Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Aksiologi

Istilah aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan logos yang berarti
ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah ‘teori tentang nilai’. (Filsafat Ilmu : Suatu kajian dalam dimensi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis Drs. A.Susanto, M.Pd 2014 jakarta : bumi aksara)

Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu kepada
permasalahan etika dan estetika.

Nilai menempati kedudukan penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat di
mana sementara orang lebih siap mengorbankan hidpu ketimbang mengorbangkan nilai. Nilai dapat
dilacak dari tiga realitas, yakni : pola tingkah laku, pola berpikir, dan sikap-sikap seorang. (Filsafat Ilmu
Pengetahuan dan Peradaban, H. Jalaluddin, 2014, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta)

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari
sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di
dalam menerapkan ilmu ke dalam praktis. (Filsafat Ilmu : Suatu kajian dalam dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis Drs. A.Susanto, M.Pd 2014 jakarta : bumi aksara)

Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh. Aksiologi berhubungan dengan penggunaan ilmu pengetahuan. Seperti dimaklumi, bahwa
ilmu pengetahuan membantu manusia mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan menguasai ilmu pengetahuan, manusia mampu mengobservasi, memprediksi,
memanipulasi, dan menguasai alam. (Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT Rajagrafindo Persada,
depok)

Ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri. Pengetahuan


(knowledge) mempunyai berbagai cabang pengetahuan dan ilmu yang merupakan salah satu cabang
dari pengetahuan tersebut. Karakteristik keilmuan itulah yang mencirikan hakikat keilmuan dan
sekaligus membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan lainnya atau dengan perkataan lain,
karakteristik keilmuan menjadikan ilmu merupakan suatu pengetahuan yang bersifat ilmiah. (Filsafat
Ilmu dan metodologi penelitian dan ilmu pemerintahan, Bogor, penerbit Ghalia Indonesia, 2014 Hj.
Erliana Hasan)

Dari kelima sumber pengetahuan, yakni : pikiran, perasaan, indera, instuisi dan wahyu, dapat
dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan dua sumber utama, yakni pikiran dan
indera, sehingga hakikat ilmu adalah memadukan dua kemampuan dalam rangka mengungkap rahasia
alam lewat kegiatan berpikir dan mengamati.

Manuasia diberi kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu dalam arti luas, yakni suatu kemampuan
yang tidak diberikan Sang Maha Pencipta kepada makhluk lainnya, dan secara analitik, kemampuan
untuk mengetahui segala sesuatu tersebut mencakup tiga kemampuan besar berikut.
1. Kemampuan Kognitif, yaitu kemampuan untuk mengetahui dalam arti kata yang lebih dalam
berupa mengerti, memahami, menghayati, dang mengingat apa yang diketahui itu. Landasan
kognitif adalah rasio atau akal dan kemampuan ini bersifat netral.
2. Kemampuan Afektif, yaitu kemampuan untuk merasakan tentang apa yang diketahuinya, adalah
rasa cinta dan rasa indah. Bila kemampuan kognitif bersifat netral, maka kemampuan afektif
tidak bersifat netral lagi. Rasa cinta dan indah, kedua-duanya merupakan kontinum yang
berujung pada sifat poller (cinta-benci, baik-buruk). Landasan afektif adalah rasa atau kalbu atau
disebut juga hati nurani.
3. Kemampuan Konatif, yaitu kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu. Konasi adalah
kemauan, keinginan, hasrat, yakni daya dorong untuk mencapai atau menjauhi segala apa yang
ditekan oleh rasa. Kemampuan, kemauan, dan kekuatan manusia untuk bergerak mendekati
atau menjauhi sesuatu inilah yang disebut dengan kemampuan konatif. Dengan kata lain,
kemampuan konatif adalah kemapuan yang mengedepankan kekuatan fisik dalam bentuk
action.

Dari ketiga kemampuan manusia tersebut, ternyata kemampuan afektiflah yang menjadi titik
sentralnya dan pada bidang kemampuan afektif inilah terutama pada manusia mendapat petunjuk-
petunjuk secara sadar maupun tanpa disadari dari Yang Maha Pencipta di satu pihak atas seizin Tuhan
pula. (Filsafat Ilmu dan metodologi penelitian dan ilmu pemerintahan, Bogor, penerbit Ghalia
Indonesia, 2014 Hj. Erliana Hasan)

Filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal berikut :

a. Persepsi manusia akan kenyatan (reality)


b. Pemahaman berbagai dinamika alam
c. Saling keterkaitan antara logika dengan matematika, dan antara logika dan matematika pada
satu sisi dengan kenyataan pada sisi lain.
d. Berbagai keadaan (states) dari keberadaan-keberadaan (entities) teoritis.
e. Berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya (liability)
f. Hakikat (the essence) manusia, nilai-nilainya, tempat, dan posisinya di tengah-tengah semua
keberadaan lain, paling sedikit yang berada di lingkungan dekatnya. (Filsafat Ilmu : Suatu kajian
dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis Drs. A.Susanto, M.Pd 2014 jakarta :
bumi aksara)

Filsafat ilmu juga menyibukkan diri dengan berbagai masalah yang datang dari konsep-konsep
khusus dalam statistic, pengukuran, teologi, misalnya penjelasan peristiwa-peristiwa dipandang dari
tujuannya atau kesudahannya, penjelasan sebab-musabad, hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda,
keadaan di mana satu ilmu berkurang untuk ilmu lain, dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu
satu per satu. (Filsafat Ilmu : Suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis Drs.
A.Susanto, M.Pd 2014 jakarta : bumi aksara)
Teori Nilai
Teori tentang nilai dapat kita bagi menjadi dua :
a. Etika
Istilah etika berasal dari kata ‘ethos’ (Yunani) yang artinya ‘adat kebiasaan’. Dalam
istilah lain para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutnya dengan ‘moral’.
Walaupun antara kedua istilah etika dan moral ada perbedaannya, namun para ahli tersebut
tidak membedakannya dengan tegas, bahkan cenderung untuk member arti yang sama
secara praktis. (Logika Materil Filsafat Ilmu Pengetahuan, H. Burhanuddin Salam, PT
Rineka Cipta, Jakarta 2003).
Etika disebut juga sebagai filsafat kesusilaan atau moral (Driyarkara). Terdapat dua
perbedaan antara etika dan kesusilaan. Pertama, moralitas bersangkutan dengan apa yang
seyogianya dilakukan dan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena berkaitan dengan
prinsip moralitas yang ditegakkan. Etika adalah wacana yang memperbincangkan landasan-
landasan-landasan moralitas. Kedua, bahwa etika berkaitan dengan landasan falsafiah
normal dan nilai dalam kehidupan kemasyarakatan atau budaya, sedangkan kesusilaan atau
moral, secara khusus berkaitan dengan nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan
dan keburukan perilaku yang bersangkutan dengan agama. Dengan demikian, kesusilaan
sering pula berkaitan dengan norma agama yang selanjutnya berhubungan dengan masalah
dosa dan pahala. (Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja, PT Refika Aditama,
2009,bandung)

Menurut Langeveld, etika ialah teori perbuatan manusia, yaitu ditimbang menurut baik
dan buruknya. Selanjutnya Dagobert Runes, mengemukakan : Ethies is that or discipline
which concerns it self with judgment of approval or disapproval, judgment as to the rigthess
or wrongness, goodness or badness, virtue or vice, desirability or wisdom of action, ends, ob
objects or state of af-fairs. Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan
perbuatan manusia dan memandangnya dari sudut baik dan tidak baik. Etika merupakan
filsafat tentang perilaku manusia. (Logika Maternal FIlsafat Ilmu Pengetahuan, H.
Burhanuddin Salam, PT Rineka Cipta, Jakarta 2003)
Conny R. Semiawan (2005: 158) menjelaskan tentang etika itu sebagai “the study of the
nature of morality and judgment”, kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan
menilai). Selanjutnya Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar
perilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. Kegiatan menilai (act of
judgment) telah dibangun berdasarkan toleransi yang dapat dicapai. Di alam ilmu yang
berkembang langkah demi selangkah, pertukarakan informasi antarmanusia selalu
merupakan permainan tentang toleransi. Ini berlaku dalam ilmu eksakta ataupun bahasa,
ilmu social, religi, ataupun politik, bahkan juga bagi setiap bentuk pikiran yang akan menjadi
dogma. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi. Hal ini adalah demikian, karena hasil
penelitian dari suatu pengetahuan ilmiah sering tidak sama dengan sifat objektif penelitian
atau hasil penelitian pengetahuan ilmiah yang lain, terutama apabila penetahuan-
pengetahuan itu tergolong dalam kelompok-kelompok disiplin ilmu yang berbeda.
Di samping itu, ditinjau secara filosifis, sangat suka itu untuk mengatakan sesuatu
sebagai hal yang objektif, sebab boleh dikatakan segala sesuatu mengenai hampir semua
keberadaan di alam ini adalah hasil dari kesepakatan, yang dipelopori oleh individu-individu
atau kelompok-kelompok yang dipandang memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang
kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Meskipun demikian dapat disimpulkan bahwa sifat
ilmu pengetahuan pada umumnya universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua,
merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan,
atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia,
dan mempelajati tingkah laku manusia baik buruknya, sedangkan estetika berkaitan dengan
nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam
segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya atau eksistensinya, maknanya
dan validitasinya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkanapakah ini bersifat fisik atau psikis. Dengan demikian, nilai subjektif
akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi akal budi manusia,
seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka
atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai
objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivitas. Objektivitas
ini beranggarapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang
memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.(Filsafat Ilmu : Suatu kajian dalam dimensi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis Drs. A.Susanto, M.Pd 2014 jakarta : bumi aksara)
Etika dapat dipandang sebagai studi filsafat tentang hubungan antarmanusia, dan juga
antara manusia dengan lembaga-lembaga yang diciptakannya (pemerintah, lembaga-
lembaga kemasyarakatan, hukum, ekonomi, bahkan mungkin juga lembaga kepercayaan
serta keagamaan). Dalam hal ini Randall mengajukan beberapa pertanyaan yang dapat
dijadikan sebagai awal dari studi etik, yaitu :
1) Adakah suatu ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi
seluruh manusia ?
2) Apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma universal
tersebut ?
3) Apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan jahat dalam perbuatan
manusia ?
4) Apakah yang dimaksud dengan kewajidan ?
5) Apakah implikasi suatu perbuatan baik, terhadap nafsu, dorongan yang ada dalam
hidup kita :
- Apakah kita memahaminya ?
- Apakah kita mencapai kepuasan ?
- Apakah berbuat lain terhadap nafsu dan dorongan tersebut ?

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk itu terletak
pada perbuatan manusia, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang
dilakukan secara aktif maupun secara pasif, berguna maupun tidak berguna, penting
maupun tidak penting, pada hakikatnya dapat dinilai baik atau tidak baik. Akan
tetapi karena perbuatan itu dibatasi oleh kondisi normative, maka perbuatan-
perbuatan tersebut harus memenuhi beberapa factor, yaitu :

1) Harus disadari, dilakukan dengan kesengajaan, dan


2) Perbuatan tersebut harus dilakukan atas dasar kebebasan bagi yang
melakukannya.

Faktor yang paling banyak dipertimbangkan dalam mengambil keputusan untuk


menilai perilaku manusia, misalnya dalam proses pengambilan keputusan untuk
menetapkan hukuman akhir dalam suatu proses pengadilan. (Logika Materil Filsafat
Ilmu Pengetahuan, H. Burhanuddin Salam, PT Rineka Cipta, Jakarta 2003).

b. Estetika
Estetika menurut Semiawan (2005 : 159) menjelaskan sebagai “the study of
nature of beauty in the fine art”, merupakan tentang hakikat keindahan di dalam seni.
Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkajitentang hakikat indah dan
buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik
dari suatu pengetahuan ilmiah agar dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas.
Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis dari
suatu pengetahuan ilmiah itu.
Dalam banyak hal, satu atau lebih sifat-sifat dasar sudah dengan sendirinya
terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila pengetahuan itu sudah lengkap
mendandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistematik, dan intersubjektif. (Filsafat Ilmu :
Suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis Drs. A.Susanto,
M.Pd 2014 jakarta : bumi aksara)
Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel),
pertanyyan (Langer), atau issue (Farber) mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup
nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni
dalam kehidupan manusia. (Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja, PT Refika
Aditama, 2009,bandung)

NILAI

Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia,
baik lahir maupun bathin. Max Scheler, mengelompokkan nilai menjadi empat macam, yaitu nilai
kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian. Dari pandangan tersebut dapat
dirumuskan bahwa nilai erat kaitannya dengan kegiatan menimbang, yakni menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan, yang mana
orientasi dari keputusan tersebut dapat diarahkan pada nilai material atau nilai kerohanian.

Sedangkan dalam pandangan penulis, nilai merupakan pengakuan dari ‘aku’ yang kerap disebut
dengan ‘ego’ untuk suatu abstraksi dari suatu realitas, baik berupa fakta dalam bentuk fenomena
ataupun noumena yang diterjemahkan manusia berdasarkan pertimbangan ataupun tanpa
pertimbangan melalui pikiran dan hati serta rasanya untuk tujuan menegaskan keeksisannya sebagai
manusia terhadap abstraksi itu sendiri. Oleh karena itu, nilai tidak hanya memiliki bagian positif dan
bermanfaat, tetapi juga karena bagiannya yang dianggap negative dan tidak bermanfaat.

Namun standarisasi atas sebuah pilihan dari nilailah yang kerap melahirkan penilaian, yang
dipilih atau ditetapkan untuk suatu kebakuan dasar bagi seorang individu maupun lembaga agar sisi-sisi
nilai menjadi tampak sempit dan menghimpit kebebasan nilai akan timbulnya penilaian itu, dan ini
adalah pilihan yang berarti juga batas, batas nilai tersebut sebagai ‘penilaian’ dan dasar batas
memunculkan kata ‘pembatasan’.

Hal inilah yang menjadi sebab dasar timbulnya ungkapan bahkan menghegemoni bahwa ‘nilai itu
subjektif’, selalu memiliki dasar pertimbangan yang dianggap layak, untuk dijadikan pilihan bagi yang
melakukan pilihan yang disebut nilai yang berpenilaian. standarisasi dan/atau partisipasi oleh seorang
pribadi dan lembaga inilah yang kerap membenturkan mereka dengan orang dan lembaga lain yang juga
memiliki hal yang berupa standard an prinsip serupa pada kebakuannya, dan karenanya maka dapat
melakukan kekeliruan bahkan kesalahan ketika mempertentangkan nilai yang berpenilaian atas
keberadaan nilai itu sendiri. (Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)

SIFAT NILAI

Nilai itu ideal, atau berbentuk ide, abstrak namun hadir karena “diobjekan” dan dihadirkan karena
subjek. Oleh karena itu, nilai dikatakan bersifat abstrak, tidak dapat disentuh oleh pancaindra. (Filsafat
Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)

Seperti halnya pilihan, maka nilai memiliki dualism ketika diturunkan pada penilaian, sifat objektif dan
subjektif. Dualisme nilai berarti nilai tidak dapat berdiri sendiri tanpa penyandingan jika diturunkan,
misalnya nilai senang akan selalu bersanding dengan nilai ketidaksenangan. (Filsafat Hukum, Muhajirin
Erwin, 2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)

Fakta/realita itu diketahui dan nilai dihadirkan untuk menyelimutinya, makna untuk menunjuk bahwa
nilai dapat hadir dengan adanya fakta yang mendahului. Membicarakan pengetahuan adalah
membicarakan soal kebenaran. Masalah kebenaran adalah soal budi. Soal penghargaan akan mengarah
pada persoalan kepuasan. Masalah kepuasan adalah soal hati. Karena itu soal nilai tidak soal benar dan
salah, akan tetapi tentang gagasan yang dinyatakan karena dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak,
namun nilai pada hakikatnya bersifat tetap dan utuh, itulah nilai berpenilaian subjektif. (Filsafat Hukum,
Muhajirin Erwin, 2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)
Keberadaan nilai yang terkandung dalam suatu fakta/realitas ditentukan karena adanya manusia yang
menilai. Setelah terjadi kontak antara manusia dengan fakta, maka dengan serta merta nilai akan hadir.
Dengan kata lain, nilai terbentuk karena adanya hubungan interdependensi antara fakta sebagai objek
yang dinilai serta manusia sebagai objek sekaligus subjek yang menilai. Tanpa hubungan yang bersifat
ketergantungan seperti itu, nilai tidak mungkin ada. (Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT
Rajagrafindo Persada, depok)

Dari uraian itu dapat disimpulkan, bahwa baik dan benar adalah dua hal yang tidak identik, sekalipun
keduanya bersifat positif. Yang baik itu mungkin benar, mungkin juga tidak benar. Yang benar itu
mungkin dianggap baik atau buruk, akan tetapi manakala yang baik itu bertatutan dengan benar atau
sebaliknya, maka kita berhadapan denga sesuatu yang ideal. (Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT
Rajagrafindo Persada, depok)

Filsafat sebagai produk akal manusia adalah nisbi, senisbi akal itu pula. Nilai-nilai yang terbentuk terikat
oleh ruang dan waktu tertentu, tapi tidak sesuai bagi ruang lain dan waktu lain. Nilai-nilai itulah yang
memberi bentuk kebudayaan yang sama bentuknya. (Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT
Rajagrafindo Persada, depok)

Nilai itu bersifat ideal, namun tampil dalam bentuk materi, dengan hubungan subjek dan
objek, namun ide itu dimasukkan ke dalam objek, sehingga objek itu bernilai. Bermacam-macam factor
yang membentuk ide itu, yaitu naluri, pendidikan, pengalaman, lingkungan, suasana, cita-cita dan lain-
lain. Nilai adalah soal apresiasi. Positif dan negatifnya (Ada atau tidaknya) nilai itu bergantung pada
disposisi subjek dan hubungan subjek dan objek. Disposisi itu ditentukan lagi oleh banyak factor.

Ilmu pun hadir adalah karena kebiasaan nilai. Ilmu bicara tentang fakta yang ada, tidak
mempersoalkan baik atau buruknya suatu fakta, indah jeleknya, berguna atau tidaknya. Fakta itu
sesungguhnya netral, karena manusialah yang memasukkan nilai ke dalamnya, maka fakta tersebut
mengandung nilai. Fungsi fakta sebagai objek adalah memberikan ruang dan wadah, sedangkan manusia
sebagai subjek memberikan sifat atau warna bagi terbentuknya nilai.

Nilai tidak melekat dengan sendirinya pada fakta, tetapi terhubung dengan substansinya, maka
suatu fakta mempunyai kepribadian sendiri yang akan mengarahkan pertimbangan manusia dalam
menilai. Hal tersebut pula yang menyebabkan nilai mempunyai aspek objektif apabila ditinjau dari segi
objek nilai, dan aspek sujektif jika dilihat dari sudut subjek yang menilai.

Aspek subjektif memungkinkan aksidensi nilai itu berbeda-beda. Disposisi subjek yang
memberikan nilai-nilai subjektif inilah yang menjadi penyebab perbedaan atau benturan nilai. Aspek
objektif memungkinkan esensi nilai tetap bertahan. Esensi nilai yang merupakan nilai-nilai objektif inilah
yang ditanamkan melalui cara edukatif dan imitasi, sehingga membentuk jalinan tata nilai yang
selanjutnya akan menjadi dasar dalam mengendalikan cara memandang dan cara bersikap tertentu
menurut suatu pola tertentu. Pada gilirannnya, dengan pengaruh dimensi ruang dan waktu, terbentuk
pula sosio-kultural suatu kelompok tertentu, suatu bangsa tertentu.
Sesungguhnya, sebagai hasil pertimbangan manusia, tidak ada nilai yang benar-benar objektif.
Hal ini disebabkan dalam kegiatan mempertimbangkan itu sendiri telah dipengaruhi factor-faktor
subjektif. Menurut Achmad Fauzi, factor subjektif yang mempengaruhi pandangan menilai meliputi
aspek :

1. Umur (belum dewasa, dewasa, matang);


2. Latar belakang pribadi (jenis dan tingkat pendidikannya);
3. Latar belakang sosio-budaya (kebudayaan daerah, kebudayaan nasional);
4. Tingkat inteligensi (rendah, menengah/normal, superior dan genius);
5. Agama dan kepercayaannya sebagai keyakinan yang mempengaruhinya.
(Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)
Sejalan dengan hadirnya penilaian subjektif ataupun objektif dari setiap orang yang melakukan
penilaia, maka factor utama yang dapat membantu penilaian agar diterima khalayak adalah dengan
‘mengerti’. Dengan mengerti secara aktif ataupunpasif, maka terbukalah kesempatan untuk
menjembatani sifat subjektif atau objektif atas sebuah penilaian. (Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin,
2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)
Tiap pribadi dalam hidupnya selalu terlibat dengan dunia nilai. Manusia dalam hubungan dan
interaksinya, baik pasif maupun aktif, sadar atau tidak sadar, senantiasa melakukan penilaian terhadap
sesuatu, baik sesame maupun terhadap nilai itu sendiri. Dalam proses menilai ada berbagai sikap yang
dibedakan Radburch dalam empat sikap, yaitu :
1. Sikap buta nilai (value blind), yakni suatu sikap yang melihat/memandang suatu fakta
sebagaimana adanya;
2. Sikap menentukan nilai (value evaluating), yakni suatu sikap yang secara sadar
menentukan/melekatkan nilai tertentu padasesuatu fakta tertentu;
3. Sikap yang berhubungan dengan nilai (value relating), yakni suatu sikap yang berusaha
mewujudkan nilai tertentu pada suatu fakta tertentu;
4. Sikap penguasaan nilai (value conquering), yakni suatu sikap yang takluk/tunduk pada nilai
tertentu yang sudah terdapat pada suatu fakta tertentu. (Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin,
2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)
Baik sikap maupun aspek subjektif seseorang akan membawanya pada kesadaran nilai yang
pada hakikatnya dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu :
1. Tingkat habitual, yakni tingkat awal keasadaran nilai, dengan menghayati nilai secara tradisional;
2. Tingkat rasional, yakni menghayati nilai berdasarkan analisis kritis (penalaran) sehingga yakin
dan mantap;
3. Tingkat insane kamil, yakni tingkat kesadaran tertinggi dengan menghayati nilai.
1. Kesadaran nilai adalah kesadaran akan jalinan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia.
Sesungguhnya jalinan nilai yang mengendap dalam diri manusia itu merupakan abstraksi dari
pengalaman-pengalaman pribadi sebagai akibat dari proses interaksi social yang kontinu.
(Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)
Manfaat Nilai

Manfaat nilai dalam kehidupan manusia dapat ditelurusi sebagai berikut :

2. Eksistensi diri, hal yang berarti dengan adanya penilaian yang timbul dari seseorang terhadap
objek penilaiannya, maka secara otomatis penilaian yang dilontarkannya menjadi ganti dirinya di
hadapan subjek penilai lainnya.
3. Analisis diri dan antarpribadi, hal yang berarti bahwa dengan melakukan satu penilaian terhadap
objek penilaian, maka secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, maka orang
tersebut telah melakukan satu analisis yang muatan penilainnya tersebut bias menjadi
sederhana, kompleks, dan dengan analisisnya maka terjadi pertautan nilai (perbandingan) yang
nantinya menimbulkan analisis pribadi juga antarpribadi.
4. Ekspresi diri, yang berarti bahwa seseorang yang memberikan satu penilaian, maka secara
pribadi telah menunjukkan kebebasan berpendapat menurut nalurinya yang berarti jujur dan
bebas dari tekanan atau penilai lainnya.
5. Pilihan atas perbandingan, yang berarti bahwa penilaian yang dilakukan seseorang merupakan
pilihan final dari berbagai pilihan yang berkecamuk antara pikiran dan rasa yang berdialektik
untuk merujuk pada sebuah pilihan dominan dari kedua hal tersebut saat mana pilihan itu
terpilih.
6. Peluncur ruang dan waktu, berarti bahwasanya nilai yang diturunkan menjadi penilaian tetap
lekang tak terabaikan akan ruang dan waktu yang dipilah.
7. Evaluasi, bermakna bahwasanya setiap penilaian dari siapapun atau pihak manapun akan
dipandang subjektif oleh penilai lainnya, namun fakta ataupun peristiwa yang melatarbelakangi
akan tetap objektif sekalipun objek atau peristiwa yang ada tersebut merupakan hasil rekayasa
karena itu nilai hadir menyelaraskan perpaduan penilaian sementara demi terwujudnya
pengertian. (Filsafat Hukum, Muhajirin Erwin, 2013, PT Rajagrafindo Persada, depok)

Anda mungkin juga menyukai