Artikel
Penerapan ‘Urf (Adat Istiadat) Sebagai Sumber Hukum Islam
Disusun oleh:
Nabiel Ba Ramadani Ansori. (05040421093)
Nur Lathifahul Qolbi. (05040421095)
Omy Fajar Reza Pradana. (05040421097)
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Idri, M.Ag.
NIP. 196701021992031001
1
PENDAHULUAN
Ada kalanya Alqur’an dan Hadits tidak menjelaskan hukum Islam secara rinci, sementara
umat Islam harus menjalankan kehidupannya sesuai aturan, norma dan hukum Islam. Untuk
menjawab kegelisahan tersebut, para ahli menetapkan segenap kemampuan nalarnya guna
mendapatkan solusi yang tepat untuk setiap menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
ada. Inilah yang disebut ijtihad. Terdapatnya beberapa metode dalam berijtihad yaitu salah
satunya adalah ‘urf.
Di Indonesia berlaku beberapa sistem hukum dengan diurutkan dari lama berlakunya atau
berdasar umur dari hukum adat kemudian menyusul hukum Islam dan hukum barat. Ketiga-
tiganya mempunyai ciri dan sistem tersendiri, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan
Negara Republik Indonesia. Karena itu, sistem hukum di Indonesia disebut majemuk.
Kedudukannya disebutkan dalam peraturan perundang-undangan dan dikembangkan oleh ilmu
pengetahuan dan praktek peradilan. Hukum Islam sekarang sudah bisa berlaku langsung tanpa
melalui Hukum Adat, Republik Indonesia dapat mengatur sesuatu masalah sesuai dengan Hukum
Islam, sepanjang pengaturan itu berlaku hanya bagi orang Indonesia yang memeluk agama Islam.
Selain dari itu dapat pula dikemukakan bahwa kini dalam sistem hukum di Indonesia, kedudukan
Hukum Islam sama dengan Hukum Adat dan Hukum Barat.
Dalam kehidupan masyarakat banyak terdapat kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang
populer secara luas di tengah kehidupan mereka. Tradisi tersebut dapat berupa perkataan atau
perbuatan yang berlaku secara umum, hal semacam ini disebut dengan ‘urf kebiasaan-kebiasaan
ini ialah dapat menjadi bahan pertimbangan ketika akan menetapkan hukum Islam.1 Oleh karena
itu perlu memang untuk memahami hukum adat istiadat sebagai sumber hukum islam supaya
mencegah terjadinya kesalahpahaman yang memungkinkan menimbulkan perpecahan umat
1 Abdul Mun’im Saleh, Hubungan kerja Usul al-Fiqh dan al-Qawaid al-Fiqhiyah Sebagai Metode Hukum Islam
(Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), hlm:43
2
PEMBAHASAN
Penerapan ‘Urf (Adat Istiadat) Sebagai Sumber Hukum Islam.
a. Pengertian ‘Urf
Menurut buku Sistem Hukum Indonesia karya Sukardi, hukum adat diartikan sebagai
keseluruhan kaidah-kaidah atau norma-norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang berasal
dari adat istiadat atau kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat, terhadap yang melanggarnya akan dikenakan sanksi. Lalu secara
etimologi, ‘urf berarti ‘’yang baik’’ atau ‘’sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal
sehat’’. Sementara itu adat ialah segala sesuatu perbutan yang dilakukan secara berulang-ulang
tanpa hubungan rasional. Dalam hal tersebut, maka adat dan ‘urf adalah sesuatu yang telah
biasa berlaku dan diterima baik oleh masyarakat. Di dalam hukum islam tersebut, ‘urf
menempati posisi yang penting dalam penetapan hukum.Hal ini karena ‘urf menjadi kebiasaan
yang berlaku di masyarakat secara membudaya di tengah-tengah masyarakat.
b. Dasar Hukum ‘Urf pada Surat Al-A’rof (17) ayat 199
Ayat Al-Qur’an yang artinya “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang bodoh” dan ucapan sahabat Rasulullah
Saw, Abdullah bin Mas’ud yaitu “sesuatu yang dinilai baik oleh kaum Muslimin adalah baik di
sisi Allah dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk disisi Allah”. Maka dari ini
kebiasaan yang benar harus diperhatikan dalam pembentukan hukum syara’ dan putusan-putusan
perkara.seseorang mujtahid yang harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya
dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang
sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati
danada kemaslahatannya.
Adapun adat yang rusak atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman, maka tidak
boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil syara’ atau
membatalkan hukum syara’. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan
masalah asal.
2. Macam-Macam Urf
Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf kepada tiga macam:
1). Dari segi objeknya,’urf dibagi menjadi:
a. Al-‘urf al-lafzhi. adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan lafal/ungkapan
tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat. Contoh yang berkenaan dengan hukum adalah
kata thalaq dalam bahasa Arab, yang sebenarnya berarti lepas atau melepaskan, tapi
kemudian difahami dengan konotasi putusnya ikatan perkawinan. Maka seseorang
suami yang mengatakan kepada istrinya “thalaqtuki”, maka terjadi talak dalam
pernikahan mereka.
3
b. Al-urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah. Seperti jual-beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah menjadi
kebiasaan masyarakat. Atau garansi dalam membeli sesuatu, seperti garansi jam
bahwa jam itu bagus untuk waktu tertentu. Atau jual beli dengan antaran barang tanpa
tambahan biaya. Atau memberikan mahar dalam pernikahan di kalangan masyarakat
Arab sebelum datangnya Islam. Dan lain sebagainya.
3). Dari segi keabsahannya, menurut syari’at urf dibagi menjadi dua macam, yaitu: urf yang
baik dan urf yang jelek, konsepnya adalah apakah ia sesuai dan sejalan dengan syari’ah atau
tidak, yaitu:
b. Al-‘urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah kaidah dasar yang ada dalam syara. Seperti praktek riba yang sudah sering
terjadi di kalangan bangsa Arab sebelum datangnya Islam, atau juga meminum
minuman keras. Setelah datangnya Islam, maka urf yang seperti ini dilarang dan
dijauhi baik secara perlahan-lahan maupun langsung.
3. Syarat-Syarat ‘Urf
Urf dapat dijadikan sumber penemuan hukum Islam harus memenuhi persyaratan-
persyararan tertentu. Apabila dilihat dari bolehnya menggunakan urf sebagai metode penemuan
hukum Islam, maka dapat dinyatakan bahwa urf tersebut harus merupakan urf yang mengandung
kemaslahatan dan urf yang dipandang baik dalam menetapkan hukum syara’,
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. 'Urf itu (baik yang bersifat umum atau khusus atapun yang bersifat perbuatan atau
ucapan) berlaku secara umum, artinya 'Urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat.
b. 'Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu
muncul. Artinya. 'Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada
sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c. 'Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan
4
secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, maka Urf itu tidak berlaku lagi.2 Atau
dengan kata lain tidak terdapat persyaratan yang mengakibatkan urf atau adat
kebiasaan itu tidak dapat diterapkan sesuai dengan ketentuan ketentuannya. Karena
„urf itu secara implisit berkedudukan sebagai syarat.3
d. 'Urf itu tidak bertentangan dengan nash-nash qath‟i dalam syara‟. Jadi „urf dapat
dijadikan sebagai sumber penetapan hukum bila tidak ada nash qath‟i yang secara
khusus melarang melakukan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat. Contohnya, kebiasaan masyarakat dalam menyelenggarakan pesta
atau hajatan yang disertai mabuk-mabukan untuk lebih memeriahkan suasana. „Urf
yang demikian itu tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan alQur‟an Surat al-
Maidah ayat 90 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan”. Apabila dengan mengamalkan urf tidak
berakibat batalnya nash, bahkan dibenarkan oleh nash syar‟i atau dapat
dikompromikan antara keduanya, maka „urf tersebut dapat dipergunakan.
4. Kaidah-Kaidah Urf
Di terimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi
dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tercakup oleh
metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah (dalil hukum untuk
menetapkan hukum atas persoalan-persoalan baru yang secara eksplisit tidak disebutkan di
dalam al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah) yang dapat di selesaikan oleh adat istiadat ini, juga
ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya di bentuk oleh mujtahid
berdasarkan ‘urf, akan berubah jika ‘urf itu berubah.
Inilah yang di maksud oleh para ulama, antara lain ibnu al-Qoyyim alJauziyah (w. 751 H)
bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat.
Maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat
istiadat yang baik, hukum itu akan berubah jika adat istiadat itu berubah.
Ada beberapa kaidah fiqhiyyah (kaidah yang dirumuskan para ulama dari ayat al-Qur'an dan al-
Hadis Rasulullah dalam rangka mencapai kemaslahatan) yang berhubungan dengan ‘urf, di
antaranya adalah:
1. Adat itu adalah hukum
Apa yang telah ditetapkan oleh syara secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di
dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa, maka ia dikembalikan pada urf. Abdul
Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat 199 Surat Al-A‟raf:
“Suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang
bodoh”.
2. Tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan
tempat.
3. Yang baik itu urf seperti yang disyaratkan jadi syarat.
2 Izzudin ibn „Abd Salam, Qawa‟id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dar al-Kutub
al-„Ilmiyyah, t.t.), Jilid II, h. 178.
3 Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri‟ fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1961), 242.
5
4. Yang ditetapkan melalui „urf seperti yang ditetapkan melalui nash. Tapi perlu
diperhatikan bahwa hukum di sini bukanlah seperti hukum yang ditetapkan melalui al-
Qur‟an dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui urf itu sendiri.
6
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari artikel mengenai penerapan adat istiadat sebagai hukum islam,
maka penulis dapat menyimpulkan :
1. Hukum adat diartikan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah atau norma-norma baik
tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat Indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat,
terhadap yang melanggarnya akan dikenakan sanksi.
2. Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf kepada tiga macam:
a. Al-‘urf al-lafzhi. adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan
lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna itulah
yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
b. Al-urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah.
3. Dari segi keabsahannya, menurut syari’at urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Al-‘urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash (lafadz yang tegas), tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
b. Al-‘urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah kaidah dasar yang ada dalam syara
7
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, 1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Abdul Wahab Khallaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqih, cet. I. Semarang: Toha Putra Group.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam). Jakarta: Pustaka Amani.
Amalia, Khikmatun, “Urf Sebagai Metode Penetapan Hukum Ekonomi Islam”, As-Salam I,
Edisi: Januari-Juni, Vol. IX No. 1, Th. 2020, Hal. 75-90.
Mun’im Saleh, Abdul, Hubungan Kerja Usul Al-Fiqh Dan Al-Qawaid Al-Fiqhiyah
Sebagaimetode Hukum Islam, Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012
Sucipto, “Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”, ASAS, Vol. 7, No. 1,
Januari 2015.