Anda di halaman 1dari 17

MEMAHAMI KAIDAH FIQHIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok

Pada mata kuliah Ushul Fiqih di Semester 2a PAI non pondok

Dan telah dipresentasikan pada hari Sabtu tanggal 7 Mei 2022

Oleh :

Kelompok 11:

1. Dewi Mariatul Munawaroh ( 2021-112-01-4920)

2. Yuliana ( 2021- 112 - 01- 4972)

3. Siti Mufasoqah

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Qurrotul Ainiyah, M.HI.

1
PRODI S - 1PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

AL URWATUL WUTSQO - JOMBANG

TAHUN 2022

KATA PENGANTAR

2
Segala puji dan rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,yang telah memberikan
rahmat,taufik, dan hidayah-Nya. Sholawat dan Salam mudah-mudahan tetap terus teralirkan
kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, semua keluarga, para sahabat, serta orang-
orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari kiamat menjelang.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi program
Studi S1 Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Urwatul Wutsqo-Jombang
(STIT UW). Penulisan makalah ini berjudul ”Memahami Kaidah Fiqhiyah".

Dengan selesainya penulisan makalah ini, penulisnya dapat menyampaikan terimakasih


kepada Dr.Hj. Qurrotul Ainiyah, M.HI. selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqih.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan umum nya
bagi para mahasiswa dan generasi muda yang peduli dengan pendidikan bagi generasi penerus
bangsa. Aamiin

Jombang, 10 Februari 2022

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ .

3
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................
C. Tujuan Pembahasan............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................
A. Pengertian dan Ruang Lingkup kaidah Fiqhiyah.............................................................

B. Pembagian Kaidah Fiqhiyah.............................................................................................


C.Sejarah dan perkembangan Kaidah Fiqhiyah dan cabangnya
BAB III PENUTUP.....................................................................................................................
A.Kesimpulan...........................................................................................................................
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

4
Penerapan atau penetapan hukum dalam suatu masyarakat bertujuan untuk mengendalikan
kehidupan masyarakat itu sendiri. Hukum adalah suatu sistem yang ditegakkan untuk melindungi
hak individu dan masyarakat. Sistem hukum dimasyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup
sendiri. Demikian juga islam memiliki sistem hukum yang dikenal dengan istilah fiqih.
Al Qur'an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam, sebagian masih bersifat umum atau global.
Memuat prinsip prinsip dasar dan pesan pesan moral. Karakteristik yang demikian itu menunjukkan
bahwa manusia di beri wewenang untuk melakukan interpretasi
dan penjabaran sesuai dengan kondisi sosial disetiap tempat.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, para ulama dalam melakukan interpretasi terhadap
teks-teks Nash atau menetapkan hukum dari masalah baru yang muncul, banyak terjadi perbedaan
cara panjang. Perbedaan tersebut bukan semata mata berbeda dalam memahami teks nash, tetapi
juga karena perbedaan kondisi dan situasi lingkungan yang mengitari kehidupan mereka. Berbagai
permasalahan hukum yang muncul dan berkembang saat ini adalah akibat dari dinamika
masyarakat diatas. Bagi masyarakat yang hidup sekarang dan dimasa yang akan datang sangat
mungkin berhadapan dengan masalah baru yang belum pernah dijumpai pemecahannya pada
generasi sebelumnya. Begitu pula kebijakan atau ketetapan hukum yang dianggap tepat pada
masanya belum tentu relevan untuk kondisi sekarang dan masa akan datang.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian dan Ruang Lingkup kaidah Fiqhiyah?
2. Berapakah pembagian kaidah Fiqhiyah?
3. Bagaimana sejarah dan perkembangan kaidah Fiqhiyah dan cabangnya?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apakah pengertian dan ruang lingkup kaidah Fiqhiyah
2. Untuk mengetahui pembagian - pembagian kaidah Fiqhiyah
3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan kaidah Fiqhiyah dan cabangnya

5
.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan ruang lingkup kaidah Fiqhiyah
Secara etimologis kata qawa’id berasal dari bahsa Arab qa’idah, yang berarti peraturan,
undang-undang atau pondasi bangunan. Pengertian ini senada dengan pengertian yang sudah lazim
digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia “kaidah” yang berarti : rumusan asas-asas yang

6
menjadi hukum, aturan yang sudah pasti,Penggunaan kata "qawa’id" dalam Alquran dengan
pengertian asas-asas atau dasar-dasar, antara lain dapat dilihat pada QS Al-Baqarah : 127 yang
"Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim menginginkan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdoa) : Ya Tuhan kami terimalah (amalan) kami, sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al-Baqarah : 127) Sedangkan pengertian kaidah secara
terminologis atau menurut istilah syarak adalah sebagai berikut : Kaidah adalah ketentuan-
ketentuan yang bersifat umum, yang dapat menginduk kepada masing-masing ketentuan tersebut
berbagai macam hukum yang spesifik. Sedangkan kata “fiqhiyah”, ia berasal dari kata "fiqh" yang
secara literal berarti paham atau mengerti tentang sesuatu kemudian mendapat tambahan ya’
nisbah yang berfungsi mengkategorikan atau penjenisan. Penggunaan kata fiqh dengan pengertian
"paham" Fiqh ialah pemahaman tentang hukum-hukum syarak, yang berkenaan dengan amaliah
manusia yang diambil dari dalil-dali syarak yang terperinci”. Muhammad Abu Zahrah juga
menerangkan bahwa fiqh ialah :”Suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syarak tentang
perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dali syarak yang terperinci.(Adnan M. Jamaah .raf'u Al
harj di Al syariah Al Islamiyyah)
Sebagai contoh hukum fiqh adalah seperti pemahaman bahwa hukum shalat lima waktu, zakat
fitrah, berhaji bagi orang yang mampu adalah wajib, puasa pada hari Senin dan Kamis adalah sunah,
membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak adalah haram, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu fiqh mencakup dua aspek yaitu :
1. hukum-hukum fiqh yang hanya dapat dipahami oleh mujtahid setelah melalui proses ijtihad.
2. dan hukum-hukum fiqh yang tidak memerlukan ijtihad, seperti hukum-hukum yang terdapat
dalam Alquran dan Sunah serta masalah-masalah ijmak. Muhammad abu zahrah juga menerangkan
bahwa fiqih adalah " suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syarak tentang perbuatan
manusia yang diambil dari dalil-dalil syarak yang terperinci. Seperti contoh hukum fiqih adalah
seperti pemahaman bahwa hukum sholat lima waktu, zakat fitrah, berhaji bagi orang yang mampu
adalah wajib, puasa pada hari senin Kamis adalah sunnah. Membunuh orang yang tanpa alasan
yang dapat dibenarkan syarak adalah haram. Mencermati definisi fiqih tersebut, maka amir
Syarifuddin mencoba mengurai unsur-unsur atau cakupan fiqih sebagai berikut:
1. Bahwa fiqih itu adalah ilmu tentang hukum syarak

7
2. Bahwa yang dibicarakan fiqih adalah hal hal yang bersifat amaliyah furu'iyah
3. Bahwa pengetahuan tentang hukum syarak didasarkan kepada dalil yang rinci ( tafsili)
4. Bahwa fiqih itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal ( penggunaan dalil) oleh
mujtahid atau fiqih.
Oleh karena itu, fiqih mencakup dua aspek:
a. Hukum hukum fiqih yang hanya dapat dipahami oleh mujtahid setelah melalui proses ijtihad.
b. Hukum hukum fiqih yang tidak memerlukan ijtihad , seperti hukum hukum yang terdapat dalam
Al Qur'an dan sunnah serta masalah masalah ijma'

B. Pembagian kaidah Fiqhiyah


Pembagian kaidah Fiqhiyah dibagi menjadi beberapa bagian:
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh
yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah
ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau
bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak
memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya
adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada
kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

8
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
• Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan
kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar
manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan. ( M. Abu
Zahrah, Ushul Fiqih)
C. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Qawa’id fiqhiyah
Penyusunan kaidah Fiqhiyah berbeda dengan penyusunan ilmu ushul fiqih atau kitab kitab Undang-
Undang hukum positif. Ilmu ushul fiqih atau kitab kitab disusun sekaligus sedangkan kaidah Fiqhiyah
disusun sedikit demik sedikit berdasarkan peristiwa dan permasalahan hukum yang berkembang
dimasyaraka. Menurut pendapat Abu Yusuf, qa'idah yang pertama kali disusun adalah qa'idah
tentang " tidak ada wewenang bagi seorang imam untuk mengambil sesuatu dari seseorang kecuali
dengan dasar dasar hukum yang berlaku. Qa'idah tersebut ditemukan dalam kitab kharraj karangan
Imam Abu Yusuf yang hidup pada tahun 113H sampai tahun 182 H. Jadi materi kaidah Fiqhiyah telah
ada sejak abad 2H. Ahli fiqih madzhab Hanafi yaitu Zainul Abidin Ibrahim Ibnu Muhammad bin Abu
Bakar yang terkenal dengan sebutan Abu Nujam mengatakan bahwa penyusunan pertama kali
qa'idah fiqhiyah ialah Muhammad bin Muhammad yang terkenal dengan sebutan Abu Thahir al
Dabbas. Menurut riwayat, seorang ulama syafi'i yaitu Abu Sa'id Al harwi menuliskan lima qa'idah
pokok dari Al Dabbas tersebut, lima kaidah tersebut adalah:
1.‫ اال مورا بمقا صدها‬Segala sesuatu urusan itu dinilai sesuatu dengan tujuan itu ada niatnya. Begitu
juga firman Allah surah Al Hasyr ayat 9 yg berbunyi " Dan mereka mengutamakan orang Muhajirin
atas diri mereka sendiri Sekalipun mereka kesusahan." Dan hadist Nabi juga " senantiasa suatu
kaum memperlambatkan dari shaf awal sehingga Allah mengakhirkan mereka, dimasukkanlah
dalam neraka"
2. ‫باشك اليقين ال يزا ل‬Keyakinan itu tidak dapat dihapus oleh keraguan
3.‫التيسر المشقت تجلب‬Kesulitan itu membawa kepada kemudahan

9
4. ‫الضرار يزال‬Segala bentuk kemudharatan harus dihilangkan. Kaidah ini adalah induksi dari surah Al
Qashas ayat 77 yaitu : " berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, di an janganlah kamu berbuat kerusakan dibumi, sesungguhnya Allah tidak suka dengan
orang yang suka berbuat kerusakan. Dalam hadits Nabi disebutkan juga : " tidak boleh berbuat
kemadharatan dan membalas dengan kemadharatan, barang siapa berbuat kemadharatan maka
Allah akan memberikan kemadharatan.
5. ‫العادة محكمة‬Adat / tradisi dapat dijadikan pertimbangan hukum. ( Asymuni A. Rahman, Kaidah
Fiqhiyah)
Dari kaidah yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa kaidah Fiqhiyah disusun dari
kandungan atau nilai-nilai yang terkandung dalam Al Qur'an dan as Sunnah. Para ulama' menyusun
kaidah Fiqhiyah yang berbunyi " mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah adalah makruh,
sedangkan masalah keanjuran adalah dianjurkan.
Menurut Ali Ahmad an Nadwi, secara garis besar ada tiga periode penyusunan qawaid fiqhiyah yaitu
periode kelahiran, periode pertumbuhan perbukuan, periode penyempurnaan. Pada awalnya cikal
bakal kemunculan qawaid fiqhiyah bersamaan dengan hadirnya Rasulullah SAW melalui hadits
hadits nya yang menjelaskan dan merinci ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Bahkan
tak jarang beliau menetapkan suatu hukum yang belum disebutkan ketentuannya secara eksplisit
dalam Al Qur'an. Rasulullah SAW sebagai insan pilihan, pembawa risalah islam yang
menyempurnakan ajaran ajaran nabi dan Rasulullah sebelumnya. Dikaruniai bahasa yang mudah,
singkat, padat, bermakna, mencakup, dan mudah untuk dipahami( jawami' alhamdulillah kalim).
Beberapa sabda beliau sangat mudah dihafal dan mampu menjawab beberapa masalah sekaligus
yang terjadi pada zamannya. Diantara sabda beliau misalnya :
1. Hak menerima hasil karena harus menanggung resiko
2. Tidak boleh membahayakan atau membuat kerusakan pada orang lain / diri sendiri
3. Bukti harus di hadirkan oleh penggugat, dan sumpah dapat dilakukan oleh tertuduh.
4. Orang memiliki hak memiliki kesempatan untuk bicara
5. Perjanjian antara orang - orang Islam tergantung dari syarat yang mereka sepakati
pada masa tabi'in dan para Imam madzhab, gaya jawami' al kalim Nabi semakin banyak dicontoh
dan menginspirasi mereka untuk berlomba - lomba membuat kaidah yang dapat memudahkan

10
mereka dalam mengelompokkan masalah- masalah fiqih sehingga dapat cepat merespons
problematika kasus - kasus hukum yang semakin banyak bermunculan. ( Ali Ahmad Al nadawy, Al
qawaid )
Beberapa kaedah yang muncul pada masa ini misalnya :
1. Perkataan Qadhi syuriah bisa harus alkindi : " siapa yang harus menanggung pengelolaan harta,
maka ia berhak mengambil keuntungan harta tersebut".
2. Perkataan khair bingung Nu'man :" siapa yang mengaku memiliki sesuatu, kami membebankan
sesuatu padanya.
Sedang dikalangan madzhab, kaedah- kaedah fiqih ini banyak dimunculkan oleh pengikut madzhab
Hanafi dan Syafi'i . Sejarah perkemabangan hukum islam (tarikh al-tasyri’ al-islami) tidak
menguraikan qawa’id fiqhiyyah secara komperhensif (menyeluruh). Kitab-kitab sejarah
perkembangan hukum islam tidak mengkaji qawaid fiqhiyyah, apalagi sampai menjelaskan
kegunanaan (urgensi) dan kedudukannya dalam hukum islam. Dengan demikian, penelusuran
terhadap sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah sangat
pentin dilakukan. Penelusuran tersebut, sedikit banyak akan dapat memberikan kejelasan tentang
kegunaan (urgensi) dan kedudukan qawa’id fiqhiyyah dalam hokum islam. Begitu juga, tenteng latar
belakang sejarah perkembangan hokum islam tidak mengkaji qawa’id fiqhiyyah secara menyeluruh.
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkemabngan qawa’id fiqhiyya dapat dibagi kedalam tiga fase
berikut:
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan;
2. Fase perkembangan dan pengkodifikasikan;
3. Fase pemantapan dan pesistematisan.
a. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan Qawa’id Fiqhiyyah
Pada periode Nabi Muhammad, otoritas tertinggi dalam pengambilan hokum dipegang oleh
Nabi. Semua persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh teks
primer (al-Qur’an) dan hadist Nabi. Term “fiqh” pada masa itu dugunakan untuk menunjukan segala
sesuatu yang dipahami dari teks al-Qur’an dan as-Sunnah, baik persoalan akidah maupun hukum
dan adab.

11
Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hokum islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id
fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits-hadits yang singkat dan padat. Hadist –
hadits itu dapat menampung masalah-masalah fiqh yang sangat banyak jumlahnya. Dengan
demikian, hadits Nabi Muhammad SAW di samping sebagai sumber hokum, juga sebagai qawa’aid
fiqhiyyah. Beberapa hadits Nabi yang singkat dan padat mendukung stetment ini, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
2. ( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan
hadits jawami’ al-kalim (singkat padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu
yang dapat menghilangkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan
jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman. Ini adala ketetapan Nabi
Muhammad SAW, yaitu hokum meminum minuman yang memabukkan adalah haram. Atsar
(pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawa’id fiqhiyyah diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam
kitabnya Shahih al-Bukhari: (penerimaan hak bdasarkan kepada syarat-syarat)
2. pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H)
(orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib
menjadi kaidah yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah.
b. Fase Perkembangan dan Pembukuan Qawa’id Fiqhiyyah
Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad
ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai
tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab.dan ulama pada saat itu
merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh
dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara
madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi

12
setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan
menjawab persoalan-persoalan baru. Berkaitan dengan ini, Ibnu Khaldun berkata dalam
muqaddimahnya“ketika madzhab-madzhab telah dijadikan ilmu yang tersendiri oleh para
pengikutnya, dan tidak ada kesampatan untuk melakukan ijtihad dan mengaplikasikan metode
qiyas, maka mereka hanya menyamakan persoalan-persoalan baru yang pernah dibahas oleh
pendiri dan pemuka madzhab, baru mereka membahas masalah-masalah itu bedasarkan ketentuan
yang telah ditetapkan oleh madzhab”Menjawab beberapa persoalan fiqh dengan menggunakan
metode seperti ini rupanya menyebabkan fiqh menjadi semakin berkembang pada saat itu, cakupan
wilayahnya menjadi luas dan mampu menjawab seluruh persoalanya. Pada saat itulah para ahli fiqh
membuat metode baru mula-mula metode ini diberi nama dengan:
1. al-Qawa’id atau ad-Dlawabid

2. al-Faruq
3. al-Alghaz
4. muthorohat
5. Ma’rifat al-Afrod
6. al-Hiyal dan nama-nama lain yang termasuk menjadi istilah dalam ilmu fiqh.
.c. Fase Pemantapan dan Penyempurnaan
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketikan disusun Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani
(1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-
lembaga peradilan pada masa itu. Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan
setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi
yang gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun
kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu
mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat
al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas dan menduduki
posisi yang sangat penting dalam proses penalaran hukum fiqh.( Asymuni A. Rahman, qaidah
qaidah)

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Secara etimologis kata qawa’id berasal dari bahsa Arab qa’idah, yang berarti peraturan,
undang-undang atau pondasi bangunan.Muhammad Abu Zahrah juga menerangkan bahwa fiqh
ialah :”Suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syarak tentang perbuatan manusia yang
diambil dari dalil-dali syarak yang terperinci. fiqih mencakup dua aspek:

a. Hukum hukum fiqih yang hanya dapat dipahami oleh mujtahid setelah melalui proses ijtihad.

b. Hukum hukum fiqih yang tidak memerlukan ijtihad , seperti hukum hukum yang terdapat dalam
Al Qur'an dan sunnah serta masalah masalah ijma'. Pembagian kaidah Fiqhiyah terbagi menjadi
beberapa bagian yaitu segi fungsi, segi mustasynat, dan segi kualitas.
Menurut riwayat, seorang ulama syafi'i yaitu Abu Sa'id Al harwi menuliskan lima qa'idah pokok dari
Al Dabbas tersebut, lima kaidah tersebut adalah:
1.‫ اال مورا بمقا صدها‬Segala sesuatu urusan itu dinilai sesuatu dengan tujuan itu ada niatnya.
2. ‫باشك اليقين ال يزا ل‬Keyakinan itu tidak dapat dihapus oleh keraguan
3.‫التيسر المشقت تجلب‬Kesulitan itu membawa kepada kemudahan
4. ‫الضرار يزال‬Segala bentuk kemudharatan harus dihilangkan.

14
5. ‫العادة محكمة‬Adat / tradisi dapat dijadikan pertimbangan hukum
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan kaidah Fiqhiyah juga terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
2. Fase perkembangan dan pengkodifikasikan
3. Fase pemantapan dan penyempurnaan

B. Saran
Dalam menulis makalah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini belum sempurna
meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini akan tetapi pada
kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dari pada pembaca sangat penulis harapkan sebagai bahan evaluasi untuk
kedepannya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Adnan M. Jamaah, Raf'u Al Harj fi Al syari'ah Al Islamiyyah. hlm 215
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih. hlm 6
Asymuni A. Rahman, kaidah Fiqhiyah. hlm 10
Ali Ahmad Al nadawy, Al qawaid .hlm 238

16
17

Anda mungkin juga menyukai