Anda di halaman 1dari 8

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah SWT karena rahmat dan
nikmatnya, kami dapat menyelesaikan makalah “Asas-Asas Hukum Islam” dengan lancar dan
selesai tepat pada waktunya. Shalawat serta salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan sampai pada zaman sekarang yang
terang benderang.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Hukum
Islam, yaitu Bapak Dwi Putra Syahrul Muharom, M.Ag. yang telah membimbing kami agar
tercapai tugas kelompok ini terselesaikan.
Dengan terselesaikannya makalah ini semoga dapat membantu mahasiswa lain untuk
menyelesaikan tugas dan juga membantu nilai tugas kami serta dapat memahami bab ini
dengan baik. Kami juga menyadari kekurangan dalam makalah ini, dengan itu kami
menerima kritik dan saran agar dapat menyempurnakan makalah ini.

Selasa, 26 Maret 2019

Tertanda

Penyusun
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan


tiang pokok. Kekuatan suatu hukum sulit mudahnya, hidup matinya, kuat atau
lemahnya, berat atau ringan pelaksanaannya, dapat dipertahankan atau tidak, dapat
diterima atau tidaknya oleh masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang
pokoknya.

Sejarah menunjukkan bahwa Islam memiliki daya tarik yang kuat sehingga
dalam waktu yang singkat hukum Islam dapat ditrima oleh sebagian umat manusia
atas dasar keimanan, bukan karena paksaan. Hal demikian itu, tiada lain karena
hukum Islam mempunyai asas dan prinsip yang mendorong mausia untuk
menggunakan akal pikirannya dan mengisi hidupnya dengan amalan-amalan baik dan
berguna, serta sejalan dengan fitrah manusia.

Mengenai hal tersebut, perlulah memandang bahwa pemahaman atas dasar-


dasar hukum Islam sebagai upaya membentengi syaria’at Islam yang kontemporer
namun dalam proses pengistinbathan hukumnya tetap memerhatikan jiwa syariahnya
agar hukum Islam selalu up to date dalam menyelesaikan masalah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari asas hukum Islam?
2. Apa saja asas-asas hukum Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari asas hukum Islam.
2. Mengetahui asas-asas hukum Islam.

PEMBAHASAN
A. Pengertian dari Asas Hukum Islam

Para ahli hukum Islam kesulitan untuk memberikan makna yang tepat tentang
hukum Islam. Ada banyak istilah yang perlu dijelaskan untuk sampai pada
pemahaman tentang hukum Islam. Paling tidak istilah-istilah seperti syariah, fikih,
ushul fiqh, qadha, fatwa dan qanun perlu dipahami terlebih dahulu untuk sampai pada
pemahaman tentang hukum Islam.1 Akan tetapi hukum Islam disini didefinisikan
dengan khitab (titah) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik
dalam bentuk tuntutan-tuntutan, pemberian alternatif untuk memilih antara
mengerjakan dan tidak mengerjakan, dan ketentuan-ketentuan lain yang mendukung
pelaksanaan tuntutan di atas.
Hukum Islam yang berkenaan dengan tuntutan dapat dibagi dua, yaitu tuntutan
untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Jika tuntutan untuk
mengerjakan itu datang dengan lafaz-lafaz yang tegas (thalaban jaziman) maka ia
menghasilkan hukum wajib, jika tuntutan itu datang dengan lafaz-lafaz yang kurang
tegas (ghair al-jazim), maka ia menghasilkan hukum mandub (sunat). Adapun
tuntutan untuk meninggalkan sesuatu apabila datang dengan lafaz yang tegas, maka ia
menghasilkan hukum haram, sebaliknya apabila penuntutan itu dengan lafaz yang
kurang tegas, maka ia menghasilkan hukum makruh. Adapun tuntutan dengan
pemberian alternatif antara mengerjakan dan tidak mengerjakan akan melahirkan
hukum mubah. Hukum-hukum inilah yang dikenal dengan hukum taklifi. 2 Jadi,
hukum Islam adalah huku yang dibebankan kepada mukallaf dimana di setiap apa
yang dilakukannya dikenai hukum.
Pengertian asas berasal dari kata bahasa Arab yaitu asasun yang artinya dasar,
basis, pondasi.3 Apabila dihubungkan dengan hukum, maka asas adalah suatu hal
yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam
penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum Islam adalah dasar dalam
menetapkan dan menggali hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist yang
kemudian akal yang memenuhi syarat ijtihad sebagai alternatif jika di dalam kedua
sumber tertinggi tidak ditemukan.

1
Faisar Ananda Arfa dan Watni Marpaung, Metodologi Penelitian Hukum Islam (Jakarta: Prenamedia Group,
2016), 44.
2
Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (Ponorogo: Wade, 2016), 71.
3
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 1998), 114.
B. Asas-asas Hukum Islam

Syeikh Muhammad Hadhori dalam kitabnya membagi asas hukum Islam


kepada tiga asas, yaitu: adamul haraj, taqlil at-takalif, at-tadrij fi-attasyri. Masjfuk
Zuhdi mengklasifikasi asas hukum Islam menjadi lima asas, yang mana tiga asasnya
tersebut sama seperti di atas dan kebanyakan ulama dan dua asas lainnya adalah
sejalan dengan kepentingan atau kemaslahatan umat manusia dan mewujudkan
keadilan. Berbeda dengan Muhammad Djafar, yang mengklasifikasi tiga asas hukum
Islam, namun ketiga asasnya berbeda dengan kebanyakan ulama, yaitu adamul haroj,
menciptakan kemaslahatan, dan menciptakan keadilan. Lalu menurut Hasbi, ada lima
asas yang menjadi batu pijak hukum Islam, yaitu: persamaan, keadilan, kemaslahatan,
tidak memberatkan dan setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannya sendiri.4
Selain itu, ada yang mengklasifikasikan menjadi tiga asas yang merupakan tiga
asas utama hukum Islam, yaitu: asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. 5
Dan ada juga yang mengklasifikasi asas hukum Islam menjadi 11 (sebelas) asas, yang
mana asas-asas tersebut dikatakan sebagai Da’imut Tasyri’ (tiang-tiang pokok
pembinaan hukum), antara lain: nafyul haraji; qillatul taklif; membina hukum dengan
menempuh jalan tadarruj, tahap demi tahap, satu demi satu; seiring dengan
kemuslihatan manusia; mewujudkan keadilan yang merata; menyumbat segala jalan
yang menyampaikan kepada kejahatan; mendahulukan akal atas dhahir nash;
membolehkan kita mempergunakan segala yang indah; keharusan mengikuti sabda
Nabi SAW sebagai syari’at, tidak diwajibkan mengikuti yang berhubungan dengan
keduniaan yang berdasarkan ijtihad; masing-masing orang yang berdosa hanya
memikul dosanya sendiri; syara’ yang menjadi sifat zatiyah Islam.6
Dan dalam pembahasan selanjutnya ini akan diuraikan beberapa asas-asas
yang telah disebutkan di atas, sebagaimana berikut:
1. Asas Meniadakan Kesempitan dan Kesukaran (‘adamul haraj)
Asas ini diambil dari beberapa ayat al-Qur’an dan juga berdasarkan hadits
Nabi SAW, salah satunya sebagai berikut:

4
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 89.
5
Muhammad Alim, Asas-Asas Hukum Modern dalam Hukum Islam,Jurnal Media Hukum, Volume 17 No. 1
Juni 2010, 152.
6
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, 58-80.
‫ف ا‬
{286 :‫}البقرة‬....َ‫او نهسفسساَ االل ووسسهعهها‬ ‫لهيوهكلل و‬
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
…”(Q.S. Al-Baqarah: 286).

Dari ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan asas ini menandakan tanda kasih
sayang Allah Yang Maha Mengetahui berbagai macam situasi dan kondisi seluruh
hamba-Nya dalam keadaan sehat atau sakit, kuat atau lemah. Bahkan dengan
adanya asas ini maka disyariatkan pula rukhsah dalam berbagai aspek ibadah,
seperti bolehnya mengqasar shalat, boleh berbuka puasa (ifthar) bagi musafir,
kebolehan mengganti wudhu dengan tayammum apabila sakit atau sukar
mendapatkan air, memakan makanan haram apabila kondisi darurat, dan lain
sebagainya.7
Keringanan yang diberikan dapat menjadi sebuah alternatif di antara
pilihan dan menjadikan akibat hukum. Kealternatifan dalam memilih suatu
amalan harus mempertimbangkan kemashlahatan dan kemafsadatan. Mengacu
pada ayat di atas, setiap kalangan manusia sudah dipetakan dalam bagian
kecakapannya masing-masing. Berdasarkan pada keahlian seseorang, sudah
pantas atau belum dikenai hukum-hukum taklifi.
2. Asas Sedikit Pembebanan (taqlil at-takalif)
Asas ini terlihat pada ketentuan bahwa hukum ditetapkan sebatas
kemampuan yang dapat dipikul oleh yang dibebani hukum syari’at, tidak
membebani tugas di luar batas kemampuan. Allah sendiri menyukai kemudahan
daripada kesukaran. Karena itu, hukum tidak boleh sampai menimbulkan
kesukaran. Akan tetapi asas ini jangan pula dipahami bahwa, tidak ada ketetapan
syara’ yang sedikit pun tidak ada unsur paksaan atau kesukaran. Paksaan dan
kesukaran itu justru menjadi salah satu ciri syari’at. Dan bagi seseorang yang
dalam keadaan tertentu sulit melaksanakan perintah, Allah menetapkan hukum
rukhshah.8 Jadi, asas ini sebenarnya dapat disatukan dengan asas ‘adamul haraj
karena asas ini merupakan kesimpulan logis dari asas ‘adamul haraj. Asas ini
dimaksudkan agar kewajiban agama kepada umat manusia itu tidak menyulitkan
dan menyusahkan.9

7
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, 147-151.
8
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, 91.
9
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, 152.
Asas ini tidak membanyakkan hukum taklif, agar tidak memberatkan
pundak mukallaf dan tidak menyukarkan. Dasar ini ditetapkan dengan firman
Allah:

{101 :‫ }الماَئدة‬....‫يهآَ هيَيههاَ اللاذسيهن اهمنوسوا لهتهسسئهلوسوا هعسن اهسشهيآَهء ااسن توسبهد لهوكسم تهوسسؤوكسم‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan(kepada Nabimu),
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu….”(Q.S.
Al-Maidah: 101).10
Hal ini menyatan bahwa Nabi melarang sahabat untuk memperbanyak pertanyaan
tentang hukum yang belum ada yang nantinya akan memberatkan mereka sendiri.
Dalam hal ini, justru Rasulullah menganjurkan agar sahabat mampu memetik dari
apa yang disampaikan oleh Rasulullah walaupun dalam keadaan umum.
Maksudnya wahyu yang diturunkan mengenai hukum adalah sedikit. Maka dari
yang sedikit ini yang dapat memberikan lapangan yang luas bagi manusia untk
berijtihad. Oleh karena itu, hukum Islam tidak kaku, keras, dan berat bagi
manusia.
3. Asas Bertahap dalam Menetapkan Hukum (at-tadrij fi-attasyri)
Tiap-tiap masyarakat secara alamiah memiliki adat-kebiasaan, baik yang
sudah berakar atau turun-temurun maupun yang dangkal. Demikian pula halnya,
masyarakat Arab tempat agama Islam diturunkan untuk pertama kalinya. Mereka
mempunyai kebiasaan dan kesenangan yang sukar dihilangkan dan sekaligus.
Apabila hukum itu diturunkan sekaligus apalagi bertentangan dengan kebiasaan
masyarakat, maka akan terjadi pertentangan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap huku Islam.
Melihat faktor kebiasaan dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi
perpindahan sekaligus dari suatu keadaan pada keadaan yang asing sama sekali
maka al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan surat demi surat dan ayat
demi ayat. Bahkan, kadang-kadang menurut peristiwa-peristiwa yang
menghendaki diturunkannya. Cara demikian agar lebih disenangi oleh jiwa Arab
dan lebih mendorong mereka ke arah menaatinya, serta bersiap meninggalkan
ketentuan lama untuk menerima hukum atau ketentuan hukum. Misalnya ketika
Rasulullah ditanya tentang minuman keras (khamr) dan perjudian (al-maisir).
Dalam hal ini yakni tentang pengharaman khamar melalui beberapa tahapan utuk
pengharaman khamar, judi, dll, yangmana hal tersebut didasari oleh firman Allah

10
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, 61.
surat Al-Baqarah ayat 129, surat An-Nisa’ ayat 43, dan suratAl-Maidah ayat 90-
91.
4. Asas kemashlahatan
Kemashlahatan dalam pembahasan ini adalah hubungan antarmanusia.
Manusia sebagai subjek hukum dan sebagai bahan pertimbangan dalam
penetapan sebuah hukum, pasti akan mendapat pengaruh dari apa yang dilakukan
sehingga menghasilkan akibat hukum. Mashalahat haruslah dipandang secara
objektif, agar tidak menguntungkan diri sendiri dan merugikan berbagai pihak.
Hal ini dimaksudkan agar dalam setiap keadaan dapat memikirkan sesuatu secara
ke depan dengan mengedepankan kepentingan umum. Dalam penetapan hukum,
senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok, yaitu:
a. Hukum-hukum ditetapkan setelah masyarakat membutuhkan hukum-hukum
itu.
b. Hukum-hukum ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan
hukum dan menundukkan masyarakat ke bawah ketetapannya.
c. Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.11
Dalam kehidupan sehari-hari, mashlahah dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Dlaruriyyah (primer), apabila dari salah satu tujuan syari’ah tidak terpenuhi,
maka akan menimbulkan kemudlaratan bagi tujuan yang lainnya. Tujuan dari
syari’ah dalam menetapkan hukum di antaranya:
1) Memelihara kemashlahatan agama.
2) Memelihara jiwa.
3) Memelihara akal.
4) Memelihara keturunan.
5) Memelihara hart benda.
b. Hajiyyah (sekunder), tidak terpeliharanya salah satu tujuan syari’ah tidak
menjadi mengancam ekitensi dari kelima pokok tersebut. Pada bagian ini,
menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya.
c. Tahsiniyyat, kebutuhan yang menunjang peningkatn martabat seseorang
dalam masyarakat dan di hadapan Allah sesuai dengan kepatutan.
5. Asas keadilan
Penyamaan dalam segala hal menjadikan keadilan tidak merata, sehingga
adil secara proporsi adalah adil yang patut. Kedilan adalah penunaian hak sesuai
11
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu. 1999), 72.
dengan kewajiban yang diemban.12 Manusia dalam hukum Islam sama
keadaannya. Mereka tidak dibedakan karena urusan materi. Setiap kalangan
memiliki tingkatan keadilan sesuai dengan proporsi masing-masing.

12
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosdakarya. 2000), 9.

Anda mungkin juga menyukai