezuhudan karena kezuhudan dari harta
duniawi tidak dapat dilepaskan dari kezuhudan yang berkaitan dengan ketenaran. Adapun
hakikat zuhud itu sendiri adalah kondisi batin yang tidak tercemar oleh ambisi harta duniawi.
Hal ini diangkat oleh Imam Al-Ghazali ketika menceritakan kezuhudan ulama besar dalam
Islam Imam Malik ra yang kaya raya dan dermawan. Imam Malik ra adalah orang yang zuhud
di mana harta duniawi tidak singgah di dalam hati dan pikirannya. Sementara ia adalah ulama
besar yang kaya raya.
“Zuhud bukan berarti ketiadaan harta duniawi. Zuhud merupakan kesucian hati dari
harta duniawi. Nabi Sulaiman as sendiri di tengah gemerlap kekuasaannya tetap tergolong
orang yang zuhud,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: I/43).
Menurut Imam Al-Ghazali ada tiga tanda kezuhudan,
1. Tidak terpengaruh oleh keberadaan dan ketiadaan harta. Tanda pertama, tidak berbangga
11
ketika berada dan tidak bersedih ketika tiada harta sebagaimana firman Allah, ‘Agar kalian
tidak putus asa atas harta yang luput dan tidak berbangga dengan apa yang Allah berikan
kepada kalian,’ (Surat Al-Hadid ayat 23),” (Al-Ghazali, 2018 M: IV/252).
2. Tidak terpengaruh oleh pujian dan hinaan. “Tanda kedua, orang yang menghina dan
memujinya sama saja baginya,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M: IV/252). Kalau tanda pertama
berkaitan dengan kezuhudan harta, maka tanda kedua berkaitan dengan kezuhudan
kepangkatan/kewibawaan, kata Imam Al-Ghazali. Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil
Muttaqin Syarah Kitab Ihya Ulumiddin mengatakan perihal tanda kedua. Menurutnya, orang
yang zuhud takkan bahagia mendengar pujian orang lain dan tidak kecewa menerima hinaan
orang lain.
3. Terhibur atau senang dengan Allah SWT. “Tanda ketiga, senang dengan Allah yang
ditandai dengan kenikmatan ibadah dalam hatinya,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M: IV/252).

Faqir
Kata “faqr” berarti: melarat, tidak memiliki apa yang dibutuhkan. Bagi para sufi, kata
“faqr” berarti: Mengosongkan hati (takhalli) dari segala bentuk entitas, selain baqa` di dalam
hubugan antara hamba dengan Tuhan. Kata ini juga berarti: Kesadaran atas kebutuhan kepada
Allah semata dan hidup dalam kesadaran atas kecukupan pada makhluk.
Demikianlah pengertian dari “faqr” yang dipahami para ahli tasawuf. Sebagaimana
halnya pengertian para sufi ini bukanlah pengertian “faqr” seperti yang dipahami oleh orang
kebanyakan, yaitu berarti “kekurangan”, maka mereka juga tidak perlu menunjukkan kefakiran
mereka kepada manusia.
Kefakiran adalah bentuk tawajuh langsung kepada sang Mahaesa, dengan memutus
hubungan dengan semua entitas. Itu dilakukan sesuai kesanggupan manusia untuk
meninggalkan semua yang fana dengan hatinya untuk kemudian mengalami fana` dalam sifat
dan Dzat Ilahi. Pada saat itu terjadi, maka sang salik telah berhasil mencapai “faqr” dan “fakhr”
(kebanggaan) sekaligus, sehingga muncullah kata-kata yang berbunyi “al-faqr fakhriy”
(kefakiran adalah kebanggaanku).
Ada sebuah penjelasan tentang kefakiran dalam kata-kata kudus sebagai berikut, ketika
seseorang sampai pada dimensi iman dan ketundukan, maka semua kehendak, keinginan, dan
kekuatan akan hilang, sehingga yang tersisa hanyalah daya dan kekuatan Allah. Kalau orang
yang mengalami ini memiliki kekayaan seisi dunia, ia pasti akan menganggap sebuah itu hanya
sebagai khayalan belaka, karena semuanya pasti akan hilang musnah. Pada saat itu dia tidak
akan melihat apapun selain Allah, tidak akan mengetahui apapun selain Allah, tidak akan
12
memikirkan apapun selain Allah, dan tidak akan mempercayai apapun selain Allah, sembari
menyadari kelemahan dan kefakirannya. Dengan begitu, maka dia tidak akan mencari
perlindungan kemanapun selain hanya kepada Allah dan dia akan peduli pada siapapun selain
Allah swt.

Sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab shobaro yang berarti
menahan, mencegah atau tabah. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari
sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan
anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Jadi sabar di sini adalah suatu kekuatan, daya
positif yang mendorong jiwa untuk menunaikan suatu kewajiban. Di samping itu pula bahwa
sabar adalah suatu kekuatan yang menghalangi seseorang untuk melakukan kejahatan. Orang
yang sabar akan tahan menerima hal-hal yang tidak disenangi atau tidak mengenakkan dengan
ridha dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Sabar merupakan salah satu kunci untuk meraih
kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Pembagian sabar,
1. Sabar dalam melaksanakan taat kepada Allah
Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan, “Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan
shalat dan bersabarlah dalam memerintahkannya.” (QS. Thaha: 132). Dalam ayat disebutkan
perintah sabar dalam melaksanakan taat, yaitu seorang suami harus bersabar dalam
memerintahkan istrinya untuk mengerjakan shalat. Memang seperti itulah tugas seorang suami,
ia harus bisa memimpin bahtera rumah tangganya dan memerintahkan keluarganya untuk
melakukan kebaikan.
Dalil lainnya, “Dan bersabarlah kamu terhadap orang-orang yang senantiasa berdoa
kepada Rabbnya di waktu pagi dan sore hari dengan mengharap wajah-Nya.” (QS. Al-Kahfi:
28). Ayat tersebut memerintahkan sabar terhadap orang-orang baik, yang senantiasa berdoa
dan menyeru di jalan Allah. Karena yang namanya pertemanan, pasti akan dijumpai suatu hal
yang tidak menyenangkan, oleh karena itu Allah perintahkan bersabar jika menjumpai suatu
hal yang tidak menyenangkan dari saudaranya.
2. Sabar dalam menjauhi kemaksiatan
Hal inilah yang terjadi pada Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Beliau diajak berzina oleh istri
seorang al-‘aziz di tempat yang sudah aman lagi tertutup rapat, sehingga tidak mungkin ada
orang yang tahu. Selain itu, istri al-‘aziz juga memiliki kekuasaan dan kekuatan terhadap
Yusuf, namun Yusuf mampu menghidari ajakan berzina dari seorang wanita yang cantik,
13
padahal dia sendiri adalah seorang pemuda yang masih belia, sehingga sangat mudah untuk
tergoda melakukan zina. Akan tetapi, Yusuf lebih memilik bersabar dalam menjahi
kemaksiatan sehingga ia pun rela dipenjara. Sebagiamana yang Allah ceritakan dalam firman
Nya, “Yusuf berkata: ‘Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
mereka kepadaku. Dan jika Engkau tidak hindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan
cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
bodoh’.” (QS. Yusuf: 33).
3. Sabar dalam menerima takdir Allah
Sabar jenis yang ketiga adalah dalam menerima takdir yang Allah berikan. Allah Ta’ala
berfirman, “Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Rabbmu.” (QS. Al-Insan:
24). Takdir adalah sebuah ketetapan Allah, dari takdir yang baik sampai takdir yang buruk,
seorang muslim wajib menerimanya. Dia tidak boleh protes dengan takdir yang telah Allah
tetapkan untuknya. Karena setiap takdir yang Allah tetapkan, pasti ada hikmahnya.
Namun seorang tidak boleh melakukan dosa dan maksiat dengan alasan takdir. Takdir
yang telah Allah tetapkan, wajib seorang muslim untuk ridha kepadanya. Akan tetapi,
perbuatan buruk yang dilakukan semisal dosa dan maksiat, kita dilarang ridha. Patut dibedakan
dalam 2 hal ini. Ketika seorang muslim tertimpa takdir yang buruk semisal musibah sakit atau
kematian, ingatlah bahwa para Rasul memiliki cobaan yang jauh lebih berat dibanding kita
semua. Oleh karena itu Allah perintahkan kita untuk meniru para Rasul dalam hal bersabar.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran para
rasul yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar (adzab) disegerakan
untuk mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 35)
Demikianlah 3 macam kesabaran yang disebutkan dalam Al-Quran. Semuanya memiliki
tingkatan keutamaan yang berbeda tergantung masing-masing orang. Ada yang lebih utama
bersabar dalam menjauhi maksiat, dikarenakan lebih sulit baginya dibandingan untuk
melakukan taat. Ada pula yang lebih utama bersabar dalam takdir Allah, dikarenakan lebih
sulit baginya dibandingkan untuk menjauhi maksiat.
Seseorang tidak mungkin mempunyai kesabaran kecuali jika ia dibantu oleh cahaya
iman. Kesabaran memiliki lima ciri sebagai berikut:
1. Ketika diagung-agungkan, ia kemudian dihina;
2. Ketika berlaku jujur, ia dituduh sebagai pembohong;
3. Ketika menyeru orang-orang menuju kebenaran, ia dicerca;
4. Ketika dilukai, ia tidak melakukan kejahatan apa pun;
5. Ketika ia menuntut haknya, mereka menentangnya.
14
Ali bin Abu Thalib berkata, “Hubungan sabar dengan iman adalah seperti hubungan
kepala dengan badan. Jika kepala terpotong, badan akan binasa. Dengan demikian, tidak ada
iman tanpa sabar.”
Untuk dapat bersabar, agama Islam mengajarkan perilaku dalam kehidupan, antara lain :
1. Tahan ketika menghadapi hantaman pertama. Nabi Muhammad saw. bersabda: yang
artinya:“Sabar yang sesungguhnya ialah ketika menghadapi hantaman pertama”. (H.R.
Bukhari)
2. Ketika ditimpa musibah, segera mengingat Allah dan mohon ampunan Nya. Sebagaimana
firman Allah swt. : yang artinya: “(Orang-orang yang sabar ialah) mereka yang ketika
ditimpa musibah, berkata; sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami
akan kembali kepada Nya”. (Surah Al-Baqarah [2]:156)
3. Tidak menampakkan musibahnya kepada orang lain, seperti yang dicontohkan oleh istri
Abu Talkhah (Ummu Sulaim) ketika ditinggal mati anaknya. (H.R. Muslim)
4. Sabar menghadapi semua cobaan dengan ikhlas kepada Allah. Allah berfirman dalam hadis
Qudsy: “Hambaku yang mukmin, yang bersabar dengan pasrah kepada-Ku ketika
kekasihnyaAku panggilkembali(mati), kepadanya takada balasan yang layakdari-Ku selain
surga.“ Perhatikan hadis Nabi Muhammad saw. tentang keutamaan sabar yang artinya :
“Kalaulah kesabaran itu berwujud seseorang lelaki, niscaya ia akan menjadi orang mulia
dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. (H.R. AtTabrani). dalam hadis lain
disebutkan : Sabar terhadap sesuatu yang engkau benci merupakan kebajikan yang besar
(H.R. At-Turmuzi).
Dampak Positif Sabar
1. Memberi ketenangan pada tubuh dan pikiran
Dengan sabar membuat tubuh dan pikiran lebih tenang, anda tidak terbebani dengan target
yang akan anda capai, dan juga tidak stres.
2. Menikmati Proses
Apabila anda terburu-buru, maka anda akan terus berusaha dan hanya melihat target saja.
Karena setiap proses begitu berharga maka nikmatilah proses tersebut.
3. Menyimbangkan Tempo dengan Pemikiran
Bukan hanya diri anda saja yang terkena dampak jika tidak sabar, maka lingkunganpun juga
akan terpengaruh . Dan juga dapat memiliki emosi yang stabil dan tidak mudah dipengaruhi
oleh lingkungan sekitar.
4. Hidup Damai

15
Ketidaksabaran akan mengakibatkan kegelisahan, kebencian, dan permusuhan. Apabila
anda sabar, maka akan merasakan hidup lebih damai karena setiap hal yang dilakukan akan
mengalir dengan sendirinya.
”Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung”.

Tawakal
Tawakal berasal dari kata ‫( وﻛﻞ‬wakala) yang berarti menyerahkan, mempercayakan dan
mewakilkan urusan kita kepada orang lain. Dalam kaitan ini penyerahan tersebut adalah kepada
Allah Swt. Tujuannya, untuk mendapat kemashlahatan dan menghilangkan kemudharatan.
Secara istilah arti tawakkal adalah menyerahkan suatu urusan kepada kebijakan Allah Swt.,
yang mengatur segalanya-galanya. Berserah diri (tawakkal) kepada Allah Swt. adalah salah
satu perkara yang diwajibkan dalam ajaran agama Islam. Berserah diri (tawakkal) kepada Allah
Swt. dilakukan oleh seorang muslim apabila sudah melaksanakan Ikhtiar (usaha) secara
maksimal dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya.
Tawakkal dilaksanakan setelah manusia melakukan iktiar dengan maksimal, maka
tawakal kepada Allah Swt. tidak dibenarkan apabila menyerahkan (tawakkal) segala urusan
kepada Allah Swt. sebelum melaksanakan usaha semaksimal mungkin. Demikian juga
tawakkal yang ditujukan kepada selain Allah Swt. termasuk perbuatan syirik yang harus dijauhi
oleh setiap orang yang beriman.
Dalil naqli perilaku tawakal adalah, firman Allah dalam Al Qur’an surah Al-Maidah ayat
23, sebagai berikut:“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah)
yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu
gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan Hanya
kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman”. (QS. Al-Maidah [5]:23). Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia dikatakan
beriman apabila sudah bertawakkal kepada Allah Swt.
Firman Allah dalam Al Qur’an surah Ali Imran ayat 159, sebagai berikut: “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
16
kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]:159). Ayat ini menunjukkan bahwa manusia akan disukai
oleh Allah Swt. bila bertawakkal kepada Allah Swt. setelah melaksanakan usaha dengan
maksimal.
Manusia harus menyadari bahwa dirinya lemah. Hal ini terbukti bahwa banyak orang
yang mengalami kegagalan dan tidak berhasil memenuhi harapannya. Keberhasilan usaha
seseorang terletak pada kuasa dan kehendak Allah Swt. Oleh sebab itu manusia harus sadar
bahwa ia harus bertawakal kepada Allah setelah ia berusaha dengan maksimal. Orang
bertawakal berarti menunggu keberhasilan apa yang diusahakannya. Oleh sebab itu, di saat
tawakal hendaknya meningkatkan intensitas do’a nya kepada Allah Swt. agar apa yang
diinginkan akan berhasil dengan baik.
Salah satu bentuk perilaku tawakal yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
ditunjukkan dalam kisah berikut: Seorang sahabat Rasulullah Saw. yang meninggalkan untanya
tanpa diikatkan pada sesuatu, seperti pohon, tonggak dan lain lain, lalu ditinggalkan. Beliau
Saw. bertanya: “Mengapa tidak kamu ikatkan?” Ia menjawab: “Saya sudah bertawakal kepada
Allah.” Rasulullah Saw. tidak dapat menyetujui cara berpikir orang itu, lalu bersabda: “Ikatlah
dulu lalu bertawakallah.“
Upaya yang bisa dilakukan dalam membiasakan perilaku tawakkal adalah membiasakan
mengawali dan mengakhiri setiap aktivitas dengan berdoa kepada Allah Swt, berusaha dengan
penuh totalitas, kemudian menyerahkan hasilnya pada keputusan Allah Swt.(Muhammad Nur
Ihsan, 2020)
Adapun dampak positif yang kita peroleh apabila kita mau membiasakan perilaku
tawakal kepada Allah Swt. adalah:
• Meningkatkan keyakinan dan keimanan kepada Allah
• Memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa
• Mengurangi beban pikiran, karena yakin manusia hanya berusaha Allah Swt.
• Mengurangi kejahatan dan tindak kriminal,
• Memperoleh keteguhan hati,
• Menyadarkan bahwa dirinya lemah, dan mengakui kebesaran Allah

Ridho
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Akan merasakan kelezatan/kemanisan
iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta
(nabi) Muhammad sebagai rasulnya”
17
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-
Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan
seseorang.
Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan makna
hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak
menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang
sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan
masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut
(secara nyata)”
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits: arti “ridha kepada sesuatu”
adalah merasa cukup dan puas dengannya, serta tidak menginginkan selainnya. Arti
“merasakan kelezatan/kemanisan iman” adalah merasakan kenikmatan ketika mengerjakan
ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, bersabar dalam menghadapi kesulitan dalam
(mencari) ridha Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengutamakan
semua itu di atas balasan duniawi, disertai dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan melakukan (segala) perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Makna “ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah
dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan
dicegah-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha kepada-Nya sebagai Rabb secara
utuh dan sepenuhnya.
Makna “ridha kepada Islam sebagai agama” adalah merasa cukup dengan mengamalkan
syariat Islam dan tidak akan berpaling kapada selain Islam. Demikian pula “ridha kepada nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul” artinya hanya mencukupkan diri
dengan mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, serta tidak menginginkan selain petunjuk dan
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sifat yang mulia inilah dimiliki oleh para sahabat Rasulullah, generasi terbaik umat ini,
yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian karena ketekunan dan
semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana
dalam firman-Nya,
َّ ‫صيَﺎنَ أُولَئِكَ هُ ُﻢ‬
} َ‫الﺮا ِشدُون‬ ْ ‫اْلﯾ َمﺎنَ َوزَ ﯾَّنَهُ ﻓِي قُﻠُوبِ ُك ْﻢ َوﻛ ََّﺮهَ إِلَ ْي ُك ُﻢ ْال ُك ْف َﺮ َو ْالفُسُوقَ َوا ْل ِﻌ‬
ِ ْ ‫َّب إِلَ ْي ُك ُﻢ‬ َ َّ ‫{ولَك َِّن‬
َ ‫َّللا َحب‬ َ
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran,
18
kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus” (QS al-Hujuraat:7).
Juga yang disebutkan dalam hadits shahih: “Memang demikian (keadaan) iman ketika
kemanisan/kelezatan iman itu telah masuk dan menyatu ke dalam hati manusia (para
sahabat radhiyallahu ‘anhum)”
Tahap Kedua, penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufism seseorang
akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap
ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlaq (kasyf),
sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut
keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama. Sehingga
objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitulah
sebaliknya yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut “Ilmu Hudhuri” atau pengetahuan swa
objek (Self-Objek- Knowledge).
Tahap Ketiga, pengungkapan dengan pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain lewat tulisan atau ucapan yang dalam epistemologi al- Ghazali
diungkapkannya sebagai ilmu laduni. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk dalam
tatanan konsepsi dan representasi akan tetapi kehadiran Tuhan masuk dalam diri setiap
makhluq sehingga tidak bisa dikomunikasikan maka tidak semua pengalaman ini bisa
diungkapkan.

C. IMPLEMENTASI IRFANI DALAM KEHIDUPAN

Realita irfani dapat kita amati pada kehidupan rasulullah, keluarga dan sahabat mulia
beliau. Kekuatan spiritual yang dibangun atas taubat, wara’, zuhud, faqir, sabar, tawakkal,
ridha telah melahirkan pribadi tangguh yang diibaratkan rahibun fillail, fursanun finnahari.
Pilar spiritual lainnya adalah lapar (al-ju‘u), mengendalikan ucapan (as-shamtu),
menghidupkan malam dengan ibadah, tafakur (as-saharu), membatasi perjumpaan (al-uzlatu).
Imam Al-Qusyairi menyebutkan keutamaan rasa lapar. Ia mengaitkan rasa lapar dan
menahan syawat. Rasa lapar terbukti melahirkan banyak hikmah dan kebijaksanaan. Rasa lapar
merupakan jalan spiritual para nabi dan orang-orang saleh terdahulu.(Ali et al., 2021) Salah
seorang sufi besar di zamannya Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Andai lapar itu dijual di pasar,
orang yang mengejar kehidupan akhirat tidak seharusnya membeli produk selainnya bila
mereka memasuki pasar,” (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 80).

19
Dan dalam sebuah hadits Nabi Muhamamd riwayat Bukhari disebutkan: "Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam." Karena, tidak
ada orang yang bisa selamat dari bahaya lisan. Tidak ada cara lain kecuali dengan diam. Ini adalah
pandangan Imam Al Ghazali dalam kitab Alal al Lisan.
Imam Ghazali menuliskan beberapa hadits tentang anjuran diam. Sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW, Diam adalah kebijaksanaan, dan sedikit orang yang mampu
melakukannya. Maksudnya, “diam itu kebijaksanaan dan keteguhan”, tulis Al Ghazali.
Dari Abdullah Ibn Sufyan, bahwa ayahnya berkata:"Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah. Wahai Rasulullah beritahukanlah kepadaku tentang Islam akan sesuatu yang aku
tidak akan bertanya kepada seseorang pun setelah engkau. Maka beliau berkata. "Katakanlah
aku beriman kepada Allah kemudian istiqomahlah!" Ayah Abdullah Ibn Sufyan kemudian
bertanya lagi apakah gerangan yang harus aku pelihara? Rasulullah SAW lantas menunjukkan
lidahnya dengan tangannya."
Uqbah ibn Amir berkata:"Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah
apakah keselamatan itu? Beliau menjawab, tahanlah lisanmu dan hendaknya rumahmu
menyenangkanmu (karena penuh dengan dzikir-dzikir dan menangislah atas kesalahanmu
(karena menyesal)." (Alfiyyah Nur Hasanah & Ikin Asikin, 2022)
Syaikh Muhammad Yusuf rah.a.: “Untuk mencapai kehendak yang dimaksud oleh
Allah SWT dalam penciptaan manusia, maka setiap manusia hendaknya memiliki keyakinan
yang benar, amal yang benar, ilmu yang benar, cara yang benar, akhlak yang benar, niat yang
benar, yang ditanamkan ke dalam dirinya dengan mengorbankan diri, harta dan waktunya.
Tanpa ini semua, maka manusia tidak akan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah SWT
dari dirinya, sehingga ia tidak jauh berbeda dengan hewan dan makhluk-makhluk lainnya.”
(Muhsin & Arif, 2019)
Syaikh In’amul Hasan rah.a.: “Mewujudkan agama yang sempurna dengan membawa
iman, shalat, ilmu dan ketawajuhan kepada Allah SWT, disertai sifat memaafkan hak-hak kita
yang tidak ditunaikan dan berusaha selalu menunaikan hak orang lain, diiringi niat semata-
mata untuk mendapatkan ridha Allah SWT sambil berkeliling dari lorong ke lorong, dari
kampung ke kampung dengan berkorban biaya dan bekal sendiri.” (Harimulyo et al., 2021)
Meiji Muhammad Isa Mewati rah.a.: “Berusaha menyempurnakan keimanan,
mendapatkan hakekat shalat, memastikan segala amal perbuatan kita dengan ilmu dan
ketawajuhan dzikir yang benar disertai dengan akhlak yang mulia, menunaikan seluruh hak
saudara-saudara kita dengan keikhlasan semata-mata karena Allah SWT dan menjadikan setiap

20
muslim agar mengorbankan diri dan hartanya demi tersebarnya agama sesuai dengan keadaan
agama yang mereka miliki.” (Hajar, 2014)

BAB III
KESIMPULAN

Irfani secara harfiyah ialah mengetahui, berfikir, dan mengkaji dengan dalam. Secara
terminologis, Irfani dapat diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran hakikat Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas
dasar cinta. Sasaran Irfani ialah aspek esetorik (bersifat khusus, rahasia, atau terbatas) yang
diperoleh dengan qalb melalui kasyf, ilham, i`iyan, isyraq.
Pengetahuan Irfani sendiri dapat diperoleh dengan melalui tiga tahapan. Pertama, persiapan
untuk bisa menerima limpahan pengetahuan dari Tuhan yang berupa kasyf. Dalam hal ini terdapat
tujuh tahapan yang harus ditempuh yakni taubat, wara`, zuhud, faqir, sabar, tawakkal, ridho.
Kedua, penerimaan apabila telah mencapai tingkat tertentu dalam sufism seseorang akan
mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Ketiga,
pengungkapan dengan pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain
lewat tulisan atau ucapan.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N. N., & Prastowo, A. (2022). IMPLEMENTASI METODE BURHANI DAN ‘IRFANI DALAM STUDI
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam Dan Manajemen Pendidikan
Islam, 3(2), 296–302. https://doi.org/10.36671/andragogi.v3i2.228

Alfiyyah Nur Hasanah, & Ikin Asikin. (2022). Nilai-Nilai Pendidikan dalam Hadits Riwayat Imam
Ahmad No 11472 tentang Etika Menjaga Lisan. Jurnal Riset Pendidikan Agama Islam, 44–50.
https://doi.org/10.29313/jrpai.v2i1.981

Ali, A., Ahmad EQ, N., & Suhartini, A. (2021). Kecerdasan Spiritual Santri Melalui Puasa. Reslaj :
Religion Education Social Laa Roiba Journal, 4(1), 1–10.
https://doi.org/10.47467/reslaj.v4i1.444

Arif, S., Hasib, K., Abidin, Z., & Khasanah, N. U. (2020). Epistemologi dan Teologi dalam Pemikiran al-
Ghazali tentang Ilmu Kasyf. TSAQAFAH, 16(2). https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v16i2.4765

Asmaya, E. (2018). Hakikat Manusia dalam Tasawuf Al-Ghazali. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan
Komunikasi, 12(1), 123–135. https://doi.org/10.24090/komunika.v12i1.1377

Damanik, N. (2019). MUHAMMAD ABID AL-JABIRI. Al-Hikmah: Jurnal Theosofi Dan Peradaban Islam,
1(2). https://doi.org/10.51900/alhikmah.v1i2.4843

21
Faza, A. M. D. (2019). TASAWUF FALSAFI. Al-Hikmah: Jurnal Theosofi Dan Peradaban Islam, 1(1).
https://doi.org/10.51900/alhikmah.v1i1.4050

Gani, A. (2020). PENDIDIKAN TASAWUF DALAM PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL DAN


AKHLAKUL KARIMAH. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 10(2), 275–286.
https://doi.org/10.24042/atjpi.v10i2.5847

Hajar, I. I. (2014). Sejarah Agama dalam al-Qur’an; Dari Sederhana Menuju Sempurna. TSAQAFAH,
10(2), 393. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v10i2.194

Harimulyo, M. S., Prasetiya, B., & Muhammad, D. H. (2021). Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kitab
Risalatul Mu’awanah Dan Relevansinya. Jurnal Penelitian IPTEKS, 6(1), 72–89.
https://doi.org/10.32528/ipteks.v6i1.5253

Idrus, A. (2019). Epistimologi Bayani, Irfani Dan Burhani. An-Nidhom : Jurnal Manajemen Pendidikan
Islam, 4(1), 30. https://doi.org/10.32678/annidhom.v4i1.4421

Khamid, A. (2021). Interpretasi Sufistik Atas Teks Al-Qur’an. Journal al Irfani: Ilmu al Qur’an Dan
Tafsir, 1(02), 47–61. https://doi.org/10.51700/irfani.v1i02.65

Muhaimin, U. (2018). METODE ISTIDLAL DAN ISTISHAB (FORMULASI METODOLOGI IJTIHAD).


YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 8(2), 330.
https://doi.org/10.21043/yudisia.v8i2.3243

Muhammad Nur Ihsan. (2020). STUDI KORELASI BAB “YAKIN DAN TAWAKAL” DALAM KITAB
“RIYADHUS SHOLIHIN” DENGAN TAUHID ULUHIYAH. Al-Majaalis : Jurnal Dirasat Islamiyah, 8(1),
179–221. https://doi.org/10.37397/almajaalis.v8i1.151

Muhsin, M., & Arif, M. (2019). Kontrol Diri di Media Sosial Perspektif Pemikiran Hermeneutika Hadis
Khaled Abou El-Fadl. An-Nida’, 43(1), 78. https://doi.org/10.24014/an-nida.v43i1.12316

Mustofa, T., Fatah Natsir, N., & Haryanti, E. (2022). Epistemologi Ilmu Pengetahuan Islam Klasik dan
Kontemporer. HAWARI : Jurnal Pendidikan Agama Dan Keagamaan Islam, 2(2).
https://doi.org/10.35706/hw.v2i2.6071

Rangkuti, C. (2020). IMPLEMENTASI METODE BAYANI, BURHANI, TAJRIBI DAN ‘IRFANI DALAM STUDI
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. WARAQAT : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 1(2), 12.
https://doi.org/10.51590/waraqat.v1i2.37

Samsudin, M. A. (2019). Revitalisasi Integrasi Nalar Bayani, ‘Irfani dan Burhani dalam Pengembangan
Pendidikan Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, 3(2), 347–352.
https://doi.org/10.35316/jpii.v3i2.139

Wati, I. A., & Hasanah, U. (2021). Studi Tasawuf Irfani. Spiritual Healing : Jurnal Tasawuf Dan
Psikoterapi, 2(1), 1–8. https://doi.org/10.19109/sh.v2i1.10686

Wijaya, S. (2015). Al-Quran dan Komunikasi (Etika Komunikasi Dalam Perspektif Al-Quran). Al Burhan:
Jurnal Kajian Ilmu Dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, 15(1).
https://doi.org/10.53828/alburhan.v15i1.59

22

Anda mungkin juga menyukai