Anda di halaman 1dari 20

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN

Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti

mata kuliah “Filsafat Pendidikan” Semester Genap 2018/2019

Disusun oleh :

KELOMPOK 3 / KELAS PBA.B

1. Linda Damayanti 202180040 Notulen


2. Luthfi Hanifah 202180041 Pemateri
3. Mailul Munawaroh 202180043 Moderator

Dosen Pengampu : Drs. Waris, M.Pd.

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

MARET 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirobbil ‘alamin, Segala puji bagi Allah SWT yang telah


memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga peulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Epistemologi Pendidikan” Dengan baik dan tepat waktu.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung, membimbing dan membantu dalam pembuatan makalah ini hingga
selesai, terutama kepada yang terhormat, Bapak Drs. Waris M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan, seluruh kelas PBA B yang telah
membantu baik material maupun non material dan kepada semua pihak yang
langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Disamping itu kami sadar bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna,
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga
tugas penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Ponorogo, 12 Maret 2019

Kelompok 3/PBA B

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang.................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2

A. Pengertian Epistemologi ................................................................... 2

B. Struktur Epistemologi ....................................................................... 4

C. Sumber Pengetahuan dan Pendidikan............................................... 7

BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang Filsafat Ilmu, pasti akan menjumpai istilah
Epistimologi. Sebab manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok
saja, melainkan juga memerlukan Informasi untuk mengetahui keadaan
lingkungan mereka. Dalam upaya untuk memperoleh informasi, biasanya
manusia melakukan komunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu
informasi yang didapat dari komunikasi adalah Pengetahuan.
Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia, karena
dapat memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan. Dalam mencari
pengetahuan tak jarang manusia mempelajari Epistemologi. Epistemologi
disebut juga teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-
ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat
gamblang. Hal tersebut merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan
pengetahuan.
Maka dari itu, dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang
“Epistemologi” secara ringkas dengan harapan agar mudah dipahami dan
dimengerti oleh pembaca.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Epistemologi?
2. Bagaimana Struktur Epistemologi?
3. Apa saja Sumber Pengetahuan dan Pendidikan Islam itu?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi

Epistemologi adalah objek kajian yang menarik karena disinilah


dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan manusia bermula.
Secara etimologis, istilah “epistemology” merupakan gabungan kata dalam
bahasa yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan,
sedangkan logos berarti pengetahuan sistematik atau ilmu. Dengan
demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai suatu pemikiran mendasar
dan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang
fisalfat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh
pengetahuan, validasi dan kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu,
epistemologi juga disebut sebagai “teori pengetahuan”.1

Terdapat beberapa persoalan dalam bidang ini :


1. Apakah pengetahuan itu?
2. Bagaimana manusia bisa mengetahui sesuatu?
3. Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?
4. Bagaimanakah validasi pengetahuan itu dapat dinilai? Dll.

Semua pengetahuan berusaha menemukan kebenaran, serta apa yang dapat


diketahui tentang kebenaran. Epitemologi merupakan suatu bidang filsafat
nilai yang mempersoalkan tentang hakikat kebenaran, karena semua
pengetahuan mempersoalkan tentang kebenaran. Sebagai sebuah prosedur,
epistemologi memiliki berbagai perangkat dalam upaya membantu kita
memperoleh ilmu pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Namun karna

1 Loekisno Choiril Warsito dkk, “Pengantar Fisalfat”,(Surabaya : IAIN Sunan Ampel

Press,2011) Hal 79-80

2
3

pendapat tentang kebenaran itu sendiri. berbeda, sesuai dengan kriterianya


masing-masing, maka dalam epistemologi metode yang digunakan dalam
memperoleh ilmu pengetahuan itu juga mengalami perbedaan.2

Selain itu, Pranarka menyatakan bahwa sejarah epistemologi


dimulai pada zaman Yunani Kuno, ketika orang mulai mempernyatakan
secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan
merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan
kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan
kebudayaan Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat
kemauan dan kekuatan sebagai satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat
dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan spharta merupakan
basisnya voluntarisme. Zaman romawi tidak begitu banyak menunjukkan
perkembangan pemikiran mendasar dan sistematis tentang pengetahuan.
Hal itu terjadi karena alam pikiran romawi adalah alam pikiran yang
sifatnya ideologis.3

Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan


epistemologi lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah hubungan
antara pengetahuan sipranaturan dan pengetahuan rasional-naturan-
intelektual, antara iman dan akal. Kaum agama disatu pihak mengatakan
bahwa pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan
wahyu, sedangkan kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah
omong kosong jika tidak dibuktikan oleh akal. Situasi inilah yang pada
akhirnya memunculkan aliran skolastik (aliran filsafat yang diprakasai oleh
kaum terpelajar) yang cukup perhatiannya pada masalah estimologi, karena
mereka berusaha untuk menjalin perpaduan sistematik antara pengetahuan
dan ajaran samawi di satu pihak,dengan pengetahuan dan ajaran manusiawi
intelektual-rasional di lain pihak.4

2
Jalaluddin, “Fisalfat Ilmu Pengetahuan”, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2014) Hal. 166
3
Loekisno Choiril Warsito dkk, “Pengantar Fisalfat”. Hal. 81
4 Ibid, Hal.82
4

Jadi Epistemologi adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang mengkaji


tentang usaha dan upaya untuk mencari tahu suatu kebenaran. Epistemologi
dimulai sejak zaman Yunani Kuno, ketika itu mereka mulai sadar akan
kepentingan pengetahuan bagi manusia. Pandangan itu sendiri merupakan
kebudayaan masyarakat athena serta masyarakat athena sendiri dikenal
dengan intelektualismenya.

B. Struktur Epistemologi
Struktur atau situasi pengetahuan (the knowledge situation)
membahas bagaimana hubungan antara ilmuwan (the knower, self) dengan
sense atau data (experience) atau hal/objek yang diketahui (thing sknown,
world). Struktur pengetahuan disebut juga situasi pengetahuan atau
fenomenologi pengetahuan. Hubungan antara subjek yang mengetauhi dan
objek yang diketahui tergambar dari beberapa pandangan. Beberapa
pandangan tersebut adalah objektivitas, subjektivitas, skeptisisme,
relativisme, dan fenomenalisme. Disini secara ringkas akan dibahas terkait
pandangan-pandangan tersebut.

1. Objektivisme
Pendukung Objektivisme berpendapat bahwa objek-objek fisis yang
diobservasi/teliti bersifat independen di hadapan subjek yang
meneliti/mengetahui. Realitas, data, sensasi adalah sama atau satu. Dengan
demikian subjek yang mengetahui hanya mencerminkan realitas pada
adanya. Pandangan ini biasa disebut dengan realismenaif (naive realisme).
Kaum Objektivisme Ini berpendapat bahwa subjek (ilmuwan) bersifat pasif
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Objek justru dianggap paling
berperan. Posisi ilmuwan tak ubah seperti cermin yang memantulkan
realitas luar secara apa adanya. Aliran empirisme dan positifisme umumnya
menerima pandangan Objektivisme ini. Pandangan seperti ini disebut
dengan realisme epistemologis atau monisme epistemologis.
5

2. Subjektivisme
Subjektivisme adalah pandangan yang menekankan peran
unsure/dimensi subjek dalam menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan kita
merupakan ide-ide dalam pikiran orang yang mengetahui (the knower).
Karena itu, tidak mungkin kita mengetahui sesuatu (objek, fenomena) di
luar ide-ide tersebut. Dalam epistimologi terkandung beberapa pengertian
subjektivisme: a) sumber dan keabsahan pengetahuan ditentukan oleh
subjek yang mengetahui (the knower), b) pengetahuan tentang apa pun
yang dinyatakan objektif dan real secara eksternal diandaikan atau
didasarkan pada penyimpulan dari keadaan mental subjek. Segala sesuatu
yang diketahui adalah produk yang distruktur secara selektif dan diciptakan
oleh orang (subjek) yang mengetahui. 5
3. Skeptisisme
Skeptisisme adalah paham yang menyatakan ketidakmungkinan
untuk mencapai/memperoleh kebenaran objektif (akhir, final)
pengetahuan/ilmu pengetahuan. Gorgias mengemukakan satu bentuk
Skeptisisme ekstrem, sementara David Hume (1711-1776) bertolak dari
prinsip empirisme yang menolak untuk menerima sesuatu di luar empiri.
Hume menolak (meragukan) gejala kausalitas dan metode induksi yang
justru dominan dalam paradigma positivisme, karena bagi Hume kausalitas
dan induksi itu tidak dapat diamati secara langsung. Hume menyatakan
bahwa pengamatan hanya menghasilakn areus persepsi sebagai kesan-kesan
dan ide-ide saja. Karl Raimund Popper kemudian melanjutkan penolakan
Hume ini denagn mengajukan prinsip falsifikasi.
4. Relativisme
Relativisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kebenaran
tidak bersifat absolute atau universal. Contohnya pandangan Protagoras
bahwa individu menjadi ukuran segala hal disebut relativisme
(epistemologis) lantaran ia menyatakan kerelatifan nilai kebenaran

5Akhyar Yusuf Lubis,”Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer”,(Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada),1992,hal. 47
6

pengetahuan , atau kebenaran relative terhadap subjek yang mengetahui,


terhadap kelompok masyarakat dan paradigma tertentu. Dewasa ini
relativisme memiliki daya tarik tersendiri. Hal ini berhubungan dengan
keanekaragaman budaya (pluralisme), sehingga diperlukan saling
memahami (dialog) dan solidaritas (lihat pemikiran Feyerabend dan
Richard Rorty).6
Selain itu, Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman indra akan berbeda cara pembuktiannya dengan seorang yang
bertumpu pada akal, keyakinan atau wahyu. Atau bahkan semua alat tidak
dipercayainya, sehingga semua alat harus diragukan. Pengetahuan yang
dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak, sedang pengetahuan
yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar atau mungkin
salah, jadi apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar
karena ada sesuatu didalam nalar kita yang salah.7 Demikian pula apa yang
kita yakini belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja
mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada
tuhan. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan selalu berubah-ubah dan
berkembang.8
Tambahan pula, Menurut Langeved, tersirat beberapa unsur
pengetahuan, yaitu pengamatan (mencamkan), sasaran(objek), dan
kesadaran(jiwa). Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang saling mengikat.
Pengamatan merupakan penggunaan indra lahir atau batin untuk
menangkap objek. Pengamatan merupakan salah satu bentuk pengalaman.
Dilihat dari sisi perantaranya, ada dua macam pengalaman, yaitu
pengalaman lahir dan pengalaman batin. Pengalaman lahir ditangkap oleh
indra lahir (panca indra), adapun pengalaman batin hanya bisa dihayati oleh
indra batin. Sasaran adalah sesuatu yang menjadi bahan pengamatan.
Sedangkan kesadaran adalah salah satu dari alam yang terdapat pada diri

6 Ibid, Hal.50
7 Loekisno Choiril Warsito dkk, “Pengantar Fisalfat” Hal. 87
8 Ibid Hal. 89
7

manusia. Jiwa terdiri atas dua dunia, yaitu alam sadar dan alam bawah sadar.
Keduanya senantiasa ada bersama dalam satu waktu.9
Dari rangkaian diatas dapat disimpulkan, Struktur Epistemologi berisi
pembahasan tentang Ilmuwan dengan Objek yang diketahui atau di
experimen kan. Selain itu struktur Epistemologi dapat disebut juga sebagai
situasi Pengetahuan atau Fenomenologi Pengetahuan. Tambahan pula,
Pengetahuan adalah bagian terpenting dalam kehidupan manusia, namun
yang menjadi permasalahannya, darimana pengetahuan itu berasal,
sehingga menjadi sesuatu yang diketahui oleh manusia.

C. Sumber Pengetahuan dan Pendidikan Islam


Proses terjadinya pengetahuan juga merupakan masalah yang amat
penting dalam epistemologi karena jawaban terhadap terjadinya
pengetahuan akan membuat seorang paham filsafatnya. Jawaban yang
sederhana adalah berfilsafat a priori, yaitu ilmu yang terjadi tanpa melalui
pengalaman baik indra maupun batin atau aposteriori yaitu ilmu yang terjadi
karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu
pada kenyataan objektif. Ada enam hal yang merupakan alat untuk
mengetahui proses terjadinya pengetahuan yaitu :
1. Pengalaman Indera
Pengalaman Indra adalah sumber pengetahuan yang menekankan pada
kenyataan, yakni semua yang dapat diketahui dan dirasakan oleh indra
manusia.jadi pengetahuan berawal dari kenyataan yang diserap oleh indra.10
2. Nalar
Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua
pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan kesimpulan yang
logis. Dan dengan kesimpulan yang logis itu muncul pengetahuan yang baru.
3. Otoritas
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan
diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber ilmu karena

9 Tri Prasetyo, “Filsafat Pendidikan”,(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997) Hal. 111-112
10 Loekisno Choiril Warsito dkk, “Pengantar Fisalfat”, Hal. 89
8

pengetahuan suatu kelompok tertentu tergantung pada pengetahuan seorang


yang memiliki kewibawaan dan otoritas. Jadi ilmu pengetahuan yang terjadi
karena adanya otoritas adalah ilmu yang terjadi melalui wibawa seseorang
hingga orang lain mempercayainya sebagai sebuah pengetahuan.11
4. Intuisi
Instuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa
proses kejiwaan. Sumber pengetahuan jenis ini akan sulit dibuktikan secara
empiris dan secara rasional.
5. Wahyu
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh tuhan kepada Nabi-Nya
untuk kepentingan umatnya. Seorang yang memiliki pengetahuan memiliki
wahyu, secara otomatis akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat
dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena manusia
mengenal sesuatu melalui kepercayaannya.
6. Faith
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang
diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara wahyu dan keyakinan
hampir tidak dapat dibedakan karna keduanya menggunakan kepercayaan.
Perbedaannya adalah bahwa keyakinan terhadap wahyu adalah peraturan
yang terdapat dalam agama, sedangkan keyakinan kemampuan jiwa
manusia adalah pematangan dari kepercayaan.12
Selain tu adapun beberapa penjelasan dasar-dasar tentang pengetahuan
antara lain :
1. Dasar rasio
Ahli pikir yang berpendapat bahwa pengetahuan terbatas (tergantung)
pada rasio (pikiran,akal) disebut kaum rasionalis. Kaum rasionalis
mencakupi rasionalis realisme dan rasionalis idealisme . Yang termasuk
dalam kelompok ini antara lain : Agustinus , Joh, Scotus, avicena, Rene
Descrates (1596-1814), hegel (1770-1813), plato, galilei, Da Vinci, dan

11 Ibid, Hal. 90
12 Ibid, Hal. 91
9

lain-lain. ciri rasionalisme adalah pikiran. Paham ini berpendapat bahwa


pengetahuan kita terjadi karena bahan pemberian pancaindera dan batin di
olah oleh akal dan memungkinkan adanya pengetahuan semata-mata
berdasarkan akal (ilmu pasti,logika). Rasionalisme juga dapat dipandang
dari realisme dan idealisme. Pandangan rasionalis-realisme menjelaskan
bahwa rasio mengolah pengalaman sambil merekap ke dalam objek itu
sendiri, sedangkan objek sendiri itu bukanlah hasil ciptaan jiwa manusia.
Pendirian ini juga disebut rasionalisme teori pengetahuan atau rasionalisme
kritis. Realisme menyangkutkan semua pengetahuan pada suatu objek,
pengetahuan berlaku pada setiap makhluk yang berpengetahuan bukanlah
urusan manusia melainkan bersangkutan dengan objek yang ada menurut
wujudnya, terlepas dari pengetahuan kita.
Rasionalisme idealis berpegang pada keyakinan bahwa pengetahuan kita
melampaui pancaindera. Pada tingkat pertama pengetahuan kita tidak
melampaui dirinya sendiri. Apa yang tidak kita ketahui tidaklah nampak
bagi kita. Jadi tidak mungkin ada objek yang terlepas dari pengetahuan kita.
Idealisme salam berbagai bentuk menyangkutkan semua pengetahuan pada
kesadaran atau pada hal mengetahui diri sendiri atau pada jiwa. Kita
mencapai pengetahuan yang kebenarannya hanya berlaku dalam lingkungan
tertentu, yakni pada lingkungan makhluk fana yang berpengetahuan :
manusia.13
2. Dasar pengalaman
Yang dimaksud pengetahuan dalam hal ini dapat berupa pengamatan
pancaindera dapat juga berdasar pada peristiwa kejiwaan. Ahli pikir yang
berpendapat bahwa pengetahuan terbatas (tergantung) pada pengalaman
(empiri) disebut kaum empiris sedang yang membatasi hanya pada
pengamatan pancaindera disebut kaum sensualis. Yang termaauk kelompok
empiris dan sensualis ini antara lain: John Locke (1632-1704), berkeley
(1685-1753) david hume (1711-1776) Aguste Comte (1798-1857) dan

13 Soegeng, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2016). Hal. 17


10

Goethe. Pendapat bahwa pengalaman menjadi satu-satunya sumber


pengetahuan mengundang pertanyaan : apakah pengamatan sendiri
menghasilkan kebenaran ? Orang berpendapat bahwa pengalaman pasti
telah diketahui sesuatu secara aproeri. Sekiranya kaum empiris konsekuen,
maka seharusnya mereka mengungkiri mungkinnya filsafat, bahkan
mungkinnya ilmu pengetahuan sekaliipun, sehingga mereka harus
melepaskan empirisnya sendiri. Di pandang dari aliran realisme, empirisme
akan menyatakan bahwa pengetahuan kita bersumber pada pengalaman
yang real yang sungguh-sungguh ada dan terjadi diluar kesadaran kita, yang
kemudian beralih pada sensualisme, yaitu bahwa hal yang sungguh-
sungguh ada itu objek pancaindera kita. Bila dipandang dari aliran idealisme,
yang dimaksud dengan pengetahuan bukannya pengalaman pancaindera
melainkan pengalan batin, yaitu kesadaran yang berlaku sebagai satu-
satunya sumber pengalaman . Idealisme ini disebut konsiensialisme.14
3. Dasar panduan antara rasio dan pengalaman
Ada kelompok ahli pikir yang berusaha memadukan kaum
rasionalis/intelektualis dengan kaum empiris/sensualis. Mereka itu disebur
kaum kritisisme. Kritisime dapat dikatakan dimulai oleh Emanuel Kant
(1724-1805), tetapi ada pula yang memasukkan kaum kritisisme itu kepada
kelompok rasionalis. Emanue Kant mengolah hasil pikiran LeibNiz dan
Newton, David Humedan J.J. Rouseau. Ia menggabungkan rasionalisme
Leibniz dengan Wolf dengan empirismenya John Locke dan David Hume,
dicobanya untuk mengatasi dalam kritisisme. Menurut Emanuel Kant, dasar
pengetahuan adalah keduanya, rasio dan pengalaman, tetapi bukan
merupakan penjumlahan keduanya itu. Rasio dan pengalaman adalah
penghubung, dalam hal mana unsur rasio sebagai dasar pengetahuan masih
sepenuhnya menentukan, tetapi unsur empiris menjadi isi yang tidak dapat
tidak ada bagi bentuk-bentuk kategori. Kant juga mengakui ilmu-ilmu
murni, artinya ilmu-ilmu yang berkembang dengan berpangkal dengan

14 Ibid, Hal. 18
11

pengetahuan apriori, misalnya ilmu pasti. Itulah sebabnya sementara orang


memasukkannya ke dalam kelompok kaum rasionalis.15
Adapun dijelaskan tentang sumber pendidikan islam. Sumber
pendidikan Islam yang dimaksudkan di sini adalah semua acuan atau
rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang
akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sa’id Ismail Ali
mengatakan, sebagaimana yang dikutib Hasan Langgulung bahwa sumber
pendidikan Islam terdiri dari enam macam yaitu: Al-Qur’an, Assunnah,
kata-kata sahabat (madzhab sahabi), kemaslahatan umat/social (mashalil al-
mursalah), tradisi atau adat kebiasaan masyarakat (uruf), dan hasil
pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad). Keenam sumber pendidikan Islam
tersebut didudukkan secara hierarkis. Artinya rujukan pendidikan Islam di
awali dari sumber pertama (Al-Qur’an) untuk kemudian dilanjutkan pada
sumber-sumber berikutnya secara berurutan.
a. Al-Qur-an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u,
qira’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan
menghimpun (al-dhammu) huruf- huruf serta kata-kata dari satu bagian
yang lain secara teratur. Muhammad Salim Muhsin mendefinisikan Al-
Qur’an dengan: “Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukil/diriwayatkan kepada
kita dengan jalan yang mutawatir dan pembacanya dipandang ibadah serta
sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.”
Sedang Muhammad Abduh mendefinisikannya dengan: “kalam mulia yang
diturunkan oleh Tuhan kepada nabi yang paling sempurna (Muhammad
SAW), ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an
merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi
yang berjiwa yang suci dan berakal cerdas.” Tidak satu pun persoalan,
termasuk persolan pendidikan yang luput dari jangkauan Al-Quran.

15
Ibid, Hal. 19
12

b. As-Sunnah
As-sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang bisa
dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah al-maslukah) baik yang
terpuji maupun yang tercela. Assunnah adalah: “segala sesuatu yang
dinukilkan kepada Nabi saw berikut berupa perkataan, perbuatan, taqrir-nya,
ataupun selain dari itu.” Termasuk ‘selain itu’ (perkataan, perbuatan, dan
ketetapannya) adalah sifat-sifat, keadaan, dan cita-cita (himmah) Nabi saw.
Yang belum kesampaian. Misalnya, sifat-sifat baik beliau, silsilah (nasab),
nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para ahli sejarah,
dan cita-cita beliau. Robert L. Gullick dalam Muhammad The Educator
menyatakan: “Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing
manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta
melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya
Islam serta revolusi sesuatu yang mempunyai tempo yang tak tertandingi
dan gairah yang menantang. Dari sudut pragmatis, seseorang yang
mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran diantara para
pendidik. Kutipan itu diambil dari ensiklopedia yang melukiskan Nabi
Muhammad saw. Sebagai seorang nabi, pemimpin, militer, negarawan, dan
pendidik umat manusia.
c. Kata-kataSahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi saw. Dalam
keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga. Para sahabat Nabi
saw. Memiliki karakteristik yang unik dibanding kebanyakan orang. Fazlur
Rahman berpendapat bahwa karakteristik sahabat Nabi saw antara lain:
1. Tradisi yang dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah
dengan Sunnah Nabi saw.
2. Kandungan yang khusus dan actual tradisi sahabat sebagian besar produk
sendiri
3. Unsur kreatif dari kandungan merupaan ijtihad personal yang mengalami
kristalisasi dalm ijma’, yang disebut dengan madzhab shahabi (pendapat
13

sahabat). Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk Nabi saw terhadap
seseuatu yang bersifat spesifik
4. Praktek amaliah dasar Al-Qur’an tanpa sedikit pun menghindarinya dasar
Al-Qur’an tanpa sedikit pun menghindarinya sahabat identik dengan ijma
(consensus Umum).
d. Kemaslahatan Umat atau sosial
Mashalil al-mursalah adalah menetapkan undang-undang, peraturan
dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak
disebutkan dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan hidup
bersama, dengan bersendikan asas menarik kemaslahatan dan menolak
kemudaratan. Mashalil al-mursalah dapat diterapkan jika benar-benar
dapat menarik mashlahat dan menolak mudharat melalui penyelidikan
terlebih dahulu. Ketetapannya bersifat umum bukan untuk kepentingan
perseorangan serta tidak bertentangan dengan nash. Para ahli pendidikan
berhak menentukan undang-undang atau peraturan peraturan pendidikan
Islam sesuai dengan kondisi lingkungan di mana ia berada. Ketentuan
yang dicetuskan berdasarkan mashalil murshalah paling tidak memiliki
tiga kriteria
a. Apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemashlahatan dan
menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis,
misalnya pembuatan ijazah dengan foto pemiliknya
b. kemashalatan yang diambil merupakan kemashalahatan yang bersifat
universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya
diskriminasi,
c. keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar
Al-Qur’an dan Assunnah.
e. Tradisi dan Adat Kabiasaan Masyarakat (Urf)
Tradisi (urf/adat ) adalah kebiasaan masyarakat baik berupa
perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-
akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam
melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang
14

sejahtera. Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multi


kompleks. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus
sebagai pengejewantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi
dapat mempertahankan diri sejauh didalam mereka terdapat nilai-nilai
kemanusian. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai
kemanusian, maka manusia aka kehilangan martabatnya. Kesepakatan
bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan
pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat :
1. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash baik Al-Qur’an maupun
Assunnah
2. Tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat
yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan,
dan kemudharatan.
f. Hasil Pemikiran para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-masyaqqah (yang sulit)
dan badzl al-wus’I wa thaqati (pengerahan kesanggupan dan kekuatan).
Sa’id al-Tahtani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (kearah
yang membutuhkan kesungguhan), yaitu pengerahan segala
kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai
pada batas puncaknya. Ijtihad menjadi penting dalam pendidikan Islam
ketika suasana pendidikan mengalami status quo jumud dan stagnan.
Tujuan dilakukan ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi,
inovasi, dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan
pendidikan yang lebih berkualitas. Ijtihad tidak berarti merombak tatanan
yang lama secara besar-besaran dan mencampakkan begitu saja apa yang
selama ini dirintis melainkan memelihara tatanan lama yang baik dan
mengambil tatanan yang baru yang lebih baik. Begitu penting upaya
ijtihad ini sehingga Rasulullah memberikan apresiasi yang baik terhadap
pelakunya bila mereka benar melakukannya16

16 Wahyuddin, “SUMBER-SUMBER PENDIDIKAN ISLAM

(Penalaran, Pengalaman, Intuisi, Ilham dan Wahyu)”. Jurnal Sumber Pendidikan Vol. 1 No. 1, Hal 140-145
15

Jadi ada beberapa hal yang menjadi sumber pengetahuan, yaitu,


Pengalaman indra, nalar, otoritas, intuisi, faith, dan wahyu. Adapun
aliran-aliran yang meyakini adanya sumber-sumber tersebut seperti
aliran Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme. Masing-masing
aliran memiliki pandangan yang berbeda tentang sumber pengetahuan
tersebut. Salah satu contohnya aliran rasionalisme yang menganggap
bahwa pengetahuan terbatas oleh akal dan pikiran, aliran Empirisme
berpendapat adanya sumber pengetahuan berasal dari panca indra,
serta aliran Kritisisme yang memadukan antara akal pikiran dan panca
indra. Selain itu adapun Sumber pendidikan dalam islam yaitu Al-
Qur’an, As-Sunnah, Kata-Kata Sahabat, Kemaslahatan Umum,
Pemikiran Para Ahli, Adat Kebiasaan Mayarakat.
BAB III

KESIMPULAN

1. Jadi Epistemologi adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang
usaha dan upaya untuk mencari tahu suatu kebenaran. Epistemologi dimulai
sejak zaman Yunani Kuno, ketika itu mereka mulai sadar akan kepentingan
pengetahuan bagi manusia. Pandangan itu sendiri merupakan kebudayaan
masyarakat athena serta masyarakat athena sendiri dikenal dengan
intelektualismenya.
2. Struktur Epistemologi berisi pembahasan tentang Ilmuwan dengan Objek
yang diketahui atau di experimen kan. Selain itu struktur Epistemologi dapat
disebut juga sebagai situasi Pengetahuan atau Fenomenologi Pengetahuan.
Tambahan pula, Pengetahuan adalah bagian terpenting dalam kehidupan
manusia, namun yang menjadi permasalahannya, darimana pengetahuan itu
berasal, sehingga menjadi sesuatu yang diketahui oleh manusia.dalam hal
ini pula dijelaskan ada beberapa sumber pengetahuan antara lain penalaran
indra, otoritas, wahyu, dan lain sebagainya.
3. Jadi ada beberapa hal yang menjadi sumber pendidikan yaitu, Pengalaman
indra, nalar, otoritas, intuisi, faith, dan wahyu. Adapun aliran-aliran yang
meyakini adanya sumber-sumber tersebut seperti aliran Rasionalisme,
Empirisme, dan Kritisisme. Masing-masing aliran memiliki pandangan
yang berbeda tentang sumber pengetahuan tersebut. Salah satu contohnya
aliran rasionalisme yang menganggap bahwa pengetahuan terbatas oleh akal
dan pikiran, aliran Empirisme berpendapat adanya sumber pengetahuan
berasal dari panca indra, serta aliran Kritisisme yang memadukan antara
akal pikiran dan panca indra.

12
DAFTAR PUSTAKA

Akhyar Yusuf Lubis. 1992. “Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer” Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 2014. “Fisalfat Ilmu Pengetahuan”. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Loekisno Choiril Warsito dkk. 2011. “Pengantar Fisalfat”. Surabaya : IAIN Sunan
Ampel Press.
Soegeng. 2016. “Filsafat Ilmu”. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.
Tri Prasetyo. 1997. “Filsafat Pendidikan”. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Wahyuddin,“SUMBER-SUMBER PENDIDIKAN ISLAM (Penalaran, Pengalaman,
Intuisi, Ilham dan Wahyu)”. Jurnal Sumber Pendidikan 7(1), Hal 140-145

17

Anda mungkin juga menyukai