Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ILMU FILSAFAT

NAMA : RONATAMA PAULINA SIMAMORA

NIM : 183302040080

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“ILMU FILSAFAT”.
Penulis memohon maaf jika masih banyak terdapat kekurangan pada
makalah ini. Kritik dan saran membangun sangat berarti untuk kemajuan penulis.
Semoga makalah ini bermanfaat sebagai sumber belajar bagi penulis dan pembaca.

Hormat Saya,

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

BAB II ..................................................................................................................... 2

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2

A. Pengertian Ilmu ............................................................................................ 2

B. Pengertian Filsafat ........................................................................................ 3

C. Hubungan dan Perbedaan Ilmu dan Filsafat ................................................ 5

1. Hubungan ................................................................................................. 5

2. Perbedaan ................................................................................................. 8

D. Perbedaan Pendapat Para Ahli ..................................................................... 9

E. Hal yang Mendorong Terjadinya Filsafat .................................................. 13

BAB III.................................................................................................................. 16

SIMPULAN .......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berfilsafat kerap dianggap kegiatan yang hanya dilakukan oleh para arif
bijaksana. Olah pikir hampir selalu dihubungkan dengan para cendikiawan, kaum
terpelajar dan mereka yang mempunyai waktu luang. Orang awam atau kebanyakan
masyarakat seolah-olah tidak berfilsafat, mereka dianggap kurang berfikir.
Hal tersebut bisa dimaklumi, terutama jika diungkit asal-usul dan sejarah
filsafat. Pada zaman Yunani Kuno, kegiatan berfilsafat memang hanya dilakukan
oleh kaum elite tertentu. Para ahli pikir (filsuf) saat itu menggunakan seluruh daya
dan kemampuannyauntuk menerangkan berbagai fenomena. Mereka heran akan
gejala alam. Mereka bertanya-tanya mengenai asal-usul segala sesuatu. Mereka
juga menggugat hakekat yang dipercayai oleh umum. Mereka juga merenungkan
segala peristiwa lalu mencari tali-temali dan menyimpulkannya.
Dari beberapa latar belakang di atas, maka di dalam makalah ini akan
dibahas beberapa hal mengenai ilmu filsafat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari ilmu?
2. Bagaimana pengertian filsafat?
3. Bagaimana hubungan antara ilmu dan filsafat?
4. Mengapa banyak ahli yang berbeda pendapat mengenai definisi filsafat?
5. Hal apa saja yang mendorong terjadinya filsafat?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu

Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris; Science.
Kata science ini berasal dari kata Latin Scientia yang berarti pengetahuan. Kata
scientia berasal dari bentuk kata scire yang berarti mempelajari, mengetahui.
Sedangkan pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia
adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan menerangkan gejala-
gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Science berbeda dari knowledge (pengetahuan) karena ilmu bukan
pengetahuan tetapi scientific knowledge. Menurut John G. Kemeney, ilmu
adalah semua pengetahuan yang dikumpulkan dengan metode ilmiah. Jadi, ilmu
adalah pengetahuan sistematis (scientific knowledge).
Sedangkan menurut Imam Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Mufradat
Al-Qur’an mengatakan bahwa ‘Ilmu’ adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan
hakikatnya. Ia menyatakan bahwa ilmu terbagi atas:
1) mengetahui inti sesuatu (tashawwur), dan
2) menghukum adanya sesuatu pada sesuatu yang ada, atau menafikan sesuatu
yang tidak ada (tashdiq).
Ia juga membagi ilmu dari sisi lain, yaitu ilmu teoritis dan ilmu aplikatif. Dari
sudut pandang lain, ia juga membagi ilmu menjadi ilmu rasional dan ilmu
doctrinal.
The Lian Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian
aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional mengenai dunia ini dalam berbagai segi dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala-gejala
yang ingin dimengerti manusia.

2
Ilmu adalah suatu objek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil,
rumus, yang melalui percobaan sistematis dan dilakukan berulang kali, telah
teruji kebenarannya, prinsip-prinsip yang diajarkan dan dipelajari.
Selain itu, menurut J. Arthur Thompson dalam bukunya” An Introduction to
Science” menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-
fakta empiris yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah-istilah
yang sesederhana mungkin.
Dari berbagai pendapat-pendapat para ahli mengenai definisi ilmu dapat di
ambil kesimpulan, bahwa ilmu adalah pengetahuan yang bercirikan antara lain;
sistematik, rasional, empiris, dan bersifat kumulatif (bersusun). Ilmu sebagai
produk akal manusia mempunyai ciri lain, yaitu sifatnya yang relatif, sehingga
tidak ada kata final dalam produk ilmu. Kebenaran ilmu tidak bersifat mutlak
sehingga terbuka kesempatan setiap saat untuk memperbaiki dirinya.

B. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philein yang berarti cinta dan
sophia yang berarti kebijaksanaan. Dari bahasa Arab falsafah yang berarti
hikmah dan mengandung arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional. Dari
bahasa Inggris philosophy yang berarti penyelidikan rasional dari pertanyaan
tentang eksistensi, pengetahuan dan etika. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya; teori yang
mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; ilmu yang berintikan logika,
estetika, metafisika, dan epistemologi.

Filsafat adalah berpikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap segala


sesuatu sampai kepada inti persoalan. Filsafat adalah ilmu tertua serta induk
segala ilmu. Filsafat bersikap radikal, yang berarti mengesampingkan masukan-
masukan dan memfokuskan diri terhadap pandangan individu.

Menurut sejarah, Pythagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama


kali memakai kata philosophia. Beliau mengemukakan bahwa manusia dapat
dibagi menjadi tiga tipe: mereka yang mencintai kesenangan, mereka yang

3
mencintai kegiatan dan mereka yang mencintai kebijaksanaan. Tujuan
kebijaksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju
keselamatan dalam hal keagamaan. Shopia mengandung arti yang lebih luas
daripada kebijaksanaan, yaitu: kerajinan, kebenaran pertama, pengetahuan yang
luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat, dan kecerdikan dalam
memutuskan hal-hal yang praktis,. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu
sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of
mental exelence).

Muhammad Noor Syam menjelaskan bahwa filsafat adalah sesuatu


lapangan pemikiran dan penyelidikan manusia yang amat luas (komprehensif).
Kebenaran filsafat adalah kebenaran yang relatif. Artinya kebenaran itu sendiri
selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman dan
peradaban manusia.

Imam Barnadib menjelaskan, filsafat sebagai pandangan yang


menyeluruh dan sistematis. Harun Nasution berpendapat, filsafat ialah berfikir
menurut tata tertib (logika), bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, serta
agama), dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar
persoalan.

Jujun S. Suriasumantri berpandangan bahwa berpikir secara filsafat


merupakan cara berpikir radikal, sistematis, menyeluruh dan mendasar untuk
sesuatu permasalahan yang mendalam.

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi.


Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang
mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.
Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah
proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah
bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika
bahasa.

4
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam
matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang
pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu
spekulasi, keraguan, dan couriousity 'keingintahuan'. Filsafat juga bisa berarti
perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak
tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang
mempertanyakan segala hal.

Dari uraian di atas dapat diambil suatu pengetian bahwa filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang amat luas (komprehensif) yang berusaha untuk
memahami persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang
lingkup pengalaman manusia. Kebenaran yang dimaksud dalam konteks filsafat
adalah kebenaran yang tergantung sepenuhnya kepada kemampuan daya nalar
manusia.

C. Hubungan dan Perbedaan Ilmu dan Filsafat


1. Hubungan
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus
yang merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat
merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Karena objek
material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu
membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari
filsafat.
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri
dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus
menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini
menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan
kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu
yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-
masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan
suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang
luas.

5
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah
filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila
pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini
dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta
yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga
sejalan dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003).
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai
induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri,
yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak
mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat
agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan
filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu.
Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan
untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar, 2005).
Hubungan filsafat dengan ilmu dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Filsafat mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan
ilmu objeknya terbatas, khusus lapangannya saja.
2. Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight/pemahaman lebih
dalam dengan menunjukkan sebab-sebab yang terakhir. Sedangkan ilmu
juga menunjukkan sebab-sebab, tetapi yang tak begitu mendalam.
Dengan satu kalimat dapat dikatakan:
- Ilmu mengatakan “bagaimana” barang-barang itu (to know ...,
technical know how, managerial know how ..., secundary
causes, and proximate explanation)
- Filsafat mengatakan “apa” barang-barang itu (to know `what`
and `why` ..., first causes, highest principles, and ultimate
explanation)
3. Filsafat memberikan sintesis kepada ilmu-ilmu yang khusus,
mempersatukan, dan mengkoordinasikannya.
4. Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu, tetapi sudut
pandangnya berlainan. Jadi, merupakan dua pengetahuan yang
tersendiri.

6
Keduanya (filsafat dan ilmu) penting, serta saling melengkapi, juga
saling menghormati dan mengakui batas-batas dan sifatnya masing-masing.
Inilah yang sering dilupakan sehingga ada ilmuan yang ingin menjadi tuan
tanah atas kavling pengetahuan lain. Misalnya, apabila ada seorang dokter
berkata, “Setiap saya mengoperasi seorang pasien belum pernah saya melihat
jiwanya. Jadi manusia itu tidak memiliki jiwa.” Maka dokter itu menginjak ke
lapangan lain dari lapangan ilmu ke lapangan filsafat, sehingga kesimpulannya
tidak benar lagi.

Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat
pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini,
(disarikan dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)

Ilmu Filsafat
 Segi-segi yang dipelajari  Mencoba merumuskan pertanyaan atas
dibatasi agar dihasilkan jawaban. Mencari prinsip-prinsip
rumusan-rumusan yang umum, tidak membatasi segi
pasti pandangannya bahkan cenderung
 Obyek penelitian yang memandang segala sesuatu secara
terbatas umum dan keseluruhan
 Tidak menilai obyek  Keseluruhan yang ada
dari suatu sistem nilai  Menilai obyek renungan dengan suatu
tertentu. makna, misalkan , religi, kesusilaan,
 Bertugas memberikan keadilan dsb.
jawaban  Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu

Kita telah mengadakan perenungan tentang pengertian yang


sedalam-dalamnya dari sumber atau wadah kebenaran (obyektivitas) yaitu
ilmu dan filsafat. Berikutnya kita akan melihat bagaimana hubungan
keduanya dengan agama, sebagai berikut:
1. Ketiganya baik ilmu, filsafat maupun agama merupakan sumber atau
wadah kebenaran (obyektivitas) atau bentuk pengetahuan.

7
2. Dalam pencarian kebenaran (obyektivitas) ketiga bentuk pengetahuan itu
masing-masing mempunyai metode, sistem dan mengolah obyeknya
selengkapnya sampai habis-habisan.
3. Ilmu bertujuan mencari kebenaran mikrokosmos (manusia), makro-
kosmos (alam) dan eksistensi Tuhan/Allah. Agama bertujuan untuk
kebahagiaan umat manusia dunia akhirat dengan menunjukkan
kebenaran asasi dan mutlak itu, baik mengenai mikro-kosmos (manusia),
makro-kosmos (alam) maupun Tuhan/Allah itu sendiri.
2. Perbedaan
Selain memiliki hubungan, filsafat dan ilmu juga memiliki perbedaan.
Perbedaan tersebut dapat di lihat dari berbagai objek, yakni:
a. Obyek material [lapangan]
Filsafat itu bersifat universal [umum], yaitu segala sesuatu yang ada
[realita] sedangkan obyek material ilmu [pengetahuan ilmiah] itu
bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin
bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian
filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
b. Obyek formal [sudut pandangan]
Filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari
segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar.
Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping
itu, obyek formal itu bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide
manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
 Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang
menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan
ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh
karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan
kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.
 Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam
berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu
bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari
tidak tahu menjadi tahu.

8
 Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan
mendalam sampai mendasar [primary cause] sedangkan ilmu
menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih
dekat, yang sekunder [secondary cause]
 Filsafat = berpikir kritis atau selalu mempertanyakan segala hal
tanpa ada eksperimen. Sedangkan ilmu selalu dengan eksperiman
untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya.

D. Perbedaan Pendapat Para Ahli


Inti filsafat adalah usaha manusia dengan pikiran, pengetahuan, maupun
nilai atau cita rasa kemanusiaannya untuk mencari serta mendapatkan dasar-
dasar pertanggunjawaban pikiran tentang realitas yang sesungguhnya. Baginya,
realitas (penampakan fisik, pandangan, teori keilmuan, norma adat, tradisi,
ideologi, ajaran) atau keyakinan apa pun, harus dipahami secara luas (ekstensif),
utuh (eksistensial), mendalam (intensif), dan hakiki (essensial). Inti filsafat
itulah yang mampu membimbing orang guna mendapatkan sebuah
pertanggungjawaban yang kuat mendasar tentang realitas dimaksud, sehingga
tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan-nya pun akan
mampu bertahan dalam menghadapi ujian kritis tantangan zaman. Para filsuf,
berusaha mencari dan mengungkapkan hal dimaksud dalam rangka menolong
tugas-tugas kemanusiaan bersama, agar dengannya manusia memperoleh
pegangan di dalam upaya membangun hidupnya.
Uraian sebelum pembahasan ini, secara gamblang menunjukkan betapa
terdapat perbedaan pemikiran di kalangan para filsuf tentang arti dan hakikat
filsafat itu sendiri. Kenyataan tersebut, sekurang-kurangnya, disebabkan oleh
dua hal yang menjadi titik perbedaan, yaitu perbedaan sudut pandang dan
perbedaan minat akademis.
Pertama, perbedaan sudut pandang (point of view). Maksudnya, setiap
filsuf, pada dirinya memiliki sudut pandang atau cara pandang yang berbeda
(yang merupakan spesifikasi dirinya) di dalam memahami sebuah realitas,
teristimewa di dalam memahami filsafat itu sendiri. Plato, sebagai pencetak
aliran pemikiran “Idealisme”, telah menjadikan ide (pikiran atau gagasan)

9
sebagai basis pemikiran filsafatnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran,
kesahihan, validitas, dan obyektifitas filosofis. Konsekuensinya, klaim-kalim
lain di luar ide, ditolak sebagai kepalsuan dan kesesatan berpikir. Plato
cenderung meletakkan atau membangun pemikiran dari sistim ide atau gagasan-
gagasan di balik kenyataan yang dihadapi, bukan pada aspek penampakan atau
kenyataan fisik yang dihadapi. Alasannya, hanya dunia ide itulah yang
menjamin adanya kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan sebuah
kenyataan. Menurut Plato, hal-hal yang tidak dibawah dalam dunia ide muda
diragukan, serta mudah hilang dan rusak tanpa bekas, hanya ide lah yang
bersifat luhur kekal dan tak berubah.
Rene Descartes, sebagai pendiri aliran pemikiran “Rasionalisme”, telah
menjadikan rasio sebagai sudut pandang dan basis pemikiran filosofisnya dalam
membangun klaim-klaim kebenaran filosofisnya. Menurutnya, hanya rasio lah
yang mampu menjamin terwujudnya klaim-klaim kebenaran filosofis, lepas dari
selera atau kehendak subyektif dan emosionalitas yang buta. Sudut pandang
rasio akan mampu memberi arah dan pedoman pemikiran yang jelas dan tegas,
karena rasio selalu bersikap kritis untuk mencari kebenaran–kebenaran yang
murni dan obyektif. Filsuf Realis, misalnya Aristoleles, sebaliknya meletakkan
sudut pandang filosofisnya pada hal-hal yang nyata dan bersentuhan dengan
pengalaman manusia secara langsung, bukan ide-ide yang abstrak. Filsuf
Pragmatis, misalnya John Dewey, dengan aliran pemikiran “Pragmatisme”-nya,
justru akan meletakkan pandangan filosofisnya pada kenyataan makna atau
kegunaan (pragma) yang mendasari segala sesuatu. Akibatnya, bagi mereka,
hanya sesuatu yang berguna atau bermakna itulah yang benar, obyektif, valid,
maupun sah, selain dari itu tidak. Filsuf materialis, misalnya Marksisme
Ortodoks dengan aliran “Materilisme”-nya justru melihat materi (kenyataan
fisik) sebagai jaminan kebenaran, obyektifitas, validitas, dan kesahihan. Bagi
mereka, hanya materi sajalah yang menjadi dasar pembuktikan bahwa hal itu
benar, obyektif, valid atau tepat, dan sah untuk diakui atau diyakini, selain itu
tidak. Filsuf empirs, misalnya, John Locke, David Hume, dan sebaginya, akan
meletakkan sudut pandang pemikirannya pada aspek pengalaman (empiris)

10
sebagai basis pengembangan pemikiran filsafatnya. Hal yang sama juga berlaku
bagi filsuf lainnya dengan sudut pendekatannya yang khas.
Kedua; minat akademis. Selain perbedaan sudut pandang, setiap filsuf
memiliki pula perbedan minat akademis dalam mengartikan dan memaknakan
filsafat dengan caranya yang berbeda. Misalnya, seorang filsuf yang menaruh
minat akademis pada ilmu –ilmu ekonomi akan mengembangkan filsafat untuk
kepentingan ilmu ekonomi. Filsafat, dalam hal ini, akan diartikan sebagai upaya
untuk memperluas dan mengembangkan kekuasaan ekonomi (produksi,
konsumsi, dan keuntungan). Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru
minat akademis pada ilmu-ilmu fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai
upaya pemikiran yang kritis (rasional) untuk menjelaskan dan menangani
gelaja-gejala fisik –alami, dari sisi hukum sebab-akibat. Filsuf yang menaru
minat akademis pada ilmu teologi, sebaliknya akan mengartikan filsafat sebagai
upaya pemikiran yang kritis (rasional) untuk menjelaskan tentang hakikat Sang
Supranatural dalam penghadapanNya dengan manusia, dalam sebuah hukum
ilahi. Perbedaan yang sama akan dijumpai pula dalam berbagai penganut mina
akademis lainnya.
Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa kepada
pembentukan ilmu secara khusus serta berbagai aliran besar dalam sejarah
pemikiran filsafat, dengan klaim-klaim (tuntutan) kebenarannya yang bersifat
sektoral, deterministik, dan partikularis atau terlepas pisah. Akibatnya, muncul
berbagai macam ilmu yang berbeda-beda dengan tuntutan (claim) kebenaran,
obyektivitas, dan validitas, atau kesahihan, baik terhadap baik obyek-obyek
yang partikular maupun yang sama.
Kenyataan di atas menunjukkan betapa sulitnya mengartikan filsafat secara
filosofis. Alasannya, para filsuf akan berfilsafat dengan perbedaan sudut
pandang maupun minat akademisnya yang berbeda-beda tentang filsafat itu
sendiri. Kesulitan tersebut, kemudian makin menambah kecemasan para filsuf
untuk berusaha mencari sebuah cara pemecahan sederhana untuk dapat
mendekati pengertian filsafat secara filosofis. Phytagoras, seorang filsfus
Yunani kuno, akhirnya menenukan sebuah solusi dengan mendekati arti filsafat,
bukan secara filosofis, tetapi secara etimologis. Menurut Phyitagoras, istilah

11
filsafat berasal dari kata Yunani Philosophia. Akar katanya; Philos atau philia
= cinta, persahabatan atau tertarik pada, dan Sophia berarti kebijaksanaan atau
kearifan. Jadi, Phiolosophia, secara harafiah, artinya “cinta kebijaksanaan”
(lover of wisdom). Sudut pendekatan etimologis ini menunjukkan bahwa sejak
semula, yakni dari zaman Yunani Kuno, kata filsafat dipahami sebagai cinta
kearifan atau cinta kebijaksanaan. Meskipun demikian, cakupan pengertian
sophia ini ternyata begitu luas dan padat. Sophia, pada awalnya, tidak hanya
berarti kearifan, melainkan meliputi pula prinsip-prinsip kebenaran pertama,
pengatahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan akal sehat sampai pada
pengertian yang lebih bersifat teknologis, yaitu kepandaian pengrajin, dan
kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Inti persoalannya, mengapa filsafat itu tidak hanya berpusat pada sophia
atau kearifan saja, tetapi harus disertai dengan philos atau philia (cinta)?
Mengapa filsafat harus bermain dengan api cinta? Pertanyaan filosofis di atas,
justru hendak membimbing kedalam sebuah pemaknaan filosofis yang sifatnya
hakiki dan mendalam tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri.
Bagi Phytagoras dan para filsuf (khususnya filsuf Yunani Kuno), nama
filsafat itu sendiri menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna
memiliki pengertian yang sifatnya total dan menyeluruh tentang kebijaksanaan
atau kearifan yang menjadi inti hakiki dari arti filsafat itu sendiri. Sophia atau
kebijaksanaan (kearifan), bukanlah sebuah pemikiran atau pengetahuan yang
bersifat datar sebagai penjelasan-penjelasan diskriptif biasa. Sophia, bukan
sekedar informasi atau fakta yang jelas, lengkap, sempurna, dan selesai atau
berakhir pada dirinya. Justru, Sophia (kebijkasanaan atau kearifan) itu
merupakan sebuah upaya penjelajahan dalam menggumuli segala realitas serta
menyingkap berbagai daya misteri. Tujuannya, bukan sekedar untuk
menunjukkan sebuah pikiran sebatas ide, tetapi lebih daripada itu, berusaha
memahami, menyelami, mendalami, menerangi, dan menembusi dasar–dasar
terakhir segala hal, secara khusus, tentang eksistensi, dasar, serta tujuan
manusia.
Sophia, karenanya, merupakan sebuah hutan luas yang penuh daya misteri.
Begitu luas Sophia itu, sehingga tidak mampun dijangkau oleh pikiran manusia

12
yang biasa. Manusia, untuk itu, perlu dibimbing oleh “api cinta” (philos atau
philia), untuk mengejar, menjangkau, dan mewujudkan sophia dimaksud.
Sophia atau kearifan itu sesungguhnya hanya dimiliki oleh Sang Tuhan dengan
pikiran atau pengetahuan nya yang tidak terbatas. Pythagoras, seorang filsuf
klasik, membenarkan hal itu dengan menjelaskan bahwa manusia bukanlah citra
kepenuhan dari kearifan atau kebijaksaan itu sendiri. Menurutnya, manusia
harus selalu merendahkan diri di hadapan kearifan dan kebijaksanaan itu sendiri
sebagai seorang pencinta kearifan atau pencinta kebijaksanaan. Manusia bukan
pemilik mutlak dan “penguasa kearifan” tetapi “pencinta kearifan” atau
“pencinta kebijkasanaan” itu sendiri. Manusia adalah pencinta kearifan yang
mencarinya dengan api cinta yang terus membara, bukan berdasarkan kemauan
atau keinginan biasa yang bersifat sementara. Manusia (filsuf) bukanlah
philosophos tetapi philosopher, artinya, orang yang mencintai hikmat.
Sebagai pencinta hikmat, filsuf selalu merasa terbakar oleh adanya api
kerinduan atau api cinta yang membara untuk terus mencari, mengejar, dan
memperoleh hikmat atau kebijaksanaan dimaksud. Tugas, keinginan, atau
kerinduan mencari hikmat bukanlah tugas sesaat atau seketika saja. Tugas
mencari hikat atau kebijaksanaan adalah tugas abadi sebagai api kerinduan yang
terus mekar. Filafat merupakan sebuah “pengejaran abadi” untuk memperoleh
kearifan yang tidak pernah berakhir dalam hidup. Justru itu, meskipun ia
terbatas, manusia selalu berusaha dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan
kerendahan hati untuk terus berguru mencari hikmat dan mengabdi pada sang
hikmat. Hal itu dilakukan di dalam setiap jalan hidupnya dengan segala
keterbatasan, keraguannya, kecemasan, kerinduan, dan pertapaan atau
kontemplasinya yang mendalam. Jelasnya, melalui proses itu, jadilah filsafat
sebagai upaya manusia untuk memenuhi hasratnya, demi kecintaannya akan
hikmat atau kebijaksanaan yang “memekarkan diri” itu.

E. Hal yang Mendorong Terjadinya Filsafat


Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya filsafat. Namun secara
historis, sebagaimana disebutkan oleh Moh. Hatta dalam bukunya Alam Pikiran
Yunani, ada dua hal:

13
1. Dongeng dan takhayul yang dimiliki oleh suatu masyarakat, kebudayaan
atau bangsa. Beberapa orang dalam masyarakat tersebut tidak langsung
percaya begitu saja. Lalu, ia mulai berpikir kritis dan mencari jawabannya.
Jawaban atas kebenaran dari dongeng-dongeng itu, maka dari situ
muncullah filsafat.
2. Keindahan alam yang besar, terutama ketika malam hari. Hal tersebut
membuat keingintahuan orang-orang Bangsa Yunani untuk mengetahui
rahasia keindahan alam tersebut. Keingintahuan akan rahasia alam tersebut
akhirnya menimbulkan filsafat juga.

Sedangkan menurut Beerling dalam Ahmad Tafsir (2002:13), filsafat


dimulai oleh orang Yunani karena rasa ketakjuban. Rasa takjub mereka akan
keindahan alam ini membuat mereka ingin mengetahui rahasia-rahasia alam ini.
Plato misalnya, mengatakan bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Lantas
sikap heran atau takjub itu menimbulkan pertanyaan (melahirkan sikap
bertanya), dan pertanyaan itu akan dipertanyakan kembali karena ia selalu
sangsi atas kebenaran yang ditemukannya itu. Kesangsian itu lalu mulai
menimbulkan sifat kritis, maka saat itu filsafat mulai muncul.

Hanya saja, yang perlu dicatat adalah bahwa pertanyaan yang dapat
menimbulkan filsafat bukanlah pertanyaan yang sembarang. Pertanyaan-
pertanyaan sederhana seperti “apa warna langit pada siang hari yang cerah?”,
tidak akan menimbulkan filsafat, hal itu cukup dijawab oleh indra mata kita.
Begitupun pertanyaan seperti “kapan awan akan mulai menurunkan hujan?”,
pertanyaan tersebut pun tidak akan menimbulkan filsafat, cukup dijawab
dengan melakukan riset saja. Pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat
haruslah pertanyaan yang mendalam, deep question, yang bobotnya berat dan
tidak akan terjawab oleh indra kita saja. Misalnya, pertanyaan dari Thales
berikut: ”Apa sebenarnya bahan alam semesta ini?”, atau pertanyaan lain, “Dari
unsur apa alam semesta ini tercipta?’ Pertanyaan seperti inilah yang dimaksud
dengan pertanyaan yang menimbulkan filsafat. Indra kita tidak dapat menjawab,
bahkan sains pun dibuat bingung. Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan
pemikiran mendalam.

14
Sementara itu, di saat modern seperti sekarang ini, yang menjadi penyebab
munculnya filsafat adalah karena rasa kesangsian. Sangsi itu setingkat dibawah
percaya dan setingkat di atas tidak percaya. Saat manusia mendapatkan
pernyataan, ia akan percaya atau tidak percaya. Atau bisa jadi tidak
kedua0duanya. Pada sikap percaya tidak percaya, pikiran tidak bekerja dan ada
problem. Akan tetapi, saat percaya tidak, tidak percaya juga tidak, maka
pikirannya akan bekerja sampai pada percaya atau tidak percaya.

15
BAB III

SIMPULAN
Ilmu adalah pengetahuan yang bercirikan antara lain; sistematik, rasional,
empiris, dan bersifat kumulatif (bersusun). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
amat luas (komprehensif) yang berusaha untuk memahami persoalan-persoalan
yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Ada
hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat . Terdapat perbedaan pemikiran
di kalangan para filsuf tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri. Kenyataan
tersebut, sekurang-kurangnya, disebabkan oleh dua hal yang menjadi titik
perbedaan, yaitu perbedaan sudut pandang dan perbedaan minat akademis.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan munculnya filsafat seperti Dongeng dan
takhayul yang dimiliki oleh suatu masyarakat, kebudayaan atau bangsa, keindahan
alam yang besar dan rasa ketakjuban.

16
DAFTAR PUSTAKA

 Artikel: Definisi filsafat dan ilmu.


http://tanbihun.com/pendidikan/definisi-atau-pengertian-filsafat-dan-ilmu-
pengetahuan-serta-perbedaannya/ diakses tanggal 28 Maret 2015
 Artikel: Filsafat. http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat. diakses tanggal 28
Maret 2015
 Bachtiar, M.A, Prof. Dr. Amtsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.

17

Anda mungkin juga menyukai