Anda di halaman 1dari 24

40 KAIDAH USHUL FIKIH BESERTA CONTOHNYA

Dosen Pengampu : Imat Ruhimat, S.Sos.I.,MM

Disusun Oleh :
Kelompok 9

1. Mujiyatun : 22.01.01.0088
2. Siti Julaeha : 22.01.01.0003
3. Hanina Asri : 22.01.01.0014
4. M.Azmi : 22.01.01.0150

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
STAI NIDA EL-ADABI
1444 H/ 2023 M
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Sholawat serta salam kami panjatkan kepada
Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan
menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Kami menyampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah USHUL
FIKIH serta teman-teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini,
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ 40 KAIDAH USHUL
FIKIH BESERTA CONTOHNYA". Kami menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan dalam makalah ini, sehingga kami senantiasa terbuka untuk menerima saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi penyempurnaan makalah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penyusun

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1


A. Latar Belakang........................................................................... ..1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………... 1
C. Tujuan Penulisan ...................................................................... ...1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... .. 2


A. Pengertian Kaidah Fiqih ............................................................. . 2
B. Urgensi Kaidah Kaidah Fiqih ..................................................... . 3
C. 40 Kaidah Ushul Fiqih dan Contohnya ...................................... .. 4

BAB III PENUTUP ............................................................................... 20


A. Kesimpulan ............................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qawaid fiqhiyyah (Kaidah Fikih) adalah salah hal yang penting dipelajari saat seorang Muslim
tengah memperdalam ilmu agama tentang hukum-hukum Islam. Tanpa mempelajari qawaid
fiqhiyyah, pemahaman seseorang tentang hukum Islam akan kurang sempurna.
Mempelajari qawaid fiqhiyyah juga bisa memberikan banyak manfaat, sebagaimana disampaikan
Dr. H. Fathurrahman Azhari, M.H.I., dalam buku Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Manfaat-manfaat
tersebut tentunya tak hanya berguna bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain.
Lantas apa itu pengertian qawaid fiqhiyyah/Kaidah Fiqih, urgensi serta apa saja contoh-
contohnya? Berikut informasi lengkapnya.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Kaidah Fiqih
2. Urgensi Kaidah Kaidah Fiqih
3. 40 Kaidah Ushul Fiqih dan Contohnya

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang Pengertian Kaidah Fiqih
2. Untuk mengetahui tentang Urgensi Kaidah Kaidah Fiqih
3. Untuk mengetahui tentang 40 Kaidah Fikih dan Contohnya

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Fiqih


Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-fiqhiyah. Al-qawa‟id
merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara kebahasaan berarti dasar, aturan
atau patokan umum. Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa qa`idah
secara kebahasaan berarti fondasi atau dasar (al-Ashfihani, 1961: 409). Kata al-qawa`id dalam Al-
Qur`an ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 juga berarti tiang,
dasar atau fondasi, yang menopang suatu bangunan. Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata
al-fiqh yang berarti paham atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-„amiq) yang dibubuhi
ya‟ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau pengkategorian. Dengan
demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-
patokan yang bersifat umum mengenai jenis-jenis atau masalah-masalah yang masuk dalam
kategori fiqh.

Secara kemaknaan (istilah ulama ushul al-fiqh) kaidah-kaidah fiqih dirumuskan dengan redaksi-
redaksi yang berbeda. Sebagai sampel, dikemukakan beberapa rumusan ahli hukum Islam, sebagai
berikut :

Pertama, menurut at-Taftazani, kaidah adalah hukum yang bersifat umum (kulli) yang mencakup
seluruh bagian-bagiannya (juz`i) dimana hukum yang juz`i itu menjadi bagian dari hukum yang
umum atau kulli (Ali Shabah, 1967. 1: 20).

Kedua, an-Nadwi mengutip at-Tahanawi mengatakan bahwa kaidah adalah sesuatu yang bersifat
umum mencakup seluruh bagian-bagiannya, manakala hukum dari bagian-bagian sebelumnya itu
telah diketahui (an-Nadwi, 1986: 40).

Ketiga, menurut as-Subki (t.t, 2: 10) kaidah-kaidah fiqih adalah suatu perkara hukum yang bersifat
kulli (umum) bersesuaian dengan particular-partikular (hukum-hukum cabang) yang banyak, yang
darinya (dari hukum-hukum kulli) diketahui hukum-hukum masing-masing partikular atau hukum
cabang tersebut.

Keempat, menurut az-Zarqa yang dikutip oleh A. Rahman (1976:10), kaidah fiqih adalah dasar-
dasar fiqih yang bersifat kulli, dalam bentuk teks-teks perundang-undangan ringkas, mencakup

2
hukum-hukum syara‟ yang umum pada peristiwa-peristiwa yang termasuk di bawah tema-nya
(maudu‟nya).

Dari rumusan-rumusan di atas, dipahami bahwa sifat kaidah fiqih itu adalah kulli atau umum, yang
dirumuskan dari fiqih-fiqih yang sifatnya partikular (juz‟iyah). Jadi kaidah fiqih adalah
generalisasi hukum-hukum fiqih yang partikular. Kendatipun demikian, menurut kebiasaan, setiap
sesuatu yang bersifat kulli, termasuk kaidah-kaaidah fiqih ini, ditemukan pengecualian (istitsna),
pengkhususan (takhshish), penjelasan (tabyin) dan perincian (tafshil). Hal ini disebabkan, karena
ada kemungkinan-kemungkinan partikular-partikular atau hukum-hukum cabang tertentu yang
tidak dapat dimasukan dalam kaidah tersebut, berdasarkan spesifikasi atau kekhususan tertentu.
Pengecualian tersebut akan terlihat dalam contoh-contoh kasus dari setiap kaidah sebagaimana
yang akan dikemukakan kemudian. Mencermati uraian sebelumnya, penulis dapat meringkaskan
bahwa kaidah-kaidah fiqih adalah generalisasi-generalisasi hukum fiqh yang sifatnya umum atau
aghlabiyah (mencakup sebagian besar maslah-masalah fiqih) dan tertuang dalam bentuk proposisi-
proposisi yang sempurna, sekalipun terkadang sangat sederhana. Poposisi kaidah fiqih yang
sederhana umpamanya

Artinya: “Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian.” (as-Suyuthi.
t.t:93) Perlu dikemukakan, bahwa ada perbedaan antara kaidah-kaidah fiqih (al-qawa‟id al-
fiqhiyyah) dan kaidah-kaidah ushul (al-qawa‟id al-ushuliyyah). Kaidah fiqih adalah generalisasi
fiqih yang dapat dijadikan rujukan para ulama dalam menetapkan hukum-hukum fiqih yang
tercakup dalam kaidah tersebut. Sedangkan kaidah-kaidah ushul adalah aturan-aturan umum yang
menjadi sandaran dalam penetapan hukum fiqih yang orientasinya kepada aspek kebahasaan Al-
Qur‟an dan Sunnah, yang karenanya juga disebut dengan kaidah istinbathiyah dan kaidah-kaidah
lughawiyah (al-Syafi‟i, 1983:4-5). Ringkasnya, kaidah fiqh adalah generalisasi hukum fiqh yang
telah dirumuskan dalam bentuk proposisi-proposisi. Sedangkan kaidah ushul adalah generalisasi
bentuk-bentuk dan makna-makna lafaz dalam Al-Qur‟an dan Sunnah baik yang terumuskan dalam
proposisi-proposisi atau tidak.

B. Urgensi Kaidah-Kaidah Fiqih


Seperti dikemukakan para ulama, berdasarkan materinya, hukum Islam itu dapat diklasifikasikan
kepada dua macam yaitu : Pertama, hukum ibadah, seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain.
Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan adalah untuk merealisir dan merupakan implementasi
dari kesadaran mendalam seorang hamba akan tujuan utama hidupnya, yaitu untuk mengabdi

3
kepada-Nya. Kedua, hukum-hukum mu‟amalah (hukum yang berkenaan dengan kemasyarakatan
dalam arti luas), seperti transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, sanksisanksi hukum kejahatan dan
sebagainya, selain dari masalah ibadah mahdhah. Dewasa ini, hukum-hukum mu‟amalah tersebut
telah berkembang pesat dan mengambil bentuk berbagai disiplin ilmu yang mengandung berbagai
persoalan hukum, seperti terlihat dalam kitab-kitab ushul al-fiqh kontemporer, ketika
membicarakan masalah pembagian hukum. Dengan demikian, wilayah pembahasan dan masalah-
masalah hukum Islam itu sangat luas, sehingga untuk “menghafalnya” satu persatu atau untuk
menentukan hukum masing-masingnya tidak mudah bagi orang yang mempelajari hukum Islam,
bahkan ahli sekalipun. Oleh karena itu, solusi alternatif yang dapat dilakukan dalam mengatasinya
adalah dengan merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang merupakan generalisasi dari masalah-
masalah fiqih tersebut, dan setiap generalisasi dapat menampung masalah-masalah yang serupa.
Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqih tersebut, para ahli hukum Islam akan merasa lebih
mudah dalam mengistinbathkan hukum suatu masalah dengan memproyeksikan masalah-masalah
yang akan ditentukan hukumnya itu kepada kaidah fiqih yang menampungnya.

C. 40 Kaidah Ushul Fiqih dan Contohnya


Hukum hukum syara’ atau yang biasa disebut Fiqih itu pada dasarnya dapat dikembalikan kepada
lima kaidah pokok, namun disini akan diuraikan 40 kaidah fiqih dan contohnya. Diantaranya:

KAIDAH PERTAMA
ِ َ‫اَ اْل ُء ُم او ُر ِب َمق‬
‫اص ِد َها‬
“ Setiap perbuatan itu bersama dengan tujuannya/niatnya “
Misalnya :
1. Berwudhu itu harus dengan niat, seperti itu pula mandi wajib, sholat dan puasa
2. Ketika seseorang berniat dalam makan dan minum itu untuk menguatkan dalam beribadah,
maka ia akan mendapatkan pahala, jika tidak diniati maka ia tidak akan mendapatkan pahala.
3. Orang yang memeras anggur itu juga tergantung tujuan/niatnya untuk dijadikan cuka atau
khamer (minuman keras).
‫انما االعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى رواه البخارى‬
Nabi Saw bersabda : Sesungguhnya semua perbuatan itu bersama dengan niatnya, dan untuk setiap
perbuatan itu tergantung dari niatnya (HR. Bukhari)

KAIDAH KEDUA
‫طأ ُ فِ ْي ِه ُمب ِْطل‬ ُ ‫َما يُ ْشت ََر‬
َ ‫ط فِ ْي ِه الت َّ ْعيِ ْينُ فَاْل َخ‬
“Jika menyatakan sesuatu itu menjadi syarat, maka jika salah hukumnya batal.”

4
Misalnya :
1. Kesalahan dalam melakukan sholat dzuhur ke „ashar dan sebaliknya, maka ketika ia melakukan
sholat dzuhur dan berniat sholat „ashar maka hukumnya tidak sah.
2. Kesalahan dalam niat dari Sholat „Idul Fitri ke „Idul Adlha dan sebaliknya.

KAIDAH KETIGA
َ َ ‫طأ‬
‫ض َّر‬ َ ‫ص ْيالً إِذَا َعيَّنَهُ َوأَ ْخ‬ ُ ‫ض لَهُ ُج ْملَةً َو الَ يُ ْشت ََر‬
ِ ‫ط تَ ْع ِي ْينُهُ ت َ ْف‬ ُ ‫َما يُ ْشت ََر‬
ُ ‫ط التَّعَ ُّر‬
“Jika syaratnya hanya menentukan secara global, dan tidak disyaratkan ta‟yinnya
(menyatakannya) secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal
itu akan menjadi madharat”
Misalnya :
1. Niat menjadi ma‟mum pada Zaid ternyata yang jadi imam adalah Umar, maka tidak sah
berjama‟ahnya karena ia telah menghilangkan niat ma‟mum kepada Umar dengan niat menjadi
ma‟mumnya Zaid, maka ketika ternyata ia menjadi ma‟mum dari Umar maka ia tidak berniat
menjadi ma‟mum. Dan dalam berjama‟ah tidak disyaratkan menyatakan siapa imamnya, tetapi
hanya disyaratkan untuk niat berjama‟ah, tidak yang lain.
2. Niat mensholati mayyitnya Bakar, ternyata yang disholatinya adalah mayyit Khalid, atau niat
sholat untuk mayyit laki-laki tapi ternyata mayyitnya perempuan, atau sebaliknya, maka semua itu
tidak sah. Karena dalam sholat Janazah itu tidak wajib ta‟yin (menyatakan) siapa mayyit yang
disholatinya, hanya cukup berniat sholat terhadap mayyit saja.
5. Jika seseorang telah menyatakan mengeluarkan zakat untuk hartanya yang ghaib (tidak ada
disampingnya) dan ternyata harta yang ghaib itu telah rusak/hilang, maka zakat untuk harta yang
ghaib itu tidak bisa dijadikan sebagai zakat harta yang masih ada.

Yakin Tidak Hilang Oleh Karaguan


KAIDAH KEEMPAT
‫ض ْر‬ َ ْ‫ص ْيالًإذَا َع ْينُهُ َواَج‬
َ ‫طا َءلَ ْم َي‬ ِ ‫ض لَهُ َخ ْملَة َو َالتَ ْف‬ ُ ‫َما َال َي ْشت َِر‬
ُ ‫ط التَ ْع ُر‬
“Jika tidak disyaratkan menentukan secara global, dan tidak secara terperinci, maka ketika
seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal itu tidak akan menjadikannya madharat”
Misalnya :
Kesalahan ta‟yin (pernyataan) Imam tentang ma‟mum yang ada dibelakangnya, maka jika
seseorang berniat menjadi imamnya Zaid tapi ternyata yang jadi ma‟mum adalah umar, maka
sholat imam itu tidak menjadinya madharat (tidak batal) hal itu karena tidak adanya syarat bagi
imam untuk menentukan siapa ma‟mumnya, dan tidak juga niat untuk menjadi imam.

5
KAIDAH KELIMA
ُ ‫اصد ُالَّ ْف‬
‫ظ َعلَی نِيَ ِة َّاالفِ ِظ‬ ِ َ‫َمق‬
“Maksud lafadz (ucapan) itu tergantung orang yang melafadzkannya (mengucapkannya)”
Misalnya :
Jika seseorang membaca dalam sholat dengan bacaan Al-Qur‟an dan tidak berniat selain
membacanya, maka itu hukumnya jelas, tetapi jika ia bertujuan untuk memberikan faham kepada
orang lain saja, maka batal sholatnya, tetapi jika ia berniat dua-duanya maka sholatnya tidak batal,
dan ketika seseorang memutlakannya maka Qaul yang lebih Shahih berpendapat bahwa sholatnya
itu batal.

KAIDAH KEENAM
َّ ‫ْاليَ ِق ْينُ َاليَزَ ا ُل بِال‬
‫ش ِك‬
“Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan”
Misalnya :
1. Barang siapa ragu-ragu dalam hitungan sholatnya apakah 3 atau 4 maka peganglah 3 karena
itulah yang lebih meyakinkan.
2. Barang siapa yakin dalam keadan suci dan ragu-ragu mempunyai hadats maka ia adalah suci.
3. Barang siapa yakin mempunyai hadats dan ragu-ragu dalam keadan suci, maka ia adalah orang
yang mempunyai hadats.
Rasulullah Saw bersabda :
َ ‫صلَّى ثَالَثًا أَ ام أَ ار َب ًعا فَ ال َي اط َرحِ الشَّكَّ َو ال َيب ِان‬
‫علَى َما ا ا‬
َ‫ست َ ايقَن‬ َ ‫ِإذَا شَكَّ أ َ َح ُد ُك ام ِفي‬
َ ‫صالَ ِت ِه فَلَ ام َيد ِار َك ام‬
“Jika salah satu diantara kamu ragu dalam sholatnya dan tidak mengetahuinya apakah ia telah
sholat 3 raka‟at atau 4 raka‟at, maka sebaiknya ia meninggalkan keraguan itu dan sebaiknya
berpegang pada apa yang diyakininya.” (HR. Muslim)

KAIDAH KETUJUH
ْ َ ‫اْأل‬
َ‫ص ُل َبقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬
“Asalnya itu tetapnya sesuatu atas sesuatu”
Misalnya :
1. Barang siapa yang makan sahur diakhir malam dan ragu-ragu telah muncul fajar, maka sah
puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya malam.
2. Barang siapa yang berbuka puasa diakhir siang dengan tanpa ijtihad, dan ia raguragu pada
terbenamnya matahari, maka batal puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya
siang.

6
3. Seseorang yang telah membeli air kemudian menggugat bahwa air itu najis, dan hendak
mengembalikannya, maka ucapan yang mesti dipegang adalah ucapan si penjual, karena
sesungguhnya asalnya air itu adalah suci.
4. Seseorang yang meragukan air suci yang berubah, apakah perubahan itu sedikit atau banyak,
maka air itu masih tetap suci.

KAIDAH KEDELAPAN
ْ ‫أ َ ْال َء‬
ِ ‫ص ُل ِب َراةَالذَّ َم‬
‫ت‬
“Asalnya itu lepasnya tanggungan / tanggung jawab”
Misalnya :
Seseorang yang diminta untuk melakukan sumpah, kemudian ia tidak mau melakukannya, maka
ia tidaklah dihukum karena ketidak mauannya itu, karena asalnya adalah tidak adanya
tanggungan/tanggung jawab, kemudian sumpah itu dihadapkan kepada orang yang
meda‟wanya/menggugatnya.

KAIDAH KESEMBILAN
‫ص ُل ْالعَدَ ُم‬
ْ ‫أَ ْال َء‬
“Asalnya itu tidak ada”
Misalnya :
1. Jika seseorang ditetapkan mempunyai hutang dengan sebab pengakuan atau jual beli, kemudian
ia mengaku/menda‟wa tentang hutang itu sudah dibayar atau dibebaskan, maka ucapan yang
dipegang adalah ucapan orang yang didakwa mempunyai hutang, karena asalnya adalah tidak
adanya semua itu (hutang).
2. Jika seseorang ragu-ragu dalam meninggalkan perbuatan yang diperintah dalam sholatnya,
seperti tidak melaksanakan tahiyyat awal, maka ia menggantinya dengan sujud sahwi, tetapi jika
melakukan perbuatan yang dilarang dalam sholat, seperti menambah jumlah sujud dengan ragu-
ragu, maka tidaklah harus sujud sahwi, karena sesungguhnya asalnya itu tidak adanya pekerjaan
menambah sujud.

KAIDAH KESEPULUH
ِ ‫اح ٍدت َ ْق ِدي ُْرهُ ِبا َ ْق َر‬
‫ب زَ َمنِ ِه‬ ْ ‫أَ ْال َء‬
ِ ‫ص ُل فِی ُك ِل َو‬
“Asalnya sesuatu yang datangnya kemudian, perkiraan hukumnya adalah menghitung pada yang
lebih dekat waktu kedatangannya ”
Misalnya :

7
1. Seseorang yang telah memukul perut orang hamil sampai kemudian melahirkan seorang anak
yang hidup dan dan tidak dalam kondisi sakit, tetapi kemudian ia meninggal dunia, maka orang
itu tidaklah dijatuhi hukuman sebagai pembunuh, karena secara dzahir anak itu meninggal dengan
sebab yang lain, dan sebab yang lain itu sangat dekat dengan kematian anak tadi.
2 Orang yang berwudhu di sumur setiap hari untuk melakukan sholat, kemudian ia menemukan
bangkai tikus disumur itu, maka ia tidak wajib mengulangi (mengqodho) sholatnya kecuali jika ia
yakin bahwa ia sholat dalam keadaan najis.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah : 185
‫َّللا ِب ُك ْم ْاليُسْر َو َال ي ُِريد ِب ُك ْم ْالعُسْر‬
َّ ‫ي ُِريد‬
"....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu

Kesulitan Menghasilkan Kemudahan


KAIDAH KESEBELAS
‫شقَّةُتَ َجلُّبُ الةَّيس ُِر‬
َ ‫ْال َم‬
“Kesulitan itu akan menghasilkan kemudahan ”
Misalnya :
1. Ketika seseorang tidak bisa berdiri dalam sholat fardhu maka baginya diperbolehkan sholat
sambil duduk, begitu pula jika ia tidak bisa untuk duduk maka diperbolehkan sholat sambil
berbaring miring.
2. Jika seseorang tidak boleh menggunakan air maka ia boleh bertayammum.
3. Imam Syafi‟i ra. berkata : “Ketika seorang perempuan tidak mempunyai wali dalam
perjalanannya, maka ia boleh menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kepada orang lain yang
dipercayanya.”
Dan dengan pengertian kaidah ini, Imam Syafi‟i berkata :
َ ‫ا َ اْل َء ام ُرإِذَا‬
َ َّ‫ضاقَ ات‬
‫س َع‬
“Perkara itu ketika dalam kondisi sempit, maka hukum akan menjadi longgar”
Dan ucapan sebagian ulama :
َ َّ ‫ت ات‬
ْ َ‫سع‬
‫ت‬ َ ‫ا َ ْال َء ْشيَا ُءإِذَا‬
ْ َ‫ضاق‬
“Setiap sesuatu itu jika dalam kondisi sempit maka ia akan menjadi longgar”

FAIDAH
Keringanan dalam hukum syara’ itu terbagi menjadi tujuh macam :
1. Keringanan menghilangkan/menggugurkan, seperti gugurnya kewajiban Jum‟at, haji dan
Umroh dengan sebab „udzur/halangan.
2. Keringan mengurangi, seperti meng-qashar (meringkas jumlah raka‟at) sholat

8
3. Keringanan menggantikan, seperti menggantikan wudhu dan mandi dengan tayammum, dan
menggantikan berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring miring dan isyarah, dan
menggantikan puasa dengan memberi makan fakir miskin (bagi yang udzur)
4. Keringanan mendahulukan, seperti sholat jama‟ taqdim dan mendahulukan zakat sebelum
waktunya tiba, dan mendahulukan zakat fitrah dibulan Ramadhan, dan mendahulukan membayar
kafarat bagi yang melanggar sumpah.
5. Keringanan Mengakhirkan, seperti sholat jama‟ ta‟khir, dan mengakhirkan puasa Ramadhan
bagi orang yang sakit dan musafir, dan mengakhirkan sholat bagi orang yang menyelamatkan
orang yang tenggelam.
6. Keringanan Rukhshoh, seperti sholatnya orang yang beristinja‟ dengan batu karena masih ada
bekas sisa kotorannya, dan minum arak bagi orang yang haus, serta makan najis untuk kebutuhan
obat.
7. Keringanan merubah, seperti merubahnya peraturan/praktik sholat pada sholat khauf.

KAIDAH KEDUA BELAS


ْ َ‫ضاق‬
‫ت‬ َ َّ‫اَ ْال َء ْشيَا ُءإِذَاات‬
َ ‫س َع‬
“Setiap sesuatu itu jika dalam kondisi longgar maka ia akan menjadi sempit”
Misalnya :
1. Sedikitnya bergerak dalam sholat itu diampuni, dan jika banyak bergeraknya dengan tidak
adanya hajat (kebutuhan) maka itu tidak diampuni.
2. Ketika air berubah misalnya oleh ganggang maka air itu tetap suci mensucikan, tetapi ketika
ganggang itu diremas-remas/dihancurkan oleh seseorang dan menceburkannya ke air kemudian
air itu berubah, maka air itu menjadi tidak suci mensucikan.
3. Jika didalam air terdapat bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, maka air itu tetap suci
mensucikan,
Imam Ghazali rahimahullah mengumpulkan antara dua kaidah dengan ucapannya :
‫َس ِإلَی ِض ِد ِه‬
َ ‫وز َح ُد ُه ا ان َعك‬
ُ ‫ُك ُّل َمات َ ُج‬
“Setiap sesuatu yang melewati batas, maka ia akan kembali pada kebalikannya”
Nabi Saw bersabda :
‫ْل ضرر وْل ضرار‬
“Tidak memberikan madharat pada diri sendiri, dan tidak memberikan madharat pada orang lain”
(HR. Imam Malik dan Ibnu Majah)

Darurat Membolehkan Yang Haram


KAIDAH KETIGA BELAS

9
‫اَلض ََّر ُريَ َزا ُل‬
“Kemadharatan itu dihilangkan”
Misalnya :
1. Si pembeli itu boleh khiyar (memilih mengembalikan atau tidak) dengan adanya cacat benda
yang telah dibelinya.
2. Bagi suami istri itu boleh fasakh (bubar) nikah dengan adanya beberapa cacat.
3. Diperbolehkan bagi istri meminta fasakh nikah karena susahnya/miskinnya suami.
4. Menjaga kelestarian umat, menetapkan hukum, mencegah kedzaliman, Qishash dan
memberikan hukum harus mengganti bagi para perusak.

KAIDAH KEEMPAT BELAS


‫الَض ََر ُر َْليَ َزا ُل بِالض ََّر ِر‬
“Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan yang lain”
Misalnya :
Jika seseorang terjatuh diatas orang yang sedang terluka, dan tetap berada diatasnya sampai orang
yang luka itu meninggal, maka orang itu hukumnya telah membunuh, tetapi jika langsung pindah
maka yang membunuh bukanlah orang yang terjatuh itu.

KAIDAH KELIMA BELAS


‫ت‬
ِ ‫ورا‬
َ ‫ظ‬ُ ‫وراتُ تَ ِب ايعُا ال َمحا‬
َ ‫الض َُّر‬
“Darurat itu dapat membolehkan semua yang dicegah/larang”
Misalnya :
1. Diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi bagi mereka yang sangat lapar dan bagi yang
amat kehausan boleh meminum arak.
2. Boleh melafazkan kalimat yang mengakibatkan kekufuran karena dipaksa.
3. Diperbolehkan mengambil harta orang yang tidak mau membayar hutang kepadanya dengan
tanpa izin orang itu.
Dan pengertian kaidah ini sama dengan kaidah yang lain yaitu :
‫ال حرام مع الضرورة وال كراهة مع الحاجة‬
“Tidak ada hukum haram bagi yang dharurat dan tidak ada hukum makruh bagi yang hajat
(butuh)”

KAIDAH KEENAM BELAS


‫َماا ابيَ ُع ِللض َُّر او َر ِةيَ اقد ُِربِ َقد ِار َها‬
“Yang dibolehkan dalam hal kemadharatan itu hanya ukuran perkiraan madharatnya”

10
Misalnya :
1. Orang yang madharat itu tidak boleh makan makanan yang haram kecuali makan untuk
menyambung hidupnya.
2. Jika seseorang bertujuan (mengobati/menyuntik) seorang perempuan maka wajib baginya
menutupi semua lengan perempuan itu dan tidak boleh membukanya kecuali pada bagian yang
menjadi tujuannya itu.
3. Tidak diperbolehkan mengawinkan orang gila dengan perempuan yang lebih dari satu, karena
itu telah menolak kebutuhan baginya.

KAIDAH KETUJUH BELAS


‫أ َ ال َحجَةُقَ ادتَ ان ِز ُل َم ان َزلَةَال َّظ ُر او َر ِة‬
“Hajat itu terkadang berada diposisi dharurat”
Misalnya :
Menurut sebagian ulama : diperbolehkan menjual (sayuran dll) yang masih berada didalam tanah,
seperti : lobak dan bawang karena kemashlahatan umum bagi manusia, karena jika disyaratkan
pada penjualnya untuk mengeluarkannya dari dalam tanah sekaligus, maka itu menjadikannya
susah dan rusaknya (sayuran dll) yang tidak dibeli, dan jika ia menjualnya dengan cara sedikit-
sedikit, maka itu juga akan menjadikannya kesusahan dan hilangnya kemashlahatan baginya.

Menolak Keburukan Dan Mengambil Kebaikan


KAIDAH KEDELAPAN BELAS
‫اخفَ ُه َما‬
‫ب ا‬ ‫ان ُر او ِع َي ا اع َظ َم ُه َماض َُر ًرابِ ا‬
ِ ‫ارتِكَا‬ ِ ‫ض ا ال ُم اف‬
ِ َ‫س َدت‬ َ َ‫إِذَاتَع‬
َ ‫ار‬
“Ketika terdapat dua kemafsadatan maka hindari yang lebih besar madharatnya dengan melakukan
yang lebih ringan mafsadatnya”
Misalnya
1. Boleh membelah perut orang mati jika didalamnya terdapat seorang anak yang diperkirakan
hidup.
2. Tidak boleh meminum Khamr dan berjudi karena madharat keduanya itu lebih besar dari
manfa‟atnya.
3. Diberlakukannya dalam agama Islam hukum Qishah, hudud, membunuh perampok.

KAIDAH KESEMBILAN BELAS

ِ‫علَی َج ال ِبا ال َمصَا ِلح‬ ِ ‫د اَر ُءا ال َمفَا‬


َ ‫س ِد ُمقَ ِد ٌم‬
“Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil kemashlahatan”
Misalnya

11
1. Mubalaghah dalam berkumur-kumur dan istinsyaq itu hukumnya disunnahkan, namun
dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga puasanya dari jalan yang
menjadikannya batal.
2. Menyela-nyela rambut hukumnya sunnah dalam bersuci, tetapi dimakruhkan bagi orang yang
sedang ihram karena menjaga dari rontoknya rambut.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Mu‟minun : 5 - 7
َ‫) فَ َم ِن ا ابتَغَ ٰى َو َرا َء ٰذَ ِلكَ فَأُو ٰلَئِك‬6( َ‫ومين‬ َ ‫اج ِه ام أ َ او َما َملَكَتا أ َ اي َمانُ ُه ام فَ ِإنَّ ُه ام‬
ِ ُ‫غي ُار َمل‬ ِ ‫علَ ٰى أ َ از َو‬ ُ ِ‫وج ِه ام حَاف‬
َ ‫) إِ َّْل‬5( َ‫ظون‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ ُه ام ِلفُ ُر‬
َ‫( ُه ُم ا العَا ُدون‬7)
5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal Ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

KAIDAH KEDUA PULUH


ِ ‫ص ُل ِفی ا‬
‫اْل ايضَاعِ التَّحا ِري ِام‬ ‫ا َ اْل َء ا‬
“Asalnya berjima‟ itu hukumnya haram”
Misalnya
Tidak dihalalkan menjima‟ perempuan yang menjadi boyongan (tawanan) perang kecuali sudah
menjadi bagian dari ghanimah yang dibagi oleh imam yang membaginya dengan baik dengan tidak
ada rasa ragu dan takut.
Allah Swt berfirman dalam surat al-A‟raf : 199
ِ ‫ ُخ ِذ ا العَ اف َو َوأا ُم ار ِبا العُ ار‬...
‫ف َوأَع ِار ا‬
َ‫ض ع َِن ا الجَا ِه ِلين‬
"Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh."

Adat itu bisa menjadi hukum


KAIDAH KEDUA PULUH SATU
ٌ‫ا العَا َدةُ ُمحا َك َمة‬
“Adat itu bisa menjadi hukum”
Misalnya :
1. Mu'amalah dalam jenis barang-barang atau macam-macam jenisnya yang lain itu pada dasarnya
berlaku harga yang sesuai dengan mata uang yang berlaku.
2. Dalam hitungan haidh, sedikitnya haid, nifas dan suci, serta kebiasaan dan paling banyaknya itu
tergantung kebiasaan yang berlaku.

12
3. Untuk memberikan upah pada tukang jahit dan tukang tenun, menurut Imam Syafi'i
rahimahullah sebaiknya bersandar pada kebiasaan yang berlaku.
‫واعلم انما تعتبر العادة اذا اضطردت فان اطربت فال وجب البيان‬
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya adat itu menjadi perumpamaan ketika berlaku, maka ketika
berubah tidaklah wajib untuk membuat bayan (keterangan)”

KAIDAH KEDUA PULUH DUA


ِ ‫ط َلهُ فِ ْي ِه َو َالفِی فِی اللُغَ ِةيَ ْر ِج ُع فِ ْي ِه إِلَی ْال َع َر‬
‫ف‬ َ َ‫ضاب‬ ْ ‫ع ُم‬
َ ‫طلَقً َاو َال‬ َّ ‫َم َاو َردَ ِب ِه ال‬
ُ ‫ش ْر‬
“Sesuatu yang datang dalam hukum syara' secara muthlaq dan tidak ada yang menjadi landasannya
dan tidak juga dengan definisi lughoh (bahasa) maka semua itu dikembalikan pada kebiasaan
(adat) yang berlaku”
Misalnya :
Jual beli dengan saling serah terima tanpa akad ijab dan qabul itu secara hukum syara' tidak sah,
maka wajib dikembalikan kepada adat kebiasaan, dan pendapat ini dipilih oleh Imam Nawawi
rahimahullah, dan termasuk Qaul Mu'tamad.

KAIDAH KEDUA PULUH TIGA


ُ ُ‫اَ اْل ِءجا تِهَاد َُْليَنق‬
‫ض ِب ااْل ِءجا تِهَا ِد‬
“Ijtihad itu tidak akan rusak dengan ijtihad yang lain”
Misalnya :
Jika seseorang berubah ijtihadnya dalam menentukan arah kiblat, maka yang dipakai adalah ijtihad
yang kedua, tetapi tidak mesti mengqadho (mengulangi) sholatnya (jika sudah melakukan sholat),
bahkan walaupun ia sholat 4 raka‟at dengan 4 arah kiblat yang berbeda itu tidak mesti diqodho.

KAIDAH KEDUA PULUH EMPAT


ٌ ‫ت َم امنُ او‬
‫ع‬ ُ َ‫ااْل ِء ايث‬
ِ ‫ار ِبا ال ِع َبا َد‬
“Mendahulukan orang lain dalam hal ibadah itu dilarang”
Misalnya :
1. Mendahulukan orang lain dalam barisan pertama dalam sholat berjama'ah
2. Mendahulukan orang lain dalam memakai air suci dan bergantian menutup aurat
Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Hasyr : 9
ٌ‫علَى أ َ انفُس ِِه ام َولَ او كَانَ ِب ِه ام َخصَاصَة‬
َ َ‫َويُؤا ِث ُرون‬
"....Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan...."

13
Kebijakan Pemimpin berdasarkan Kemaslahatan
KAIDAH KEDUA PULUH LIMA
ُ َ ‫اََ اْل ِء اي اَث‬
ٌ ‫ار ِبغَي ِارا ال ِع َبا َد ِة َم اطلُ او‬
‫ب‬
“Mendahulukan diri sendiri dalam hal yang bukan ibadah itu yang dicari”
Misalnya :
Tidak mengambil harta sodaqoh, karena mendahulukan buat orang lain
Nabi Saw bersabda :
‫ُكلُّ ُك ام َراعٍ َو ُكلُّ ُك ام َم ا‬
‫سئ ُو ٌل ع اَن َر ِع َّيتِ ِه‬
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggung jawabannya atas
kepemimpinannya itu”.

KAIDAH KEDUA PULUH ENAM


‫الر اعيَ ِةمنوط ِبا ال َم ا‬
‫صلَ َح ِة‬ َ ‫تَص ِارفُ ااْل ِء َما ُم‬
ُّ ‫علَی‬
“Kebijakan seorang pemimpin dalam kepemimpinannya harus dilandasi dengan kemaslahatan”
Misalnya :
Tidak diperbolehkan menggunakan harta baitul mal untuk orang yang tidak butuh dan
membelakangkan orang yang lebih butuh.
Nabi Saw bersabda :
‫ ادرؤا الحدود بالشبها‬: ‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
Tolaklah hukum hudud itu dengan perkara yang syubhat (ragu ragu)”

KAIDAH KEDUA PULUH TUJUH


‫ت‬
ِ ‫ش ابهَا‬ ُ ُ‫سق‬
ُ ‫ط ِبال‬ ‫ا َ ال ُحد اُو ُدتَ ا‬
“Hudud (hukum had) itu hilang dengan adanya perkara yang syubhat”
Misalnya
Orang yang meminum khamer untuk berobat walau menurut Qaul Ashoh (yang lebih shahih) itu
hukumnya haram, karena syubhatnya khilafiyah (perbedaan pendapat).
Allah Swt. Berfirman dalam surat ali-„Imran : 102
‫ق تُقَاتِ ِه َو َْل ت َ ُموت ُنَّ إِ َّْل َوأَنت ُم ُّم ا‬
َ‫س ِل ُمون‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َّ ‫َّللاَ َح‬
" Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya
dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim".

KAIDAH KEDUA PULUH DELAPAN


‫ب‬ ِ ‫ب إِ َّْلبِ ِه فَ ُه َو َو‬
ٌ ‫اج‬ ِ ‫َم َاْليَتِ ُم ا ال َو‬
ُ ‫اج‬
“Perkara yang membuat sempurnanya hukum wajib maka perkara itu hukumnya wajib pula ”

14
Misalnya :
1. Wajibnya mencuci juz (bagian) dari leher dan kepala beserta mencuci wajah
2. Wajibnya mencuci juz (bagian) dari lengan dan betis beserta mencuci sikut dan kaki.
Nabi Saw bersabda :
‫ستَب َارأَ ِل ِد اينِ ِه َو ِع ار ِض ِه‬ ُّ ‫فَ َم ِن اتَّقَى ال‬
‫ اِ ا‬،ِ‫شبُهَات‬
“Barang siapa yang menjaga perkara syubhat, maka akan mendapatkan kesucian dalam agamanya
dan kehormatannya”

KAIDAH KEDUA PULUH SEMBILAN


ٌ ‫ستَح‬
‫َب‬ ِ ‫ج ِمنَ ا ال ِخ َال‬
‫ف ُم ا‬ ُ َ‫اََ ل اا‬
ُ ‫خَُ ُر او‬
“Keluar dari khilafiyah hukumnya sunnah”
Misalnya :
1. Menjauhi menghadap dan membelakangi kiblat (bagi yang sedang buang air besar atau kecil)
dengan menggunakan penutup, hukumnya adalah sunnah, karena keluar dari khilafiyah Imam
Shofyan Tsauri yang menghukumi wajib menjauhinya secara muthlak.
2. Disunnahkannya Sholat Qashr dalam perjalanan yang menempuh jarak 3 marhalah ( + 16
farsakh = 88,5 km ) karena keluar dari khilafiyah Imam Abu Hanifah yang mewajibkannya.
Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Baqarah : 173
َ ‫غي َار َباغٍ َوْل عَا ٍد فَال إِثا َم‬
‫علَ اي ِه‬ َ ‫ط َّر‬ ‫فَ َم ِن ا ا‬
ُ ‫ض‬
".....Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya....."

KAIDAH KETIGA PULUH


‫اصی‬ ُ ‫لر اخصَةُ َْلتَنَا‬
ِ َ‫ط ِبا ال َمع‬ ُّ َ ‫ا‬
“Rukhshoh (keringanan) itu tidak berlaku dengan kemaksiatan”
Misalnya :
1. Tidak diperbolehkan bagi orang yang maksiat dalam perjalanannya apapun dalam hal rukhshoh
bepergian, dari qashar sholat, jama‟ sholat maupun berbuka puasa,
2. Tidak diperbolehkan bagi orang yang maksiat dalam perjalanannya ketika ia madharat untuk
makan bangkai dan daging babi.

KAIDAH KETIGA PULUH SATU


ُ ‫صةُ َالتَنَا‬
َّ ‫ط بِال‬
‫ش ِك‬ َ ‫لر ْخ‬
ُّ َ ‫ا‬
“Rukhshoh (keringanan) itu tidak berlaku dengan sebab keraguan”
Misalnya:

15
Diwajibkan sholat secara itmam (sempurna) bagi yang ragu-ragu dalam hukum bolehnya sholat
Qashar. Umpama, jika seseorang ragu-ragu, apakah ia niat takbiratul ihram sholat pada waktu
diperjalanan atau dalam keadaan hadir, atau ragu-ragu niat Qashar atau tidak, atau apakah imam
yang diikutinya itu musafir atau muqim ? maka wajib baginya melaksanakan sholat secara itmam
(sempurna), karena asalnya adalah itmam (sholat secara sempurna). Dan Qashar itu dibolehkan
dengan beberapa syarat, maka ketika syarat-syaratnya itu tidak nyata, harus dikembalikan kepada
asalnya.
Nabi Saw berkata pada Siti Aisyah :
‫أجرك على قدر نصبك‬
“Pahalamu itu tergantung kadar kepayahanmu.” (HR. Muslim)

KAIDAH KETIGA PULUH DUA


‫َماكَ ََ انَ ا َ اكث َ ُرفِ اع ًالكَانَ اَ اكثَ ُر َف اظ ًال‬
“Yang banyak pekerjaannya maka banyak keutamaannya”
Misalnya :
Orang yang sholat sunnah sambil duduk pahalanya adalah separuh dari yang sholat sunnah dengan
berdiri, begitu pula yang sholat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari yang sholat sambil
duduk.
Nabi Saw bersabda :
‫وما أمرت ُكم به فأتوا منه ما استطعت ُم‬
“Dan pada apapun yang telah saya perintahkan padamu, lakukanlah sesuai dengan kekuatanmu
(kemampuanmu)” (HR. Bukhari Muslim)

KAIDAH KETIGA PULUH TIGA


ُ‫َم َااليَد ُْركُ ُكلَّهُ َال َيتْ ُركُ ُكلَّه‬
“Sesuatu yang tidak bisa dilakukan seluruhnya janganlah ditinggal seluruhnya”
Misalnya :
1. Barang siapa tidak mampu berbuat baik (bershodaqoh) dengan dinar, karena kemampuannya
hanya dengan dirham, maka lakukanlah !
2. Barang siapa tidak mampu mengajar atau belajar dengan beberapa cabang ilmu maka janganlah
ia meninggalkan seluruhnya.
Perumpamaan kaidah ini adalah ungkapan para ulama Fuqaha :
‫ما ْل يدرك كله ْل يترك بعضه‬
“Sesuatu yang tidak bisa dilakukan seluruhnya itu tidak dilakukan sebagiannya”

16
KAIDAH KETIGA PULUH EMPAT
ُ ‫ط ِب ْال َم ْع‬
‫س ْو ِر‬ ُ ‫اَ ْل َم ْي‬
ُ ُ‫س ُر ْو ُر َاليَ ْسق‬
“Kemudahan itu tidak akan hilang oleh sebab kesukaran”
Misalnya :
1. Jika seseorang tidak mampu melakukan berdiri tetapi ia masih mampu duduk, maka duduk
dalam sholatnya itu tetaplah wajiblah baginya.
2. Barang siapa hanya memiliki setengah sha‟ (1 sha = 3 liter lebih, untuk kadar zakat fitrah),
maka tetap wajib baginya untuk mengeluarkannya sebagai zakat fitrah.
Allah Swt. Berfirman dalam surat ali-„Imran : 104
َ‫وف َو َي ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُمنك َِر ۚ َوأُو َٰلَئِكَ ُه ُم ْال ُم ْف ِلحُون‬
ِ ‫َو ْلتَ ُكن ِمن ُك ْم أ ُ َّمة َيدْعُونَ ِإلَى ْال َخي ِْر َو َيأ ْ ُم ُرونَ ِب ْال َم ْع ُر‬
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."

Hukum Asal Sesuatu Adalah Boleh


KAIDAH KETIGA PULUH LIMA
َ ‫َما َح َر َم فِ ْعلُهُ َح َر َم‬
ُ‫طلَبُه‬
“Yang haram pekerjaannya, maka haram mencarinya”
Misalnya :
1. Mencari riba dan mas kawin dari orang yang dzalim.
2. Mencari persen (uang tip) dukun dan sogokan.
3. Mencari upah menangisi mayyit

KAIDAH KETIGA PULUH ENAM


َ ‫اخذُهُ َح َر َم ا ْع‬
ُ‫طاؤُ ه‬ ْ ‫َما َح َر َم‬
“Yang haram mengambilnya maka haram untuk memberikannya”
Misalnya :
1. Memberikan riba dan mas kawin orang yang dzalim.
2. Memberikan persen (uang tip) dukun dan sogokan.
3. Memberikan upah menangisi mayyit
Allah Swt. Berfirman dalam surat Yasin : 12
َ ‫ار ُه ام ۚ َو ُك َّل ش اَيءٍ أَحا‬
ٍ ‫ص اينَاهُ فِي ِإ َم ٍام ُّم ِب‬
‫ين‬ َ َ ‫ِإنَّا نَحا نُ نُحا ِيي ا ال َم اوت َ ٰى َونَ اكت ُُب َما قَ َّد ُموا َوآث‬
"Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan kamilah yang mencatat apa
yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami
kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuz).

17
KAIDAH KETIGA PULUH TUJUH
ِ َ‫ض ُل ِمن َْالق‬
‫اص ِر‬ َ ‫ا َ ْل َخي ُْر ْال ُمتْعَدِي ا َ ْف‬
“Kebaikan yang berkesinambungan itu lebih utama daripada yang singkat”
Misalnya :
1. Mengajarkan ilmu itu lebih utama dari sholat sunnah muthlaq.
2 Melakukan fardhu kifayah itu mengungguli dari melakukan fardhu „ain karena telah
menggugurkan kewajiban terhadap umat yang lain.

KAIDAH KETIGA PULUH DELAPAN


ُ‫ضی ِب َما َيت ََولُّد ُِم ْنه‬ َ ‫ا َ ِلر‬
َّ ‫ضی ِبال‬
َ ‫ش ْي ِء ِر‬
“Ridha terhadap sesuatu itu ridha dengan apa yang terlahir darinya”
Misalnya :
Beristinja dengan batu itu diampuni walaupun ketika berkeringat kotorannya itu menjadi basah,
maka hukum asalnya tetap diampuni.
Seiring dengan kaidah diatas, yaitu kaidah :
‫المتولد من مأذون ْل اثر له‬
“Yang muncul/terlahir dari yang telah diizini maka tidaklah ada masalah”
Nabi Saw bersabda :
‫س ِك ٍر َخ ام ٌر َو ُك ُّل ُم ا‬
‫س ِك ٍر ح ََرا ٌم‬ ‫ُك ُّل ُم ا‬
“Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram” (HR. Muslim)

KAIDAH KETIGA PULUH SEMBILAN


‫اَ ْل ُح ْك ُم يَد ُْو ُر َم َع ْال ِعلَ ِة ُو ُجود ًَاو َعدَ ًما‬
“Hukum itu beredar bersama dengan 'illatnya (sebabnya) ada maupun tidak ada”
Misalnya :
Haramnya khamer itu karena memabukkan, maka ketika tidak lagi memabukkan hukumnya
menjadi halal, seperti : cuka
Nabi Saw bersabda :
‫ وما سكت عنه فهو مما عفا عنه‬،‫ والحرام ما حرم هللا في كتابه‬،‫الحالل ما أحل هللا في كتابه‬
“Halal itu adalah yang telah dihalalkan oleh Allah Swt dalam kitabNya, dan haram itu juga yang
telah diharamkan Allah dalam kitabNya, dan yang tidak ada didalamnya maka itu diampuni” (HR.
Imam Turmudzi dan Ibnu Majah)

KAIDAH KEEMPAT PULUH


‫اء ااْل ِءبَا َح ِة‬ ٓ ‫ص ُل فِی ا‬
‫اْل ا‬
ِ َ‫شي‬ ‫ا َ اْلَ ا‬

18
“Asalnya sesuatu itu hukumnya Mubah (boleh)”
Misalnya :
1. Keraguan menentukan halal haramnya hewan yang susah dicari hukumnya, maka hewan itu
hukumnya halal.
2. Untuk masalah hukum jerapah, Imam Subki berkata : sesungguhnya jerapah itu boleh dimakan,
karena hukum asalnya adalah mubah (boleh).

19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh,
karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam
menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik,
budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan
berkembang dalam masyarakat.
Dalam kaidah fiqih, menurut mazhab Syafi’i ada lima kaidah pokok yang memiliki peranan
penting dan ruang lingkup serta cakupan yang berbeda. Mulai dari kaidah dengan ruang lingkup
yang sangat luas hingga kaidah fikih dengan ruang lingkup yang sempit. Kelima kaidah tersebut
adalah:

Kaidah Fiqhiyah Pertama


ِ َ‫األ ُ ُم ْو ُربِ َمق‬
‫اص ِدهَا‬
“ Segala sesuatu itu tergantung pada niat”.

Kaidah Fiqhiyah kedua


َّ ‫ال َي ِق ْينُالَيُزَ الُ ِبال‬
‫ش ِك‬
“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Kaidah Fiqhiya ketiga
‫شقَّةُتَجْ ِلبُالتَّي ِسي َْر‬
َ ‫ال َم‬
“kesukaran itu mendatangkan kemudahan”

Kaidah Fiqhiyah keempat


‫الض ََّر ُريُزَ ا ُل‬
“Kemadharatan itu harus dihilangkan”

Kaidah Fiqhiyah kelima


‫ال َعادَة ُ ُم َح َّك َمة‬
“Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum.”

20
DAFTAR PUSTAKA

http://www.staimtarate.ac.id/berita/mengenal-ushul-fikih-fikih-dan-kaidah-fikih
https://www.alkhoirot.org/2020/01/kaidah-fikih-40.html?m=
https://youtu.be/knEQ4_6ijWc
https://www.liputan6.com/hot/read/5216499/mengenal-ushul-fiqh-dalam-agama-islam-lengkap-
isi-dan-tujuan-mempelajarinya
Hakim, Abdul Hamid. 2020. Terjemah kitab Kaidah Fiqh dan Ushul Fikih Mabadi Awaliyah
(Mabadi' Awwaliyyah)
Lengkap.pdf
Ibrahim, Duski. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep al-Istiqra` al-Ma‟nawi,
(Jogyakarta: ar-Ruzz Media).

21

Anda mungkin juga menyukai