Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEMAHAMAN MENGENAI FIQIH

DISUSUN OLEH
NUR ZAKIYATUN NUFUS

KELAS : XII IPA 2

GURU:
USTAD MISBAHUL MUNIR
PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH 06 SERPONG
Tahun ajaran 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami karunia
nikmat dan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat
menimba ilmu di ponpes asshiddiqiyah.

Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari ust misbahul munir mengenai tentang
ilmu fiqih. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan pada siswa yang sedang dipelajari, agar kami semua menjadi siswa yang
berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik dan saran
yang sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi saya
sendiri umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih, wassalamu’ alaikum.

Tangerang, 27 Desember 2023

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4

I. Latar Belakang.............................................................................................................4

II. Rumusan Masalah.......................................................................................................5

III. Tujuan.........................................................................................................................5

BAB II.......................................................................................................................................6

PEMBAHASAN.......................................................................................................................6

I. SEJARAH TENTANG ILMU FIQIH & USHUL FIQH............................................................6


 Pengertian Fiqih..............................................................................................................6
 Pengertian Ushul Fiqih....................................................................................................6

II. PERBEDAAN FIQIH DAN USHUL FIQIH..........................................................................7

III. PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM.....................................................8

IV. HUKUM MENIKAH.......................................................................................................9

V. SUMBER HUKUM ISLAM............................................................................................12


 Sumber Hukum Islam...................................................................................................12

BAB III....................................................................................................................................15

PENUTUP...............................................................................................................................15

I. KESIMPULAN.............................................................................................................15

II. SARAN.......................................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis
dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih
merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang
merupakan pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam
lingkup sekolah, akan membentuk pribadi yang mandiri, bertanggung jawab,
dan memiliki budi pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan peserta didik
dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman
modern sekarang semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan
kajian fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu
dan hukum Islam untuk menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar.1
Tujuan pembelajaran Fiqih adalah untuk membekali peserta didik agar dapat
mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan
menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan dalil aqli melaksanakan dan
mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar.2 Fiqih merupakan sebuah
cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,logis dan memiliki obyek dan
kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati
dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-
ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk
pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Sehingga memudahkan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman modern sekarang semakin banyak
masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian fiqih dan syari’at. Oleh
karena itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk
menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar. Dengan adanya fakta tersebut,
guru harus mencoba mengunakan model pembelajaran kooperatif model TGT
karena tidak hanya membuat peserta didik yang cerdas (berkemampuan
akademis tinggi) lebih menonjol dalam pembelajaran, tetapi peserta didik yang
berkemampuan akademik lebih rendah juga ikut aktif belajar.

II. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemahaman tentang Sejarah fiqih ?
2. Apa hukum pernikahan dalam islam ?
3. Bagaimana hukum islam di Indonesia saat ini ?;

III. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Sejarah tentang ilmu fiqih
2. Untuk memahami mengenai fiqih sebagai sumber hukum islam
3. Untuk memahami hukum pernikahan dalam islam
BAB II

PEMBAHASAN

I. SEJARAH TENTANG ILMU FIQIH & USHUL FIQH

 Pengertian Fiqih
Fiqh (‫( فقه‬secara bahasa artinya pemahaman yang benar tentang apa yang
diharapkan. Hadis berikut menggunakan kata fikih sesuai makna bahasanya
“Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah faqihkan dia
terhadap agama. Aku hanyalah yang membagi-bagikan sedang Allah yang
memberi. Dan senantiasa umat ini akan tegak di atas perintah Allah, mereka
tidak akan celaka karena adanya orang-orang yang menyelisihi mereka hingga
datang keputusan Allah.”( HR Bukhari ). Fiqh adalah mashdar dari bab ‫َهيفقَ قِه ف‬
faqiha - yafqahu, yang berarti "paham". faquha (dengan qaf berharakat
dhammah) artinya fiqh menjadi sifat alaminya. faqaha (dengan fathah) artinya
lebih dulu paham dari yang lain. Secara pengetahuan “‫معرفة باألحكام الشرعية العملية‬
‫يلية‬WWW‫ بأدلتها التفص‬artinya fikih ,istilah tentang hukum-hukum syariat praktis
berdasarkan dalil-dalil rincinya.” Yang dimaksud ‫ ”معرفة‬pengetahuan” mencakup
ilmu pasti dan dugaan. Hukum-hukum syariat ada yang diketahui secara pasti
dari dalil yang meyakinkan dan ada yang diketahui secara dugaan. Masalah-
masalah ijtihad yang menjadi bahan perbedaan pendapat di kalangan ulama
adalah masalah dugaan karena jika diketahui secara yakin, maka pasti tidak ada
perbedaan pendapat.

 Pengertian Ushul Fiqih


Ushul Fiqih adalah kumpulan dari beberapa kaidah dan pembahasannya
digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara yang berhubungan dengan
perbuatan manusia. Pengertian Ushul Fiqih terdiri dari dua kata "ushul/ashl" dan
"fiqh". Kata ashl menurut kidah atau ketentuan yang berlaku dan fiqh ilmu
tentang hukum-hukum syara'. Ushul fikih mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori
dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam
yang diambil dari sumbersumber tersebut. Mekanisme pengambilan hukum
harus berdasarkan sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Sumber-
sumber hukum terbagi menjadi 2: sumber primer dan sumber sekunder. Al- quran
dan sunnah merupakan sumber primer. Hukum-hukum yang diambil langsung
dari Al-quran dan Sunnah sudah tidak bertambah dan disebut sebagai syariah.
Adapun sumber hukum sekunder yaitu ijmak, qiyas, dan sumber hukum lain.
Hukum-hukum yang diambil dari sumber sekunder disebut fikih. Ijmak dan
qiyas merupakan sumber hukum yang disepakati oleh empat mazhab fikih:
Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Sumber hukum lain seperti kebiasaan
masyarakat, perkataan sahabat, dan istihsan diperselisihkan kevalidannya di
antara mazhab-mazhab yang ada. Tujuan ushul fiqih adalah menerapakan kaidah-
kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum
syara'nya. Sehingga, kaidah dan pembahasannya dapat difahami dengan nash-
nash syara' dan dengan hukum-hukum yang dikandungnya, juga dapat diketahui
sesuatu yang dapat memperjelas kesamaran dari nash-nash tersebut dan nash
mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara sebagian nash dengan
yang lain.

II. PERBEDAAN FIQIH DAN USHUL FIQIH


Sebagaimana dalam pembahasan tentang definisi Ushul Fiqh di atas, terdapat
perbedaan makna etimologi antara kata ‘ushul’ dan kata ‘fiqh’. Perbedaan lebih
konkrit dalam makna terminologinya dapat dipaparkan sebagai berikut :
a. Ilmu Ushul Fiqh merupakan dasar-dasar bagi usaha istinbath hukum, yakni
menggali hukum-hukum dari sumber-sumbernya. Oleh itu, setiap mujtahid wajib
mengetahui betul-betul ilmu Ushul Fiqh. Ini tak lain karena tujuan ilmu ini
adalah untuk mengimplementasikan kaedah-kaedah Ushul Fiqh terhadap dalil-
dalil terperinci yang mengandung hukum-hukum cabang di dalamnya. Dengan
demikian, kajian Ushul Fiqh sesungguhnya terfokus pada kompetensi orang-
orang tertentu saja kerana tidak semua orang dapat mengkaji serta
mengimplementasikannya.Hal ini berbeda dengan kajian ilmu fiqh.
Jika ilmu Ushul Fiqh mesti diketahui oleh seseorang mujtahid, maka ilmu
fiqh harus dipahami oleh mukallaf (orang-orang yang dikenakan beban hukum)
secara keseluruhan. Ini karena ilmu fiqh merupakan kajian tentang ketentuan
hukum bagi setiap perbuatan manusia. Dengan ketentuan hukum inilah beragam
perdebatan dan persengketaan di kalangan masyarakat dapat dielakkan.
b. Pembahasan Ushul Fiqh berkenaan dengan dalil-dalil syar‘i yang bersifat
global (‫(كلي‬. Ia bertujuan untuk membuat rumusan kaedah-kaedah yang
mempunyai fungsi memudahkan pemahaman terhadap hukum-hukum beserta
sumber-sumber dalilnya secara terperinci. Sebagai contohnya adalah beberapa
kajian seperti berikut :
1) Kajian tentang kedudukan dan tingkatan dalil, baik dalil tersebut mempunyai
taraf qath’i (hanya mempunyai satu interpretasi) ataupun dhanni (multi-
interpretasi).
2) Kajian tentang indikasi hukum lafadz perintah (‫( األمر‬dan lafadz larangan (‫النهي‬
( baik dalam al-Qur’an ataupun al-Hadits.
Dalam kaitan ini kajian Ushul Fiqh menemukan rumusan bahwa lafadz
perintah menunjukkan hukum wajib sedangkan kata larangan menunjukkan
hukum haram sejauh tidak ada indikasi (‫( قرينة‬yang menyatakan sebaliknya. Oleh
itu, kajian ini kemudiannya dapat melahirkan kaedah Ushul Fiqh sebagai
berikut :
‫د ل على‬W‫ل في النهي ي‬W‫وب واألص‬W‫د ل على الوج‬W‫ر ي‬W‫ل في األم‬W‫األ ص‬
‫التحريم‬
“Hukum asal daripada perintah adalah wajib sedangkan hukum asal
daripada larangan adalah haram”.
3) Kajian tentang lafadz-lafadz ‘am atau lafadz-lafadz khas baik dalam al-Qur’an
maupun al-Hadith. Kajian tentang hal ini kemudian melahirkan kaedah Ushul
Fiqh:
‫الم‬WWW‫راده م‬WWW‫ع أف‬WWW‫اول جمي‬WWW‫ام يتن‬WWW‫الع‬
‫يخصص‬
“Lafadz am itu meliputi semua unit-unit di bawahnya sejauh tidak
dikhususkan [ditakhsis] oleh lafadz lain”.
Sedangkan pembahasan dalam fiqh tidaklah demikian. Pembahasan ilmu
fiqh adalah berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Apakah perbuatan mukallaf itu
dihukumi halal atau haram Apakah perbuatan mukallaf itu sah atau batal? Dalam
menentukan aspek hukum perbuatan mukallaf tersebut digunakan dalil-dalil
terperinci (‫( )تفصيلي‬berdasarkan pada kaedah-kaedah Ushul Fiqh yang bersifat
umum dan global (‫)إجمالي‬.

III. PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM


Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluknya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ini adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt. sebagai jalan bagi makhluknya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Kata nikah berasal dari bahasa Arab ‫ كاَح ن‬yang merupakan masdar atau asal
dari kata kerja ‫ نكح‬sinonimnya ‫ تزوج‬kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan pernikahan. Menurut bahasa, kata nikah berarti adhdhammu
wattadaakhul (bertindih atau memasukan). Dalam kitab lain, kata nikah
diaritikan dengan ad-dhammu wa aljam’u (bertindih atau berkumpul)
Menurut Rahmat Hakim, penggunaan kata nikah atau kawin mengandung
dua maksud. Konotasinya tergantung pada arah kata itu dimaksudkan (syiaq al-
kalam). Ucapan nakaha fulanun fulanah (Fulan telah mengawini fulanah).
artinya adalah melakukan akad nikah. Akan tetapi bila kalimatnya adalah
nahaka fulanun zaujatuha (Fulan telah mengawini Fulanah), artinya melakukan
hubungan seksual.
Menurut istilah ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang
mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafaz
nikah atau tazwij. Nikah atau zima’ sesuai dengan lafaz linguistiknya, berasal
dari kata “al-wath” yaitu bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang
mengandung pembolehan untuk berhubungan seks dengan lafaz an-nikah atau
at-tazwij, artinya bersetubuh dengan pengartian menikahi perempuan makna
hakikatnya menggauli istri dan kata “munakahat” diartikan saling menggauli.

IV. HUKUM MENIKAH


Hukum Nikah (pernikahan) adalah hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis,
dan hak juga keajiban yang berhibungan dengan akibat pernikahan tersebut.
Pernikahan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Pernikahan dilakukan
oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut para
sarjana ilmu alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua
pasangan, misalnya air yang kita minum terdiri dati nitrogen dan hydrogen,
listrik ada positif dan negatifnya. Apa yang telah dinyatakan oleh para sarjana
ilmu alam tersebut adalah sesuai dengan pernyataan Allah dalam AlQuran.
Firman Allah SWT. QS. Al-Dzariat : (49) yang berbunyi :

‫۝‬٤ ‫َوِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخ َلْقَنا َز ْو َج ْيِن َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُرْو َن‬

Artinya: “ Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasangpasangan supaya


kamu mengingat kebesaran Allah”. 13 Pernikahan yang merupakan sunnatullah
pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Oleh
karena itu, imam Izzudin Abdussalam membagi maslahat menjadi tiga bagian,
yaitu:14 1. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt bagi hambaNya. Maslahat
wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama)
dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat
yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mufsadah
paling buruk, dan dapat mendatangkan kemaslahatan yang paling besar. 2.
Maslahat yang disunahkan oleh syar’i kepada hambanya demi untuk kebaikan,
tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib
paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan sampai pada
tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah. 3. Maslahat
mubah. Bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai
maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzudin berkata: “Maslahat
mubah dapat dirasakan secara langsung. Sebagian di antaranya lebih bermanfaat
dan lebih besar kemaslahatannya dari sebagian yang lain. Maslahat mubah ini
tidak berpahala”

Asal hukum melakukan perkwinan itu menurut pendapat sebagian besar


para fuqoha (para sarjana Islam) adalah mubah atau ibadah (halal dan
dibolehkan). Dengan demikian, dapat diketahui secara jelas tingkatan maslahat
taklif perintah (thalabal fiil) taklif takhir, dan taqlif larangan (thalabal kaff).
Dalam taqlif larangan, kemaslahatanya adalah menolak kemafsadatan dan
mencegah kemudharatan. Di sini perbedaan tingkat larangan sesuai dengan
kadar kemampuan merusak dan dampak negatif yang ditimbulkan. Kerusakan
yang ditimbulkan perkara haram tentu lebih besar dibandingkan kerusakan pada
perkara makruh. Oleh karena itu, meskipun pernikahan itu asalnya adalah
mubah, namun dapat merubah menurut ahkamal-khasanah (hukum yang lima)
menurut perubahan keadaan, yaitu:
 Nikah wajib, nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan
menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan
menjaga jiwa dan menyelamatkan dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak
akan dapat terlaksana kecuali dengan nikah.
 Nikah haram, nikah diharamkan bagi orang yang tau bahwa dirinya tidak
mampu melaksanakanya hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir
seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti
mencampuri istri.16 dan atau bila seorang pria atau wanita tidak bermaksud
akan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri atau pria ingin
menganiaya wanita atau sebaliknya pria/wanita ingin memperolok-olokan
pasangannya saja maka haramlah yang bersangkutan itu menikah.
 Nikah Sunnah, nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu
tetapi masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal
seperti ini.
nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh
Islam.
 Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan
dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, belum wajib nikah dan
tidak haram bila tidak menikah.
Dari uraian di atas menggambarkan bahwa dasar pernikahan menurut Islam,
pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, dan mubah tergantung
dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.
Hubungan suami istri sebagai suatu keluarga merupakan dasar pembentukan
kelompok dalam masyarakat, akhirnya membentuk bangsa dan Negara. Oleh
karena itu hubungan suami istri itu harus langgeng, penuh kebahagiaan lahir
batin, kebahagiaan rohani dan jasmani baik moral, maupun spiritual, dilandasi
dengan makruf, sakinah, mawadah dan warahmah.
Makruf artinya pergaulan suami istri harus saling menghormati, saling
menjaga rahasia masing-masing. Sang suami sebagai top figur, sebagai
nahkoda, ibarat kapten kapal yang memimpin pelayaran, mengarungi samudra
yang luas, untuk mencapai pulau idaman penuh dengan godaan gelombang dan
tiupan angin badai yang maha dahsyat, harus menenangkan gejolak jiwa, baik
seluruh penumpang maupun kru. Menjaga hubungan yang harmonis baik antara
suami istri, maupun hubungan dengan anak-anak. Sakinah adalah penjabaran
lebih lanjut dari makruf, yaitu agar suasana kehidupan dalam rumah tangga itu
terdapat keadaan yang aman dan tenteram.

V. SUMBER HUKUM ISLAM


Apa pengertian hukum islam ? Apa saja sumber hukum islam ? Buat kamu
yang lagi belajar memperdalam ilmu agama islam, sangat penting untuk tahu
apa itu hukum islam? Darimana sumber hukum dalam ajaran agama islam?
Bagaimana cara islam memutuskan atau membuat peraturan antar sesama
umat ?
Pengertian hukum islam adalah jalan yang ditempuh manusia untuk menuju
jalan Allah, Tuhan semesta alam. Hukum islam atau syariat islam adalah segala
macam hukum atau peraturan yang tujuannya mengatur segala urusan umat
islam dalam menangani perkara dunia dan akhirat.
Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam Kisyaaf Ishthilaahaat al-
Funun pengertian hukum islam atau syariat islam adalah mencakup seluruh
ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan bidang
kemasyarakatan (muamallah).
Syariat islam atau yang lebih sering disebut sebagai syariah merupakan
berbagai macam aturan yang ditetapkan oleh Allah dalam mengatur hubungan
mahluk dengan Tuhannya dan saudara sesama muslim, sesama manusia, mahluk
hidup, dan alam. Peraturan dalam hukum islam diambil dari berbagai sumber
yang jika ditelusuri lebih lanjut akan berakhir pada Allah.
 Sumber Hukum Islam
Ada 3 sumber hukum islam, yaitu Al Quran, Hadits, dan Ijtihad.
Ketiganya saling berkaitan satu sama lain dan tidak ada yang berbeda
pandangan dalam menanggapi suatu permasalahan. Sumber hukum utama
dalam hukum islam adalah Al Quran. Berikut ini rincian sumber hukum
islam:
1. Al Quran
Selain berisi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al Quran juga berisi
peraturan atau hukum dari Allah sang pencipta kehidupan. Nabi Muhammad
diutus untuk menyampaikan Al Quran kepada seluruh umat manusia hingga
kiamat tiba. Al Quran dijadikan sumber hukum pertama atau awal. Setiap
hukum atau peraturan yang dibuat harus berdasarkan Al Quran dan tidak
boleh saling bertentangan. Seiring berkembangnya jaman, tafsiran Al Quran
sudah banyak beredar sehingga memudahkan orang awam untuk mendalami
dan menerapkan hukum islam.
2. Hadits Shahih
Acuan kedua dalam hukum islam adalah hadits. Berbeda dengan Al
Quran, hadits berisi tentang penjelasan rinci mengenai hukum islam yang
ada di Al Quran, tata cara beribadah, aturan dalam melaksanakan ibadah,
dan ucapan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang dijadikan
sumber hukum. Contoh perbedaan antara hukum dalam Al Quran dan hadits
adalah sebagai berikut:
Di dalam Al Quran kita diperintahkan untuk shalat (QS. Al Baqarah ayat
43). Lalu penjelasan cara shalat, berapa kali shalat, dan kapan waktu untuk
shalat dijelaskan melalui hadits. Jadi dalam prakteknya, hadits digunakan
untuk menjelaskan dan menegaskan hukum yang sudah ditulis Allah di kitab
suci Al Quran.
Dalam meriwayatkan hadits yang disampaikan oleh banyak periwayat
haruslah dilakukan oleh ulama dengan ilmu fiqih tinggi dan dipercaya umat.
Jika ada salah satu riwayat hadits yang cacat misalnya jika adalah salah satu
periwayat yang ketahuan memiliki sifat buruk (sering berbohong) atau suka
lupa maka derajat kebenaran (shahih) hadits bisa ikut ternoda. Berikut ini
empat derajat keaslian hadits.
 Shahih
 Hasan
 Daif (lemah)
 Maudu’ (palsu).
Perbedaan hadits Shahih dan hasan terletak pada ke-dhabithan-nya. Jika
hadits Shahih tingkat dhabith-nya tinggi, maka hadits hasan tingkat ke-
dhabithan-nya ada dibawahnya. Contoh hadits Hasan adalah seperti hadits
yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin al-Qamah, dari Salamah,
dari Abu Hurairah. Dalam hadits ini, hadits dikategorikan hasan karena
Muhammad bin Amr bin al-Qamah dikenal punya kemampuan menghafal
yang tidak luar biasa. Dalam menentukan hukum islam, hadits yang paling
dijadikan acuan adalah hadits shahih dan hasan.
3. Ijtihad
Ijtihad adalah usaha para ulama untuk menentukan hukum suatu perkara
baru dengan mengacu pada Al Quran dan hadits. Ijtihad adalah usaha ulama
untuk menentukan hukum setelah Nabi Muhammad wafat sehingga tidak
ada lagi yang bisa ditanyakan pendapatnya. Karena bersumber dari Al
Quran dan Hadits maka dari itu Ijtihad ulama harus melampirkan ayat dalam
Al Quran dan hadits ketika ingin memutuskan suatu peraturan. Ada 4 jenis
Ijtihad, yaitu:
 Ijma, hukum sesuai kesepatakan para ulama
 Qiyas, hukum yang mirip dengan hukum lain yang jelas hukumnya
 Maslahah, hukum untuk mencapai kemaslahatan umat
 Urf, hukum yang sesuai kebiasaan.
Ijtihad adalah langkah para ulama besar untuk menentukan hukum suatu
hal baru yang belum pernah ada di jaman Nabi Muhammad dan tidak
tertulis di Al Quran. Oleh karena itu, dalam menentukan suatu keputusan,
Ijtihad harus berdasarkan pada Al Quran dan hadits dan dilihat baik atau
buruknya suatu hal kepada umat muslim lainnya. Salah satu bentuk ijtihad
ulama adalah pengharaman rokok oleh sebagian besar ulama setelah
ditemukan kandungan racun pada rokok yang bisa menggangu kesehatan
perokok dan orang di sekitarnya. Baca lebih lanjut Hukum Merokok dalam
Islam.
BAB III

PENUTUP

I. KESIMPULAN
Ilmu fikih merupakan sebuah disiplin keilmuan yang berkaitan dengan
hukum-hukum syariat yang digali dari sumber-sumbernya. Sumber-sumber
tersebut terdiri dari beberapa hal, namun yang paling fundamental dan utama
adalah al-Qur’an itu sendiri. Sedangkan dari berbagai sumber hukum tersebut,
setidaknya ada lima hukum yang biasanya dihasilkan. Lima hukum tersebut
terdiri dari wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Hukum-hukum inilah
yang kemudian disebut dengan hukum takli>fi>.1 Pada koteks QS. al-Nūr [24]:
32, yang di dalamnya terdapat sebuah disimpulkan dapat maka ,]‫َو َأْنِك ُحْو ا اْألَ َیاَم ى‬
‫ ] ِم ْنُك ْم‬berbunyi yaitu ,)amr-al (perintah bahwa: 1. Perintah untuk menikahkan al-
aya>ma> pada ayat tersebut bermakna wajib. Karena, sebagaimana menurut
kaidah dasar, tidak ada illat yang bisa memalingkan maknanya dari wajib.
Kewajiban di sini tidak bermakna bahwa para wali memiliki otoritas untuk
memaksa orang-orang yang berada dalam pengayomannya untuk menikah,
tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Qutb, para wali memastikan bantuan
untuk membantu mereka yang ingin menikah dan ingin menjaga kesucian diri.
Kewajiban ini merupakan kewajiban yang berkaitan dengan kemampuan.
Karena itu, pada konteks ini berlaku sebuah kaidah [ ‫وب‬WW‫ق الوج‬WW‫تطاعة یتعل‬WW‫باالس‬
berkaitan yang kewajiban “yaitu ,]‫رورة‬W‫ع الض‬WW‫ وال محرم م‬،‫ فال واجب مع العجز‬dengan
kemampuan, maka menjadi tidak wajib dalam kondisi keterbatasan (lemah), dan
juga tidak terlarang untuk dilakukan ketika darurat. 2. Adapun implementasi
atau bentuk implementasi serta manifestasi perintah menikahkan al-aya>ma>
pada QS. al-Nūr [24]: 32 tersebut dipahami sebagai perintah untuk
mengkondisikan pernikahan bagi orang-orang yang tidak memiliki pasangan
hidup. Berdasarkan teori dila>lat al-nass, yaitu menemukan makna substantif
(ru>h) atau yang analog (ma’qu>l) dengan sebuah teks, yang mekanismenya
adalah terkait dengan kesamaan illah (sebab hukum), maka di antaranya sebagai
berikut; a. Sulitnya menemukan jodoh. Jika kesulitan seseorang untuk menikah
adalah sulitnya menemukan jodoh, maka perintah pada QS. al-Nūr [24]: 32
tersebut dipahami sebagai perintah untuk membantu mereka untuk menemukan
jodohnya. b. Biaya terlalu tinggi. Biaya disini bisa berkaitan dengan banyak hal,
seperti mahar atau hal-hal yang berkaitn dengan budaya lokal tertentu, seperti
uang hantaran atau panaik yang sangat besar, sehingga menjadi kendala bagi
para pemuda untuk menikah. Maka pada konteks ini, perintah pada QS. al-Nūr
[24]: 32 tersebut dipahami sebagai perintah untuk membayarkan biaya mahar,
hantaran, panaik, dan sebagainya, atau mengecilkan jumlahnya sehingga tidak
lagi menjadi kendala bagi terjadinya pernikahan. c. Kurangnya perhatian orang
tua terhadap perkembangan anaknya. Orang tua terkadang tidak antisiatif
sekaligus tidak sensitif terhadap perkembangan kedewasaan anaknya.
Terkadang, hal ini membuat seorang anak menjadi malu untuk megutarakan
keinginannya untuk menikah. Maka pada konteks ini, perintah pada QS. al-Nūr
[24]: 32 tersebut dipahami sebagai perintah kepada orang tua agar antisipatif
dan sensitif terhadap perkembangan kehidupan anaknya. Bentuk lain misalnya,
orang tua tidak terlalu memaksakan pilihannya terhadap anaknya. d. Serta
kendala-kendala lainnya.

II. SARAN
Dengan penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan
gagasan dalam kajian hukum Islam, khususnya terkait dengan hukum
menikahkan al-aya>ma> dalam perspektif hukum Islam. Tema pokok penelitian
ini merupakan sebuah kajian yang masih terbilang langka dibicarakan dan
disosialisasikan di realitas umat Islam, meskipun ternyata sudah cukup banyak
dibahas dalam literatur-literatur. Meskipun demikian, penulis menemukan
pembahasan tersebut masih didominasi oleh tafsir-tafsir klasik, sedangkan
buku-buku khusus dalam disiplin ilmu fikih, bisa dikatakan masih sangat sedikit
untuk tidak mengatakannya belum ada sama sekali. Karena itulah, penelitian
terhadap persoalan ini sangat membutuhkan kajian atau penelitian lebih lanjut
sebagai upaya untuk pengembangannya.

DAFTAR PUSAKA

Muhammad Rafa’i, Ilmu Fiqih Lengkap (Semarang : CV Toha Putra, 1978) Fauzan
Shalaih bin Fauzan, al Mulakkhash (Jakarta : Pustaka Azzam) Hhtp : Nurannbawiy.
Menurut Pendapat Jamhur Ulama Wordpress. Com Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
(Jakarta : Pustaka Azzam) 2006. jilid I. Shalaih Fauzan,Ringkasan Fikih Syaikh Fauzan,
Khusus Fikih Ibadah. Jakarta : Pustaka Azzam, 2006 Jilid Ke III. Muhali, Ahmad Mujab,
Hadist-hadist Riwayat Asy-Syafi’i, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2003 SabiqSayyid, Fikih
Sunnah (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011), jid I. Al MalibariZainuddin, Fathul Mu’in,
(Beirut: Dar al Fikr), juz I. Muhammad bin’ AbdurrahmanSyaikh Al-Alamah, Fikih Empat
Mazhab, Dimasyqi, 2001. Ahmad FaridSyaikh, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerj. Masturi
Irham, Asmu’i Taman, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), Cet. Ke-1.
YanggoTahidoHuzaimah, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos, 1997), Cet.
Ke-I. M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996),
Cet. Ke-2. Asy-Shiddeqy Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang ; Pustaka
Rizki Putra, 1997), Cet Ke-I. DahlanAbdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeven, 1970), Cet. Ke-I, Jilid 4. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), Jilid 3, Cet. Ke-4. Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : 1981)

Anda mungkin juga menyukai