Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Syari’at Islam adalah sebuah penutup semua risalah dari langit yang membawa
petunjuk dan tuntunan dari Allah SWT. Kepada umat manusia dan dalam
wujudnya yang lengkap. Oleh karena itu Allah mewujudkan syari’at Islam sebagai
pegangan hidup manusia.
Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya kaidah-kaidah hukum fiqih yang ada
dalam agama Islam yang dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan
permasalahan maupun hajat yang berubah dari masa ke masa seiring dengan
perkembangan zaman. Hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam
hukum Islam, yaitu yang pertama, nash-nash yang menetapkan hukum-hukum
yang tidak akan berubah sepanjang zaman. Dan yang kedua, adalah pembukaan
jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak
dijelaskan secara detail yang terdapat di dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita
berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu adalah hal yang tidak bisa lepas darinya.
Karena itu dalam hal ushul fiqih sebuah ilmu ynag mengatur proses ijtihad, maka
dengan itu dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan ra’yu para fuqaha. Diantaranya adalah Urf, Saddu al-Dzari’ah,
Saddur Dzari’ah dan juga Syar’u Man Qablana yang akan di bahas dalam makalah
ini.
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. ‘Urf (Adat Istiadat)
1. Pengertian Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik
dan diterima oleh akal sehat.” Adapun secara terminologi, seperti
dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti Sesuatu yang
tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik, berupa
perbuatan atau perkataan.
Menurut ulama ushul fiqh, ‘urf adalah sesuatu yang telah
dibiasakan oleh manusia, secara terus menerus dikerjakan dalam
jangka waktu yang lama, atau ada perkataan atau istilah yang
disepakati memiliki pengertian khusus dan tidak terdengar asing
bagi mereka.1
Menurut Muhammad Abu Zahroh, ‘urf menurut istilah adalah
bentuk transaksi yang sudah lazim di- lakukan oleh masyarakat
dan hal itu senantiasa dipakai secara turun temurun. Sementara
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan ‘urf sebagai ucapan atau
perbuatan yang Sudah dikenal di kalangan masyarakat.
’Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia
karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat
perkataan, perbuatan, atau kaitannya dengan meninggalkan
perbuatan tertentu.
Dari semua definisi yang dikemukakan di atas, Dapat disimpulkan
bahwa ‘Urf adalah ucapan atau Perbuatan yang populer di
kalangan masyarakat dan Dilakukan secara terus menerus
sehingga menjadi Kebiasaan di masyarakat. Dan ‘Urf itu umumnya
berkaitan dengan masalah-masalah mu’amalat.
‘Urf disebut adat (adat kebiasaan).2 Sebagian Ushuliyyin, seperti
Al-Nasafi dari kalangan Khanafi, Ibnu Abidin, Al-Rahawi dalam
Syarh Kitab Al-Manar dan Ibnu Nujaim dalam kitab Al-Asyibah Wa
Al-Nazhair berpendapat bahwa ‘Urf sama dengan adat tidak ada
perbedaan antara keduanya, namun sebagian Ushuliyyin, seperti
Ibnu Humam dan Al-Bazdawi membedakan antara adat dengan
‘Urf dalam kedudukannya sebagai suatu dalil untuk menetapkan
1 Wahbah, Ushul Fiqh Islami, hlm. 104; Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 273.
2 Mu’in umar Dkk. Ushul Fiqih 1. ( Jakarta : Direktorat Jendral Pembianaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama, 1986 ). Hal. 150
hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘Urf
adalah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan ataupun
perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas dibandingkan ‘Urf.
Adat mencakup seluruh jenis ‘Urf, tetapi tidak sebaliknya.
Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan,
berpakaian, tidur, dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak
disebut ‘Urf. Tetapi dari sisi yang lain ‘Urf lebih umum dibanding
adat, sebab, adat hanya mencakup perbuatan, sedangkan ‘Urf
mencakup perbuatan dan ucapan sekaligus.3
Asumsi lain menyatakan seakan-akan ada kesamaan antara ‘urf
dengan ijma’ dalam ketetapan hukumnya. Artinya, keduanya
sama dalam penetapannya berdasarkan kesepakatan dan tidak
ada yang menyalahinya. Perbedaannya, pada ijma’ masyarakat
melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah
menyepakatinya. Sedangkan pada ‘urf, masyarakat
mengerjakannya karena mereka telah terbiasa mengerjakannya
dan memandangnya baik. Di samping itu, bila ijma’ ada suatu
peristiwa yang perlu di tetapkan, sedangkan ‘urf kejadiannya itu
dengan sendirinya telah ada dan dilaksanakan secara berulang-
ulang, kemudian menjadi kebiasaan.
Perbedaan antara ‘urf dan ijma’ ini menurut Wahbah az-Zuhaili
adalah ijma’ dibentuk dengan kesepakatan para mujtahid,
sedangkan ‘urf dibentuk bukan dengan persyaratan kesepakatan,
akan tetapi cukup dengan perilaku orang banyak yang menjadi
kebiasaan. Dalam hal ini mirip dengan shirah.”4
Nasrun Haroen mengungkapkan bahwa yang dibahas para ulama
Ushul Fiqh dalam kaitannya dengan salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’ adalah ‘urf, bukan adat. Dalam
kenyataannya, kedua istilah ini sering disamakan, namun
pemahaman yang kita ambil adalah kebiasaan/’adah dalam arti
tradisi (‘urf), karena urf memang merupakan bagian dari ‘adah.
Sehubungan dengan permasalahan hukum adat, M.Syafruddin
menyatakan bahwa hukum adat meru- pakan suatu fenomena.
Kehadiran dan keberadaannya di tengah masyarakat dirasakan
dan diperlukan. Hukum adat mempunyai maksud tersendiri
karena ia merupakan refleksi budaya kita dan hidup dalam
sanubari kita.”5
3 Suwarjin. Ushul Fiqih. (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2012) Hal. 148-149
4 “Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamy, Dar al-Fikr II, Damaskus, 1406/1986, h.829
5 “M. Syamsuddin (et al), dalam pengantar: Hukum adat dan Modernisasi Hukum, Cet.I. FH.UII,
Yogyakarta, 1998, h.v.
2. Landasan Hukum ‘Urf
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid (adat kebiasaan yang Salah)
untuk dijadikan landasan hukum. Pembicaraan selanjutnya adalah
tentang ‘urf sahih. Menurut hasil penelitian al- Tayyib Khudari al-
Sayyid, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir dalam
karyanya Al-Ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal
banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya oleh
kalangan Hanabilah dan kalang- an Syafi’iyah. Menurutnya, pada
prinsipnya mazhab-mazhab besar fikih tersebut sepakat
menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum,
meskipun dalam jumlah dan perinciannya terdapat perbedaan di
antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘urf dimasukkan ke
dalam kelompok dalil- dalil yang diperselisihkan di kalangan
ulama.
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan bebeRapa
alasan, antara lain:
a. Surah Al-a’raf ayat 199 :
‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأمُرْ ِب ْالعُرْ فِ َواَعْ ِرضْ َع ِن ْال ٰج ِهلِي َْن‬
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
Kata al-‘urfi dalam ayat tersebut, di mana umat manusia
di- suruh mengerjakannya, oleh para ulama ushul fiqh
dipahami sebagai sesuatu yang baik yang telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat
tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan
sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi
tradisi dalam suatu masyarakat.
b. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak me-
nampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam
masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bu-
kan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu
dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui
dan dilestarikannya serta ada pula yang dihapuskannya.
c. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang de-
ngan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti
ini sudah berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum
Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi
hukum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para ulama me-
nyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah
dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi
beberapa persyaratan.
1. Syarat-syarat ‘Urf untuk Dapat Dijadikan Landasan Hukum
Abdul-Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf
yang bisa dijadikan landasan hukum, yaitu:
a. Urf itu harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tidak
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an r’an dan Sunnah
Rasu- lullah. Misalnya, kebiasaan di satu negeri bahwa
sah me- ngembalikan harta amanah kepada istri atau
anak dari pi- hak pemberi atau pemilik amanah.
Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika
terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.
b. Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah
menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.
c. Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa
yang akan dilandaskan kepada ‘urfitu. Misalnya,
seseorang yang mewakafkan hasil kebunnya kepada
ulama, sedang- kan yang disebut ulama waktu itu
hanyalah orang mem- punyai pengetahuan agama tanpa
ada persyaratan punya ijazah, maka kata ulama dalam
pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan
pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan dengan
pengertian ulama yang menjadi populer ke- mudian
setelah ikrar wakaf terjadi misalnya harus punya ijazah.
d. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang
berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab jika
kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk
tidak terikat de- ngan kebiasaan yang berlaku umum,
maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf.
Misalnya, adat yang ber- laku di satu masyarakat, istri
belum boleh dibawa oleh sua- minya pindah dari rumah
orangtuanya sebelum melunasi maharnya, namun ketika
berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang
istri sudah boleh dibawa oleh suami- nya pindah tanpa
ada persyaratan terlebih dahulu melu- nasi maharnya.
Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adalah
kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku.

2. Macam-Macam ‘Urf
‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Yaitu :
Ditinjau dari segi sifatnya, ‘urf terbagi kepada :
a. ‘Urf Qauli
Lalah ‘urf yang berupa perkataan, seperti perkataan
walad, menuru bahasa berarti anak, termasuk di
dalamnya anak laki-laki dan anal perempuan, Tetapi
dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan
laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging
termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti
daging binatang darat dan ikan. Tetapi dalam percakapan
sehari-hari hanya berarti daging binatang darat saja tidak
termasuk didalamnya daging binatang air (ikan).
b. ‘Urf amali
Lalah ‘urf yang berupa perbuatan, seperti jual beli dalam
masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli.
Padahal menurut syara’ shighat jual beli itu merupakan
salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi
kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa
shighat jual beli dan tidak terjadi hal hal yang tidak
diingini, maka syara’ membolehkannya.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘urd, terbagi
atas :
a. ‘Urf sahih
Lalah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan syara’ Seperti mengadakan
pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah,
dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat dari tidak bertentangan dengan syara’.
b. ‘Urf asid
Lalah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima,
karena bertentangan dengan syara Seperti kebiasaan
mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu
tempat yang dipandang keramat Hal ini tidak dapat
diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid
yang diajarkan Agama Islam.

Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi


kepada :
a. ‘Urf ‘aam
Lalah ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan
keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang
yang telah memberikan jasanya kepada kita,
mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah
membantu kita dan sebagainya.
b. ‘Urf khash
Lalah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau
keadaan tertentu saja Seperti mengadakan halal bi
halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang
beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah
puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara
Islam lain tidak dibiasakan.
1. Kedudukan ‘Urf
Para ulama mazhab fiqh, pada dasarnya bersepakat untuk
menjadikan ‘urf secara global sebagai dalil hukum Islam (hujjah
syar’iyyah). Perbedaan pendapat di antara mereka terjadi
mengenai limitasi dan lingkup aplikasi dari urf itu sendiri.
Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut.” 6
a. Perihal kebiasaan (custom) masyarakat Arab terdahulu yang
kemudian dikonfirmasi secara positif oleh syariat sehingga ia
menjadi hukum syara’. Mengenai hal ini, para ulama
bersepakat bahwa tersebut mengikat -secara syar’iy-segenap
kaum muslim. Kebiasan semacam ini tetap kukuh dan valid,
tidak berubah sebagaimana berubahnya waktu dan tempat.
b. Perihal kebiasaan (custom) masyarakat Arab terdahulu yang
kemudian dinegasikan secara eksplisit oleh syariat sehingga ia
menjadi haram hukumnya. Mengenai hal ini, para ulama
bersepakat bahwa kebiasaan semacam ini harus dijauhkan
oleh segenap kaum muslim. Inilah yang disebut ‘urf fâsid.
1. Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi
peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum islam. Maka keadaan urf
pun akan selalu mengalami berbagai macam warna. Seperti yang
dikatakan oleh ibnu al qoyyim al jauziyah bahwa tidak diingkari
adanya perubahan hukum dikarenakan adanya perubahan waktu
dan tempat, maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum
fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik,
hukum itu akan akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Dari berbagai kasus ‘urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh
merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf,
diantaranya:7

6 Mustafa Dib al-Buga. Atsan al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri al-Taba’iyyah) Fi al-
Fiqh al-Islamiy, (Damaskus, Dar al-Imam al-Bukhari, t.th), hlm. 246
7 Ibid., 168.
a. ‫اَ ْل َعا َدةُ م َُح َّك َم ٌة‬
“adat kebiasaan itu bisa menjadi hokum”.
b. ‫ام ِب َت َغي ُِّر ْاالَ ْز ِم َن ِة َو ْاالَ ْم ِك َن ِة‬
ِ ‫اَ ُي ْن َك ُر َت َغ ُّي ُر ْاالَحْ َك‬.
“Tidak diingkari perubahan hokum disebabkan
perubahan zaman dan tempat”.
c. ‫ْال َمعْ ر ُْوفُ عُرْ ًفا َك ْال َم ْشر ُْوطِ َشرْ ًط‬
“Yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang
disyaratkan itu menjadi syarat”.
d. ‫اص‬ ِ ‫ت ِبال َّن‬ َّ ‫ت ِباْلعُرْ فِ َك‬
ِ ‫الث ِاب‬ َّ
ُ ‫الث ِاب‬
“Yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang
ditetapkan melalui nash (al qur’an atau hadits)”.
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti
hukum yang ditetapkan melalui al-Qur’an dan Sunnah akan tetapi
hukum yang ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri.
2. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama berpendapat bahwa ‘urf yang shahih saja yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk
menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan
perbuatan-perbuatan penduduk Madinah. Berarti menganggap
apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber
hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya,
karena melihat praktek yang berlaku pada masyarakat Bagdad dan
Mesir yang berlainan. Sedangkan ‘urf yang fasid tidak dapat
diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syarat nash
maupun ketentuan umum nash.
3. Implikasi dari Perbedaan Pandangan
Perbedaan pandangan para ulama tentang kehujanan ‘urf
membawa implikasi berupa perbedaan pendapat di bidang fiqh,
sebagaimana tampak jelas dalam paparan dibawah ini.
a. Jual Beli “Cepat” (Bai’ al-Mu’atah)
Bai' al-mua'atah adalah suatu transaksi jual beli, si
pembeli menerima barang dan sekaligus membayar
harga barang itu kepada si penjual tanpa ada sigah
eksplisit ijab-qabul. Para ulama berbeda pendapat
perihal hukum jual beli itu.
Kalangan ulama Hanafiyyah, ulama Malikiyyah, dan
ulama Hanabilah berpendapat bahwa bai al-mu’atah itu
hukumnya sah secara mutlak. Mereka berargumen
dengan dalil ef. Penjelasannya bahwa syariat telah
menghalalkan jual beli secara mutlak dan tidak ada
penegasan syariat tentang jih eksplisit ijab-qabil dan tata
caranya sehingga hal itu harus dikembalikan kepada ‘urf.
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpandangan bahwa bai’ al-
mu’atah itu hukumnya tidak sah secara mutlak Mereka
mengemukakan argumen bahwa wariat
mempersyaratkan adanya unsur kesukarelaan bagi
kesahan jual beli dan perihal kesukarelaan ini merupakan
sesuatu yang tersembunyi, yang hanya dapat diketahui
melalui ijab-qabul.
b. Perihal Jual Beli Istisna8
Jual beli istisna’ adalah transaksi jual beli, di mana si
pembeli meminta kepada si pengrajin/pembuat barang
untuk membuat barang dengan spesifikasi tertentu,
dengan bahan baku disediakan oleh si pembeli, dengan
penyerahan uang di muka, dan tanpa penentuan jangka
waktu.
Kalangan ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa jual beli
istisna’ hukumnya sah. Dalam hal ini, mereka
berargumen dengan dalil ‘urf. Kalangan ulama
Malikiyyah, ulama Syafi’iyyah, dan ulama Hanabilah
berpandangan bahwa jual beli istisna’ hukumnya tidak
sah alias batal demi hukum. Mereka merujuk kepada
kaidah hukum: “Tidak sah hukumnya jual beli atas objek
yang tidak ada”.
c. Jual Beli Buah-buahan Sebelum Ada Kejelasan Masaknya9
Para ulama berbeda pendapat perihal jual beli buah-
buahan sebelum ada kejelasan masaknya, apakah akad
jual beli demikian sah ataukah tidak?
Kalangan ulama Malikiyyah, ulama Syafi'iyyah, dan ulama
Hanabilah berpendapat bahwa akad jual beli demikian
tidak sah. Mereka berargumen dengan hadis:
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah
melarang jual beli buah- buahan sebelum ada kejelasan
masaknya. (HR. Al-Bukhari)”
d. Perihal Penghasilan/Keuntungan dari Objek Gadai10
8 Mustafa Dib al-Buga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al-
Fiqh al-Islamiy, hlm. 307-312.
9 Mustafa Dib al-Buga, Arsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Maşadir al-Tasyri' al-Taba ryyah) fi al-
Fiqh al-Islamiy, hlm. 300-301.
10 Mustafa Dib al-Buga, Aisar al-Adillah al-Mukhtalaj fiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al-
Fiqh al-Islamiy, hlm. 314-317.
Para ulama bersepakat bahwa
penghasilan/pertambahan, baik yang menyatu maupun
yang terpisah dari objek gadai, merupakan hak milik si
pemberi gadai (rahim).
Para ulama berbeda pendapat perihal
penghasilan/pertambahan yang

Terpisah dari objek gadai, yang berada di tangan


penerima gadai (murtahin), Apakah
penghasilan/pertambahan itu menjadi bagian dari objek
gadai seperti Objek induknya ataukah bukan.
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa
penghasilan/pertambahan yang terpisah dari objek gadai
tidaklah termasuk bagian dari objek gadai, di samping
objek induknya, melainkan sesuatu yang terpisah
darinya, yang berdiri sendiri sehingga ia menjadi hak
milik pemberi gadai (rahin) semata. Mereka berargumen
bahwa hak penerima gadai (murtahin) melekat pada
objek induk gadai, tidak pada yang lainnya; dan apa saja
yang lahir, terpisah dari objek induk gadai bukanlah
objek tersebut, misalnya, anak hewan bukanlah induknya
dan buah bukanlah pohonnya, demikian pula susu dan
bulu hewan; dengan demikian, tidak melekat pada objek
yang demikian hak si penerima gadai (murtahin).
Kalangan ulama Hanafiyyah dan Hanabilah
berpandangan bahwa penghasilan/pertambahan yang
terpisah dari objek gadai itu termasuk bagian dari objek
gadai, di samping objek induknya. Mereka
mengemukakan argumen, yakni bahwa fur’ itu mengikuti
usul sehingga berlaku baginya hukum usul; dan
penghasilan/pertambahan yang terpisah dari objek gadai
itu merupakan furu’, sedang objek gadai itu sendiri
merupakan usul, konsekuensinya, berlaku pada
penghasilan/pertambahan yang terpisah itu hukum
objek gadai. Tegasnya, pada objek gadai terdapat dua
unsur, yaitu unsur kepemilikan dan unsur gadaian, dan
kedua unsur ini pun masuk ke dalam
penghasilan/pertambahan yang terpisah dari objek gadai
itu.
Kalangan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa harus
dibedakan terlebih dahulu wujud
penghasilan/pertambahan itu; apabila ia berupa sesuatu
yang terpisah secara fisik-material, ia termasuk objek
gadai; dan bila tidak demikian, ia tidak termasuk objek
gadai kecuali jika si penerima gadai (murtahin)
mempersyaratkan. Mereka merujuk kepada dalil qiyas
dan ‘urf. Pertama, dalil qiyâs, yakni mereka menerapkan
qiyas kasus gadai kepada kasus jual beli; seperti dalam
jual beli pohon, buah-buahan dari pohon itu tidak
mengikuti secara otomatis sebagai bagian dari objek jual
beli tersebut, kecuali si pembeli mempersyaratkan
demikian. Adapun dalil ‘urf mereka aplikasikan ketika
mereka membedakan wujud penghasilan/pertambahan
objek gadai.
e. Perihal Pemberian Pakaian sebagai Kaffarah Sumpah 11
Seperti telah diketahui bahwa orang yang melanggar
sumpah yang diucapkan. Nya mesti melaksanakan
kaffarah, yakni (a) memberi makan sepuluh orang miskin,
atau (b) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin;
atau (c) memerdekakan seorang budak; atau (d)
berpuasa selama tiga hari. Hal ini telah disepakati oleh
para ulama dan sesuai dengan yang ditunjukkan oleh
Surah al-Ma’idah (5): 89.
Dalam pada itu, para ulama berbeda pendapat perihal
standar pakaian yang harus diberikan dalam pelaksanaan
kaffarah itu.
Kalangan ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa standar pakaian tersebut mengikuti standar
pakaian untuk sahnya shalat, dan bila tidak memenuhi
standar demikian, tidak sah pelaksanaan kifaratnya.
Argumentasi Yang mereka kemukakan ialah:
(1) Sebutan “pakaian” harus dipahami dalam arti
syar’iy, yang berarti sesuatu yang menutupi
aurat dan boleh dikenakan untuk shalat.
(2) Qiyas kasus memberi pakaian tersebut
kepada kasus memberi makan, yaitu sebutan
“makanan” tertuju pada arti syar’iy, yang
berarti sesuatu yang mengenyangkan, maka,
demikian pula halnya sebutan “pakaian.”

11 Mustafa Dib al-Buga. Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyıt” al-Taba’ryyah) fi al-
Fiqh al-Islamiy, him. 332-334.
(3) Urf yang berlaku, yakni orang mengenakan
sesuatu di badannya tetapi tidak menutup
auratnya, tidaklah disebut apa yang
dikenakannya itu sebagai pakaian.
Kalangan ulama Hanafiyyah berpandangan bahwa standar
pakaian tersebut ialah sesuatu yang menutupi seluruh
tubuh. Mereka juga berargumen dengan dalil ‘urf karena
hanya sesuatu yang menutupi seluruh tubuh, yang bisa
diakui oleh ‘uf- sebagai pakaian.
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa standar
pakaian tersebut ialah apa pun yang dapat disebut sebagai
pakaian pada umumnya. Mereka berargumen dengan
prinsip bahwa sesuatu yang muncul secara mutlaq dalam
nash syara’ maka ia harus dipahami dengan arti
minimalnya; dan dalam kasus ini, arti minimal dari pakaian
itu ialah apa pun yang dapat dilabeli sebutan “pakaian”
atasnya.
A. Saddudz Dzari’ah
1. Pengertian Saddudz Dzari’ah
Saddudz dzari’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzari’ah.
Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang
dzari’ah berarti jalan Maksudnya, menghambat atau menghalangi
atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan
atau maksiat. Menurut istilah ushul fiqh, seperti dike- mukakan
Abdul-Karim Zaidan, sadd al-zari’ah berarti menutup jalan yang
membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang
dibolehkan.
Saddudz Dzari'ah juga dapat diartikan sebagai upaya mujtahid
untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang
pada dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk
menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-
dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun
dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
2. Dasar Hukum Saddudz Dzari’ah
Dasar hukum dari saddudz dzari’ah ialah Al-Qur’an dan Hadis,
yaitu:
a. Firman Allah Swt.:
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ك َز َّي َّنا‬ َ ِ‫َواَل َت ُسبُّوا الَّ ِذي َْن َي ْدع ُْو َن مِنْ ُد ْو ِن ِ َف َي ُسبُّوا َ َع ْد ًو ۢا ِب َغي ِْر عِ ْل ۗ ٍم َك ٰذل‬
‫لِ ُك ِّل ا ُ َّم ٍة َع َملَ ُه ۖ ْم ُث َّم ا ِٰلى َرب ِِّه ْم مَّرْ ِج ُع ُه ْم َف ُي َن ِّبُئ ُه ْم ِب َما َكا ُن ْوا َيعْ َملُ ْو َن‬
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa dasar
pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka
kerjakan. (QS Al-An’am [6]: 108).”
Mencaci berhala tidak dilarang Allah Swt., tetapi ayat ini
melarang kaum muslimin mencaci dan menghina
berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke
arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki
Allah secara melampaui batas.
b. Dan firman Allah Swt.:
‫ت ال َّشي ْٰط ِن َف ِا َّن ٗه‬ ِ ‫ط ٰو‬ُ ‫ت ال َّشي ْٰط ۗ ِن َو َمنْ َّي َّت ِبعْ ُخ‬ ُ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا اَل َت َّت ِبع ُْوا ُخ‬
ِ ‫ط ٰو‬
‫هّٰللا‬
ْ‫َيْأ ُم ُر ِب ْال َفحْ َش ۤا ِء َو ْال ُم ْن َك ۗ ِر َولَ ْواَل َفضْ ُل ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َم ُت ٗه َما َز ٰكى ِم ْن ُك ْم مِّن‬
‫اَ َح ٍد اَ َب ًد ۙا وَّ ٰلكِنَّ هّٰللا َ ي َُز ِّكيْ َمنْ َّي َش ۤا ۗ ُء َوهّٰللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti
langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan)
menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan
mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-
Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara
kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. (QS An-Nur [24]: 21).”
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar
gemerincing gelang kakinya, tetapi perbuatan itu akan
menarik hati laki-laki lain untuk mengajaknya berbuat
zina, maka perbuatan itu dilarang sebagai usaha untuk
menutup pintu yang menuju ke arah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad Saw. Bersabda :
‫األوان حمى هللا معاصيه فمن حام حول الحمى يوشك أن‬
)‫ (متفق عليه‬.‫يقع فيه‬
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat
yang (dilakukan) keadaannya. Barangsiapa
menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia
akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadis ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan
yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih
besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan
kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat
memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling
selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah
kepada perbuatan maksiat itu.
3. Macam-Macam Sadd adz-dzari’ah
Adz-Dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu:12
a. Dari segi kualitas kemafsadatannya dzari’ah dibagi menjadi
empat13 :
(1) Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa
mafsadat, misalnya menggali sumur di jalan umum yang
gelap.
(2) Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa
mafsadat misalnya menanam pohon anggur.
Walaupun buah anggur sering dibuat minuman
keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu,
dzari’ah ini tidak perlu dilarang.
(3) Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan
membawa mafsadat, misalnya menjual anggur
kepada perusahaan pembuat minuman keras.
Dzari’ah ini harus dilarang.
(4) Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa
mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak
sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya
asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara
kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi
perbedaanpendapat di kalangan ulama tentang
dzar’ah yang keempat ini. Ada yang berpendapat
harus dilarang dan ada yang berpendapat
sebaliknya.

12 Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996 hal. 162
13 Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, op. Cit hal 166
b. Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini
dibagi menjadi 2 :
(1) Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya
meminum minuman keras yang mengakibatkan
mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadata.
(2) Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau
dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan
perbuatan yang haram baik disengaja ataupun
tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan
yang tidak sengaja misalnya mencaci-maki ibu
bapak orang lain yang mengakibatkan orang tuanya
juga dicaci-maki orang tersebut.
Ibnu Qayyim juga membagi dzari’ah jenis ini
menjadi dua yaitu
(a) Yang kemaslahatannya lebih besar dari
kemafsadatannya.
(b) Yang kemafsadatannya lebih besar dari
kemaslahatannya.
c. Dzari’ah dilhat dari bentuknya dibagi menjadi empat 14 yaitu :
(1) Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu
kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras.
Hal ini dilarang oleh syara’.
(2) Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi
dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya nikah
tahlil. Hal ni dilarang oleh syara’.
(3) Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan
untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan
mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci
sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara’.
(4) Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang
membawa mafsadat, misalnya melihat wanita yang
dipinang. Tetapi menurut Ibnu Qayyim,
kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai
kebutuhan.
4. Kedudukan saddudz Dzari’ah
Telah dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat
mengenai Sadd al Dzariah, apakah ia dapat menjadi hujjah
syar’iyyah ataukah tidak?
Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal, keduanya sang maestro
mazhab fiqh terkenal, menerima Sadd al-Dzari’ah sebagai hujjah

14 Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, op. Cit hal 166


syar’iyyah. Sedangkan al-Syafi’i dan Abu Hanifah, keduanya juga
sang maestro mazhab fiqh terkenal, menerima Sadd al-Dzani’ah
sebagai hujjah syar’iyyah untuk kasus-kasus tertentu dan
menolaknya untuk kasus-kasus lain. Golongan ulama Zahiriyyah,
terutama Ibnu Hazm, menolak sama sekali (secara mutlak) Sadd
al-Dzari’ah; artinya ia bukanlah hujjah syar’iyyah. 15
Secara global, sikap pandang para ulama terhadap posisi Sadd al-
Dzanah Dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kubu, yaitu kubu
penerima (pro) dan kubu Penolak (kontra). Adapun kubu
penerima (pro) mengemukakan argumentasi Sebagai berikut. 16
a. Dalam Surah al-Baqarah (2): 104 dinyatakan bahwa orang
mukmin dilarang mengucapkan kata “ra’ina” -suatu ucapan
yang biasa digunakan orang Yahudi untuk mencela/megejek
Nabi. Larangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa
pengucapan kata itu akan membawa kepada mafsadah, yakni
tindakan mencela/mengejek Nabi. Pesan ayat ini
mengisyaratkan urgensi Sadd al-Dzari’ah.
b. Dalam Surah al-A’râf (7): 163 dinyatakan bahwa kaum Bani
Israil dilarang mendekati dan mengambil ikan-ikan yang
terapung di permukaan air laut pada hari sabtu hari khusus
beribadah bagi mereka-. Larangan itu didasarkan atas
keyakinan bahwa perbuatan mendekati dan mengambil ikan-
ikan tersebut akan membawa kepada mafsadah, yakni
meninggalkan kewajiban beribadah pada hari khusus ibadah
mereka.
c. Hadis Nabi: Rasulullah Saw. Melarang kaum muslimin
berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Karena
perbuatan itu akan menjerumuskan kepada perzinahan.
d. Sejumlah larangan mengisyaratkan urgensi Sadd al-Dzari’ah
bagi penetapan hukum, antara lain, yaitu:
(1) Larangan melamar (khitbah) perempuan yang sedang
iddah karena perbuatan melamar demikian akan
membawa kepada mafsadah, yakni menikahi
perempuan yang sedang ‘iddah.
(2) Larangan jual beli secara tunai dan tempo dalam satu
akad karena perbuatan jual beli demikian akan
membawa kepada mafsadah, yakni transaksi ribawi.
Yang dibolehkan ialah jual beli secara tunai dilakukan

15 Wahbah al-Zuhaili, Uzal al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz ke-2, hlm 889-891 dan
hlm. 903-904.
16 Lihat Wahbah al-Zuhaili, Ustal al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 889-891 dan hlm. 903-904.
tersendiri/terpisah dari jual beli secara tempo (dua
akad yang terpisah).
(3) Larangan terhadap kreditur menerima hadiah dari
debitur, ketika Debitur meminta penundaan
pembayaran utang (rescheduling) karena penerimaan
hadiah tersebut akan membawa kepada mafsadah,
yakni transaksi ribawi.
(4) Penetapan tindakan pembunuhan ahli waris terhadap
pewaris sebagai hal yang menghalangi hak kewarisan
ahli waris tersebut, agar tindakan pembunuhan
tersebut tidak dijadikan jalan untuk mempercepat
perolehan warisan.
(5) Pidana qisas bagi pelaku kolektif pembunuhan
terhadap satu orang korban; masalah ini sudah
menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Hal ini
dimaksudkan agar pembunuhan yang demikian tidak
dijadikan model kejahatan demi menghindari pidana
qisas.
(6) Larangan terhadap kaum muslim ketika masih di
Mekah, sebelum hijrah ke Madinah- membaca Alquran
dengan suara nyaring. Larangan ini didasarkan atas
pertimbangan agar kaum kafir Quraisy tidak
mencela/mengejek Alquran, Allah (yang menurunkan
Alquran), dan Nabi (yang menerima Alquran).
Kubu penolak (kontra) mengemukakan argumentasi
sebagai berikut.17

(a) Aplikasi Sadd al-Dzari’ah sebagai dalil


penetapan hukum ijtihadiy, merupakan
bentuk ijtihad bi al-ra yi yang tercela.
(b) Penetapan hukum kehalalan atau keharaman
sesuatu harus didasarkan atas dalil qat’iy,
tidak bisa dengan dalil zanny; sedangkan
penetapan hukum atas dasar Sadd al Dzariah
merupakan satu bentuk penetapan hukum
berdasarkan dalil zanny.
1. Objek Saddudz Dzari’ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada
kalanya:

17 Lihat Wahbah al-Zuhail, Usul al-Fiqh al-Islamry, hlm. 889-891 dan hlm. 903-904.
a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya
perbuatan terlarang.
b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya
perbuatan Terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini
jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu
sendiri dilarang Macam yang kedua inilah yang merupakan
objek saddudz dzari’ah, karena perbuatan tersebut sering
mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama
harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu mendorong
orang Yang melakukannya untuk mengerjakan perbuatan
dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
a. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan
dikerjakannya Perbuatan terlarang.
b. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan
dikerjakannya Perbuatan terlarang.
c. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak
dikerjakannya perbuatan.
Yang nomor 1. Disebut dzari’ah qawiyah (jalan yang
kuat), sedangkan Nomor 2 dan 3 disebut dzari’ah dha’if
(jalan yang lemah).
1. Kehujjahan Saddudz Dzari’ah
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang metode
saddudz dzari’ah ini.
a. Ulama yang menerima sepenuhnya
Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima
kehujjahan sadd adz-dzari’ah ini sebagai salah satu dalil
syara’. Alasan mereka antara lain:
(1) Firman Allah dalam surat An An’am, 6: 108:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-
sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An
An’am:108)
(2) Hadits Rasulullah saw18:
“Ingatlah, tanaman Allah adalah ma’siat-ma’siat
kepada-Nya. Siapa yang menggembalakan di sekitar
tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya.
(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
18 A. Hanafi, M. A., Usul Fiqh, Jakarta, Wijaya, cetakan ke-12 1993. Hal 147-148
b. Ulama yang menerima secara terbatas
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima
sadd adz-dzari’ah sebagai dalil jika kemafsadatan yang
akan muncul itu dipastikan akan terjadi atau paling tidak
diduga keras akan terjadi jika sebuah dzari’ah dikerjakan.
19

c. Ulama’ yang menolak


Ulama dhohiriyah tidak menerima sadd adz-dzar’ah
sebagai salah satu dalil dalalm menetapkan hukum
syara’. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak
menerima logika dalam masalah hukum.
2. Implikasi dari perbedaan pandangan.
a. Orang yang Meninggal Dunia dalam Keadaan
Menanggung Kewajiban Zakat20
Para ulama berbeda pendapat perihal kasus ini. Kalangan
ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah berpendapat
bahwa jika orang tersebut mewasiatkan penunaian
kewajiban zakatnya maka ahli warisnya wajib
menyisihkan sebagian dari sepertiga harta
peninggalannya untuk digunakan sebagai penunaian
kewajiban zakat orang yang bersangkutan; sebaliknya,
jika ia tidak mewasiatkan, ahli waris tidak mempunyai
kewajiban demikian. Dalam hal yang disebut terakhir ini,
mereka berargumen dengan dalil Sadd al-Dzari’ah.
Penjelasannya bahwa sekiranya penunaian kewajiban
zakat itu wajib ditanggung oleh ahli waris, hal demikian
tentu akan mendorong setiap orang enggan membayar
zakat sepanjang hidupnya, lantaran ia meyakini ahli
warisnya akan menanggungnya, di samping tentu
memberi jalan bagi upaya merugikan (idrar) ahli
warisnya. Dalam hal orang tersebut mewasiatkan
penunaian kewajiban zakatnya, mereka berargumen
bahwa itu merupakan salah satu macam wasiat, yang
penunaiannya tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta
peninggalan, sebagaimana ditegaskan nash hadis. Di
samping itu, mereka juga berhujah bahwa zakat
merupakan suatu ibadah yang membutuhkan niat

19 Drs. H. Nasrun Haroen, M. A., op. Cit hal 168-169


20 Lihat Musthafa Dib al-Buga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masâdir al-Tasyri’ al-
Taba’iyyah) fi al-Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.th.), hlm. 596-598.
sehingga gugurlah kewajiban zakat itu ketika si orang
wajibs zakat itu meninggal dunia. Adapun jika ia
berwasiat sebelum wafat maka itu sama seperti wasiat
lainnya.
Kalangan ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah
berpandangan bahwa ahli waris wajib menyisihkan
sebagian dari seluruh harta peninggalan orang tersebut,
baik ia memberi wasiat penunaian kewajiban zakatnya
maupun tidak. Mereka berargumen dengan dalil qryas,
yakni kasus tersebut di-qryas kepada kasus utang harta
kepada sesama manusia dan utang kewajiban haji.
Karena zakat merupakan kewajiban finansial (maliyyah)
yang sah untuk diwasiatkan sehingga tidak gugur
lantaran orang yang berkewajiban zakat itu meninggal
dunia, seperti halnya utang-piutang kepada sesama
manusia. Oleh karena itu, penunaiannya dapat diambil
sebagian dari seluruh harta peninggalan orang tersebut.
b. Jual Beli Hewan dengan Hewan21
Para ulama bersepakat perihal kebolehan jual beli hewan
dengan hewan yang berbeda kualitas dan kuantitas bila
dilakukan secara tunai (cash and carry). Mereka berbeda
pendapat perihal jual beli demikian yang dilakukan
secara tempo.
Kalangan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa haram
hukumnya jual beli secara tempo antara satu hewan
dengan hewan yang lain, yang mempunyai
kesamaan/keserupaan manfaat dengan kualitas dan
kuantitas yang berbeda di antara keduanya. Kalau kedua
hewan itu tidak mempunyai kesamaan/ keserupaan
manfaat, jual beli demikian boleh hukumnya. Mereka
berargumen dengan dalil Sadd al-Dzari’ah. Penjelasannya
bahwa selama kedua hewan itu mempunyai
kesamaan/keserupaan manfaat, tidak ada gunanya jual
beli demikian secara tempo, dan ia termasuk jual beli
salaf atau salam yang menarik keuntungan tanpa risiko
sehingga hukumnya haram.
Sementara mengenai kebolehan jual beli antara dua
hewan (barter) yang tidak mempunyai

21 Lahut Musthafa Dib al-Buga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri al- Taha
tyyah) fi al-Fiqh al-Islámy, hlm. 600-604.
kesamaan/keserupaan manfaat, yang dilakukan secara
tempo dan berbeda kualitas serta kuantitasnya.
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa jual beli
hewan dengan hewan lain hukumnya boleh (halal/sah)
secara mutlak, baik kedua hewan itu mempunyai
kesamaan/keserupaan manfaat ataupun tidak, baik
secara tunai maupun secara tempo, baik dengan
perbedaan kualitas dan kuantitas maupun sama kualitas
dan kuantitasnya. Mereka juga menggunakan hadis-
hadis di atas sebagai dasar argumentasi.
Kalangan ulama Hanafiyyah berpandangan bahwa haram
hukumnya jual beli hewan dengan hewan lain secara
tempo. Mereka berargumen bahwa ‘illah dari
pengharaman riba itu ada dua macam, yaitu kesamaan
dari segi jenis barang dan sifat terukur. Apabila dua
unsur ini terwujud, menjadi haram hukumnya transaksi
barang tersebut yang dilakukan secara tempo dan
berbeda kualitas dan kuantitasnya. Sebaliknya, apabila
kedua unsur itu tidak terwujud dengan simultan, menjadi
halal (mubah) hukumnya transaksi atas barang tersebut
yang dilakukan secara tempo dan berbeda kualitas dan
kuantitasnya. Sedangkan, apabila salah satu dari kedua
unsur itu terwujud, transaksi tersebut boleh dilakukan
secara berbeda kualitas dan kuantitasnya, tetapi tidak
boleh dilakukan secara tempo. Dalam hal jual beli hewan
dengan hewan, terdapat, unsur kesamaan dari segi jenis;
jadi, terwujud salah satu dari kedua unsur sehingga jual
beli tersebut boleh dilakukan secara berbeda kualitas
dan kuantitasnya, tetapi tidak boleh dilakukan secara
tempo.
c. Akad Jual Beli Salam yang Objeknya Tidak Bisa
Diserahkan22
Para ulama berbeda pendapat perihal boleh tidaknya
menjual objek akad jual beli salam yang belum dikuasai.
Kelompok ulama Malikiyyah berpendapat bahwa
menjual objek akad jual beli sulam yang belum dikuasai
itu dibolehkan bila menyangkut objek tertentu dan tidak
dibolehkan apabila menyangkut objek lainnya.

22 Lihar Musthafa Dib al Buga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masddir al-Tasyri al Tobaryyah)
fi al-Fiqh al-l-lémy, him. 604-606
Kelompok ulama Hanafiyyah, ulama Syafi'iyyah, dan
ulama Hanabilah mengatakan haram hukumnya menjual
objek akad jual beli salam yang belum dikuasai.
B. Syar'u Man Qablana
1. Pengertian
Syar’u Man Qoblana menurut bahasa yaitu berasal dari kata
“SYARUN” yang berarti sariat atau hukum dan Qoblana berasal
dari kata “QOBLAna” yang berarti sebelum, dengan kata lain jika
diartikan dengan seksama dan beraturan maka Syar’u Man
Qoblana adalah syariat sebelum kita.
Secara istilah ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat
sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran agama
sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara nabi
Muhammad SAW, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim,
dan lain-lain.23
Secara etimologis syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang
disyariatkan oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita.
Secara terminologis, Badran Abu al-Aynain Badran (seorang

Pakar Ushul Fiqh dari Universitas Iskandariah Mesir)


mendefinisikan Syar’u Man Qablana sebagai:
Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah swt. Kepada umat
terdahulu yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu dan syariat
tersebut dibebankan kepada orang-orang yang ada sebelum
syariat Muhammad seperti syariat nabi Ibrahim, nabi Musa dan
nabi Isa.
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat
terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Diantara asas yang sama itu
adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang
akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Akan tetapi,
perinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai
dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing. 24

23 Satria Effendi,Ushul Fiqh[Jakarta:KENCANA:2012]Hal.162


24 Alaiddin Koto, Ilmu fiqh dan Ushul fiqhfiqh, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm.
112.
Dengan demikian, Syar'u man qablana adalah hukum-hukum Allah
yang dibawa oleh para nabi atau rasul sebelum Nabi Muhammad
dan berlaku untuk umat mereka pada zaman itu.
2. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah,
Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat
Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-
hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah
SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan melalui kitab agama
mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang
menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan
hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah 25 :
a. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari
Allah juga oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada
para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an
berlaku kepada umat Muhammad SAW.
b. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh
mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah
dalam Surah An-Nahl ayat 123 :
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS.
An-Nahl/16:123).26
3. Pengelompokan Syar'u Man Qablana
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an atau
penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum
Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam al-qur’an
atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh
dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad.
b. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis
nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan
dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad
dan berlaku untuk selanjutnya.
c. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau
hadis nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi
Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan
berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa
hukum tersebut telah di-nasakh.27
25 Nasrun Haroen, ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 152.
26 Satria Effendi, ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 165-166.
27 Amir Syarifuddin, ushul fiqh, jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 417-419.
4. Dasar Hukum Syar'u Man Qablana
Jika Al-qur’an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum
yang telah disyariatkan kepada umat yang dahulu melalui para
Rosul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita
sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan lagi
bahwa syariat tersebut juga ditujukan kepada kita. Dengan kata
lain wajib untuk diikuti, seperti Firman Allah SWT dalam surat Al-
baqoroh ayat 183 berikut28 :
“hai orang-orang yang beriman diwajibkan kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”(Al-
baqarah :183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan
kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah
dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut
tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nabi Musa a.s
bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni
dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika ada najis
yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan
memotong anggota badan tersebut, dn lain sebagainya. 29
5. Macam-macam Syar'u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap
hukum Syariah yang diikuti oleh umat sebelumnya tetapi tidak
disebutkan dalam Sunnah atau Al-Quran. Para ulama sepakat
bahwa syariah kita dengan jelas mengesampingkan yang pertama
jenis. Kedua, setiap hukum Syariah yang diikuti oleh umat
sebelumnya tetapi disebutkan dalam Sunnah dan Al-Quran. Ada
tiga divisi dalam divisi kedua ini:
a. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk
syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh :
Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis
tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
b. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini
termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh :
Perintah menjalankan puasa.

28 Http://www.zulfanafdhilla.com/2013/01/makalah-asy-syaru-man-qablana-ilmu.html diakses
pada hari jum’at tanggal 14 November 2014 jam 14.00
29 Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih[Bandung:Pustaka Setia,2010] Hal.144
c. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh
atau dianggap sebagai syariat kita.30
6. Kedudukan Syar'u Man Qablana
Syariat yang diperkenalkan Nabi Muhammad pada dasarnya
identik dengan syariat yang Allah maksudkan untuk generasi
sebelumnya. Hal ini terbukti dalam firman Allah, Surah Al-Syura:13
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah
diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan
kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama
(keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah
belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk
mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah
memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan
memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang
kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan
konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman
Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang
berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-
masing.31
Akibatnya, syariat Islam telah menghapus beberapa hukum orang-
orang sebelum kita (Muslim) dan masih menerapkan beberapa
hukum orang-orang itu, seperti qishash.
7. Kehujahan Syar'u Man Qablana
Syari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat
kita jika Al-Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasannya
syari’at ini di wajibkan baik untuk mereka (orang yang sebelum
kita) dan juga kepada kita utuk mengamalkannya, seperti puasa
dan qishas. Tetapi jika seandainya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh
(di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa
syari’at orang sebelum kita itu bukan syari’at kita. Seperti syar’iat
Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak
dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya
sendiri, pakaian yang terkena najis tidak dapat di sucikan kecuali
memotong bagian bagian yang terkena najis. Dua syari’at Nabi
Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad. Allah

30
31 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3)
hal. 112
mengharamkan bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku,
sapi dan domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi umat Muhammad.
Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang
sebelum kita dengan syari’at kita seperti format ibadah. 32
Ketika melihat syariat orang, Abu Zahrah mengatakan bahwa ada
beberapa hal yang perlu diingat. Sehingga syari’u man qablana
layak untuk diikuti atau ditinggalkan, sebelum kita dengan syari’at
orang-orang yang datang sebelum kita. .Setidaknya ada tiga faktor
yang harus dipertimbangkan sebelum membuat keputusan ini :
a. Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan
berdasarkan kepada sumber-sumber yang menjadi pedoman
ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari sumber-sumber Islam,
makatidak dapat di jadikan hujan bagi umat Islam. Demikian
hasil kesepakatan para fuqaha.
b. Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di
hapus), maka tidak boleh di amalkan. Demikian juga jika
terddapat dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat
terdahulu, maka syari’at itu khusus untuk mereka dan tidak
berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging bagi orang bani
Israil.
c. Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum
kita) dan juga berlaku untuk kita itu di dasari oleh nas islam
bukan oleh cerita orang-orang terdahulu. Seperti kewajiban
berpuasa Ramadhan.33
Menurut beberapa sahabat Abu Hanifah, ulama Malikiyah,
sahabat Imam Syafi’i, dan sahabat Imam Ahmad, hukum-hukum
yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi tidak dilarang
bagi umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan untuk
mereka.teks, dan itu juga berlaku untuk para pengikut
Muhammad.
Oleh karena itu, Syar’u man qablana berlaku bagi kita jika syari’at
tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis yang sahih
berdasarkan :
a. Syariat samawi termasuk syar’u man qablana karena
dicantumkan dalam Al-Qur’an dan sunnah yang shahih.
b. Itu berlaku sebagai syariat Nabi Muhammad karena benar
dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa dibantah atau didukung
oleh nash.
32 Musnad Rozin.Usul Fiqih.Stain Jurai Siwo Metro Lampung. Hal159
33 Ibid, 160
c. Sebagai cara untuk menerapkan klaim bahwa Al-Qur’an
membenarkan Alkitab dan Taurat ke dalam praktik.

BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai