Anda di halaman 1dari 27

KAIDAH KAIDAH FIQIH.

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah

Fiqih

Oleh:

Kelompok 7

Razwa Suha Nabila

Reka Yulianingsih

Reyhan Rijaldi Febriyana

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat

pada waktunya. Penulisan makalah ini yang berjudul “Kaidah kaidah

fiqih”.merupakan salah satu tugas terstruktur mata kuliah Fiqih Jurusan

Adminisrasi Publik Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu politik. Kami menyadari bahwa

dalam penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, arahan

dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada H. Wawan S. Abdillah, M.Ag selaku

dosen Fiqih yang mengarahkan penulisan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekeliruan,

kekurangan dan kesalahan. Untuk itu kami menerima kritik, saran dan petunjuk

yang bersifat membangun. Semoga makalah ini berguna bagi penulis, dosen,

mahasiswa lain dan para pembaca pada umumnya.

Bandung, 26 September 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1

B. Rumusan Masalah....................................................................... 1

C. Maksud dan Tujuan..................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. KAIDAH KAIDAH FIQIH

1. Pengertian Kaidah Fiqih........................................................ 3

2. Sejarah Kaidah Fiqih............................................................ 7

3. Sumber dan Paidah Kaidah Fiqih.......................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................. 23

B. Saran............................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 24

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu kebutuhan bagi agama

Islam. Banyak dari masyarakat yang kurang mengerti bahkan ada yang belum

mengerti itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, penulis mencoba untuk

menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqih, mulai dari pengertian, sejarah, contoh

kaidah kaidah fiqih.

Sebagaimana telah diketahui bahwa kewajiban dalam zaman

pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan masyarakat

yang diridhai Allah dengan menyebarkan fiqih Islam keseluruh bagian tanah air

Indonesia. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqih dapat

berdampak pada kerusakan bagi masyarakat Isam.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita mengetahui benang merah yang

menguasai fiqih, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah

fiqih, dan lebih bijaksana di dalam menerapkan fiqih dalam waktu dan tempat

yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.

Berdasarkan hal yang telah di uraikan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji

lebih dalam mengenai “Kaidah Fiqih”.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan masalah

sebagai berikut.

1. Bagaimana yang dimaksud Kaidah Fiqih.

2. Bagaimanas sejarah Kaidah Fiqih.

3. Bagaimana sumber dan paidah Kaidah Fiqih.

C. Maksud dan Tujuan

1. Untuk mengetahui yang dimaksud Kaidah Fiqih.

2. Untuk mengetahui sejarah Kaidah Fiqih.

3. Untuk mengetahui sumber dan paidah Kaidah Fiqih.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KAIDAH FIQIH

1. Pengertian Kaidah Fiqih

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam

bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau

patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas

(dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’

(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah

dalam surat An-Nahl ayat 26

‫انَهُ ْم ِم َن‬IIIَ‫َأتَى هَّللا ُ بُ ْني‬IIIَ‫ين ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم ف‬


َ ‫ َر الَّ ِذ‬III‫ ْد َم َك‬IIIَ‫ق‬

‫اهُ ُم‬IIَ‫وقِ ِه ْم َوَأت‬II َّ ‫ َّر َعلَ ْي ِه ُم‬II‫ ِد فَ َخ‬II‫ْالقَ َوا ِع‬


ُ ‫ ْق‬II‫الس‬
ْ َ‫ف ِم ْن ف‬

ُ ‫ْال َع َذابُ ِم ْن َحي‬


َ ‫ْث اَل يَ ْش ُعر‬
‫ُون‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah Mengadakan

makar, Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya,

lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu

kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.

Menurut istilah, Fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’

yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili

3
(terperinci). Qawaid fiqhiyah ini juka merupakan kaidah yang meliputi rahasia

dan hikmah-hikmah syara’ yang jumlahnya sangat banyak, yang masing

masingnya mempunyai berbagai cabang hukum yang terdapat dalam ushul

fiqh.

Secara etimologi arti qaidah itu adalah al- asas (dasar) yaitu yang menjadi

besar berdirimya sesuatu dan pokoknya ( Al- Asfahani: 409, Az- Jaidy: 171)

Adapun secara istilah, kaidah fiqih adalah sebuah hukum atau perkara universal

yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam

cakupan pembahasannya, Sedangkan fiqih secara bahasa terambil dari kata ُ‫ْالفِ ْقه‬

yang artinya adalah paham. Sedangkan secara istilah adalah mengetahui hukum-

hukum syar’i yang berhubungan dengan amal perbuatan hamba berdasarkan pada

dalil-dalilnya secara terperinci. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kaidah fiqih

adalah hukum atau pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami

permasalahan fiqih yang tercakup dalam pembahasannya. Kaidah secara etimologi

diambil dari bahasa arab adalah pondasi atau dasar. Sedangkan dalam bentuk

jama’ kaidah secara etimologi mempunyai arti dasar-dasar. (Munawwir, 1138:

1997). Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah sebuah hukum

atau perkara. Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah sebuah

hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan

masalah yang masuk dalam cakupan pembahasannya. Syaikh Muhammad bin

sholih al utsaimin berkata dalam syarah ushul min ilmil ushul bahwasannya fiqih

secara bahasa terambil dari kata ‫ الفقه‬yang artinya adalah faham.sedangkan secara

4
istilah adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yangberhubungan dengan amal

perbuatan hamba berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.

Dr Muhammad shidqi al burnu menyimpulkan bahwa kaidah fiqih adalah

hukum atau pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami

permasalahan fiqih yang tercangkup dalam pembahasannya. ( Sabiq, 2009). Imam

Al-Qariffi berkata “Barang siapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan kaidah-

kaidahnya, maka dia tidak butuh yuntuk menghapal semua permasalahannya satu

persatu karena sudah tercakup dalam keumuman kaidah tersebut” ( Al-Furuq Al

Qarrafi 2/115). Sebuah kaidah fiqih bisa digunakan untuk mengetahui banyak

permasalahan fiqih yang tercakup dalam pembahasannya. Dan ini sangat

memudahkan seorang penuntut ilmu untuk mengetahui hukum-hukum fiqih tanpa

harus menghafal sebuah permasalahan satu persatu. Imam Al-Qarrafi berkata

Barangsiapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan kaidah-kaidahnya, maka dia

tidak butuh untuk menghapal semua permasalahannya satu persatu karena sudah

tercakup dalam keumuman kaidah tersebut”. Penguasaan kaidah fiqih sangat

membantu seseorang dalam memberikan sebuah hukum yang kontemporer dan

belum pernah terjadi sebelumnya.

Ada pula beberapa kaidah ushul fiqih yang dimasukan para ulama didalam

kaidah-kaidah fiqih. Hal semacam ini bisa terjadi karena didalam pengujian

kaidah fiqih oleh Al-Quran dan hadist nabi bisa bertemu dengan beberapa kaidah

yang telah dikumpulkan oleh ahli ushul fiqih sehingga digunakan sebagai kaidah

fiqih bukan ushul fiqih. Seperti halnya kaidah-kaidah fiqih yang sama dengan

5
hadist nabi. Maka para ahli fiqih menggunakannya bukan sebuah hadist tapi

sebagai kaidah fiqih.

Adapun beberapa definisi kaidah fiqih di antara nya

1. Dalam kitab At-Ta’rifat:

“ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya”

2. Dalam kitab At-Talwih ‘ala At-Tawdih:

“hukum universal yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa di

ketahui hukumnya”

3. Dalam kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair:

“ketentuan uniersal bisa bersesuiaian dengan bagian-bagiannya

serta bisa di pahami hukumnya dari perkara tersebut.”

4. Dalam kitab Syarh Mukhtashar al- Raudah fi ushul fiqih:

“ketentuan unuversal yang bisa menemukan bagian-bagiannya

melalui penalaran.”

Jadi  dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul

fiqhiyah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada

semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak  diketahui hukum-

hukum cabang itu” sedangkan fiqh membahas mengenai rincian hukum dan

pemahaman dalil-dalil  Alquran dan hadits.

Bila beberapa definisi di atas di teliti secara seksama, sebenarnya antara

satu dan lainnya berdekatan dan tidak di temukan perbedaan yang menyebabkan

adanya perbedaan esensi yang di maksud. Namun demikian, kita harus berhati-

6
hati dalam menyikapi berbagai definisi yang di kemukakan kitapun jangan

terjebak pada suatu definisi yang mengekang atau terlalu memperlebar

pembicaraan, sehingga menyulitkan untuk menyesuaikan definisi tersebut.

Definisi yang baik adalah yang bisa mencakup berbagai macam cabang fiqih di

bawahnya. Seperti definisi yang di kemukakan para fukaha misalnya yang

menyatakan bahwa kaidah adalah “sesuatu yang masih umum yang mencakup

sejumlah bagian-bagiannya, yang kata-kata di dalamnya bisa mengandung arti

lain. Dengan kata lain, definisi tersebut mengandung arti bahwa kaidah fiqih itu

mengandung berbagai macam pengecualian yang menjadi lawannya.padahal

kaidah fikih itu ebih umum dari pada kulliah (sesuatu yang mencalkup bagian-

bagian di bawahnya) dan dari akat sariah (kebanyakannnya).

2. Sejarah Kaidah Fiqih

Suatu hal yang agak ganjil, dalam tarikh tasyri’ atau sejarah fiqih Islam,

bahwa sejarah dan fungsi kaidah fiqih itu mendapatkan perhatian yang memadai,

sekalipun kaidah piqih itu memiliki fungsi yang penting bagi pembinaan hukum

Islam. Sejarah perkembangan kaidah fiqih dibagi menjadi tiga fase yaitu fase

kemunculan berdirinya dan fase perkembangan dan pembukuannya dan fase

kemajuan dan sistematikanya.

1. Fase pertama

Adapun fase kemunculan dan berdirinya kaidah fiqih dimulai dari

zaman Rasulullah hingga akhir abad III H./IX M. Jika kaidah fiqih

didefinisikan sebagai ketentuan hukum yang dapat mencakup berbagai

7
masalah furu’. Maka banyak hadist yang dapat di katagotikan sebagai

kaidah fiqih. Sesuai dengan peembahasan itu, bahkan terdapat hadist yang

diberlakukan sebagai kaidah kaidah fiqih tanpa ada perubahan. Oleh

karena itu, masa kelahiran kaidah kaidah fiqih dapat dikatakan dimulai

sejak zaman Rasulullah SAW. Hadist hadist lain yang dapat dijadikan

sebagai kaidah diantaranya “tidak mendarat dan tidak mendaratkan”. Ada

beberapa zaman dalam fase ini yaitu zaman Nabi Muhammad saw dan

Zaman Sahabat.

Zaman Nabi Muhammad saw mulai benih-benih kaidah fiqih telah

ada sejak kemunculan agama Islam itu sendiri hingga bermulanya zaman

imam-imam mujtahid yaitu hingga akhir kurun abad ke tiga. Walaupun

pada masa ini mereka tidak menanmkannya dalam kaidah, wujud ini telah

dapat dilihat berdasarkan penelitian oleh para ulama terhadap beberapa

ayat Al-Quran yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad Saw hal

tersebut dapat ditemukan dalam sebagian dari Nas-Al-Quran yang telah

diturunkan. Dimana pada nas-nas tersebut terkandung asas atau dasar ilmu

kaedah fiqih banyak ayat Al-Quran yang menjadi petunjuk kepada ilmu

ini. Diantaranya ayat 29 surah al-Nisa dan ayat 28 surah al-syura. Asas ini

juga dipahami melalui ucapan nabi Muhammad Saw Rasulullah yang

bersifat “Jawami Al-Kalim” . jawami al-kalim yaitu ucapan beliau yang

ringkas dan padat dan mempunyai makna yang dalam. Disamping itu pula

menjadi asas serta dasar umum syariah.

8
Zaman SahabatPara sahabat juga berjasa dalam kaidah Fiqih

karena merekapun turut serta dalam pembentukan kaidah fiqih. Para

sahabat dapat turut serta dalam kaidah fiqih karena ada dua keutamaan

yaitu mereka adalah murid Rasulullah Saw dan mereka tahu situasi yang

menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan

mereka.

Zaman Tabi’in

Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqih pada generasi tabi’in

Abu Yusuf Ya’Kub ibn Ibrahim (113-182) karyanya yang terkenal kitab Al-

Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun salah satunya adalah “harta setiap yang

meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan kepada Bait al-mal”

kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul mal sebagai

salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan

(tirkah atau mauruts) apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.

Dan Al-Nadwi menyatakan dalam bukunya al-Qawaid Al-Fiqhiyyah ulama

fiqih pertama yang mencetiuskan fenomena ini ialah Abu Yusuf Serta

beberapa ulama yang sezaman dengannya seperti Imam Malik, Imam Syafi’i

dan lain-lain.

2. Fase kedua (Fase Perkembangan dan Koodifikasi)

Fase kedua adalah masa perkembangan dan pembukuan qaidah

fiqih. Fase kedua dimulai pada abad 4H/ 10 M. Sampai lahirnya

kompilasi hukum Islam pada masa Turki Ustmani atau abad 13H / 19 H.

Dalam tarikh tasri’ masa ini termasuk masa taqlid. Pada masa ini, kitab

9
kitab fiqih banyak. Masing-masing madzhab fiqih memiliki kitab

pegangan tertentu. Hal ini terjadi karena kecenderungan taqlid mulai

tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqih mulai

dalam pucak kejayaan. Ulama pada saat itu merasa puas dengan

perkembangan yang telah dicapai fiqih. Karena pembukaan fiqih dimulai

dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan pendapat yang terjadi pada

mahzab itu dalam menyelesaikan permasalahan baru. Ketika itu, para

ulama tampaknya puas dengan kitab fiqih yang ada dan melimpah ruas.

Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih. Dalam banyak hal, keadaan

seperti itu menyebabkan para ulama tidak melakukan ijtihad mutlak.

mereka merasa lebih tertarik untuk membuat kaidah kaidah ushul fiqih,

termasuk merumuskan kaidah fiqih.

Dengan demikian,sekalipun ijtihad tidak berlangsung dengan

gencar,pada masa ini terjadi peningkatan dalam penulisan usul fiqih dan

kadah fiqih. Oleh karan itu,masa masa ini dapat di katakansebagai masa

keemasan penulisan usul fiqih dan qaidah fiqih. Pada masa ini,fuqaha

mulai menyusun fiqih dalam bentuk baru,kini tulisan mereka terangkum

dalam tema tema semisal Al-Qawaid wa Ad-dawabith, Al-Furuq,dan

sebagainya. Cara penulisan pada periode ini berbeda dengan periode

sebelumnya, karna penulisan pada periode ini dimulai dengan peryataan

umum(kaidah-kaidah). Kemudian diikuti dengan penulisan

furu’,sebagaimana terlihat dari kitab yang di tulis oleh Jalal al Din al-

Suyuthi, al-Asbah wa An-Nazha’ir.

10
Masa keemasan dari pembukaan kaidah kaidah fiqih terjadi pada

abad ke 8 H. Pada abad ini,banyak lahir kitab kaidah,terutama di kalangan

ulama Syafi’iyah. Kaidah-kaidah fiqih tersebut kemudian di sempurnakan

secara sistematis pada 9 H. Hal ini terlihat jelas dari kitab Al-Asybah wa

Az-Nazhair karya Ibnu Mulaqqin. (723-804 H/1323-1402 M). Pada fase

kedua ini,penulisan qaidah fiqih dimulai oleh Al-Kharakhi dan Ad-Dabusi

dari kalangan ulama Hanafiah.Pada fase ini,umum nya ulama menulis

qaidah fiqih dengan cara mengutip dan menghimpun qaidah-qaidah yang

terdapat pada kitab-kitab fiqih masing-masing madzhab,merakapun

melakukan nya dengan jalan mencantumkan qaidah-qaidah fiqih dalam

kitab fiqih,ketika itu juga mereka mencari illat dan men-tarjih suatu

pendapat.

3. Fase ketiga

Fase ini dimulai dengan kelahiran majalllah al-ahkam al abiyyah (kompilasi

hukum islam di masa Turki). kompilasi ini pada dasarnya merupakan hasil usaha

para ulama Turki di zaman Sultan ‘Abdul Al Aziz Khan Al-Utsmani, yang

ditetapkan pada tanggal 26 sya’ban 1292 H/28 September 1875 M. Ia merupakan

ensiklopedi fiqih Islam dalam bidang muamalah dan hukum acara peradilan yang

terdiri atas 1851 pasal. Kitab tersebut di susun dengan bahasa perundang-

undangan. Dalam majalah tersebut tidak semua pasal berupa kaidah fiqih tetapi

terdapat pula kaidah ushul. Abad X H dianggap sebagai poeriode kesempurnaan

kaidah fiqih meskipun demikian bukan berarti tidak ada perbaikan- oerbaikan lagi

pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H.

11
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta oranglain, kecuali ada izin dari

pemiliknya” kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata kata idznih

menjadi idzn oleh karena itu kaidah fiqih tersebut adalah “seseorang tidak

diperbolehkan mengelola harta oranglain tanpa izin”. Kaidah fiqih mencapai

puncaknya ketika disusun Majallat Al-Ahkam al-Addliyah oleh komite (lajnah)

Fuqaha pada masa sultan Al-Ghazi Abdul Azis Khan al-utsmani (1861-1876 M).

Pada akhir abad XIII M Majallat Al-Ahkam ini menjadi rujukan lembaga-

lembaga peradilan masa itu. Kitab ini ditulis dan di bukukan serta diadakan

pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab kitab fiqih merupakan suatu

prestasi yang gemilang dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqih masa itu.

Lalu mengkonstruknya dalam bahasa yang lebih bagus sebelumnya. Kitab inilah

yang menyebabkan kaidah fiqih semakin luas dan menduduki posisi yamg sangat

penting dalam proses penalaran hukum.

Macam-macam kaidah Fiqih ditinjau dari tiga sisi pertama dari sisi

sumbernya, kedua dari sisi keluasan pembahasannya dan ketiga ditinjau dari

apakah kaidah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh ulama. Ditinjau dari

sumbernya dari Al-Quran dan Al-hadist. Dan ditinjau dari keluasan

pembahasannya yaitu kaidah-kaidah besar yang mencakup hampir seluruh bab

islam fiqih. Adapun metologi penyusunan kaidah fiqih ulama tidak hanya

berdasarkan atas satu mrtodologi saja. Terdapat ,macam macam metodologi

penyusunan kaidah fiqih. Diantaranya:

1. Penyusunan berdasarkan huruf hijaiyah

2. Penyusunan sesuai subjek pembahasannya

12
3. Penyusunan sesuai dengan bab fiqih

4. Mengumpulkan kaidah kaidah fiqih

Metodologi agama dalam hubungan antara kaidah Fiqhiyah dengan ilmu yang

lain:

1. Mengumpulkan kaidah fiqih dengan kaidah-kiadah lainnya

2. Mengumpulkan kaidah fiqih denganm subjek pembahasannya.

 Perbedaan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih 

Jelaslah perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih, bahwa ushul fiqih

merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqih (faqih) di dalam

menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta

mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al

Qur’an harus didahulukan  dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak

berdasarkan nash Al- Qur’an dan Hadits. Sedangkan fiqih adalah hasil hukum-

hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.

Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan

dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqih" adalah kata yang

berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqih" yang berarti asal-usul Fiqih.

Maksudnya, pengetahuan Fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang

digariskan dalam ilmu ushul Fiqih. Pengetahuan Fiqih adalah formulasi dari nash

syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun

dalam pengetahuan Ushul Fiqih. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah

berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi,

namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid)

13
gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-

dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian

menjadi pengetahuan Ushul Fiqih.

Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu

ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat

digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari

sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk

menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum

dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-ssOur'an dan Sunnah Rasul yang

berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh"

(ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa

yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan

hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.

3. Sumber dan faidah kaidah Fiqih

Faidah kaidah Fiqih. Sebuah kaidah fiqih bisa di gunakan untuk mengetahui

banyak permasalahan fiqih yang tercakup dalam pembahasannya,dan ini akan

sangat memudahkan seorang penuntut ilmu untuk mengetahui hukum-hukum

fiqih tanpa harus menghafal sebuah permasalahan satu persatu. Imam Al-Qarrafi

berkata : “barangsiapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan kaidah-

kaidahnya,maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya satu

persatu karena sudah tercakup dalam keumuman kaidah tersebut.”(lihat Al-Furuq

A-qarrafi 2/115) Penguasaan kaidah fiqih akan sangat membantu seseorang dalam

14
memberikan sebuah hukum yang kontemporer dan belum pernah

terjadisebelumnya dengan cara yang mudah.

Qawaid Fiqhiyyah adalah sebuah disiplin ilmu yang menjadi dasar

memberikan alasan terhadap para ulama dalam memberikan alasan dari hukum

yang mereka perpegangi. Terbentuknya Qawaid Fiqhiyyah sebagai sebuah ilmu,

tidak terlepas dari sumber – sumber yang menjadi dasar sehingga menjadi sebuah

Qawaid Fiqhiyyah. Al quran Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan

dalil utama bagi hukum syariat Islam. Kumpulan firman – firman Allah yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir.

Sunnah Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi

saw, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Ijma’ Setelah Al

Quran dan Sunnah, maka Ijma‟ sebagai sumber ketiga menurut para ulama

sebagai sumber hukum syari‟at Islam. jtihad Ijtihad dalam pengertian bahasa yaitu

meluangkan kesempatan dan mencurahakan kesungguhan. Adapun dalam

pengertian istilah yaitu meluangkan kesempatan dalam usaha untuk mengetahui

ketentuan – ketentuan hukum dalam dalil Syari‟at. Qiyas Qiyas dari segi bahasa

merupakan mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Secara

istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya,

berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. stihsan Istihsan ialah

meninggalkan hukum sesuatu hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil syara‟

menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada dalil syara‟ pula, karena ada

suatu dalil syara‟ yang mengharuskan peninggalan tersebut.

15
Istishab Dari segi bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan

“istishabtu ma kaana fil maadhi” artinya saya membawa serta apa yang telah ada

waktu yang lampau sampai sekarang. Secara istilah, melanjutkan berlakunya

hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada

dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Mashlahah Mursalah

Merupakan kebaikan (mashlahah) yang tidak disinggung-singgung syara‟, untuk

mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan kalau dikerjakan akan membawa

manfaat atau menghindari keburukan. Urf „Urf ialah apa yang biasa dijalankan

orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan kata lain ialah adat

istiadat.

Kaidah fiqih terdiri dari 40. Dari 40 kaidah ini dapat di ambil 10 ke simpulkan

hukum masalah yang tidak terhitung banyaknya.

1) Kaidah pertama

Ijtihad tidak di batalkan oleh ijtihad

Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang

selanjutnya. sehingga salahlah semua perbuatan yang berasalkan ijtihad yang

lebih terdahulu. Namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah

dengan adanya hukum hasil ijtihad yang baru yang demikian ini adalah karena:

Nilai ijtihad adalah Sama hingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari

hasil ijtihad pertama. Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijtihad dapat di

benarkan oleh hasil ijtihad yang lainnya hingga akan mengakibatkan tidak adanya

16
kepastian hukum dan tidak adanya hukum kepastian ini akan mengakibatkan

kesulitan dan kekacauan besar.

Contohnya Rusak keputusan ijtihad seorang hakim apabila berlawanan

dengan nash atau ijma atau qiyas jaly,atau menurut al-iraqy berlawana dengan

qaidah-qaidah yang qully,atau menurut ulama-ulama hanafi,hukumnya tidak

berdasarkan suatu dalil.

2) kaidah kedua

Apabila berkumpul antara orang yang halal dan yang haram maka dimenangkan

yang haram.

Segolongan ulama mendasarkan kaidah ini pada suatu hadis: “manakala

berkumpul yang halal dengn yang haram maka dimenangkan yang haram”.

Walaupun hadist di atas ini senadanya dhaif. Tetapi kaidah sendirinya adalah

benar sesuai perintah agama yaitu harus selalu berhati-hati yakni upaya preventiuf

sebelum terjadi pelanggaran yang lebih berat.

Demikian pula apabila dua dalil bertentangan yang satu mengharamkan yang satu

menghalalkan. Makan didahulukan yang mengharamkan.

Contoh Ketika sahabat utsman bin affan RA di tanya tentang umatnya

mengumpulkan dua orang wanita bersaudara yang satu merdeka yang satu budak

yang keadaannya menurut surat An-nissa: dan haram mengumpulkan (dalam

perkawinan) dan dua orang wanita bersaudara.(51-52)

3) kaidah ketiga

17
Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh dan

dalam urusan selain ibadah adalah disenangi. Asal dari kaidah ini adalah

firman Allah “berlomba-lombalah kamu sekalian didalam kebajikan

4) kaidah keempat

“tharruf (tindakan) imama terhadap rakyat harus di hubungkan

kemaslahatan”

Tindakan dan kebijaksaan yang di tempuh oleh pemimpin penguasa harus sejalan

dengan kepentingan umum untuk golongan atau diri sendiri.

5) kaidah kelima

Hukuman-hukuman itu gugur karena syubhat. Suatu khasus yang belum di

buktikan secara factual sebagai suatu tindakan pelanggaran, tersangka tidak bisa

di jatuhi hukuman.

6) kaidah keenam

Orang yang merdeka itu tidak masuk dalam kekuasaan. Contohnya

Seandainya mengurung orang yang merdeka dengan memperlakukannya dengan

baik kemudian dia mati karena tertimpa tembok yang roboh dan sebaiknya tidak

wajib membayar/ganti rugi.

7) kaidah ketujuh

Yang mengelilingi larangan hukumannya sama dengan yang di kelilingi.

8) kaidah kedelapan

18
Apabila berkumpul dua perkara satu jenis dan tidak berbeda maka

dari keduanya maka menurut kerjanya yang satu masuk kepada yang lain.

Contohnya Apabila orang hadas kecil dan hadar besar (junub) maka cukup

dengan bersuci saja seperti mandi.

9) Kaidah kesembilan

Mengamalkan maksud suatu kalimat yang lebih utama daripada

menyia-nyiakannya. Perkara itu ada kalanya maksud yang jelas dan ada

kalanya maksud yang kurang jelas hingga dari itu harus diamalkan sesuai

dengan maksud itu tersebut.

Contohnya Orang berwasiat memberikan hartanya kepada anak-anaknya padahal

sudah tidak mempunyai anak lagi kecuali cucu-cucunya, otomatis harta tersebut

harus di berikan kepada cucu nya.

10) Kaidah kesepuluh

Sesuatu yang mengikuti kepada yang lain maka hukumnya adalah yang

diikuti termasuk dalam kaidah ini: pengikut hukumnya tidak sendiri karena hal ini

hukum yang ada pada “yang diikuti” berlaku juga untuk yang mengikuti

Contohnya Jual beli binatang yang sedang bunting anak yang ada dalam

kandungannya termasuk kedalam akad itu.

1. Sumber-sumber kaidah fiqhiyah mazhab hanafi :

1) Ushul al Karkhi (261-340 H) di syarahi oleh Najmuddin an Nasfi (537

H)

19
2) Abi zaid Ad Dabusi (430 H), terdapat 86 kaidah di dalamnya.

3) Asbah wa Nazhair, karya Ibnu Najim (970 H) karya ini kemudian

mendapat tanggapan luar biasa dengan setidaknya memunculkan 5

karya yang berkaitan dengan karya ini.

4) Muhammad Mustofa al Khadimi (1176 H)

2. Sumber-sumber kaidah fiqhiyah mazhab maliki

1) Ushulul fataya karya Muhammad bin Harits bin asan Al Khosyni

(361 H)

2) Al Farq karya Al Qarafi (684 H), memuat 548 kaidah fikih.

3) Al Qawaid karya Muhammad Al Muqorry (758 H), memuat 758

kaidah fikih.

4) 4Idhoh al masalik ila qawaid imam malik karya Ahmad bin Yahya

alwansarisyi (914 H), memuat 118 kaidah fikih.

1. Sumber-sumber kaidah fiqhiyah mazhab syafi‟i

1) Qawaid al ahkam fi mashalih al anam karya Izzudin bin Abdi

salam (660 H)

2) Asbah wa nadhair karya Ibnu Wakil As Syafii (716 H)

3) Asbah wa nadhair karya Ibnu Wakl (716 H)

4) Al Majmu’fi qawaid al mazhab karya kholil al „Alaby (671 H)

5) Asbah wa nadhair karya Ibnu subki (771 H)

6) Al mantsur fi tartibi al qawaid al fiqhiyah karya al Zarkasyi

(794 H)

7) Asbah wa nadhair karya ibnu Mulqon (804 H)

20
8) Al Qawaid karya Abi Bakar al hashani (729 H)

9) Asbah wa nadhair karya Al suyuthi (911 H), memuat 20

kaidah.

10) Al Istighna karya Sulaiman Al Bakary (1411 H)

3. Sumber-sumber kaidah fiqhiyah mazhab hambali

1) Al Qawaid Al Nuraniyah Al fiqhiyah karya Ibn Taimiyah (728

H)

2) Al Qawaid Al Fiqhiyah karya Ahmad Ibn Hasan (771 H)

3) Taqrir al Qawaid wa Tahrir al Fawaid Ibn Rajb (795 H) yang

terkandung di dalamnya 160 kaidah fiqhiyah.

4) Al Qawaid al Kulliyah wa al Dhawabith al Fiqhiyah karya

Yusuf Ibn Hasan (909 H)

5) Qawaid majallat al ahkam al syariyah ala mazhab imam ahmad

ibn hanbal karya Ahmad Ibn Abdullah Al Hanafi (1359 H).

Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis,

seperti 1) Al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi.

2)Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh

Muhammad Zarqa.

3) Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh.

Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.

4) Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said

Muhammad Ibadi.

21
5) Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa

Indonesia).

6) Kaidah Fikih oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).

Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam Dalam kitab ini, beliau

telah merangkumkan semua permasalahan fiqhiyyahhanya dalam

satu kaedah asas, yaitu “ i‟tibar al-mashalih wa dar‟ al-mafasid”.

Kitab ini memang sengaja ditulis oleh pengarangnya untuk

menerangkan tujuan utama syariat yang menurut beliau hanya

tertuang dalam satu asas, yaitu mencapai cita-cita kemaslahatan

umat dengan prinsip asas “tahshil al-mashalil ” dan “ dar‟ al-

mafasid ” atau yang biasa disebut dengan “jalb mashalil wa dar‟ al

mafasid (menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan). al-

Asybah wa al-Nazhair karya Tajuddin al-Subki Dalam kitab ini,

Tajuddin al-Subki menyebut kaedah usul dan fiqh dan

menghuraikannya dengan cukup baik. Perkara ini tidak

menghairankan kerana beliau adalah seorang yang mendalam

ilmunya dalam kedua- dua bidang - fiqh dan usul. Kehebatan ilmu

beliau dimanifestasikan dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha-irnya.

kaidah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al-Qur’an

dan As-Sunnah. kaidah fikih yang teks nya tidak diambil langsung

dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah,namun kandungannya

berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah fiqih yang tersusun

berdasarkan ijtihad para ulama,dan biasanya didasarkan atas

22
sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum) atau

dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta

melihat kepada maqashid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari

sebuah hukum syar’i) atau yang lain.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah fiqih merupakan pondasi atau dasar dalam sebuah hukum atau

perkara yang bersifat menyeluruh dan sumber kaidah fiqih berasal dari Al-

quran dan hadist. Memiliki sejarah dalam 3 fase, yaitu fase kemunculan,

fase perkembangan dan fase kemajuan.

B. Saran

Penulis mengharapkan kita sebagai umat mualim untuk mempelajari tentang

kaidah fiqih dan mengambil makna juga menerapkan dalam kehidupan sehari-

hari.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mushthafa fi Ilm Al-Ushul, Beirut: Dar Al-Kutub Al-

Ilmyah.

Al- Asnawi, Jalaluddin Abd. Al-Rahim Al-Asnawi, Nihayah al-Sul Syarh Minhaj

Al-Wushul, Kairo: Muhammad Ali Subaih, t.t.

http://www.iswahyudi-wahyu.top/2016/04/kaidah-kaidah-ushul-fiqh-dan-kaidah-

fiqh.html.

24

Anda mungkin juga menyukai