MAKALAH
Disusun oleh :
PURWOKERTO
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang Maha pengasih
lagi Maha penyayang. Atas rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kita semua dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Epistemologi Ilmu”.
Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah limpahkan kepada junjungan
kita, nabi agung Nabi Muhammad SAW. Yang telah berpengaruh dalam kehidupan
dunia dalam merubah dunia yang penuh kebodohan menjadi dunia yang penuh
ilmu pengetahuan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
C. Tujuan .....................................................................................5
A.Pengertian Epistemologi.........................................................6
B.Pengetahuan.............................................................................7
1. Arti Pengetahuan................................................................7
2. Terjadinya Pengetahuan.....................................................9
3. Aliran-aliran Pengetahan....................................................14
4. Metode Ilmiah....................................................................15
5. Metodologi Pengetahuan...................................................16
C. Kebenaran...............................................................................19
1. Arti Kebenaran...................................................................19
2. Teori-teori Kebenaran.........................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan membahas mengenai
epistemologi ilmu yang didalamnya berisi tentang pembahasan alat-alat untuk
mengetahui, bentuk-bentuk kebenaran, implikasi alat-alat mengetahui terhadap
aspek metodologis ilmu, kebenaran ilmu, serta ilmu dalam perspektif aliran
epistemik.
B. Rumusan Masalah
4
2. Apa pengertian pengetahuan?
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
5
A. Pengertian Epistemologi Ilmu
1
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017),
hal.117.
2
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam dimensi Ontolisi-Epistemologi-aksiologi,
(Jakarata: Bumi Aksara,2016), hal 136.
6
Secara klasik, epistemologi dipergunakan untuk sebutan jenis epistemologi
pada umumnya yang selama berabad-abad menjadi cabang dari disiplin ilmu
filsafat yang mengkaji pengetahuan manusia. Sebagai cabang ilmu filsafat,
epistemologi bermaksud mengkaji pengetahuan manusia secara evaluatif,
normatif, dan ktitis. Salah satu faktor penentu epistemologi adalah latar
belakang nilai-nilai yang dianut oleh penggagasnya.3
B. Pengetahuan
1. Arti Pengetahuan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu objek tertentu.4 Pengetahuan berasal dari kata dasar ‘tahu’ dengan
mendapat awalan pe dan akhira an yang berarti proses mengetahui, dan
menghasilkan sesuatu yang disebut pengetahuan. Pengetahuan dalam
Encyclopedeia of Phisolophy adalah kepercayaan yang benar (justified true
belief). Dalam kamus filsafat pengetahuan diartikan sebagai proses kehidupan
yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. 5
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan
manusia untuk mengetahui sesuatu yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia
untuk memahami suatu objek tertentu.6 Pengetahuan sangat berperan dalam
kehidupan karena pengetahuan merupakan sumber jawaban dari berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Pengetahuan dapat diperoleh
manusia melalui akal dan panca indera. Adanya pengetahuan dipengaruhi oleh
dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu yang berasal dari diri manusia berupa
3
Yadi Purwanto, Epistemologi Psikologi Islam, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007),
hal 30.
4
Jujun S. Surjasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010), hal.104
5
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal.85
6
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal. 26
7
sifat manusia yang cenderung ingin tahu. Kedua, faktor eksternal, yaitu
dorongan dari luar berupa tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Manusia memiliki tripotensi kejiwaan, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta
berfungsi sebagai alat untuk mengukur nilai kebenaran, rasa berfungsi sebagai
alat untuk mengukur nilai keindahan, sedangkan karsa berfungsi sebagai alat
untuk mengukur nilai kebaikan. Dengan megetahui nilai kebenaran, keindahan,
dan kebaikan manusia dapat mempertahankan kehidupannya.
Semua pengetahuan hanya dikenal dan ada dalam pikiran manusia. Oleh
karena itu, hubungan antara pengetahuan dan pikiran menusia merupakan
sesuatu yang kodrati. Bahm mengatakan ada delapan hal penting yang
berfungsi membentuk struktur pikiran manusia, yaitu:
1. Mengamati (observ); pikiran berperan dalam mengamati suatu objek
tertentu. Saat melakukan pengamatan, maka pikiran harus mengandung
kesadaran. Oleh karena itu, di sini pikiran merupakan bentuk kesadaran.
2. Menyelidiki (inquires); seseorang memiliki banyak minat pada
perhatian yang terarah. Minat-minat ini ada yang dikaikan dengan
kepentingan jasmaniah, tuntutan masyarakat, tujuan pribadi, dan lain-
lain. Minat membimbing seseorang secara alami untuk terlibat ke dalam
pemahaman pada suatu objek.
3. Percaya (believes); yakni sikap menerima sesuatu yang menampak
sebagai pengertian yang memadai setelah keraguan.
4. Hasrat (desires); mencakup kondisi biologis serta psikologis dan
interaksi dialektik antara tubuh dan jiwa. Tanpa pikiran tidak mungkin
ada hasrat. Beberapa hasrat muncul dari kebutuhan jasmani seperti
nafsu makan, minum, istirahat, tidur, dan lain-lain.
5. Maksud (intends); memiliki maksud saat akan mengamati, menyelidiki,
mempercayai dan berhasrat, atau bahkan terdorong saat melakukannya.
6. Mengatur (organize); setiap pikiran adalah suatu organisme yang teratur
dalam diri seseorang. Pikiran mengatur melalui kesadaran, intuisi,
melalui panggilan untuk memunculkan objek, dan berperan serta dalam
pembentukan objek-objek tersebut dari sesuatu yang mendorong untuk
diatur melalui otak.
8
7. Menyesuaikan (adapts); menyesuaikan pikiran serta melakukan
pembatasan-pembatasan yang dibebankan dalam pikiran melalui
kondisi keberadaan yang tercakup dalam otak dan tubuh.
2. Terjadinya Pengetahuan
9
hidup sehari-hari dengan mata, telinga, hidung, lidah dan kulit, orang bisa
menyaksikan secara langsung kebenaran suatu objek, dan bisa melakukan
kegiatan hidup.10 Mula-mula tangkapan indera itu yang masuk sederhana,
lama-kelamaan menjadi kompeks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti.11
b. Nalar (Reason)
c. Otoritas (Authority)
d. Intuisi (Intuition)
10
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017),
hal.53.
11
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal.99.
12
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal. 29.
13
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017),
hal.54.
14
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal. 29.
15
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal.107.
10
bersumber dari intuisi merupakan pengalaman batin yang bersifat
langsung.16
e. Wahyu (Revelation)
f. Keyakinan (Faith)
16
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017),
hal.54.
17
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal. 30.
11
pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan pemikiran-
pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis.18
a. Berlaku umum
b. Memiliki pemikiran otonomi
c. Memiliki dasar pembenaran
d. Sistematik
e. Intersubjektif19
18
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam dimensi Ontolisi-Epistemologi-aksiologi,
(Jakarata: Bumi Aksara,2016), hal 137-138.
19
Nina W.Syam, Fillsafat sebgai akar Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media,2010),hal 145-146.
12
inderawi. Kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan yang
lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif.
a. Aliran Empirisme
20
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam dimensi Ontologis-Epistemologi-aksiologi,
(Jakarata: Bumi Aksara,2016), hal 137
21
Surdasono, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Aneka Cipta,1993), hal 140.
13
Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman indera. Sebagai contoh,
manusia tahu garam itu asin karena ia mencicipinya.
b. Aliran Rasionalisme
Tokoh yang paling terkenal dalam aliran ini adalah Rene Docartes.
Aliran ini mengajarkan bahwa melalui akalnya manusia dapat memperoleh
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal,
namun demikian aliran ini juga tidak mengingkari kegunaan indera dalam
memperoleh pengetahuan, karena pengetahuan indera diperlukan untuk
merangsang akal dan menyebabkan akal dapat bekerja.
c. Aliran Positivisme
d. Aliran Intuisionisme
14
memahami kebenaran yang utuh, yang tetap. Intuisi ini menangkap objek
secara langsung tanpa melalui pemikiran.
4. Metode Ilmiah
a) Masalah Menghubungkan Kejadian-Kejadian secara Sistematis.
Di sini kita dapat melihat unsur pertama di dalam metode ini:
sejumlah pengamatan (artinya, pengalaman-pengalaman) yang dipakai
sebagai dasar untuk merumuskan suatu masalah. Pernyataan-pernyataan
yang ada dirumuskan sedemikian rupa, sehingga pengamatan-pengamatan
yang menimbulkan masalah tersebut akan dihubungkan secara sistematis
satu sama lain dan dengan fakta-fakta lain yang sudah diamati.
b) Hipotesa
Bila ada suatu masalah dan sudah diajukan suatu penyelesaian
yang dimungkinkan, maka penyelesaian yang diusulkan itu dinamakan
“hipotesa”. Jadi, hipotesa ialah usulan penyelesaian yang berupa saran dan
sebagai konsekuensinya harus dipandang bersifat sementara dan
memerlukan verifikasi. Biasanya dimungkinkan adanya sejumlah saran
semacam itu. Di dalam proses menemukan hipotesa dikatakan bahwa
kegiatan akal bergerak keluar dari pengalaman, mencari suatu bentuk,
yang didalamnya disusun fakta-fakta yang telah diketahui, dalam suatu
kerangka tertentu. Diharapkan, jika fakta-fakta yang telah diketahui itu
cocok dengan hipotesa yang disarankan tersebut, maka segenap yang
serupa pasti juga akan cocok dengan hipotesa tadi.
c) Dukungan bagi Hipotesa
Jika suatu hipotesa sudah diusulkan maka perlu diverifikasi atau
sekurang-kurangnya perlu bahan-bahan bukti yang mendukungnya.
Bahan-bahan bukti yang memperkuat suatu hipotesa berasal dari dua hal
yaitu: (1) bahan-bahan keterangan yang diketahui harus cocok dengan
hipotesa tersebut; (2) hipotesa itu harus meramalkan bahan-bahan
keterangan yang dapat diamati, yang memang demikian keadaannya.
Proses yang terjadi yang menunjukkan bahwa bahan-bahan keterangan
yang diketahui itu cocok dengan hipotesa dapat dinamakan “kalkulasi”.
d) Ramalan (Prediction)
15
Kajian terhadap hipotesa dimulai dengan pengamatan yang
dilakukan secara hati-hati, sistematis, dan secara sengaja terhadap
ramalan-ramalan yang disimpulkan dari hipotesa tertentu. Jika mungkin,
seorang ilmuwan harus mempersiapkan segala-galanya bagi pengamatan
yang dilakukannya. Ia membuat alat-alat, mencoba menggendalikan apa
yang akan terjadi dan bilamana terjadi, dan memakai pesawat-pesawat
pengukur untuk mencatat apa yang terjadi. Ini dinamakan
“eksperimentasi”.
Jika pengamatan-pengamatan itu menunjukkan apa yang
diramalkan hipotesa akan terjadi, berarti hipotesa tersebut mendapat
dukungan. Salah satu di antara sifat-sifat yang penting dari metode ini
ialah, metode tersebut mengajukan syarat yang sangat sederhana. Yang
diketengahkannya hanyalah kebenaran namun bukan kebenaran mutlak,
karena pengamatan selanjutnya mungkin saja tidak mengukuhkan hipotesa
tersebut. Sifat yang menonjol dari metode ilmiah ialah digunakannya akal
dan pengalaman disertai dengan sebuah unsur baru, yaitu hipotesa. 22
5. Metodologi Memperoleh Pengetahuan
a. Metode Induktif
16
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan maka akan dipergunakan
hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa logam yang dipanasi
akan mengembang.
b. Metode Deduktif
c. Metode Positivisme
d. Metode Kontemplatif
17
pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara
berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
e. Metode Dialektis
Dalam filsafat dialektika berarti metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat. Menurut Plato dialektika berarti diskusi
logika. Jadi dialektika berarti tahap logika yang mengajarkan kaidah-
kaidah dan metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide
untuk mencapai apa yang tergantung pada pandangan.23
C. Kebenaran
1. Arti Kebenaran
Dalam bahasa Inggris “Kebenaran” disebut “truth”. Istilah latin “varitas”,
dan Yunani “eletheid”, dipandang sebagai lawan kata “kesalahan”,
“kesesatan”, “kepalsuan”, dan kadang juga “opini”.24 Dalam bahasa Arab
“Kebenaran” disebut “al-haq” yang diartikan dengan “naqid al-batil”.25
Sedangkan dalam KBBI kata “Kebenaran”, menunjukkan kepada keadaan yang
cocok dengan keadaan yang sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh
adanya.26 Sedangkan menurut tokoh penganut faham idealism yakni FH.
Bradly mengatakan bahwa kebenaran ialah kenyataan. Karena kebenaran ialah
23
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: IPB Press,2016), hal 99-102.
24
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 412
25
Naqied al-Bathil berarti lawan dari yang batal (rusak, sesat, salah). Untuk lebih
jelasnya pemahaman arti kebenaran dalam Bahasa Arab tersebut dapat dilihat pada Ibnu Manzhur,
Lisan al-Arab, 15 Jilid, (Beirut: Daar Shaadir, 1412/1992), Jilid 10, P. 49-58
26
Tim Penyusun Kamus PPPB, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta,
Balai Pustaka, 1994), P. 114
18
makna yang merupakan halnya, dan karena kenyataan ialah juga merupakan
halnya.27
2. Teori Kebenaran
Ada beberapa teori kebenaran diantaranya sebagai berikut:
a. Teori Koherensi
19
sebelumnya yang diakui kebenarannya. Jika ada hubungan berarti benar,
jika tidak berarti tidak benar. Kebenaran terletak pada hubungan antara
pernyataan dan pengalaman. Semakin banyak hubungannya, semakin tinggi
derajat kebenaran itu.
Secara singkat paham ini mengatakan bahwa suatu proposisi
cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan
dengan proposisi-proposisi yang benar atau jika makna yang dikandunganya
dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
b. Teori Korespondensi (Corespondence Theory)
20
Sedangkan idealisme epistemologi berpandangan bahwa setiap tindakan
berakhir dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif. Kedua
pandangan tersebut sangatlah berbeda. Idalisme epistemologi lebih
menekankan bahwa kebenaran adalah apa yang ada di dunia ide. Misal
melihat merah, rasa manis, rasa sakit, gembira, berharap dan sebagainya
adalah ide. Jadi kebenaran adalah sesuaian antara pernyataan tentang
sesuatu dengan kenyataan suatu itu sendiri. Misal, Semarang ibu kota Jawa
Tengah. Pernyataan ini disebut benar apabila pada kenyataannya semaranf
memang ibukota provensi Jawa Tengah. Kebenarannya terletak pada
pernyataan dan kenyataan.30
30
Ahmad Atabik, Teori kebenaran perspektif filsafat Ilmu, Vol.2, No.1, Juni 2014, hal
258-259.
31
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1993), hlm. 59.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
22
DAFTAR PUSTAKA
Atabik Ahmad, 2014, Teori kebenaran perspektif filsafat Ilmu, Vol.2, No.1, Juni
2014.
Bahrum, 2013, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, Vol.8, No.2, April 2013.
Muhammad Naquib Al-Attas Syed, 1995, Islam & Filsafat SAINS, Bandung:
Mizan.
Suriasumantri, Jujun S., 2010, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.
Syam Nina W, 2013, Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
23
Tim Penyusun Kamus PPPB, Depdikbud, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
24