Anda di halaman 1dari 30

URF

DAN
SAD ADZ DZARI’AT

Qurrotul Ainiyah
AL ‘URF

QURROTUL AINIYAH
PENGERTIAN
 Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ‘arafa,
ya‘rufu sering diartikan dengan al-ma‘ruf ‫ُوف‬ ْ َ dengan
( ُ ‫ر‬3‫ل َم ْع‬33‫)ا‬
arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat
kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di
pandang baik dan diterima oleh akal sehat.
 Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat
berasal dari bahasa Arab ٌ‫ا َدة‬3‫ َع‬ ; akar katanya: ‘ada, ya‘udu
(‫ُ ْو ُد‬3‫ع‬33‫ َي‬-3‫ا َد‬3‫ ) َع‬mengandung arti perulangan. Oleh karena itu
sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang
kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh
orang banyak.
DASAR HUKUMNYA
 "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."
 —QS. Al-A’raf: 199
KEDUDUKAN ‘URF
 Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf yang
sah, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan
syari'at. Baik yang menyangkut dengan ‘urf
umum dan ‘urf khusus, maupun yang berkaitan
dengan ‘urf lafazh dan ‘urf amal, dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
syara’.[
PERBEDAAN ‘URF DAN
ADAT
‘URF ADAT

Cakupan lebih sempit Cakupan lebih Luas

Urf Shohih dan ‘Urf Fasid Tanpa melihat baik atau buruk

Kebiasaan orang banyak Kebiasaan pribadi

Kemunculannya Alami

Adar juga bisa muncul dari hawa


nafsu dan kerusakan akal
MACAM MACAM ‘URF
A. Dari segi objeknya
1. Al-‘Urf al-Lafzhi/Qauli. Adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu,
sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi;
padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila
seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu
memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli
daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena
kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata
daging pada daging sapi.
2. Al-‘urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan
biasa” adalah kebiasaan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur
kerja pada hari-hari tertentu, kebiasaan masyarakat makan makanan
khusus atau minum minuman tertentu, dan kebiasaan masyarakat dalam
memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
B. Dari segi cakupannya
1. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat
umum dan berlaku secara luas di seluruh masyarakat
dan diseluruh daerah. Misal : jual beli mobil, mk
seluruh alat untuk memperbaiki mobil seperti kunci,
tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga
jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.

2. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di


wilayah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan
para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada
barang yang dibeli dapat dikembalikan Atau yang
dikenal dengan masa garansi untuk hal – hal tertentu.
C. Dari segi keabsahannya dari
pandangan syara’
1. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah). Adalah kebiasaan yang berlaku di
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis)
tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa
mudarat. Misal dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan
hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap mahar

2. Al-‘urf al-fasid (Yang rusak). Adalah kebiasaan yang bertentangan


dengan dalil syara’ dan kaidah dasar yang ada dalam syara’, seperti
menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Misalnya,
kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan
riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. yang dikenal
dengan sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang
piutang). kebiasaan seperti ini, masuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.[
PERMASALAHAN
1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya
hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman
jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak
kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘urf seperti ini tidak
berlaku dan tidak dapat diterima.

2. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum


 Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’, apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat
umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali, apabila ‘urf tersebut
adalah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf tersebut bias diterima. Sehingga nash yang umum itu
dikhususkan sebatas ‘urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidaka ada indikator
yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan olehh ‘urf. Misalnya: kata-kata
shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf, kecuali ada indikator yang
menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
 ‘urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut. Apabila
suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi
pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan ‘urf seperti ini, baik yang bersifat
lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf tersebut bersifat umum,
tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul
ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum. [7]
SADD ADZ-DZARI’AH
 Bahasa, jama’ dari Dzari’ah yang artinya
‘jalan menuju sesuatu’.

 Istilah : sesuatu yang membawa pada


perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemudharatan ATAU perbuatan yang
dilakukan seseorang yang sebelumnya
mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir
dengan sutau kerusakan
 Memotong jalan kerusakan
 Menetapkan hukum larangan atas sesuatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang
 Pendapat ini ditentang para ulama’ ushul
lainnya, seperti Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang
menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya
menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada
juga yang dianjurkan. Dengan demikian lebih
tepat kalau Dzari’ah itu dibagi menjadi dua,
yakni Saad Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan
fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
LATAR BELAKANG
 Setiap perbuatan manusia pasti mempunyai
tujuan yang jelas, yang kadang tidak
mempertimbangkan apakah tujuan itu baik
atau buruk, apakah mendatangkan manfaat
atau malah mafsadat/madhorot. Sebelum
sampai pada pada perbuatan yang dituju, ada
serangkaian perbuatan yang mendahuluinya.
CONTOH CONTOH
 ZINA adalah haram, rangkaian perbuatan yang
menuju zina adalah berkholwat. Maka
KHOLWAT juga dihukumi haram karena
mengarah pada perbuatan haram
2
 Contoh yang belum diatur hukumnya : mencari
ilmu itu Wajib, tapi serangkaian perbuatan
menuju menuntut ilmu tidak diatur hukumnya
secara pasti, bisa mendirikan sekolah, bisa
mencari guru dan lain sebagainya
3
 Contoh yang sudah diatur hukumnya: sebelum
melakukan SHOLAT, maka harus WUDHU.
Karena Sholat itu wajib maka perbuatan yang
menuju kepada wajib juga dihukumi wajib.
Jadi wudhu juga wajib
4
 Contoh seseorang yang telah dikenai kewajiban
zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia
menghibahkan hartanya kepada anaknya, adalah
baik. Karena termasuk Hibbah (memberikan
sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa)
dalam syariat islam, merupakan perbuatan baik
yang mengandung kemashlahatan. Akan tetapi jika
tujuannya untuk menghindarkan dari kewajiban
zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan
pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah
wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
 PENDUKUNG : Hanafiyah, syafi’iyah, syi’ah
1. Hati-hati dalam beramal

 PENENTANG : Ahmad Bin Hambal, Imam


Malik, Imam Adz Dzahiri:
1. Timbul kesan mengharamkan hal yang halal
KRITERIA PERBUATAN TERLARANG
(IMAM ASY-SYATIBI)
1)  Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu
mengandung kerusakan.
2) Kemafsadatan lebih kuat dari pada
kemaslahatan.
3) Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengadung
lebih banyak unsur kemafsadatan.
UNSUR SADD ADZ-DZARI’AT
 SADD =
 DZARI’AH = JALAN MENUJU SESUATU
 MAFSADAT = BURUK
 GHOYAH = TUJUAN
MACAM - MACAM
Dzari’ah dari Segi Kualitas kemafsadatan
1. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa
kemafsadatan yang pasti (qath’i). Misalnya,
menggali sumur di depan rumah orang lain
pada waktu malam, yang menyebabkan
pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut.
2. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang
mengandung kemafsadatan, misalnya menjual
makanan yg biasanya tidak mengandung
kemafsadatan bagi orang yang memakannya.
Perbuatan seperti ini tetap pada hukum
asalnya, yaitu mubah (boleh)
3. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan
membawa kemafsadatan. Seperti
a. menjual senjata pada musuh, yang
dimungkinkan akan digunakan untuk perang atau
paling tidak untuk membunuh.
b. Menjual anggur kpd produsen minuman keras,
sangat mungkin anggur tersebut akan diproses
menjadi minuman keras. Perbuatan seperti ini
dilarang, karena dugaan keras (zhann al-ghalib)
bahwa perbuatan itu membawa kepada
kemafsadatan.
4. Perbuatan yang pada dasarnya boleh
dilakukan karena mengandung kemaslahatan,
tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan,
contoh. Baiy al-ajal (jual beli dengan harga
yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak
kontan)..
Kemafsadatan yang Ditimbulkan
 1. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan,
seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan
mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang
mafsadat.
2. Suatu perbuatan yg pada dasarnya dibolehkan atau
dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk
melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja
maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi
perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita
itu bisa kembali pd suami pertamanya(nikah at-tahlil).
KEHUJJAHAN
1. Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaaan pendapat
dalam menetapkan kehujjahan sad adz-dzari’ah
sebagai dalil syara’. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah
dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil
syara’.
Alasan mereka antara lain :
   1.      Firman Allah SWT dalam QS. Al-an’am : 108
 ‫وال تسبوا الذين يدعون من دون هللا فيسبون هللا عدوا بغير علم‬

“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka


sembah selain Allah, karena nanti mereka akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan”.    
   Hadits Nabi SAW, antara lain :
 ‫ كيف يلعن الرجل والديه؟‬,‫ يا رسول هللا‬: ‫ قيل‬.‫إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه‬
 ‫ (رواه البخارى ومسلم وابو‬.‫ ويسب أمه فيسب أمه‬,‫ يسب ابا الرجل فيسب اباه‬: ‫قال‬
)‫داود‬
 “Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang
melaknat kedua orang tuanya, Lalu Rasulullah SAW. ditanya
“Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan
melaknat Ibu dan Bapaknya. Rasulullah SAW menjawab,
“Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya
juga akan di caci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki
ibu orang lain, maka orang lainpun akan mencaci ibunya.

Anda mungkin juga menyukai