Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FILSAFAT ILMU IRFANI

Dosen Pengampu:

Dr. H. Didik Heriadi, S. Ag,M. Pd.

Disusun Oleh:

Irvan Maulana

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN
GENGGONG KRAKSAAN PROBOLINGGO
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala Puji bagi Allah yang telah memberikan taufik dan hidayahnya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada suri teladan kita,
Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya yang membawa kebenaran
bagi kita semua.

Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yakni
bapak Dr. H. Didik Heriadi, S. Ag,M. Pd. yang telah membimbing serta
mengajarkan kami, dan mendukung kami sehingga terselesaikan makalah yang
berjudul “JUDUL” dan juga terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga terselesaikan makalah
ini.
Ucapan terima kasih tak lupa kami ucapkan, sebagai wujud rasa syukur
dengan tersusunnya makalah ini kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
selama penyusunan makalah ini, yang telah dengan tulus ikhlas membantu baik
secara moril maupun materiil, terutama kepada Dosen Pembina dan teman-teman
sekalian.

Kraksaan,14 Februari 2023

Penyusun

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
A. Pengertian...................................................................................................
B. Konsep........................................................................................................
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari
bahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga
cabang besar dari filsafat.  Ontologi atau teori  hakikat membicarakan
pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu.
Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu
pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan
yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai membicarakan apa manfaat atau guna
dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara
memperolehnya.[1]
Aspek kedua dari ketiga cabang filsafat tersebut, yakni Epistemologi
dalam rumusan lain disebutkan bahwa  epistemologi adalah cabang filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan,
batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu
sistematika epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran,
metode-metode ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan.[2]
Sejarah tentang peerkembangan Ilmu merupakan sebuah prestasi
pencapaian sebuah kesuksesan. Karena dengan itu manusia mulai terlepas dari
belenggu-belenggu pemikirab yang berasaskan pada pemikiran kebodohan dan
takhayul. Asal usul permulaan munculnya ilmu pengetahuan sangat erat
kaitanya dengan sifat asli fitrahmanusia yang memiliki sifat selalu ingin tahu
dan berfikir untuk menemukan sebuah kebenaran namun tetap berpegang pada
nilai-nilai kebijaksanaan, atau yang sering dusebut dengan berfikit filosofi.
Perjalanan ilmu pengetahuan dari masa ke masa sehingga sampai pada
tahap ilmu modern seperti sekarang ini ternyata tidak semulus yang kita kira.
Banyak perdebatan, perbedaan pendapat serta penyelisihan yang diakibatkan
paham filosof masing-masing yang dianut oleh para ilmuan pada masa itu.
Khusunya di abad ke-19 terdapat tentang adanya pembedaan-pembedaan
antara ilmu, industri dan filsafat, dan tiga atau empat abad sebelumya. Para

1
sejarahwan menemukan bahwa study terhadap alam dilaksanakan dalam suatu
kerangka asumsi-asumsi tentang dunia atau berdasarkan pada kepercayaan dan
tahayul. Namun seiring dengan munculnya sifat berfikir filosofi pemikran
tersebut lambat lain semakin ditinggalkan dan diganti dengan sikap ilmiah
denga hasil yang faktual serta didukung dengan data-data yang empiris.
Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang
masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah
disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang
dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya
Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu
pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai
andil di dalamnya.
Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari
cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan
fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology
selanjutnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah
bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar
pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).[3]
Kata Irfan berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab, secara
etimologi, Irfani berasaldari bentuk masdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang
berarti tahu atau mengetahui.[4] Seakar kata pula dengan ma’ruf (kebajikan)
dan ma’rifat (pengetahuan)
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari
segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah
sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi.
Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses
pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu
memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga
tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
 Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan
yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah
ruhani.
         Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh
pengetahuan  dengan mengandalkan pengalaman batin.
 Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara
memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang
dekat dengan spiritual
            Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu
persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.

3
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa
Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks.          
 Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir
dan   berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup
sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai
harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh
seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang
dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan
bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat
dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.     
Sekat-sekat formalitas lahiriyyah yang diciptakan oleh tradisi
epistemologi bayani dan burhani baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik,
kulit, golongan, kultur, tradisi, yang ikut andil merenggangkan dan mengambil
jarak hubungan interpresonal antar umat manusia, ingin dipinggirkan oleh
tradisi berpikir Irfani yang kebanyakan dilakukan oleh golongan kaum sufi.

B. Konsep
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani,
tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-
singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani
ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf.[5] Karena itu, pengetahuan irfani
tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan
kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;[6]
1. Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual.Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani,
mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:

4
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai
dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan
perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas
statunya . apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan
masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki
apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela
namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang
ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa
hanya gembira dan suka cita).
2. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan
mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara
illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan
realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan
kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah
kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya
(ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau
pengetahuan swaobjek (self object knowledge).[7]
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S.
Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa
salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious),
yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang

5
bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham).
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan
tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada
seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang
sejarah manusia.[8]
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan
ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang
diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan
merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang
menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang
diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang
lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya
merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan
melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham
diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[9]
3. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan
kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan
irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan
kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam
Tuhan, [10]sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua
pengalaman ini bisa diungkapkan.[11] Hal ini dibenarkan pula oleh Ali
Issa Othman;
 “Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara
umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk
merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata
tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan
untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak
dikenal secara sepakat”.[12]
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin
yang diperoleh dari hasil kasyf  tersebut adalah; Pertama, dapat
diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna

6
batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam
teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang
perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari
sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti
itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat
seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam,
sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis
tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang
dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara
umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun
dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan
syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya
harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks.
Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan
berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam
pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut
analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan
(qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya
keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau
kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas)
tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia
menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani
Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun
diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas
akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya
merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi
apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama
sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada
kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan
kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu
tetapi lebih bersifat positifistik.

7
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang
kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari
kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep
tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa
teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga
tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-
ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi
tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami
suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai
dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu
pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang

8
DAFTAR PUSTAKA

[1] Ahmad Tafsir dalam Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, (Remaja Rosdakarya : Bandung  2009) hal. 23

[10]Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi,


Yogyakarta :2002) hal. 41

[11] Mehdi Hairi, Op. Cit. hal. 245

[12] Ali Issa Othman, Op Cit. hal 64

[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar,(Jakarta : Rineka Cipta,2008),hal.


138

[3] Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan


Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hal 34

[4] A.W. Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Pustaka


Progresif, Surabaya : 1997) hal

[5] Al Qusyairi, Al Risalah, Beirut, Dar-al Khair, tt. Hal 89

[6] Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan:


1994). Hal. 51-53

[7] Al Qusyari, Op. Cit. hal 75

[8]Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta,


jakarta: 1997).hal.58

[9]Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf)
(Pustaka, Bandung:1981)hal. 67

A.W. Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Pustaka Progresif,


Surabaya : 1997)

Ahmad Tafsir dalam Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
(Remaja Rosdakarya : Bandung  2009)

Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf)
(Pustaka, Bandung:1981)

Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta,


jakarta: 1997)

9
Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan:
1994)

Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi,


Yogyakarta :2002)

Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,


(Usaha Nasional, Surabaya : 1984

Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar,(Jakarta : Rineka Cipta,2008)

10

Anda mungkin juga menyukai