DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
Yulianah (18081324016)
Alvina Damayanti (18081324023)
Muhammad Iftitahu Khoiron (18081324035)
Mayang Dwi Pitaloka (18081324045)
i
Alhamdulillah dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT akhirnya
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan deadline yang sudah ditentukan.
Makalah ini berisi mengenai: Kajian Filsafat Ilmu : Aksiologi.
Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. H. Moch.
Khoirul Anwar, S.Ag., MEI. selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah
memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk membuat dan
menyelesaikan makalah ini. Sehingga kami memperoleh banyak ilmu, informasi
dan pengetahuan selama kami membuat dan menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa kepada seluruh rekan kami yang membantu penyelesaian makalah ini baik
berupa moril maupun materil.
Setelah itu kami berharap semoga makalah ini berguna bagi pembaca
meskipun terdapat banyak kekurangan didalamnya. Akhir kata kami meminta
maaf sebesar-besarnya kepada pihak pembaca maupun pengoreksi, karena hingga
saat ini kami masih dalam proses belajar. Oleh karena itu kami memohon kritik
dan sarannya demi kemajuan bersama.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Sehingga dengan latar belakang tersebut kami akan membahas tentang
“Kajian Ilmu Filsafat Aksiologi” yang meliputi pembahasan pengertian
Aksiologi dan objek dari kajian Aksiologi,
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
1. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
2. Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai
sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
3. Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai
berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu
suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan
dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara
moral.
4. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal
utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai
dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika
adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang
karya manusia dari sudut indah dan jelek.
5. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan.
4
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat
manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat
(untuk apa) ilmu bagi manusia?” (dalam psikologi, lihat juga ”The New
Science of Axiological Psychology” oleh Leon Pomeory). Dalam konteks
ini, dapat ditambahkan pertanyaan: ”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat
digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan
kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas
pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika:
”Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada
kenyataannya boleh dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan
merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus
dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa
pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan
oleh kesadaran moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan
untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik.
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun
teori logika. Para hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atu
besarnya kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat sebagai
barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem objektif
mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria.
Dari berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat
diselidiki melalui tiga hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang
menyatakan tidak ada kaitan antara pengalaman manusia dengan sistem
nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan
esensi logis dan substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status atau
tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang
menyatakan nilai adalah norma ideal yang mengandung unsur integral
objektif dan aktif dari kenyataan metafisik.
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama
terkait erat dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan
pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira
lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal
5
tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya,
apakah itu itu terikat pada sistem nilai?.
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang
sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing
punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai
ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas
ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya
dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan
tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa
netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan
keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral.
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara
hatihati dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan
Jujun S mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara
ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-
segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan
faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun
penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek
penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh
kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak
merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah
kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan
yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah
moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan
penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan
kekuatan argumentasi an sich.
6
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan
dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan
keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan
penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal
universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak
cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis
dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku
ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan
kebenaran ilmiah.
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah
moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar
mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564- 1642)
yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya
harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad
mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning
adalah proses dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan
dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis,
bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat,
konsisten dengan lainnya.
Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga
dipahami sebagai etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular)
yang berarti a system of moral principles or rules of behavior. atau suatu
sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang
ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang
dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral
principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip
moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles
that govern or influence a person’s behavior. prinsip-prinsip moral yang
dipengaruhi oleh perilaku pribadi.
7
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam
bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk
jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri
pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322
SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih
detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang
manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
9
mencerminkan aktualisasi dari cita – cita suatu bangsa. Aksiologi dari sebuah
pendidikan adalah mengubah baik perilaku, kognitif, dan psikomotor sebagai
sebuah perubahan yang riil dimana penerapannya kepada peserta didik harus
dilandasi dengan humanisme yang akan merubah dari ketiga aspek tersebut
dari background atau intake yang buruk atau kurang baik menjadi lebih baik.
Fungsi dari sebuah pendidikan haruslah secara proper berniat dan berperilaku
sebagai penerang suatu bangsa dari kegelapan berpikir. Pemerintah sebagai
pemangku kebijakan harus memiliki peran dan tindakan serius di dalam
memecahkan persoalan pendidikan.
10
DAFTAR PUSTAKA
11