Dosen Pengampu :
Dudun Ubaedullah
Disusun oleh :
Kelompok 1 KPI 2E
Fadhilah Khairunnisa 11210510000054
Alayda Qowiyul Jismi 11210510000186
Dewa Chrys Pambudi 11210510000194
Feri Ardiansyah 11210510000200
SEMESTER 2
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021
i
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatnya dan karunia-Nya yang
tak terhingga di limpahkan kepada kita semua sehingga kita masih bisa melakukan aktivitas kita.
Sholawat serta salam marilah kita panjatkan atas kehadirat nabi besar kita Nabi Muhammad SAW.
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang seperti saat ini.
Pertama kami ingin meminta maaf dalam makalah yang kami susun dengan sedemikian
rupa belum sempurna seperti yang ada benak dan harapan semua karena “Tak ada gading yang tak
retak” kami hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan dosa hanya karena
kesempuraan hanya milik Allah SWT.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah terlibat dan
memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung. Harapan saya, semoga
makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Semoga makalah ini bisa menambah ilmu, dan semoga apa yang kami sampaikan di
makalah ini bisa bermanfaat untuk pembelajaran selanjutnya, kritik dan saran sangatlah membantu
kami agar kami bisa memperbaiki kesalahan yang telah kami buat pada makalah ini dan menjadi
pembelajaran bagi kami agar lebih teliti dan lebih kreatif dalam membuat makalah ini.
Penyusun
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu dalam agama Islam yang bersifat ilmiah dan
memiliki obyek sebagai suatu permasalahan yang diselesaikan dengan kaidah tertentu.
Fiqih dalam agama Islam disebut juga dengan Al-Fahmu yang berarti pemahaman.
Terdapat 3 ciri pula fiqih dalam Islam, yaitu : 1. Terperinci; 2. Terapan; 3. Bersifat praktis.
Menurut Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqih, Fiqih adalah mengetahui hukumhukum
syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) yang dikaji melalui dalil-dalil yang terperinci. Adapun
para Ulama Fiqih mendefinisikan Fiqih sebagai sekumpulan hukum praktis (yang sifatnya
akan di amalkan) yang disyariatkan dalam Islam.
Dalam agama Islam, ilmu fiqih bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist Nabi yang
telah lahir sejak periode para sahabat, yakni sejak Nabi Muhammad SAW., wafat.
Selanjutnya setelah itu lahirlah ushul fiqih, yaitu suatu ilmu yang berisikan tentang suatu
kaidah yang menjelaskan cara mengistinbathkan hukum dari dalilnya. Keadaan seperti itu
terus berkembang dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang muncul akibat dari
perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang.
Dalam fiqih sendiri terdapat beberapa mazhab yang digunakan sebagai panduan
untuk menetapkan suatu hukum. Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan
oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam.
Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan hukum islam tertata rapi
dari generasi sahabat, tabi’in, hingga mencapai masa keemasaan pada khilafah Abbasiyah,
akan tetapi harus diakui madzhab telah memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam
penetapan hukum fiqh Islam. Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab
dikarenakan perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh serta perbedaan interpretasi atau
penafsiran mujtahid.
Kita menganut paham untuk bermahzab, dikarenakan faktor “ketidakmampuan”
kita untuk menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-
Quran dan as-Sunnah). Bermadzhab secara benar dapat ditempuh dengan cara memahami
bahwa sungguhnya pemahaman kita terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab-
1
mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau
menyimpang dari Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fiqih?
2. Apa perbedaan fiqih dengan ushul fiqih?
3. Apa perbedaan fiqih dengna qawaid al-fiqihiyyah?
4. Apa saja mahzab-mahzab yang ada di dalam fiqih?
5. Apa saja faktor penyebab terjadinya al-ikhtilaf al-fiqihiyyah?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqih
Secara bahasa, Fiqih berasal dari kalimat “Faqaha”, yang bermakna paham secara
mutlak, tanpa memandang kadar pemahaman yang dihasilkan. Kata Fiqih secara arti kata
berarti “paham yang mendalam”.1 Fiqih menurut istilah artinya pengetahuan, pemahaman
dan kecakapan tentang sesuatu biasanya tentang ilmu agama Islam karena kemuliaannya.2
3
1
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Predana Media, 2003), hlm. 4.
2
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 9
3
Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 7
4
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 1-2.
5
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 9-10.
3
Yang dimaksud dengan “al-ahkam” (hukum-hukum) dalam pengertian tersebut di atas
adalah: “Segala ketentuan dari Allah bagi manusia baik berupa perintah-perintah maupun
aturan perbuatan yang mengatur kehidupan dalam masyarakat dan hubungan mereka antara
pihak satu dengn lainnya serta membatasi perbuatan dan tindak-tanduk mereka.” Adapun
yang dimaksud dengan “AsySyar’iyyah”, adalah bahwa hukum-hukum itu diperoleh dari
Syara’ baik dengan cara mudah karena jelas tersebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits
maupun melalui jalan ijtihad. Kemudian dengan pembatasan: “amaliyah” dimaksudkan
bahwa hukumhukum itu mengenai perbuatan, bukan mengenai masalah-masalah
kepercayaan (keimanan) yang dibahas ilmu lain. Dari pengertian Fiqih sebagaimana
tersebut di atas dapat diketahui bahwa Fiqih adalah sifat ilmiah.6
Kedua, Fiqih adalah “Kumpulan (kodifikasi) hukum-hukum perbuatan yang
disyari’atkan dalam Islam.” Disyari’atkan dalam sumber teks yang jelas dari alQur’an dan
al-Hadits maupun dari ijma’ serta ijtihad para mujtahid dari sumbersumber dan kaidah-
kaidah umum. Pengertian Fiqih sebagaimana tersebut di atas meliputi segala hukum syara’
baik yang mudah diketahui maupun yang tidak mudah diketahui yakni yang diketahui atau
yang ditetapkan dengan ijtihad.7
6
. Ibid, hlm. 11-13
7
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir Krafyak, 1983), h. 29-30
8
Muktar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, (Bandung: AlMa’arif, 1986), h.
17.
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, h. 36.
4
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan, “mengerjakan salat itu
hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan salat itu disebut “hukum syara’”. Tidak pernah
tersebut dalam Al-qur'an maupun Hadist bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang tersebut
dalam Al-qur'an hanyalah perintah mengerjakan salat yang berbunyi: aqiimuu al-shalah
(kerjakanlah salat). Ayat Al-qur'an yang mengandung perintah salat tersebut disebut “dalil
syara’”. Untuk merumuskan kewajiban salat yang disebut “hukum syara’” dari firman
Allah: aqiimuu al-shalah.
Yang disebut “dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya:
“setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang
menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang
disebut dengan ilmu ushul fiqh.10 Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ushul fiqh
adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus
diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari
dalilnya.
َْ َ َ َّ َّ ْ َ َ َ َّ ُ
َّ ك ا ْن َت َْ َ َْ َ ْ
الس ِم ْي ُع الع ِل ْي ُم َواِ ذ َي ْرف ُع ِا ْب ٰر ٖه ُم الق َو ِاعد ِم َن الب ْي ِت َواِ ْس ٰم ِع ْيلُۗ َربنا تقَّبل ِمناُۗ ِان
10
Mu’jam al-lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wajid, t.tp.Wuzarah al Tarbiyah wa al-Ta’lim, t.th. h. 509.
11
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab , t.tp. Dar al-Ma’arif, t.th. jld. IV, h. 3450.
5
127. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya
berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh ( )الفقهditambah dengan ya nisbah yang
berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti
pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.12
Al-Qur’an menyebut kata fiqh pada surah al-Taubah ayat 122 :
ُ َ َ َ ُْ ْ
الدي ِن َو ِلين ِذ ُر ْوا ق ْو َم ُه ْم ِاذا َرجع ْوْٓا ى ف ا ْ ان ْال ُم ْؤم ُن ْو َن ل َي ْنف ُر ْوا َكاَّۤفة َف َل ْو َلا َن َف َر م ْن ُكل ف ْر َقة م ْن ُه ْم َطاۤى َِٕفة ل َي َت َفَّق ُه
و
َ َ ََ
۞ وما ك
ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ُۗ ِ ِ ِ
َ َ ْ َ َّ َ َ َ
ࣖ ِال ْي ِه ْم لعل ُه ْم يحذ ُر ْون
12
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia al-Munawwir, (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 453.
6
3. Ushul fiqih adalah sautu ilmu untuk mengambil istibath-istinbath hukum dalam
permasalahan tertentu. Qo’idah nya sudah ada, kemudian dari qa’idah itu dijadikan
sebagai patokan hukum terhadap permasalahan yang ada.
Qawa’id fiqhiyyah keberadaannya setelah adanya permasalahan fiqhiyyah yang cukup
banyak. Gambarannya berbeda-beda namun terkadang ‘illah (inti permasalahannya)
sama, barulah setelah itu dibuat suatu qa’idah yang bisa mewakili permasalahan-
permasalahan tersebut, ataupun permasalahan-permasalahan yang muncul dikemudian
hari dengan sebab yang sama.
13
Ibid.
14
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995), 197
15
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan mazhab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995), 86.
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 992.
7
memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Maka pengertian mazhab
dalam ilmu fiqh meliputi dua pengertian, yaitu:
a. Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang digunakan seorang mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu kejadian dan peristiwa berdasarkan al- Qur’an dan hadis.
b. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu kejadian.
Sedang mazhab dalam kamus besar Bahasa Indonesia merupakan kata masdar atau kata
dengan bentuk infinitif yang berarti haluan atau ajaran mengenai hukum Islam yang
menjadi ikutan umat Islam, bisa juga diartikan sebagai aliran yang mempunyai
perbedaan tertentu dengan ajaran yang umum tapi belum keluar dari ajaran umum itu.17
1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat yang
berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat- pendapat yang
berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang
telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan
metode ijtihad ulama-ulama ahli pemikiran (Ahlu al-Ra’yi).
Imam Abu Hanifah membatasi sumber-sumber hukumnya dan dalam
menetapkan suatu hukum didasarkan pada tujuh sumber secara berurutan, yaitu: al-
Qur’an, Sunnah Nabi, Fatwa Sahabat yang dibagi dua kelompok antara sahabat dari
empat khulafa’ ar-rasyidin dengan mengutamakannya dari yang lain dan sahabat
yang lainnya yang mempunyai keragaman ilmu dan keutamaan, ijma baik itu qauli
maupun sukuti, analogi atau qiyas, istihsan dan terakhir didasarkan pada urf atau
kebiasaan yang berlaku di antara masyarakat.18
Imam Abu Hanifah juga sering menggunakan istihsan ketika beliau sudah
tidak menemukan lagi nash dalam al-Qur’an dan Hadist ataupun ijma’. Maka dalam
mengistibatkan hukum, Abu Hanifah berpegang pada al- Qur’an dan sangat hati-
hati dalam menggunakan sunnah. Selain itu, beliau banyak menggunakan qiyas,
istihsan dan urf.19
17
Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, Juz I, (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 11-12.
18
Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh:Dari Fiqh al-Khulafa’ al- Rasyidin hingga Mazhab
Liberalisme, dalam Budhy Munawwar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995 ), h. 275.
19
Ibid.
8
2. Mazhab Maliki
Sumber hukum mazhab Maliki adalah: al-Qur’an, Sunnah, ijma ahli
Madinah (kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan atau
tidak diamalkan oleh para ulama Madinah), fatwa sahabat, qiyas, maslahah
mursalah, khabar ahad, istihsan, sadd al-zara’i, mura’at al-khilaf mujtahidin,
istishab dan syar’un manqablana.20 Amalan ahli Madinah adalah ciri khas dalam
mazhab Imam Malik di antara kalangan ulama fiqh. Imam Malik berpendapat
bahwa amalan ahli Madinah lebih kuat daripada khabar wahid yang sahih karena
amalan ahl Madinah sederajat dengan hadist, sedang riwayat jama’ah dalam hal ini
amalan ahl (penduduk) Madinah tentu lebih kuat daripada riwayat satu orang.21
Langkah penting yang ditawarkan oleh mazhab Malik dalam berijtihad
adalah penggunaan al-maslahah al-mursalah. Maslahah menurut bahasa berarti
kepentingan, kebaikan. Al-mursalah artinya bebas, tak terbatas dan tidak terikat.
Maka al-maslahah al-mursalah artinya kepentingan, kebaikan yang diperoleh
secara bebas. Teori ini diilhami oleh suatu pemahaman yang dikembangkan dari
syari’ah Islam yang bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan
kedamaian bagi kepentingan masyarakat dan mencegah kemudaratan. Menurut
Imam Malik, kepentingan bersama merupakan sasaran syari’at Islam dan semua
produk hukum memprioritaskan kepentingan bersama atas kepentingan lain.22
3. Mazhab Syafi’i
Sumber hukum yang menjadi pegangan mahab Syafi’i adalah: al-Qur’an,
sunnah, ijma, qiyas, istidlal. Dasar mazhab asy-Syafi’i didewankan dalam risalah
ushulnya dan beliau berpegang kepada bentuk teks al-Qur’an selama belum ada
dalil yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukanlah teksnya. Kemudian Sunnah
Rasul dengan mempertahankan hadist ahad selama perawinya dipercaya, kokoh
ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul dan tidak mensyaratkan selain
daripada itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadist dan menyamakan
Sunnah yang sahih dengan al-Qur’an. Selanjutnya dasar mazhabnya adalah ijma
20
Mani’ bin Hammad al-Jahni, Op. Cit., h. 118.
21
Muh. Zuhri, Op. Cit., h. 107.
22
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Op. Cit., h. 104-105.
9
selama ada keyakinan telah terjadi persesuaian paham segala ulama. Dan
dilanjutkan pada qiyas dengan penolakannya atas dasar istihsan dan istislah
kemudian istidlal.23
4. Mazhab Hanbali
Metode istidlal imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
nas dari al-Qur’an dan Sunnah, lalu beralih ke fatwa sahabat yang tidak ada
perselisihan di kalangan mereka, namun jika jika di antara fatwa sahabat ada
perselisihan maka diambilnya yang lebih dekat kepada nash al- Qur’an dan Sunnah
dengan cara memilih dari fatwa-fatwa tersebut yang ia pandang lebih dekat kepada
nash al-Qur’an dan Sunnah. Namun jika sudah kesulitan dan tidak ada, beliau
beralih ke hadist dhaif dan mursal karena imam Ahmad membagi dalam dua
kelompok yaitu shahih dan dha’if. Jika tidak terdapat atsar yang bisa
menjelaskannya dan memberikan pembelaan dan pendapat sahabat serta adanya
konsensus ulama atau ijma yang bertentangan maka mengamalkannya jauh lebih
baik daripada mendahulukan qiyas. Penggunaan qiyas dalam mazhab hanbali di
kala darurat saja, apabila beliau tidak mendapatkan hadist atau perkataan sahabat,
bahkan beliau tidak mau memberi fatwa dalam sesuatu masalah yang belum
diperoleh keterangan dari salaf.24 Terkadang imam Ahmad menggunakan al-
Mashalih al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah.
23
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Op. Cit., h. 107.
24
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan, 47-48.
10
furu’iyah, bukan ushuliyah, disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode
dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain.25
Perbedaan pendapat dalam hukum Islam (Ikhtilafatu al-fiqhiyah) bagaikan buah
yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah, bukan buah yang
berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah al-Qur’an dan
Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan ‘aqli, sedangkan buahnya adalah
hukum Islam (fiqh) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlah.
Perbedaan pendapat adalah suatu hal yang sudah sering terjadi, karena fitrah
manusia yang sesungguhnya. Dalam perkembangan hukum Islam, Ikhtilaf (perbedaan
pendapat) mengenai penetapan hukum sudah terjadi sejak kalangan para sahabat Nabi saw.
Ketika Rasul masih hidup, perbedaan pendapat segera dapat dipertemukan dengan
mengembalikan kepada Rasulullah saw. Tetapi ketika kalangan sahabat setelah Rasul
wafat sering timbul perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah
tertentu. Pernyataan tersebut sesuai dengan QS. Hud ayat 118-119:
َ ََ َ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ َ ٰ َ َ ُّ َ َ َّ ْ َ َّ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ َّ َُّ َ َّ َ َ َ َ َ ُّ َ َ َ ْ َ َ
ُۗوتَّمت ك ِل َمة َر ِبك لا ْملـَّن
احدة ولا يزالون مخت ِل ِفينَۙ ِالا من ر ِحم ربكُۗولِذ ِلك خلقهم
ِ ولو شاۤء ربك لجعل الناس امة و
َ ْ َ َّ َ َّ ْ َ َ َّ َ َ
اس اج َم ِع ْين
ِ الجن ِة و
الن ِ جهنم ِمن
118. Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi
mereka senantiasa berselisih (pendapat),
119. kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan
mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka
Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, berbagai mazhab itu terbentuk karena
adanya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah ushul maupun furu‘ sebagai dampak adanya
berbagai diskusi (munazharat) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode
25
QS. Hud (11) : 118-119.
11
penggalian (thariqah al-istinbath), sedangkan furu‘ terkait dengan hukum-hukum syariat
yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.26
Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama adanya perbedaan dalam
ketetapan hukum di kalangan imam mazhab meliputi;
(1) Interpretasi makna kata dan susunan gramatikal;
(2) Riwayat hadith, (keberadaannya, kesahihannya, syarat-syarat penerimaan, dan
interpretasi atas teks hadith yang berbeda);
(3) Diakuinya penggunaan prinsip-prinsip tertentu (ijma’, tradisi, istihsan, dan pendapat
sahabat;
(4) Metode-metode qiyas.27
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan penetapan hukum
tersebut berpangkal pada tiga persoalan; (1). Perbedaan mengenai penetapan sebagian
sumber-sumber hukum (sikap dan cara berpegang pada sunah, standar periwayatan,
fatwa sahabat, dan qiyas); (2). Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum
dari tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu) dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-prinsip
bahasa dalam memahami nash-nash syari’at ( ushlub bahasa).28
Adapun Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga hal penyebab terjadinya
ikhtilaf mazhab; (1),Berkaitan dengan sumber hukum; (2). Berkaitan dengan metode
ijtihad (teori tahsin wa taqbih,tema kebahasaan) dan; (3). Adat Istiadat.29
Berikut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan metode penetapan penggalian
hukum (thariqah al-istinbath) di kalangan Imam mujtahid, sebagai konklusi dari
berbagai macam pembagian menurut pendapat tokoh diatas. Dimana bisa disimpulkan
secara garis besar meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam);
Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash dan;
Ketiga: perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.
26
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah Juz I, (Beirut: Darul Ummah, 1994), 386.
27
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan
Kontribusi, terj.M.Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia, 2005), 125.
28
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam, terj. Wajidi Sayadi, ( Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2002), 92.
29
Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam lintasan sejarah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996), 73.
12
Mahmud Syaltut mengungkapkan bahwa, ikhtilaf di kalangan para ulama terjadi
disebabkan oleh beberapa sebab yang sulit dihindari, yaitu:
a. al-Quran terdapat lafad-lafad yang memiliki arti ganda (musytarak)
Kata musytarak ialah kata-kata yang mempunyai makna rangkap (multi
makna). Contoh kata musytarak yang menimbulkan perbedaan pendapat ialah kata-kata
quru’ pada QS. Al-Baqarah ayat 228:
ُ ََ َٰ َُْ ْ َ َ ُ ٰ َّ َ ْ
... َُۗوال ُمطلقت َيترَّبص َن ِبانف ِس ِهَّن ثلثة ق ُر ْ ۤو ٍء
13
e. Berbeda dalil yang digunakannya, seperti istihsan, maslahah mursalah, qaul sahabat,
‘uruf, dan lain-lain
f. Perbedaan kapasitas intelektual masing-masing ulama30
30
Mahmud Syaltut dan M. Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab, (Bulan Bintang, Jakarta, 1996), h. 16-17
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara bahasa, Fiqih berasal dari kalimat “Faqaha”, yang bermakna paham secara
mutlak, tanpa memandang kadar pemahaman yang dihasilkan. Kata Fiqih secara arti kata
berarti “paham yang mendalam”. Fiqih menurut istilah artinya pengetahuan, pemahaman
dan kecakapan tentang sesuatu biasanya tentang ilmu agama Islam karena kemuliaannya.
Berdasarkan pengertian menurut bahasa inilah bahwa istilah Fiqih berarti memahami dan
mengetahui wahyu (baik al-Qur’an maupun al-Sunnah) dengan menggunakan penalaran
akal dan metode tertentu sehingga diketahui bahwa ketentuan hukum dari mukallaf (subjek
hukum) dengan sumber hukum (dalil-dalil) yang rinci. Menurut istilah, Fiqih mempunyai
dua pengertian, pertama, Fiqih ialah Pengetahuan (mengetahui) hukum-hukum syara’
tentang perbuatan beserta dalildalinya. Fiqih adalah “Kumpulan (kodifikasi) hukum-
hukum perbuatan yang disyari’atkan dalam Islam.” Perbedaaan Ushul Fiqih dengan
Qawa’id Fiqhiyyah adalah :
1. Ushul fiqih adalah ilmu yang berfungsi untuk mengambil suatu hukum dengan dalil-
dalil yang ada (fokusnya dalil dan hukum)
Qawa’id Fiqhiyyah : Titik penekanannya adalah Fi’lul mukallaf (perbuatan seorang
hamba)
2. Ushul Fiqih adalah ilmu yang mengantarkan seseorang untuk bisa mengambil suatu
hukum dari dalil-dalil yang ada.
Qawa’id Fiqhiyyah merupakan suatu qo’idah yang dijadikan sebagai rujukan dalam
sekian permasalahan, yang mana tujuan dari qo’idah fiqhiyyah ini untuk mendekatkan
sekian permasalahan fiqih dan memudahkannya.
3. Ushul fiqih adalah sautu ilmu untuk mengambil istibath-istinbath hukum dalam
permasalahan tertentu. Qo’idah nya sudah ada, kemudian dari qa’idah itu dijadikan
sebagai patokan hukum terhadap permasalahan yang ada.
Qawa’id fiqhiyyah keberadaannya setelah adanya permasalahan fiqhiyyah yang cukup
banyak. Gambarannya berbeda-beda namun terkadang ‘illah (inti permasalahannya)
sama, barulah setelah itu dibuat suatu qa’idah yang bisa mewakili permasalahan-
permasalahan tersebut, ataupun permasalahan-permasalahan yang muncul dikemudian
15
hari dengan sebab yang sama.Macam-macam mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab
Maliki, Mazhab Syafi’I, dan Mazhab Hanbali. Faktor-Faktor Penyebab Ikhtilaf
dalam Fiqih :Pertama: perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam);
Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash dan; Ketiga: perbedaan dalam sebagian
kaidah kebahasaan untuk memahami nash.
16
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Syaifudin. 2011. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakar, Alyasa Abu. 1998. Ahli Waris Sepertalian Darah. Jakarta; INIS.
Koto, Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ibid.
Munawwir, Ahmad Warson . 1983. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Ponpes al-Munawwur
Krafyak.
Facthurrahman, Muktar Yahya 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami. Bandung: Al
Ma’arif.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh.
Mu’jam al-lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wajid, t.tp. Wuzarah al Tarbiyah wa al-‘Ta’lim.
Manzur, Ibnu. Lisan al-‘Arab. Dar al-Ma’arif.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Arab-Indonesia al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progresif.
Abdullah, M. Husain . 1995. Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
Nasional, Departemen Pendidikan . 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’I, al-Umm. 1993. Juz I. Beirut; Dar al-Fikr.
Rahmat, Jahaluddin. 1995. Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh al-Khulafa’ al-Rasyidin
hingga Mazhab Liberalisme, dalam Budhy Munawwar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Mani’ bin Hammad al-Jahni
Muh. Zuhri.
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan.
QS. Hud (11) : 118-119
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah. 1994. Juz I Beirut: Darul Ummah.
Abu Ameenah Bilal Philips. 2005. Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas
Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, terj.M.Fauzi Arifin. Bandung: Nusamedia.
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam, terj.
Wajidi Sayadi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
17
Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam dalam lintasan sejarah. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Mahmud Syaltut dan M. Ali al-Sayis. 1996. Perbandingan Mazhab. Bulan Bintang, Jakarta.
18