Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan
ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan
mudah. Dan merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban
manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia
seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah
kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa
merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan,
komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk
membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan
penyelamat manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya,
pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun
kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan
malapetaka bagi umat manusia itu sendiri. Disinilah ilmu harus di letakkan
proporsional dan memihak pada nilai- nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika
ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan
malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi
2

yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si
ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika
keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang
ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab
akademis, dan tanggung jawab moral.

B. Rumusan Masalah
Dari tinjauan latar belakang, maka dirumuskan permasalahan: Apakah yang
dimaksud Aksiologi, Ilmu dan moral, Tanggung jawab sosial ilmuwan dan
keterkaitannya dengan ilmu biologi (Rekayasa Genetika)?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi aksiologi,
ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan dan keterkaitannya dengan ilmu
biologi (Rekayasa Genetika).








3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan
logos artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19)
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi
adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di
peroleh. Jadi aksiologi adalah suatu teori tentang nilai yang berkaitan dengan
bagaimana suatu ilmu digunakan.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika
dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan
bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi
baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi
yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.

1. Teori tentang Nilai
1. Kebebasan Nilai dan Keterikatan Nilai
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan
sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa
kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal
4

sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas
pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan
ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam
melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan
maupun penggunaan produk penelitian. Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham
nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena
dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas
nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya
menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian
penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah
carl Gustav Jung bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah
yang melahirkan Goethe.
2. Hakikat Nilai
Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai dilihat dari anggapan
atau pendapatnya:
a. Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
b. Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
c. Nilai berasal dari kepentingan.
d. Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
e. Nilai berasal dari kehendak rasio murni.
3. Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
5

a. Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang
dijabarkan oleh individu atau masyarakat.
b. Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
c. Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.
4. Status Metafisik Nilai
a. Subjektivisme adalah nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.
b. Objektivisme logis adalah nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi,
bebas dari keberadaannya yang dikenal.
c. Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat
integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan metafisik. (mis:
theisme).
5. Karakteristik Nilai
a. Bersifat abstrak; merupakan kualitas
b. Inheren pada objek
c. Bipolaritas yaiatu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
d. Bersifat hirarkhis; Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian, nilai
kekudusan.

2. Pengetahuan
Segala sesuatu yang diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan
pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek
tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lain
seperti seni dan agama.
Secara aksiologi pengetahuan yang dimiliki manusia yang berupa ilmu itu
digunakan untuk kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia yang terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman.
6

3. Ilmu
Ilmu adalah kumpulan dari pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan
penelitian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Ilmu merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui
sesuatu dengan memperhatikan objek (ontologi), cara (epistemologi), dan
kegunaannnya (aksiologi). Berangkat dari tiga kerangka tersebut, dengan
memanfaatkan kemampuan akal untuk memahami fenomena alam semesta
(keseluruhan ciptaan atau makhluk Allah) sebagai objek pemahaman yang pada
akhirnya hasil pemahaman tersebut dipergunakan untuk memberikan nilai
manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan.
Adapaun kegunaan ilmu itu adalah sebagai berikut :
1) Mencapai nilai kebenaran (ilmiah)
2) Memahami aneka kejadian
3) Meramalkan peristiwa yang akan terjadi
4) Menguasai alam untuk memanfaatkannya.
Dalam perkembangannnya ilmu mengalami dua tahap (Jujun S.Suriasumantri,
1996), sebagai berikut :
1. Tahap pengembangan konsep.
2. Tahap penerapan konsep.
Dalam tahap pengembangan konsep, ilmu dipelajari secara metafisik,
ilmuan melakukan penelitian-penelitian dalam rangka mempelajari alam
sebagaimana adanya. Pada tahap ini ilmu bersifat kontemplatif, yaitu ilmu
bertujuan mempelajari gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan
pemahaman.
Dalam tahap pengembangan konsep tujuan kegiatan keilmuan bukannya
demi kemajuan ilmu itu sendiri, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah
praktis dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia. Atau dengan
kata lain dalam tahap ini ilmu bersifat manipulatif, dimana faktor-faktor yang
terkait dengan gejala-gejala alam tersebut dimanipulasi untuk dikontrol dan
7

diarahkan proses yang terjadi demi pemecahan persoalan-persoalan praktis yang
dihadapi manusia.
Hasil-hasil kegiatan keilmuan dalam tahap ini dialih ragamkan
(ditransformasikan) menjadi bahan, atau piranti, atau prosedur, atau teknik
pelaksanaan sesuatu proses pengalolaan atau produksi yang nantinya akan
menghasilkan sesuatu yang kita sebut teknologi. Jadi bisa dikatakan teknologi
dikembangkan pada tahap ini. Kearah mana dan terhadap apa teknologi
digunakan, amat tergantung pada kepentingan si penguasa teknologi itu dan nilai-
nilai moral etikanya.
a. Kaitan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif,
apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi
tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan
diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu
faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dengan anggapan umum ialah
terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuwan harus melihat realitas empiris
dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya.
Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas
melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuwan bekerja dia hanya
tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil
dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat
pada nilai subjektif
8

b. Ilmu dan Moral

Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral.
Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam
dan menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari dan bukan
sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbulah interaksi
antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi
metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya
(netralitas ilmu), sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam
ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.
Sejak dalam tahap-tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan
tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga
untuk memerangi sesama manusia. Berbagai macam senjata pembunuh berhasil
dikembangkan dan berbagai teknik penyiksaan diciptakan. Ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri (Jujun.S.Sumantri,1996).
Masalah normal tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih lebih
lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmuwan abad 20 tidak boleh tinggal
diam, si pemilik ilmu ini harus mempunyai sikap. Ilmuwan harus mampu menilai
antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang
ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa landasan moral maka
ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual.

c. Tanggung jawab sosial ilmuwan

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan
dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun
komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Seorang Ilmuwan
mempunyai tanggung jawab sosial, karena fungsinya selaku ilmuwan tidak
9

berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat demi kemaslahatan bersama.
Di bidang etika tanggung jawab seorang ilmuan adalah bersifat objektif,
terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian
yang dianggap benar dan berani mengakui kasalahan. Ilmu menghasilkan
teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya
dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi
bencana bagi manusia. Disinilah pemanfataan pengetahuan dan teknologi
diperhatikan sebaik-baiknya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut tanggung jawab terhadap
hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-
masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan
bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik
alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab untuk selalu
menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan merupakan
perubahan yang terbaik bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Berkaitan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak, ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat
(Jujun.S.Sumantri,1996), sebagai berikut :
Golongan I
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-
nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan
adalah menemukan pengatahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang
baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk.
Golongan II
Ilmuwan golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya,
10

bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuwan harus berlandaskan
asas-asas moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
(1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-
teknologi keilmuwan.
(2).Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin eksoterik sehingga kaum
ilmuwan lebih mengetahui tentang akibat-akibat yang mungkin terjadi bila terjadi
salah penggunaan.
(3). Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan
bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki
seperti kasus revolusi genetika.
Berdasarkan ketiga hal diatas maka golongan kedua berpendapat bahwa
ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan umat manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusian.
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada
masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang
ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan
buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Dengan
kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini
masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari.
Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang
elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh
orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan
daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir
dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu
secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang
11

ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang
ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia
mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat
sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membuat
mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk
kekeliruan itu.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian
atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang
mempergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit
dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka
melanggar asas-asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan
yang dapat dipakai untuk kemasalahatan manusia atau sebaliknya dapat pula
disalah gunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah dipupuk dan
berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab
moral.

B. Rekayasa Genetika Ditinjau dari Aspek Aksiologis
Rekayasa genetika adalah puncak perkembangan teknologi dalam bidang
biologi saat ini, perkembangan genetika diawali dengan semangat Darwinisme
yang mengungkapkan bahwa terdapat gen penurunan sifat pada setiap organisme
yang dapat berubah dalam jangka waktu yang lama. Darwin (disetujui maupun
tidak) telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menopang
perkembangan keilmuan biologi hingga dapat melaju sedemikian pesat.
Teknologi rekayasa genetika dibutuhkan untuk berkembang selama dalam
koridor tanggung jawab moral dan sosial para ilmuwan yang mengembangkannya,
diperlukan ilmuwan yang bijak dalam upayanya mengembangkan keilmuan
namun dengan tetap mengindahkan keseimbangan ekologis (saat ini disponsori
PBB telah ditandatangani Protocol Cartagena) untuk melindungi biodiversitas
ekosistem, namun juga tetap memberikan tempat bagi para ilmuwan untuk terus
berkiprah meningkatkan kehidupan yang lebih baik.
12

Dalam pemanfaatan lingkungan awam, diperlukan opini publik bahwa
penggunaan produk rekayasa genetika harus memiliki aturan tertentu yang
dituangkan dalam bentuk undang undang yang mengikat dan menyeluruh.
1. Kegunaan Rekayasa Genetika
Rekayasa Genetika dipandang dari segi apapun tetap memiliki manfaat dan
mudharat, penerapan teknologi seringkali memunculkan permasalahan baru, hal
ini terjadi karena seringkali pemanfaatan teknologi tidak mampu diimbangi oleh
perkembangan moral dan pertimbangan stabilitas tatanan kehidupan alamiah,
beberapa Teknologi Rekayasa Genetika sebenarnya telah banyak menguntungkan
bagi manusia, beberapa hal diantaranya adalah:
a. Rekayasa Genetika banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan-bahan
pemberantasan penyakit dengan aman dan harga murah, vaksin yang
diperoleh dari rekayasa genetika memiliki kemurnian mendekati 100%,
pengembangan dunia kedokteran maju dengan pesat, pada teknologi
kedokteran masa depan, diharapkan tidak dibutuhkan lagi donor bagi pasien
yang membutuhkan cangkok organ.
b. Rekayasa Genetika banyak dimanfaatkan bagi dunia tumbuhan dan hewan,
pemilihan bibit unggul, perbanyakan dengan mudah, murah dan terjamin
kualitas, dapat mengimbangi kebutuhan manusia dalam menjamin
ketersediaan bahan pangan di masa depan.
c. Rekayasa Genetika membantu memprmudah kesulitan manusia dalam
memecahkan berbagai masalah keturunan, penghilangan gen yang
dikehendaki dapat dilakukan dengan mudah, sehingga diharapkan keturunan
berikutnya tidak lagi memiliki kekurangan pada penyakit tertentu, dan lain-
lain.

2. Kerugian dan Penyimpangan Keilmuan
Perkembangan teknologi selalu diimbangi dengan munculnya berbagai
masalah baru, rekayasa genetika menimbulkan beberapa masalah yang merugikan
manusia dalam jangka waktu yang panjang diantaranya:
13

a. Terjadinya perkembangbiakan yang tidak terkendali dari jenis
bakteri/organisme ciptaan baru di laboratorium, baik yang berhasil ataupun
gagal mempunyai potensi yang sangat merugikan.
b. Terjadinya ketidakseimbangan ekologis, disebabkan keseragaman individu
hasil cloning terhadap ketahanan penyakit, respons ekosistem dan perilaku
lain yang menyebabkan biodiversitas bumi terancam gagal.

3. Etika dalam Rekayasa Genetika
a. Etika teleologis
Teleologis merupakan salah satu etika normatif yang terkemuka, dalam etika
ini akan di bahas tiga teori yang menjadi titik tolak dari pembahasan yang akan
kita bahas untuk menuju kebahagiaan. Etika teleologi dari kata Yunani, telos yaitu
tujuan, Mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin
dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu.
Dalam dunia etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan
baik buruknya suatu tindakan dilakukan, Teleologi mengerti benar mana yang
benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih
penting adalah tujuan dan akibat. Betapapun salahnya sebuah tindakan menurut
hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik.
Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Dengan
demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut
hukum. Perbincangan baik dan jahat harus diimbangi dengan benar dan
salah. Lebih mendalam lagi, ajaran teleologis ini dapat menciptakan hedonisme,
ketika yang baik itu dipersempit menjadi yang baik bagi diri sendiri.
1) Teori hedonisme
Hedonisme ialah suatu teori yang mengatakan bahwa kenikmatan atau
akibat-akibat yang nikmat dalam dirinya sudah mengandung kebaikan (Kattsoff,
2004: 349). Jadi dapat di simpulkan bahwa hedonisme termasuk dalam etika
14

teleologis yaitu suatu ajaran etika yang mendasarkan diri pada suatu tujuan akhir
yaitu kebahagiaan atau kenikmatan.
Untuk mempermudah pembahasan kita tentang hedonisme dan
mempersempit pembahasan maka harus di bedakan antara hedonisme psikologis
dan hedonisme etis. Hedonisme psikologis adalah teori yang mengatakan bahwa
manusia dalam kenyataannya mencari kenikmatan sedangkan hedonisme etis
adalah teori yang berprinsip bahwa manusia seharusnya mencari kenikmatan.
Paham ini berlawanan dengan pandangan yang mengatakan bahwa satu-satunya
prinsip kesusilaan ialah kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah manusia
yang sebanyak mungkin suatu pendirian yang dinamakan hedonisme altruistis
atau utilitarianisme. (Kattsoff, 2004: 349 )
Contoh tokoh yang dapat kita ambil dari hedonisme adalah David hume
salah satu filsuf pencerahan, ia lahir di Edinburgh pada tahun 1711. Etika david
hume sesuai dengan sifatnya yang empiristik sama seperti filsuf-filsuf inggris
yang lain seperti Spinoza dan Leibniz. Sistem etika david hume menolak segala
sesuatu yang tidak berdasarkan fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris.
Pendekatan empiris yang dilakukan hume membawa pengertian bahwa tidak ada
dasar untuk berbicara tentang keharusan moral. Hume berangapan bahwa sesuatu
yang sangat kita setujui harus kita setujui atau harus kita usahakan, begitu pula
bahwa sesuatu yang kita benci, yang menimbulkan perasaan jijik itu harus kita
tolak atau wajib kita hindari (Magnis-suseno, 1997: 126) hume termasuk tokoh
etika moral sentiment theoris, ia berangapan etika merupakan hal perasaan yang
unsur bersama dari sifat-sifat tersebut adalah nikmat dan kegunaan. Sesuatu itu
kita nilai baik apabila memberikan nikmat atau bermanfaat (Magnis-suseno, 1997:
127)
2) Teori pengembangan diri
Bila hedonisme berangapan bahwa kebahagiaan akan tercapai apabila
mendapatkan atau mencapai nilai yang lebih tinggi yaitu kenikmatan, lain halnya
dengan teori pengembangan diri. Menurut teori pengembangan diri kita tidak akan
15

mencapai kebahagiaan apabila kita hanya berfiksasi pada nikmat saja, melainkan
manusia harus aktif dengan bakat-bakat serta potensi-potensi yang dimilikinya,
menurut teori pengembangan diri kita tidak akan mencapai kebahagiaan apabila
kita hanya berdiam diri tidak mengerjakan suatu kegiataan apapun untuk
mencapai kebahagiaan. Teori ini berangapan bahwa orang yang hidupnya
berlimpah harta, dengan pelayanan yang maksimal serta tidak mengerjakan
apapun, bermalas-malasan akan cepat sekali mengalami kebosanan. Jadi teori
pengembangan diri menyatakan bahwa yang membahagiakan ialah kalau kita
mengembangakan diri sedemikian rupa hingga bakat-bakat yang kita punya
menjadi kenyataan. Manusia adalah makhluk yang mempunyai banyak potensi,
tetapi potensi-potensi itu baru menjadi nyata apabila kita
merealisasikanya.(Magnis-Suseno,1987: 119).

3) Teori utilitirianisme
Utilitirianisme berasal dari kata latin Utilis yaitu berguna, utilitirianisme
diangap sebagai etika yang menitikberatkan perbuatan moral dengan manfaat
yang di timbulkan dari perbuatan moral tersebut. Utilitirianisme juga di angap
sebagai etika sukses yaitu etika yang menilai kebaikan orang dari apakah
perbuatanya menghasilkan sesuatu yang baik atau tidak. (Magnis-suseno,
1987:122) Etika sukses merupakan penyelewengan dari etika sebenar-benarnya,
karna angapan etika sukses yang mendasari bahwa mutu pada tindakan moral
tergantung pada tujuanya. Namun maksud sebenarnya dari utilitirianisme adalah
bahwa kita harus selalu bertindak untuk kebahagiaan orang sebanyak mungkin.
Yang khas dari pemikiran utulitirianisme adalah akibat baik tidak di lihat dari
kepentingan-kepentingan diri pribadi melainkan untuk kepentingan umum atau
semua orang yang terkena oleh tindakan pelaku. Nampak jelas bahwa etika
16

utulitirianisme tidak bersifat egois namun universal karna mengakui adanya
kewajiban terhadap semua orang.
b. Rekayasa genetika menurut etika Teleologis.
Di akhir abad 20 hampir seluruh negara di dunia menyusun strategi dan
mengembangkan teknologi secara menyeluruh mulai dari teknologi mesin hinga
teknologi kimia, walaupun kebijakan strategi teknologi ini menuai pro dan kontra
namun strategi ini semakin menjadi di tengah hegemoni perkembangan kekuatan-
kekuatan negara di dunia. Di negara yang sedang berkembang seperti di
indonesia mempelajari dan memulai strategi teknologi merupakan sebuah
keharusan dan satu-satu nya cara untuk menjadikan bangsa indonesia dapat
bersaing dengan bangsa-bangsa di dunia.
Namun akibat yang di timbulkan dari teknologi ini terkadang bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang kalau tidak di pahami dan di gunakan secara
bijaksana dapat mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradapan manusia.
Contoh yang dapat kita ambil dari permasalahan ini adalah kekecewaan Albert
Einsten terhadap pengunaan penemuan hukum fisika modern karena akibat yang
ditimbulakan oleh rekayasa teknologi yang mengikutnya yaitu jatuhnya bom
atom di Hirosima, jepang. Bahkan Albert Einsten pernah melontarkan perkataan
Kekuatan selalu mempunyai daya tarik bagi manusia-manusia bermoral rendah.
Dengan demikian rekayasa teknologi kalau tidak di gunakan secara bijak dapat
mengaibatkan bukan hanya degradasi moral melainkan hancurnya peredapan
manusia. Etika rekayasa dipahami sebagai:
17

Etika rekayasa merupakan introduksi normative terhadap isu-isu dasar pada
problem moral yang di hadapi manusia dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi beserta rekayasanya. Terutama karena rekayasa telah membuat manusia
seolah-olah memiliki kemampuan yang luar biasa dalam usaha pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Manusia menjadi saingan Sang pencipta, karena manusia seolah-olah
berkemampuan mengembangkan otonominya melampaui batas kewenangan sebagai
makhluk.(Zubair, 1997:13).
Permasalahan yang akan diangkat sebagai contoh kasus dalam
perkembangan etika rekayasa genetika ialah:
Air susu ibu (ASI) seharusnya berasal dari tubuh seorang manusia. Tapi ilmuwan
China melakukan modifikasi genetik pada sapi perah agar bisa memproduksi air
susu seperti manusia.
Pada kasus di atas menurut perspektif teleologis bila betujuan untuk
membahagiakan manusia serta bermanfaat dapat dibenarkan, hedonisme misalnya
kasus di atas bila membawa manusia menuju kenikmatan dapat dibenarkan, missal
seorang ibu yang tidak ingin memberian ASI kepada anaknya karna kesibukanya
sebagai pekerja, nikmat di sini dapat berupa apa saja. Hedonisme memberi titik
berat pada kenikmatan atau kebahagiaan.
Dari perspektif teori pengembangan diri kasus di atas dapat di benarkan
karna teori ini lebih menekankan kepada usaha manusia untuk mengembangakan
dirinya. teori pengembangan diri menyatakan bahwa yang membahagiakan ialah
kalaw kita mengembangakan diri sedemikian rupa hingga bakat-bakat yang kita
punya menjadi kenyataan.
Sama halnya dengan hedonisme dalam perspektif utilitirianisme bila kasus
di atas dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia hal ini dapat di benarkan. Dari
kasus di atas dapat kita lihat bahwa ASI yang di hasilkan oleh sapi dapat
18

membantu manusia, missal seorang ibu yang karna penyakit atau kesibukan tidak
dapat memberikan asi kepada anaknya, tidak sedikit ibu yang menjadi pekerja.
Dengan mengunakan ASI yang berasal dari hewan sapi yang berkualitas sama
dengan ASI yang di hasilkan oleh manusia hal tersebut dapat menguntungkan
serta bermanfaat bagi semua ibu yang sibuk dengan pekerjaannya. Hal ini tidak
bertentangan dengan prinsip utilitirianisme yang universal yaitu angapan bahwa
kebahagian untuk sebanyak-banyanya umat manusia.
Perubahan jaman yang terjadi membuat manusia sebagai creator yang
kadangkala melampaui penemuannya. Dalam hal ini telah menjadikan manusia
menjadi tidak percaya atau meragukan nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi
pengendali dan sekaligus pedoman kepurusan-keputusan tindakanya. Di satu sisi
dapat mempermudah kehidupan mansia namun di sisi lain dapat menghilangkan
makna terdalam dari hidupnya.










19

BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa, aksiologi adalah
suatu teori tentang nilai yang berkaitan dengan bagaimana suatu ilmu digunakan.
Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi
dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi
juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan
teknologi harus diperhatikan sebaik baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi
meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan.Seorang ilmuwan mempunyai tanggung
jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh
masyarakat.
Setiap teori mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dalam etis serta
pendekatan yang di lakukan namun ketiga teori tersebut menuju satu angapan
bahwa tujuan kehidupan adalah kebahagiaan, oleh karena itu ketiga etika
teleologis tersebut menitikberatkan pada prinsip dasar untuk mencapai
kebahagiaan.
Perbedaan antara ketiga teori tersebut adalah teori hedonisme dan teori
pengembangan diri mau mengusahakan kebahagiaan bagi orang yang bertindak
itu sendiri, teori ini bersifat egoisme etis, sedangkan teori utilitarianisme menuntut
kebahagiaan di usahakan untuk semua orang yang terkena oleh tindakan kita.
Maka teori utilitirianisme di masukan kedalam teori universialisme etis.
Perbedaan dari teori hedonisme dan teori pengembangan diri adalah bila
teori hedonisme hanya mau mencari nikmat teori pengemabangan diri
menyangkal bahwa dengan cara tersebut manusia dapat mencapai kebahagiaan.
Persamaan dari ketiga teori tersebut adalah tujuan yang akan di capai yaitu suatu
tindakan yang baik yaitu apabila mau mengusahakan kebahagiaan yang dalam hal
ini disebut etika teleologis.



20

DAFTAR PUSTAKA

Arya. 2013. Aksiologi Pengetahuan. (Online)
http://arya0809.wordpress.com/2013/01/10/aksiologi-pengetahuan/. Diakses
tanggal 01 Oktober 2014.
Kattsoff, Louis.2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Magnis-suseno.1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Magnis-suseno.1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Octaria, Dina. 2012. Aksiologi Pengetahuan. (Online)
http://dinaoctaria.wordpress.com/2012/10/14/aksiologi-pengetahuan/.
Diakses pada 01 Oktober 2014.
Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Zubair, Achmad Charris.1997. Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai