Anda di halaman 1dari 25

EPISTEMOLOGI ILMU

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen pengampu: Dimas Indianto S, M.Pd.I

Disusun oleh :

1. Catur Mei Wati (1717407007)


2. Maylinda Dwi Kustanti (1717407015)
3. Nila Syahrotun Saadah (1717407022)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PURWOKERTO

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang Maha pengasih
lagi Maha penyayang. Atas rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kita semua dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Epistemologi Ilmu”.

Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah limpahkan kepada junjungan
kita, nabi agung Nabi Muhammad SAW. Yang telah berpengaruh dalam
kehidupan dunia dalam merubah dunia yang penuh kebodohan menjadi dunia
yang penuh ilmu pengetahuan.

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan


mengenai epistemologi ilmu yang dikaji dalam mata kuliah filsafat ilmu.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidaklah sempurna. Maka


dari itu, saran dan kritik pembaca guna menyempurnakan makalah ini sangat kami
harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya para
pembaca yang sedang mencari tahu tentang epistemologi ilmu.

Purwokerto, 24 Februari 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................2

DAFTAR ISI ................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................4

A. Latar Belakang .......................................................................4

B. Rumusan Masalah ..................................................................5

C. Tujuan .....................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................6

A.Pengertian Epistemologi.........................................................6
B.Pengetahuan.............................................................................7
1. Arti Pengetahuan................................................................7
2. Terjadinya Pengetahuan.....................................................9
3. Aliran-aliran Pengetahan...................................................14
4. Metode Ilmiah....................................................................15
5. Metodologi Pengetahuan...................................................16

C. Kebenaran...............................................................................19

1. Arti Kebenaran...................................................................19

2. Teori-teori Kebenaran........................................................20

BAB III PENUTUP ...................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam ilmu-ilmu kefilsafatan seringkali terdapat banyak pertanyaan,


sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut , perlu diperhatikan
bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika
kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk
mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Memang
sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan
setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin
terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau
mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah
kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat
menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya
kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.

Masalah epistemologi memunyai banyak segi. Penyelesaian masalah


epistemologi tergantung pada apa yang diajarkan oleh seorang ahli psikologi
kepada kita. Dengan demikian, hendaknya kita membaca naskah psikologi
yang baik dalam bab-bab mengenai penginderaan, pencerapan, penyimakkan
dan pemikiran, karena didalam suatu penyelesaian yang disarankan terhadap
masalah epistemologi, bahan-bahan keterangan yang terdapat didalam naskah
tersebut harus diperhitungkan.

Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan membahas mengenai
epistemologi ilmu yang didalamnya berisi tentang pembahasan alat-alat untuk
mengetahui, bentuk-bentuk kebenaran, implikasi alat-alat mengetahui terhadap
aspek metodologis ilmu, kebenaran ilmu, serta ilmu dalam perspektif aliran
epistemik.

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari epistemologi ilmu?

2. Apa pengertian pengetahuan?

3. Apa pengertian kebenaran?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari epistemologi ilmu.

2. Untuk mengetahui pengertian pengetahuan.

3. Untuk mengetahui pengertian kebenaran.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi Ilmu

Istilah epistemology digunakan pertama kali ole J.F. Feriere yang


dimaksudkan untuk membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu
epistemologi dan ontologi. Secara bahasa, epistemology berasal dari bahasa
Yunani episteme yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan logos
yang juga berarti pengetahuan. Jadi, epistemologi berarti pengetahuan
mengenai pengetahuan atau disebut juga teori pengetahuan (theory of
knowledge). Menurut Lacey persoalan sentral epistemology adalah mengenai
apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya (what can
we know, and how do know it).1 J.A. Niels Mulder berpendapat bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang watak, batas-
batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jaacques Veuger mengatakan
bahwa epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan
pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita bukan pengetahuan
kita tentang pengetahuan orang lain atau pengetahuan orang lain tentang
pengetahuan kita. Sedangkan epistemologi menurut Abbas Hamami Mintarejo
adalah cabang fisafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan
mengadakan penilaian dari pengetahuan yang telah terjadi tersebut.

Menurut Poedjiadi (2001: 13) epistemologi adalah cabang filsafat yang


membahas tentang pengetahuan, adapun yang dibahas antara lain adalah asal
mula, bentuk atau struktur,, dinamika, validitas, dan metodologi, yang
bersama-sama membentuk pengetahuan manusia.

1
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017),
hal.117.

6
Menurut Conny Semiawan dkk., (2005: 157) epistemologi adalah cabang
filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori
pengetahuan.2

Secara klasik, epistemologi dipergunakan untuk sebutan jenis epistemologi


pada umumnya yang selama berabad-abad menjadi cabang dari disiplin ilmu
filsafat yang mengkaji pengetahuan manusia. Sebagai cabang ilmu filsafat,
epistemologi bermaksud mengkaji pengetahuan manusia secara evaluatif,
normatif, dan ktitis. Salah satu faktor penentu epistemologi adalah latar
belakang nilai-nilai yang dianut oleh penggagasnya.3

Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang


mempelajari tentang pengetahuan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengetahuan.

B. Pengetahuan
1. Arti Pengetahuan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu objek tertentu.4 Pengetahuan berasal dari kata dasar ‘tahu’
dengan mendapat awalan pe dan akhira an yang berarti proses mengetahui, dan
menghasilkan sesuatu yang disebut pengetahuan. Pengetahuan dalam
Encyclopedeia of Phisolophy adalah kepercayaan yang benar (justified true
belief). Dalam kamus filsafat pengetahuan diartikan sebagai proses kehidupan
yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. 5
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan
manusia untuk mengetahui sesuatu yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia
untuk memahami suatu objek tertentu.6 Pengetahuan sangat berperan dalam

2
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam dimensi Ontolisi-Epistemologi-aksiologi,
(Jakarata: Bumi Aksara,2016), hal 136.
3
Yadi Purwanto, Epistemologi Psikologi Islam, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007),
hal 30.
4
Jujun S. Surjasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010), hal.104
5
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal.85
6
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal. 26

7
kehidupan karena pengetahuan merupakan sumber jawaban dari berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Pengetahuan dapat diperoleh
manusia melalui akal dan panca indera. Adanya pengetahuan dipengaruhi oleh
dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu yang berasal dari diri manusia berupa
sifat manusia yang cenderung ingin tahu. Kedua, faktor eksternal, yaitu
dorongan dari luar berupa tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Manusia memiliki tripotensi kejiwaan, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta
berfungsi sebagai alat untuk mengukur nilai kebenaran, rasa berfungsi sebagai
alat untuk mengukur nilai keindahan, sedangkan karsa berfungsi sebagai alat
untuk mengukur nilai kebaikan. Dengan megetahui nilai kebenaran, keindahan,
dan kebaikan manusia dapat mempertahankan kehidupannya.
Semua pengetahuan hanya dikenal dan ada dalam pikiran manusia. Oleh
karena itu, hubungan antara pengetahuan dan pikiran menusia merupakan
sesuatu yang kodrati. Bahm mengatakan ada delapan hal penting yang
berfungsi membentuk struktur pikiran manusia, yaitu:
1. Mengamati (observ); pikiran berperan dalam mengamati suatu objek
tertentu. Saat melakukan pengamatan, maka pikiran harus mengandung
kesadaran. Oleh karena itu, di sini pikiran merupakan bentuk kesadaran.
2. Menyelidiki (inquires); seseorang memiliki banyak minat pada
perhatian yang terarah. Minat-minat ini ada yang dikaikan dengan
kepentingan jasmaniah, tuntutan masyarakat, tujuan pribadi, dan lain-
lain. Minat membimbing seseorang secara alami untuk terlibat ke dalam
pemahaman pada suatu objek.
3. Percaya (believes); yakni sikap menerima sesuatu yang menampak
sebagai pengertian yang memadai setelah keraguan.
4. Hasrat (desires); mencakup kondisi biologis serta psikologis dan
interaksi dialektik antara tubuh dan jiwa. Tanpa pikiran tidak mungkin
ada hasrat. Beberapa hasrat muncul dari kebutuhan jasmani seperti
nafsu makan, minum, istirahat, tidur, dan lain-lain.
5. Maksud (intends); memiliki maksud saat akan mengamati, menyelidiki,
mempercayai dan berhasrat, atau bahkan terdorong saat melakukannya.

8
6. Mengatur (organize); setiap pikiran adalah suatu organisme yang
teratur dalam diri seseorang. Pikiran mengatur melalui kesadaran,
intuisi, melalui panggilan untuk memunculkan objek, dan berperan
serta dalam pembentukan objek-objek tersebut dari sesuatu yang
mendorong untuk diatur melalui otak.
7. Menyesuaikan (adapts); menyesuaikan pikiran serta melakukan
pembatasan-pembatasan yang dibebankan dalam pikiran melalui
kondisi keberadaan yang tercakup dalam otak dan tubuh.
2. Terjadinya Pengetahuan

Proses terjadinya pengetahuan menjadi suatu masalah mendasar dalam


epistemologi. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses
terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik a priori maupun a porteori.
Pengertahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau
melalui pengalaman baik pengalaman indera maupun pengalaman bathin.
Sedangkan a posteori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya
pengalaman.7

Paham yang dikemukakan oleh John Hospers dan Knight (1982),


meyakini bahwa dalam mengetahui memerlukan alat yaitu: pengalaman
indera (sense experience), nalar (reason), otoritas (authority), intuisi
(intuition), wahyu (revelation), dan keyakinan (faith). Alat tersebut
memiliki peran penting baik secara sendiri-sendiri maupun berpasangan satu
sama lain tergantung kepada filsuf atau paham yang dianutnya.8

Berikut ini penjelasan dari enam hal diatas:


7
Surdasono, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Aneka Cipta,1993), hal 138.
8
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam dimensi Ontolisi-Epistemologi-aksiologi,
(Jakarata: Bumi Aksara,2016), hal 137

9
a. Pengalman indera (Sense Experience)

Pengetahuan berawal dari kenyataan yang dapat di inderai.9 Bagi


manusia pengalman inderawi adalah alat vital penyelenggaraan kebutuhan
hidup sehari-hari dengan mata, telinga, hidung, lidah dan kulit, orang bisa
menyaksikan secara langsung kebenaran suatu objek, dan bisa melakukan
kegiatan hidup.10 Mula-mula tangkapan indera itu yang masuk sederhana,
lama-kelamaan menjadi kompeks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti.11

b. Nalar (Reason)

Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua


pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru.12
Nalar senantiasa senantiasa memberikan pengetahuan yang lebih umum,
objektif dan pasti, serta yang bersifat tetap. Tidak berubah-ubah sehingga
dapat diyakini kebenarannya.13

c. Otoritas (Authority)

Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki olehseseorang dan


diakui oleh kelompoknya. Otoritas mejadi salah satu sumber pengetahuan,
karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang
mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Jadi pengetahuan yang
terjadi karena adanya otoritas adalah pengetahuan yang terjadi melalui
wibawa seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.14

d. Intuisi (Intuition)
9
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal. 28.
10
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017),
hal.53.
11
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal.99.
12
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal. 29.
13
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017),
hal.54.
14
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal. 29.

10
Menurut Hanry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman
yang tertinggi.15 Intuisi sangat bersifat spiritual, melampaui ambang batas
ketinggian akal pikiran dan kedalaman pengalaman. Pengetahuan yang
bersumber dari intuisi merupakan pengalaman batin yang bersifat
langsung.16

e. Wahyu (Revelation)

Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah SWT


kepada Nabi-nya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan
melalui wahyu karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan
itu. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan karena
kita mengenal sesuatu dengan melalui kepercayaan.

f. Keyakinan (Faith)

Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia


yang diperoleh melalui kepercayaan. Keyakianan sangat statis kecuali ada
bukti-bukti baru yang akurat dan cocok untuk kepercayaannya. 17

Menurut Jan Hendrik Rapar (2005: 38-39), pengetahuan dapat dibagi


menjadi tiga jenis antara lain :

a. Pengetahuan biasa (Ordinary Knowledge) adalah pengetahuan yang


diperoleh dari hasil penyerapan indera terhadap objek tertentu yang
disaksikan dalam kehidupa sehari-hari. Pengetahuan ini dapat diperoleh
dengan cara pemikiran yang rasional yang mendalam mengenai sesuatu,
namun masih perlu dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan
metode-metode ilmiah.

15
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal.107.
16
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017),
hal.54.
Suraajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
17

Aksara,2008), hal. 30.

11
b. Pengetahuan ilmiah (Scientific Knowladge) adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih
menjamin kepastian kebenaran tercapai.
c. Pengetahuan filsafati (Philosophical Knowledge) adalah pengetahuan
yang diperoleh melaui pemikiran rasional yang didasarkan pada
pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan pemikiran-
pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis.18

Menurut Soejono Soemargono (1997) dipandang dari karakteristik ,


pengetahuan dibedakan sebagai berikut :

a. Pengetahuan inderawi adalah pengetahuan yang didasarkan atas sense


atau indera atau pengalaman manusia sehari-hari.
b. Pengetahuan akal budi adalah pengetahuan yang didasarkan atas
kekuatan rasio.
c. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan yang memuat pemahaman
secara tepat. Instuisi menurut Archie J. Bahm adalah nama yang kita
berikan pada cara pemahaman kesadaran ketika pemahaman itu
berwujud penampakan langsung yang menurutnya tidak ada
pengintuisian tanpa melibatkan kesadaran, demikian pula sebaliknya.
d. Pengetahuuan kepercayaan (pengetahuan otoratif) adalah jenis
pengetahuan yang atas dasar kredibilitas seorang tokoh atau
sekelompok orang yang dianggap profesional dalam bidangnya.

Pengetahuan memiliki ciri-ciri diantaranya sebagai berikut :

a. Berlaku umum
b. Memiliki pemikiran otonomi
c. Memiliki dasar pembenaran
d. Sistematik

18
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam dimensi Ontolisi-Epistemologi-aksiologi,
(Jakarata: Bumi Aksara,2016), hal 137-138.

12
e. Intersubjektif19

Pengetahuan didapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan


inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif.
Jika kesan-kesan subjektif dianggap sebagai kebenaran, hal itu
mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam
imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran
inderawi. Kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan yang
lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif.

Pandangan Spinoza agak berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes


sebagai salah seorang tokoh empirisme yang hidup pada tahun 1588-1679.
Menurutnya pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman.
Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Segala ilmu pengetahuan
diturunkan dari pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberi
jaminan akan kepastian.
Yang disebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala
pengamatan, yang disimpan si dalam ingatan dan digabungkan dengan
suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati
pada masa yang lampau.20 Pengamatan inderawi terjadi karena gerak
benda dari luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera
kitaa. Gerak ini diteruskan kepada otak dan dari otak diteruskan jantung.
Di dalam jantung timbulah suatu reaksi, suatu gerakan dalam jurusan yang
sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi
tadi.21
3. Aliran-Aliran Teori Pengetahuan

Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan


menggunakan berbagai alat. Menurut Ahmad Tafsir (2005: 24-25) ada

19
Nina W.Syam, Fillsafat sebgai akar Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media,2010),hal 145-146.
20
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam dimensi Ontologis-Epistemologi-aksiologi,
(Jakarata: Bumi Aksara,2016), hal 137
21
Surdasono, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Aneka Cipta,1993), hal 140.

13
beberapa aliran yang mengkaji tentang cara memperoleh pengetahuan
tersebut, antara lain aliran empirisme, rasionalisme, positivisme, dan
intuisionisme.

a. Aliran Empirisme

Kata empiris berasal dari Yunani emperinkos yang berarti


pengalaman. Salah satu tokoh aliran ini adalah John Locke. Menurut aliran
ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya.
Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman indera. Sebagai contoh,
manusia tahu garam itu asin karena ia mencicipinya.

b. Aliran Rasionalisme

Tokoh yang paling terkenal dalam aliran ini adalah Rene Docartes.
Aliran ini mengajarkan bahwa melalui akalnya manusia dapat memperoleh
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal,
namun demikian aliran ini juga tidak mengingkari kegunaan indera dalam
memperoleh pengetahuan, karena pengetahuan indera diperlukan untuk
merangsang akal dan menyebabkan akal dapat bekerja.

c. Aliran Positivisme

Aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi


antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme, dengan cara memasukkan
perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Tokoh yang tergolong aliran
positivisme adalah August Comte, yang berpendapat bahwa indera itu
amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam
dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.

d. Aliran Intuisionisme

Tokoh dari aliran ini adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia


berkeyakinan bahwa akal dan indera memiliki keterbatasan. Karena

14
menurutnya, objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu
berubah. Jadi, pengetahuan yang telah dimiliki manusia tidak pernah tetap.
Demikian halnya akal, akal hanya dapat memhami suatu objek bila ia
mengonsentrasikan dirinya pada objek itu. Dengan menyadari keterbatasan
indera dan akal seperti tersebut di atas, Bergson mengembangkan satu
kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Intuisi ini
adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Pengembangan
kemampuan intuisi memerlukan suatu usaha. Usaha inilah yang dapat
memahami kebenaran yang utuh, yang tetap. Intuisi ini menangkap objek
secara langsung tanpa melalui pemikiran.

4. Metode Ilmiah
a) Masalah Menghubungkan Kejadian-Kejadian secara Sistematis.
Di sini kita dapat melihat unsur pertama di dalam metode ini:
sejumlah pengamatan (artinya, pengalaman-pengalaman) yang dipakai
sebagai dasar untuk merumuskan suatu masalah. Pernyataan-pernyataan
yang ada dirumuskan sedemikian rupa, sehingga pengamatan-pengamatan
yang menimbulkan masalah tersebut akan dihubungkan secara sistematis
satu sama lain dan dengan fakta-fakta lain yang sudah diamati.
b) Hipotesa
Bila ada suatu masalah dan sudah diajukan suatu penyelesaian
yang dimungkinkan, maka penyelesaian yang diusulkan itu dinamakan
“hipotesa”. Jadi, hipotesa ialah usulan penyelesaian yang berupa saran dan
sebagai konsekuensinya harus dipandang bersifat sementara dan
memerlukan verifikasi. Biasanya dimungkinkan adanya sejumlah saran
semacam itu. Di dalam proses menemukan hipotesa dikatakan bahwa
kegiatan akal bergerak keluar dari pengalaman, mencari suatu bentuk,
yang didalamnya disusun fakta-fakta yang telah diketahui, dalam suatu
kerangka tertentu. Diharapkan, jika fakta-fakta yang telah diketahui itu
cocok dengan hipotesa yang disarankan tersebut, maka segenap yang
serupa pasti juga akan cocok dengan hipotesa tadi.
c) Dukungan bagi Hipotesa

15
Jika suatu hipotesa sudah diusulkan maka perlu diverifikasi atau
sekurang-kurangnya perlu bahan-bahan bukti yang mendukungnya.
Bahan-bahan bukti yang memperkuat suatu hipotesa berasal dari dua hal
yaitu: (1) bahan-bahan keterangan yang diketahui harus cocok dengan
hipotesa tersebut; (2) hipotesa itu harus meramalkan bahan-bahan
keterangan yang dapat diamati, yang memang demikian keadaannya.
Proses yang terjadi yang menunjukkan bahwa bahan-bahan keterangan
yang diketahui itu cocok dengan hipotesa dapat dinamakan “kalkulasi”.
d) Ramalan (Prediction)
Kajian terhadap hipotesa dimulai dengan pengamatan yang
dilakukan secara hati-hati, sistematis, dan secara sengaja terhadap
ramalan-ramalan yang disimpulkan dari hipotesa tertentu. Jika mungkin,
seorang ilmuwan harus mempersiapkan segala-galanya bagi pengamatan
yang dilakukannya. Ia membuat alat-alat, mencoba menggendalikan apa
yang akan terjadi dan bilamana terjadi, dan memakai pesawat-pesawat
pengukur untuk mencatat apa yang terjadi. Ini dinamakan
“eksperimentasi”.
Jika pengamatan-pengamatan itu menunjukkan apa yang
diramalkan hipotesa akan terjadi, berarti hipotesa tersebut mendapat
dukungan. Salah satu di antara sifat-sifat yang penting dari metode ini
ialah, metode tersebut mengajukan syarat yang sangat sederhana. Yang
diketengahkannya hanyalah kebenaran namun bukan kebenaran mutlak,
karena pengamatan selanjutnya mungkin saja tidak mengukuhkan hipotesa
tersebut. Sifat yang menonjol dari metode ilmiah ialah digunakannya akal
dan pengalaman disertai dengan sebuah unsur baru, yaitu hipotesa. 22
5. Metodologi Memperoleh Pengetahuan

Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan


lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan sebagai
berikut.

22
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat. ( Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996),
hlm. 147.

16
a. Metode Induktif

Yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan


hasil observasi disimpulkan dlam suatu pernyataan yang lebih umum.
Menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai
oleh metode induktif.

David Hume (1711-1776) telah membangkitkan pertanyaan


mengenai induksi yang membingungkan para filsuf dari zamannya sampai
sekarang. Menurut Hume, pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal
tidak dapat menghasilkan pernyataan umum meskipun besar jumlahnya.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan maka akan dipergunakan
hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa logam yang dipanasi
akan mengembang.

b. Metode Deduktif

Yaitu suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiric


diolah lebih lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtut. Hal-hal
yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis
antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.

Propper tidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan


kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang
bersifat tunggal. Tidak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan-
kesimpulan yang telah diverifikasikan, teori-teori dapat dilakukan sebagai
benar atau bahkan hanya mungkin benar, contoh: jika penawaran besar,
harga akan turun.

c. Metode Positivisme

Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Metode


ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Ia

17
mengenyampingkan segala persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh
karena itu ia menolak metafisika. Dengan demikian, metode ini dalam
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi pada bidang gejala-gejala
saja.

d. Metode Kontemplatif

Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal


manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan
pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal
yang disebut dengan intuisi, pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi,
pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara
berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.

Intuitif yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui


pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini
hanya bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari
keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini bisa dikomersilkan.

e. Metode Dialektis
Dalam filsafat dialektika berarti metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat. Menurut Plato dialektika berarti diskusi
logika. Jadi dialektika berarti tahap logika yang mengajarkan kaidah-
kaidah dan metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide
untuk mencapai apa yang tergantung pada pandangan.23

C. Kebenaran
1. Arti Kebenaran
Dalam bahasa Inggris “Kebenaran” disebut “truth”. Istilah latin “varitas”,
dan Yunani “eletheid”, dipandang sebagai lawan kata “kesalahan”,

23
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: IPB Press,2016), hal 99-102.

18
“kesesatan”, “kepalsuan”, dan kadang juga “opini”.24 Dalam bahasa Arab
“Kebenaran” disebut “al-haq” yang diartikan dengan “naqid al-batil”.25
Sedangkan dalam KBBI kata “Kebenaran”, menunjukkan kepada keadaan yang
cocok dengan keadaan yang sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh
adanya.26 Sedangkan menurut tokoh penganut faham idealism yakni FH.
Bradly mengatakan bahwa kebenaran ialah kenyataan. Karena kebenaran ialah
makna yang merupakan halnya, dan karena kenyataan ialah juga merupakan
halnya.27

Setelah membicarakan pengertian kebenaran, maka kebenaran tidak


terlepas dari 3 hal yaitu: (1) kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan.
Maksudnya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang
mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. (2)
kebenaran yang dikaitkan dengan sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau
dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuan itu. Apakah ia
membangunnya dengan cara penginderaan atau sense experience, ratio, intuisi
atau keyakinan. (3) kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan
terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi antara subjek dan objek,
manakah yang lebih dominan untuk membangun pengetahuan itu.

2. Teori Kebenaran
Ada beberapa teori kebenaran diantaranya sebagai berikut:
a. Teori Koherensi

24
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 412
25
Naqied al-Bathil berarti lawan dari yang batal (rusak, sesat, salah). Untuk lebih
jelasnya pemahaman arti kebenaran dalam Bahasa Arab tersebut dapat dilihat pada Ibnu Manzhur,
Lisan al-Arab, 15 Jilid, (Beirut: Daar Shaadir, 1412/1992), Jilid 10, P. 49-58
26
Tim Penyusun Kamus PPPB, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta,
Balai Pustaka, 1994), P. 114
27
Louis O. Kattsoff. Element of Phylosophy, alih bahasa Soejono Soemargono dengan
judul “Pengantar Filsafat”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), P. 17

19
Koherensi berarti hubungan yang terjadi karena adanya gagasan
(prinsip, relasi, aturan, konsep) yang sama. Teori ini banyak dianut oleh
penganut idealisme seperti: FH. Bradly (1846-1924) The Coherence Theory
of Truth yang sering pula dinamakan The Consistence Theory of Truth.
Teori ini juga termasuk kategori “Varitas de rasion” yaitu kebenaran-
kebenaran yang masuk akal dan juga melahirkan berfikir dedukasi yang
sangat diperlukan untuk matematika. Selain itu teori ini dikenal sebagai
teori justifikasi, karena dukungan dari keputusan-keputusan yang terdahulu
yang sudah diakui dan diterima kebenarannya.

Teori ini memberikan ukuran kebenaran pernyataan pada adanya


hubungan antara pernyataan satu dengan pernyatan lainnya atau pengalaman
sebelumnya yang diakui kebenarannya. Jika ada hubungan berarti benar,
jika tidak berarti tidak benar. Kebenaran terletak pada hubungan antara
pernyataan dan pengalaman. Semakin banyak hubungannya, semakin tinggi
derajat kebenaran itu.
Secara singkat paham ini mengatakan bahwa suatu proposisi
cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan
dengan proposisi-proposisi yang benar atau jika makna yang dikandunganya
dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
b. Teori Korespondensi (Corespondence Theory)

Teori ini eksponen utamanya adalah Bertrand Russell (1872-1970).28


White dalam bukunya menyebut teori ini teori yang paling tua (tradisional).
Inti tentang kebenaran adalah bahwa suatu pernyataan itu benar jika makna
yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan
“paham korespondensi” kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian

28
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1993), hlm. 57

20
antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang
sesungguhnya merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-fatanya.29
Teori kebenaran koresponensi adalah teori kebenaran yang paling
awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional
karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad modern) mensyaratkan
kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyaataan atau realitas yang
diketahuinya.

Dalam teori korespondensi terdapat dua realitas yang berbeda


dihadapan manusia yaitu realisme epistemologis berpandangan bahwa
terdapat realitas yang independen yang terlepas dari pemikiran dan kita
dapat mengubahnya bila kita mengalami dan memahaminya. Itulah
sebabnya realisme epistemologi kadangkala disebut objektivisme.
Sedangkan idealisme epistemologi berpandangan bahwa setiap tindakan
berakhir dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif. Kedua
pandangan tersebut sangatlah berbeda. Idalisme epistemologi lebih
menekankan bahwa kebenaran adalah apa yang ada di dunia ide. Misal
melihat merah, rasa manis, rasa sakit, gembira, berharap dan sebagainya
adalah ide. Jadi kebenaran adalah sesuaian antara pernyataan tentang
sesuatu dengan kenyataan suatu itu sendiri. Misal, Semarang ibu kota Jawa
Tengah. Pernyataan ini disebut benar apabila pada kenyataannya semaranf
memang ibukota provensi Jawa Tengah. Kebenarannya terletak pada
pernyataan dan kenyataan.30

c. Teori Pragmatisme (Pragmatic Theory)

Teori ini dicetuskan oleh Charles S. Peire (1839-1914) dan kemudian


dikembangkan oleh ahli filsafat, diantaranya: William James (1842-1910),
John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I.
Lewis. Pragmatisme berasal bahsa Yunani, Pragma artinya yang dikerjakan,

29
Saifullah, Kebenaran Ilmiah Menurut Perspektif Filsafat Ilmu, 2017, hal 9-10.
30
Ahmad Atabik, Teori kebenaran perspektif filsafat Ilmu, Vol.2, No.1, Juni 2014, hal
258-259.

21
yang dilakukan, perbuatan dan tindakan. Sebenarnya ajaran pragmatisme
berbeda-beda caranya sesuai dengan konsekuensi-konsekuensi yang
ditekankan. Namun semua penganut pragmatisme meletakkan ukuran
kebenaran dalam salah satu macam konsekuen. Kebenaran menurut teori ini
adalah suatu pernyataan yang diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Yaitu, suatu
pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia.31

31
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1993), hlm. 59.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas kami dapat menyimpulkan bahwa


epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan atau disebut juga teori
pengetahuan (theory of knowledge). Masalah epistemologi memunyai banyak
segi. Penyelesaian masalah epistemologi tergantung pada apa yang diajarkan oleh
seorang ahli psikologi kepada kita. Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai
suatu cabang filsafat yang mempelajari tentang pengetahuan dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan pengetahuan.

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui


tentang suatu objek tertentu. Pengetahuan sangat berperan dalam kehidupan
karena pengetahuan merupakan sumber jawaban dari berbagai pertanyaan yang
muncul dalam kehidupan. Pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui akal dan
panca indera.

Kebenaran berarti menunjukkan kepada keadaan yang cocok dengan keadaan


yang sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh adanya. Kebenaran tidak
terlepas dari 3 hal yaitu: (1) kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan.
Maksudnya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang
mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. (2)
kebenaran yang dikaitkan dengan sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau
dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuan itu. Apakah ia
membangunnya dengan cara penginderaan atau sense experience, ratio, intuisi
atau keyakinan. (3) kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan
terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi antara subjek dan objek,
manakah yang lebih dominan untuk membangun pengetahuan itu.

23
DAFTAR PUSTAKA

Atabik Ahmad, 2014, Teori kebenaran perspektif filsafat Ilmu, Vol.2, No.1, Juni
2014.

Bahrum, 2013, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, Vol.8, No.2, April 2013.

Bakhtiar Amsal, 2012, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kattsof Louis O,1996. Elements Of Philosophy, diterjemahkn oleh Soejono


Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat, Cet. Ke-7; Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.

Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.

Muhammad Naquib Al-Attas Syed, 1995, Islam & Filsafat SAINS, Bandung:
Mizan.

Saifullah, 2017, Kebenaran Ilmiah Menurut Perspektif Filsafat Ilmu.

Suaedi, 2016, Pengantar Filsafat Ilmu, Bogor: PT Penerbit IPB Press.

Sudarsono, 2001, ILMU FILSAFAT—Suatu Pengantar, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Suparlan Suhartono, 2017, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan


Hakikat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Surajiyo, 2008, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu


Pengantar, Cet.3 . Jakart: Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun S., 2010, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.

Susanto A, 2016, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,


Epistemologis,, dan Aksiologis, Cet. 6. Jakarta: Bumi Aksara.

Syam Nina W, 2013, Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Bandung: Remaja
Rosdakarya.

24
Tim Penyusun Kamus PPPB, Depdikbud, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.

Wiramihardja Sutardjo A, 2007, Epistemologi Psikologi Islami, Bandung: PT


Refika Aditama.

25

Anda mungkin juga menyukai