Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PENGANTAR HUKUM ISLAM

PEMBARUAN HUKUM DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Oleh :

VERLANDI PUTRA (2214050108)

MUHAMMAD ZAKI ANDIKA (2214050115)

Dosen pembimbing :

IBNU HUSNUL M. A

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS (D)

TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Pembaharuan
Hukum & Hukum Islam di Indonesia”.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan
bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

Padang, November 2022

Kelompok 13

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C. Tujuan Makalah................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum Islam dan Perubahan Sosial.................................................. 3
B. Pembaruan Hukum Islam di Indonesia.............................................. 9
C. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia............................................... 10
D. UU Wakaf di Indonesia.....................................................................
E. UU Zakat di Indonesia.......................................................................
F. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia............................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan........................................................................................ 11
B. Saran.................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sistem hukum apapun dan di manapun di dunia ini, hukum mengalami
perubahan, pembaharuan. Bagi hukum tanpa kitab suci atau hukum wadh’i,
perubahan atau pembaharuan hukum itu dilakukan untuk menyesuaikan hukum
dengan perkembangan sosial dan kebutuhan masyarakat. Ini tentu terkait dengan
sifat dasar dan ruang lingkup hukum (wadh’i) itu sendiri, yaitu aturan yang dibuat
oleh manusia untuk mengatur hubungan hidup antara manusia dengan manusia
serta penguasa dalam masyarakat.
Pembaharuan hukum karenanya merupakan keharusan sejarah karena fenomena
sosial kemasyarakatan tidaklah statis atau tetap, melainkan selalu berubah. Jadi,
selain bersifat permanen, hukum juga berubah. Hukum selain bersifat statis dan
tetap, pada saat yang sama juga berubah dan diperbaharui agar sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Hukum Islam—baik dilihat sebagai
produk ilmu maupun sebagai ilmu, serta dari perspektif tajdid—niscaya
memerlukan perubahan dan pembaharuan.
Islam adalah agama rahmat yang melepaskan manusia dari berbagai belenggu
penghambaan. Islam juga adalah agama yang sempurna, mengatur setiap dimensi
kehidupan. Manusia sebagaimana yang difirmankan allah Swt: ”Pada hari ini telah
kami sempurnakan untukmu, agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-
Ku dan telah Ku ridhoi Islam itu jadi agama bagimu”.
Ayat diatas merupakan jaminan dari Allah WTt, bahwa agama Islam telah
sempurna dan tidak perlu ditambah. Apalagi mesti disempurnakan dengan sesuatu
yang datang dari luar Islam.
Akidah, ibadah dan mu’amalat merupakan tiga komponen ajaran Islam yang tidak
bisa dipisah-pisahkan. Namun, dalam memahami pesan yang mengatur tata cara
pelaksanaan tiga komponen itu manusia sering mengalami kekeliruan. Kekeliruan
itu bisa disebabkan keterbatasan manusia, atau dipengaruhi oleh kondisi, ambisi

1
dan lingkungan manusia itu sendiri. Dari kekeliruan pemahaman dan pemikiran
itu tersebut, pada gilirannya akan mengaburkan warna asli dari ketiga komponen
suci diatas. Dalam kondisi demikian, maka sangat dibutuhkan sebuah semangat
dan gerakan pembaharuan sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits diatas tadi.

B. Rumusan Masalah
1) Hukum Islam dan Perubahan Sosial
2) Pembaharuan hukum Islam di Indonesia
3) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
4) UU Waqaf di Indonesia
5) UU Zakat di Indonesia
6) Hukum perbankan syariah di Indonesia

C. Tujuan penulisan
1) Mengetahui hukum Islam dan perubahan sosial
2) Mengetahui pembaruan hukum Islam di Indonesia
3) Mengetahui Kompilasi Hukum Islam
4) Mengetahui UU Waqaf di Indonesia
5) Mengetahui UU zakat di Indonesia
6) Mengetahui Hukum perbankan syariah di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Islam dan Perubahan Sosial
1. Pengertian hukum Islam dan perubahan sosial
1) Pengertian hukum Islam
Kata hukum Islam dalam Alquran tidak akan pernah didapatkan.
Tapi yang biasa digunakan adalah syariat Islam, hukum syara’,
Fiqih, dan syariat ataupun syara’. Dalam literature Barat terdapat
term “Islamic Law” yang secara harfiah dapat disebut sebagai
hukum Islam. Dalam penjelasan terhadap kata “Islamic law” sering
ditemukan definisi keseluruhan kitab Allah yang mengatur
kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Dari definisi ini
terlihat bahwa hukum Islam itu mendekat kepada arti syariat Islam.
Namun dalam perkembangan dan pelaksanaan hukum Islam yang
melibatkan pengaruh-pengaruh luar dan dalam. Terlihat yang
mereka maksud dengan Islamic law, bukanlah syariat, tetapi fiqhi
yang telah dikembangkan oleh Fuqaha. Jadi kata hukum Islam
dalam istilah bahasa Indonesia agaknya diterjemahkan dari bahasa
Inggris.
Secara terminology Prof. Dr. Hasbi As-Shiddieqy memberikan
definisi hukum Islam yakni koleksi daya upaya pola ahli hukum
untuk menetapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Ta’rif ini
lebih dekat kepada fiqhi bukan pada syari’at.
Prof. Dr. Ismail Muhammad Syah mengemukakan bahwa hukum
Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui
dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang
beragama Islam.Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa
hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah.

3
Dengan demikian hukum Islam menurut ta’rif ini mencakup
hukum syara’ dan juga mencakup hukum fiqhi karena arti syara’
dan fiqhi terkandung di dalamnya.

2) Perubahan sosial
Gillin mengatakan perubahan-perubahan social adalah suatu variasi
dan cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan-
perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi
penduduk, ideology maupun karena Adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara singkat
Samuel Koeng menyatakan bahwa Perubahan social menunjuk
pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola
kehidupan manusia. Modifikasi-Modifikasi mana terjadi karena
sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.
Selo Soemardjan merumuskan bahwasanya perubahan social
adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang Mempengaruhi
system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola
perilaku diantara kelompok-kelompok Dalam masyarakat.
Dari dua definisi tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
perubahan sosial adalah perubahan cara hidup suatu masyarakat
tentang sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai serta sikap, yang
disebabkan oleh perubahan. Kondisi geografis, kebudayaan,
ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
2. Karakteristik hukum Islam
1) enerapan Hukum Bersifat Universal
Sebagian besar dari nash-nash Alquran tampil dalam bentuk
prinsip-prinsip dasar yang universal dan ketetapan hukum yang
bersifat umum. Ia tidak bicara mengenai bagian-bagian kecil,
rincian-rincian secara mendetail. Oleh karena itu, ayat-ayat
Alquran sebagai petunjuk yang universal dapat dimengerti dan

4
diterima oleh umat dimanapun juga di dunia ini tanpa harus diikat
oleh tempat dan waktu.
2) Hukum yang Ditetapkan oleh Alquran tidak Pernah
Memberatkan
Dalam Alquran tidak ada satupun perintah-perintah Allah yang
memberatkan hamba-Nya. Apabila Tuhan melarang manusia
mengerjakan sesuatu pasti ada maksudnya baik secara terang-
terangan maupun secara tersembunyi. Walaupun demikian manusia
itu diberikan kelonggaran dalam keadaan tertentu. Contoh tentang
hukum memakan bangkai merupakan hal yang terlarang namun
dalam keadaan terpaksa yakni tidak ada makanan lain dan orang
akan mati kelaparan. Karenanya maka bangkai boleh saja dimakan.
Ini berarti hukum Islam bersifat elastis dan dapat berubah sesuai
dengan persoalan waktu dan tempat.
3) enetapkan Hukum Bersifat Realitas
Hukum Islam ditetapkan berdasarkan realitas dalam hal ini harus
berpandangan riil dalam segala hal. Menghayalkan perbuatan yang
belum terjadi lalu menetapkan suatu hukum tidak diperbolehkan.
Dengan dugaan ataupun sangkaan-sangkaan tidak dapat dijadikan
dasar dalam penetapan hukum. Dr. Said Ramadhan menjelaskan
bahwa hukum Islam mengandung metode of realism.
4) Menetapkan Hukum Berdasarkan Musyawarah sebagai
Bahan Pertimbangan
Kalau hukum diibaratkan sebagai isi, maka masyarakat adalah
wadahnya. Untuk menerangkan isi haruslah dilihat wadahnya. Hal
inilah yang terlihat dalam proses diturunkannya ayat-ayat Alquran
yang menggambarkan kebijaksanaan Tuhan dalam menuangkan isi
yang berupa hukum Islam ke dalam wadahnya yang berupa
masyarakat.
5) Sangsinya Didapatkan di Dunia dan di Akhirat

5
Undang-undang memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap
hukum hukumnya. Hanya saja sanksi itu selamanya hanya
diberikan di dunia, berbeda halnya dengan hukum Islam yang
memberi sanksi di dunia juga di akhirat. Sanksi di akhirat
selamanya lebih berat daripada yang di dunia. Karena itu, orang
yang beriman merasa mendapatkan dorongan kejiwaan yang kuat
untuk harus melaksanakan hukum-hukumNya dan mengikuti
perintah serta menjauhi larangan-laranganNya.
Hukum yang disandarkan pada agama seperti ini bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan individu dan masyarakat. Tidak diragukan lagi ini adalah tujuan
yang bermanfaat hanya saja ia bermaksud membangun masyarakat ideal yang
bersih dari semua apa yang bertentangan dengan agama dan moral.
Begitu juga ia tidak hanya bermaksud untuk membangun masyarakat yang sehat
saja, tetapi ia juga bertujuan untuk membahagiakan individu, masyarakat dan
seluruh umat manusia di dunia dan di akhirat. Itulah beberapa karakteristik hukum
Islam yang tentunya akan memudahkan kita memahami lebih jauh tentang
eksistensi hukum Islam dalam perubahan-perubahan sosial.

3. Eksistensi Hukum Islam Dan Perubahan Sosial


Dalam perjalanan sejarahnya, hukum Islam merupakan suatu kekuatan
yang dinamis dan kreatif, hal ini dapat dilihat dari instruksi Rasul SAW
kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada
waktu itu. Tetapi dalam melakukan ijtihad, para sahabat tidak mengalami
problem metodologis apapun, karena apabila mendapatkan kesulitan
dalam menyimpulkan hukum mereka dapat langsung menanyakannya
kepada Nabi. Namun setelah Rasulullah SAW. Wafat, masalah-masalah
baru mulai banyak bermunculan. Ragam kasus yang muncul pada periode
kepemimpinan Khalifah mulai berkembang seperti hukum keluarga,
hukum transaksi dan juga hukum yang berkaitan dengan kepentingan
umum seperti hak-hak dasar manusia, hak untuk mendapatkan
kemerdekaan dan hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara.

6
Pada masa sahabat ijtihad mulailah digalakkan sehingga muncul lah
berbagai penafsiran dan fatwa praktek-praktek hukum yang pernah
dicontohkan oleh Rasulullah saw, bukan saja dianggap sebagai suatu
putusan hukum seorang hakim di peradilan, tetapi juga sebagai petunjuk
dalam memecahkan persoalan-persoalan. Dengan contoh-contoh yang
pernah diberikan Rasulullah di bidang fatwa telah siap dan mampu
menghadapi persoalan-persoalan baru yang mereka pecahkan dengan cara
menggalakkan ijtihad.
Contoh ijtihad sahabat adalah tindakan-tindakan dan kebijaksanaan yang
ditempuh umat yang kreatif dan inovatif seperti tidak melakukan potong
tangan terhadap pencuri pada waktu paceklik, mengubah kebijaksanaan
Nabi saw. Dalam menghadapi persoalan tanah di daerah yang baru
ditaklukkan dan lain sebagainya adalah untuk menunjukkan bahwa suatu
hukum dapat berubah secara formal menghadapi tuntutan realitas
kehidupan masyarakat, tetapi esensi dan jiwa yang mendasarinya tetap
bertahan dan tidak berubah.
Berpijak pada pandangan di atas dan dalam upaya menjawab tuntutan dan
permasalahan yang dihadapi masyarakat era industrialisasi maka perlu
merumuskan kembali metodologi untuk berijtihad untuk memperoleh
teoritisasi yang merupakan hasil kristalisasi dari pemahaman utuh atas
Alquran dan Sunnah harus diterapkan kepada kehidupan kaum muslimin
dewasa ini dengan mempertimbangkan situasi lokal dimana prinsip-prinsip
tersebut akan diaplikasikan.
Memodifikasi hukum lama selaras dengan situasi kekinian bukan berarti
mengeksploitasi teoritis dari Alquran maupun Sunnah dan memodifikasi
hal-hal yang ada dalam situasi dewasa ini sehingga selaras dengan
teoritisasi Alquran dan Sunnah. Oleh karena itu, situasi dewasa ini perlu
dikaji secara cermat dengan mempertimbangkan berbagai unsurnya seperti
ekonomi, social, politik, sosial cultural, dan sebagainya.
Zaman telah berubah, masyarakat pun mengalami perkembangan
persoalan-persoalan baru banyak yang muncul. Karena itu kita tidak boleh

7
berdiam diri dalam menjelaskan hukum tiap-tiap hubungan itu dengan
alasan bahwa para fuqaha terdahulu tidak membicarakannya. Melainkan
kita harus berijtihad sesuai dengan criteria-kriteria yang ditetapkan oleh
agama.
4. Makna Islam dan perubahan sosial
Dalam Nalar Ilmu Filasaf Pengetahuan, modernitas adalah era
kepercayaan kepada kemajuan, yang sejajar dengan kepercayaan kepada
nilai dan hal baru (lantaran yang baru diganjar dengan nilai yang lebih
besar ketimbang yang tidak baru). Perubahan karakter masyarakat dari
masyarakat agraris ke masyarakat industri memiliki dampak tersendiri
terhadap cara pandang (paradigma), life style dan kebutuhan sehingga
memiliki imbas tersendiri terhadap prilaku beragama. Sebagai sebuah
sistem pengembangan dan pembangunan modernitas adalah upaya
menambah kemampuan suatu sistem sosial untuk menanggulangi serta
Tantangan-tantangan persoalan-persoalan baru yang dihadapinya, dengan
Menggunakan secara rasional ilmu dan teknologi dengan Segala sumber
kemampuannya.
Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya
perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya
meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan
Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari
solidaritas yang ada dalam masyarakat”. Senada dengan Marx Weber dan
Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang
perubahan sosial hubungannya dengan perubahan hukum. Menurutnya,
perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya
komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua,
adanya kontak atau konflik antar kehidupan masyarakat; dan ketiga,
adanya gerakan social (social movement). Menurut teori-teori di atas,
jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan sosial.

8
Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan
perubahan-perubahan social dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di
dalamnya pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran
hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran
Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam
itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam
khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.
Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di
kalangan umat Islam. Pada posisi ini ijtihad merupakan inner dynamic
bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam
sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan. Umat Islam
menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif-tekstual
sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang
hukum tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab
Bidayat Al-Mujtahid menyatakan bahwa:
“Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya,
sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas.
Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa
menghadapi sesuatu yang tidak terbatas”
Semangat atau pesan moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu
Rusyd di atas adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-
kasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya
dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk
mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman
dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh
dimensi kehidupan manusia.
B. Pembaharuan hukum Islam di Indonesia

9
Untuk mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum dalam memutus
suatu perkara, Departemen Agama cq. Biro Peradilan Agama melalui Surat
Edaran No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ditujukan kepada seluruh
pengadilan agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia agar dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab
fikih yang sebagian besar kitab fikih tersebut berlaku di kalangan mazhab Syafi’i.
Langkah awal yang dilaksanakan oleh para pembaru hukum Islam di Indonesia
adalah mendobrak paham ijtihad telah tertutup, dan membuka kembali kajian-
kajian tentang hukum Islam dengan metode komprehensif yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Berusaha agar hukum Islam tetap eksis sepanjang zaman.
Paham yang mengatakan lebih baik bertaklid daripada membuat hukum baru,
segera harus dihilangkan Mengusahakan agar hukum Islam menjadi salah satu
sumber hukum nasional dan dapat menjadi pedoman dalam berbangsa dan
bernegara.
Pembaruan hukum Islam di Indonesia, yang paling dominan adalah pembaruan
yang dilaku kan melalui perundang undangan dan putusan pengadilan agama
seba- gai hasil ijtihad para hakim. Di samping itu, kajian yang dilakukan oleh
beberapa perguruan tinggi di Indonesia juga berperan dalam pembaru an hukum
Islam, terutama kajian ilmiah tentang al-Ahwal asy-Syahsyiah dan ekonomi Islam
serta penelitian yang dilakukan dalam rangka pe nyelesaian akhir studi strata dua
dan tiga. Oleh karena itu, prinsip yang wajar yang harus dipegang dalam
pembaruan hukum Islam adalah se- bagaimana adagium yang berbunyi: Al-
muhafadhatu ‘al al qadimis shalih, wal ahhdzi bil jadidi al-ashlihi (berpegang
kepada pendapat yang lama yang baik dan mengambil pendapat baru yang lebih
baik).
C. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
1. Pengertian Kompilasi
Kata kompilasi berasal dari bahasa Latin compilare yang mempunyai
arti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-
peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Dalam bahasa
inggris compilation . Dalam bahasa belanda ditulis compilatie . Dalam

10
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kompilasi berarti kumpulan yang
tersusun secara teratur . Koesno memberi pengertian Kompilasi dalam
dua bentuk. Pertama sebagai hasil usaha mengumpulkan berbagai
pendapat dalam satu bidang tertentu, kedua Kompilasi diartikan dalam
wujudnya sebagai suatu benda seperti berupa suatu buku yang berisi
kumpulan pendapat-pendapat yang ada mengenai suatu bidang
persoalan tertentu.
2. Proses perumusan KHI
Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam,
tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan
Yuridis dan Landasan Fungsional.

1) Latar belakang penyusunan KHI


Lahirnya KHI tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan
perkembangan hukum Islam di Indonesia. Namun harus dicatat
bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh
hasil interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad
sesudahnya. Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana
taqlid serta sikap fanatisme mazhab yang cukup kental. Situasi
tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di
lingkungan Peradilan Agama. Dalam menghadapi penyelesaian
kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim
menoleh kepada kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama. Jadi,
putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum, melainkan
doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di
dalam kitab-kitab fiqh. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai
rujukan hukum materiil pada pengadilan agama juga telah
menimbulkan keruwetan lain.

2) Landasan yuridis

11
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan
kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.

3) Landasan fungsional
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun
dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam
Indonesia. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam
fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat
mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat
setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum
islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini
merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi
arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.

4) Kedudukan Dan Penerapan Kompilasi Hukum Islam Di


Indonesia.
Dalam konteks sosiologis kompilasi yang bersubtansi hukum islam
itu jelas merupakan produk keputusan politik. Instrument hukum
politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain
formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa
disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum
material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada
zaman orde baru.
Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam
tata hukum Indonesia. Konfigurasi politik yang demokratis
senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter
responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter

12
senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter
konservatif/ortodoks.
Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-
karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan
membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali
diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah
Negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan
dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Hasil
interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud
nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena
itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang
memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.
Ada dua hal yang menjadi pertimbangan sehingga KHI penting
untuk disebarluaskan, pertama karena KHI diterima oleh Majelis
Ulama Indonesia. Kedua Karena KHI bisa dipergunakan sebagai
pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah perkawinan,
kewarisan dan perwakafan, baik oleh instansi pemerintah maupun
masyarakat yang memerlukannya.
D. UU waqaf di Indonesia
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1), wakaf adalah perbuatan
Hukum seseorang atau sebuah kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk Selama-
selamanya guna kepentingan ibadah/keperluan umum lainnya yang Sesuai dengan
ajaran Islam.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepantingan peribadatan atau keperluan umum Lainnya sesuai dengan
ajaran agama Islam.
Menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat (1), wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta

13
benda miliknya untuk dimanfaatkan selama jangka waktu tertentu, sesuai dengan
kepentingan, guna keperluan ibadah atau kesejahtera- an umum menurut syariat.
1) Regulasi perwakafan
Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang
amat penting dalam memajukan perkembangan agama. Aturan
wakaf di Indonesia sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada
1905, secara administratif peraturan tanah wakaf mulai dibuat
berdasarkan surat edaran, antara lain:

a. Suarat Edaran Sekretaris Gubernement (SESG) 31


Januari 1905 (Bijblaad 1905 Nomor 6.169) tentang
perintah kepada bupati untuk membuat daftar suatu
wakaf.

b. SESG 4 April 1931 (Bijblaad Nomor 12.573) sebagai


pengganti Bijblaad Sebelumnya yang berisi perintah
kepada bupati untuk meminta ketua Pengadilan agama
mendaftar tanah wakaf.
c. SESG 24 Oktober 1934 tentang wewenang bupati untuk
menyelesaikan Sengketa wakaf.
d. ESG 27 Mei 1935 tentang cara perwakafan.
Sebelum lahir UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan di Indonesia
diatur dalam PP No. 28 Tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Milik dan sedikit
terlindungi dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Namun, peraturan perundangan tersebut hanya mengatur benda-benda wakaf tidak
bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdhah,
seperti masjid, musala, pesantren, kuburan, dan lain-lain.

Peraturan perundangan perwakafan diregulasi agar perwakafan dapat


diberdayakan dan dikembangkan secara lebih produktif. Regulasi peraturan
perundangan perwakafan tersebut berupa UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

14
dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Kedua
peraturan perundangan tersebut memiliki urgensi, yaitu selain untuk kepentingan
ibadah mahdhah, juga menekankan perlunya pemberdayaan wakaf secara
produktif untuk kepentingan sosial (kesejahteraan umat).

Dasar hukum perwakafan di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan


perundang-undangan, antara lain:

1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.


2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perincian Ter-
hadap Cara Perwakafan.
3) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perincian
Terhadap PP No. 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah
Milik.
4) Instruksi Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990, Nomor 24 Tahun
1990 tentang Sertifikasi Tanah.
5) Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-2782 tentang Pelaksanaan
Penyertifikatan Tanah Wakaf.
6) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam KHI
7) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

2) Pelaksanaan Perwakafan Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun


2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Wakaf harus dilaksanakan seusai dengan syariat Islam serta
ketentuan- ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam Pasal 17

15
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Pasal 5
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, menentukan setiap pihak yang akan mewakafkan
tanahnya harus menyatakan kehendaknya untuk mewakafkan tanah
(menyampaikan ikrar wakaf) kepada nazir di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), dan selanjutnya setelah
dibuat Akta Ikrar Wakafnya berdasar- kan ketentuan Pasal 32
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Pasal
10 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) berkewajiban untuk mendaftarkan tanah wakaf tersebut
kepada Badan Pertanahan Nasional setempat untuk diterbikan
sertifikat tanah wakafnya. Pentingnya pendaftaran tanah wakaf
guna mendapatkan sertifikat tanah wakaf adalah untuk kepastian
hukum dari tanah wakaf tersebut. Jika telah memiliki sertifikat
tanah wakaf, tanah wakaf tersebut menjadi jelas status
kepemilikannya, yakni untuk kepentingan masyarakat dan
dilindungi oleh hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
Pasal 17 menentukan bahwa:

i. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazir di hadapan


Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan
disaksikan oleh dua orang saksi.
ii. Ikrar wakaf, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan
secara lisan Dan atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar
wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf mewajibkan nazir
membawa wakif di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf yang selanjutnya oleh

16
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dibuatkan Akta Ikrar
Wakaf (AIW) atas tanah dimaksud.

Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977


tentang Perwakafan Tanah milik, ditentukan bahwa:

1) Pihak yang mewakafkan tanah harus mengikrarkan


kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nazir di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, sebagaimana
dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.

2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan


dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

Ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah


Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik,
menentukan:

1) Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan


ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9, Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf atas nama nazir yang bersangkutan diharuskan
mengajukan permohonan kepada bupati/wali- kota kepala
daerah Cq. Kepala Sub. Direktorat Agraria setempat untuk
mendaftarkan perwakafan tanah milik yang bersangkutan
menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997.

17
2) Bupati/walikota kepala daerah Cq.Kepala Sub. Direktorat
Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut
dalam ayat (1) mencatat perwakafan tanah milik yang
bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
3) Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai
sertifikat, pen- catatan yang dimaksudkan dalam ayat (2)
dilakukan setelah tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
4) Menteri Dalam Negeri diatur tata cara pencatatan
perwakafan yang dimaksud dalam ayat (2) dan (3).
5) Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam
buku tanah dan sertifikatnya, seperti dimaksudkan dalam
ayat (2) dan (3), nazir yang bersangkutan wajib
melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk Menteri
Agraria.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik, dapat dinyatakan
bahwa Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) diwajibkan
untuk mendaftarkan tanah wakaf kepada Badan Pertanahan
setempat guna memperoleh sertifikat tanah wakaf.
E. UU Zakat di Indonesia
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat mem- berikan
implikasi luas lembaga pengelolaannya. Pengelolaan zakat secara umum
mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatannya berdasarkan skala prioritas
kebutuhan mustahiq dan untuk usaha produktif. Untuk me- wujudkan optimalisasi
pengelolaannya, badan amil zakat senantiasa amanah, profesional, transparansi,
dan akuntabilitas.
1) Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Lahirnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat pada dasarnya lebih profesional dan modern karena dapat
menciptakan paradigma baru yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
Dalam undang- undang tersebut diatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan

18
oleh satu wadah yang disebut badan amil zakat. Badan Amil Zakat
Nasional (Baznas) merupakan lembaga yang melakukan pengelolaan zakat
secara nasional.
Baznas merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui Kementerian
Agama Republik Indonesia. Selain Baznas, ada juga Lembaga Amil Zakat
(LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam organisasi
kemasyarakatan (Ormas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan,
atau institusi lainnya. Dengan adanya paradigma baru seperti itu, semua
badan amil zakat harus segera menyesuaikan diri dengan amanat undang-
undang. Yakni pembentukannya harus berdasarkan kewilayahan
pemerintah negara, mulai dari tingkat nasional, provinsi, sampai
kabupaten/kota.” Tidak sedikit lembaga amil zakat bentukan masyarakat,
baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan tingkat kecamatan,
telah mendapat pengukuhan pemerintah setempat. Misalnya, Lembaga
Amil Zakat Daarut Tauhid (LAZ DT).
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Kemudian mengalami amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Infak, Sedekah yang disahkan
melalui Rapat paripurna DPR-RI pada Kamis, 27 Oktober 2011. Terdapat
perubahan Dalam isi UU tersebut, yaitu; pertama, dalam ketentuan
peralihan pasal 43 ayat (4), kalimat “LAZ atau Lembaga Amil Zakat,
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib menyesuaikan diri paling
lambat 1 tahun terhitung sejak undang- undang ini diundangkan” diganti
menjadi, “...paling lambat 5 tahun terhitung sejak undang-undang ini
diundangkan...”
Kedua, dalam penjelasan pada pasal 4 ayat (3), kalimat “Yang dimakSud
dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum, seperti perseroAn
terbatas” ditambahkan klausul dengan, “... Bahwa badan usaha yang
Dimaksud adalah badan usaha yang dimiliki oleh umat Islam”.

19
2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
merupakan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan peran dan fungsi
pengelola zakat bagi pengembangan serta pemberdayaan ekonomi umat.
Hal tersebut diorientasikan agar sumber dana zakat berdaya guna dan
berhasil guna bagi masyarakat sesuai dengan amanah yang tercantum
dalam konsideran peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan
zakat. Pengelolaan zakat bertujuan untuk, antara lain:
1) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam
pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat yang baik akan memudahkan
langkah sebuah LPZ untuk mencapai tujuan inti dari zakat itu
sendiri, yaitu optimalisasi zakat. Dengan bertindak efisien dan
efektif, LPZ mampu memanfaat kan dana zakat yang ada dengan
maksimal.
2) Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan
masya- rakat dan penanggulangan kemiskinan. Pengelolaan zakat
dimaksudkan agar dana zakat yang disalurkan benar-benar sampai
pada orang yang tepat dan menyalurkan dana zakat tersebut dalam
bentuk yang produktif sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan zakat untuk hal yang
produktif dapat dilakukan dengan mendirikan rumah asuh,
melakukan pelatihan home industry, mendirikan sekolah gratis,
dan sebagainya.
F. Hukum Perbankan syari’ah di Indonesia

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, banyak bank syariah didirikan di berbagai
negara, termasuk Sudan, Pakistan, dan Malaysia. Hal ini membuat umat Islam di
Indonesia, sebagai masyarakat mayoritas, semakin sadar dan terdorong untuk
melakukan hal yang sama. Bahkan, keinginan untuk mendirikan bank syariah di
Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an; namun keinginan tersebut sulit
diwujudkan karena kebijakan dan peraturan pemerintah yang tidak mendukung

20
pada saat itu. Keinginan tersebut baru terwujud ketika Majelis Ulama Indonesia
dan Pemerintah mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991.
Pada tahun 1992, ini bank mulai berfungsi secara efektif.
BMI beroperasi berdasarkan UU No.7 Tahun 1992, yang mengatur tentang
perbankan. UU No. Selanjutnya diubah UU ini.10 Tahun 1998. Tahun 2008 UU
No. UU Perbankan Syariah (21 Tahun 2008) diundangkan. UU No. Undang-
undang khusus yang disebut 21 mengatur perbankan syariah.
1) UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa BMI adalah bank pertama di
Indonesia yang beroperasi berdasarkan pada prinsip syariah. Dasar hukum
berdirinya BMI adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara
substansi, UU ini merupakan peraturan perbankan nasional yang muatannya
lebih banyak mengatur bank konvesional dibandingkan bank syariah. Tidak
banyak pasal yang mengatur tentang bank syariah dalam UU ini. Kata ‘bank
syariah’ juga tidak disebutkan secara eksplisit. UU ini hanya menyatakan
bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip pembagian hasil keuntungan
atau prinsip bagi hasil (profit sharing) (lihat Pasal 1 butir 12 & Pasal 6 huruf
m). Tidak disebutkannya kata ‘syariah’ atau ‘Islam’ secara eksplisit dalam UU
ini disebabkan, menurut Sutan Remy Sjahdeini, masih tidak kondusifnya
situasi politik pada saat itu. Pemerintah masih ‘alergi’ dengan penggunaan
kata ‘syariah’ atau ‘Islam’.

Meskipun UU No. 7 Tahun 1992 mengizinkan bank beroperasi berdasarkan


prinsip bagi hasil, tidak ada petunjuk lebih lanjut bagaimana bank tersebut
mesti dijalankan. Oleh karena itu, untuk memberikan pemahaman dan
petunjuk yang jelas, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Menurut Pasal 1 butir 1 PP No. 72, yang dimaksud dengan bank berdasarkan
prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Prekreditan Rakyat yang
melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.

21
Adapun yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil sebagaimana yang dimaksud
Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syari’at.
Berdasarkan pasal-pasal ini dapat dipahami bahwa ungkapan bank bagi hasil
secara prinsip merupakan terminologi yang digunakan untuk bank Islam atau
bank Syariah. Artinya yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip
muamalah yang berdasarkan pada syariah. Kata syariah secara jelas merujuk
pada hukum Islam. Maka, prinsip dasar bank syariah dalam menjalankan
aktivitasnya adalah hukum Islam atau syariah.
Mengenai aktivitas bisnis bank, PP No. 72 mengatur secara jelas bahwa bank
umum dan bank prekreditan rakyat (BPR) yang beroperasi berdasarkan prinsip
bagi hasil tidak boleh secara bersamaan melakukan aktivitas bisnis
berdasarkan prinsip konvensional. Begitu juga sebaliknya, bank umum dan
BPR konvensional juga tidak boleh melakukan aktivitas bisnis berdasarkan
prinsip bagi hasil. (lihat Pasal 6). Kemudian, untuk memastikan aktivitas bank
bagi hasil tidak bertentangan dengan prinsip syariah, maka PP No. 72 juga
mengatur bahwa bank bagi hasil harus mendirikan Badan Pengawas Syariah
(BPS). Fungsi utama BPS ini adalah untuk mengawasi dan memastikan bahwa
produk-produk yang ditawarkan oleh bank ini betul-betul sesuai dengan
prinsip syariah. Adapun secara struktural, posisi BPS di dalam bank bersifat
independen, terpisah dari menajemen bank dan tidak mempunyai peran dalam
operasional bank. BPS dalam menjalankan aktivitasnya selalu berkonsultasi
dengan Majelis Ulama Indonesia.
Dari penjelasan di atas, dapat dicatat bahwa sejak diberlakukanya UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintahnya, maka bank
syariah di Indonesia telah menjadi kenyataan. Hal ini dianggap sebagai front
gateberoperasinya bank syariah di Indonesia. Namun, peraturan-peraturan
tersebut masih dianggap belum memadai untuk mendorong perkembangan
bank syariah, karena sekedar mengatur bank yang beroperasi berdasarkan
prinsip bagi hasil, namun tidak secara definitif dan komprehensif mengatur
akitifitas bank berdasarkan prinsip syariah.
2) UU No. 10 Tahun 1998

22
Pada tahun 1998, UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992) diamandemen
dengan UU No. 10 Tahun 1998. Berbeda dengan UU No. 7 Tahun 1992 yang
tidak mengatur secara pasti perbankan syariah, ketentuan-ketentuan mengenai
perbankan syariah dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih lengkap (exhaustive)
dan sangat membantu perkembangan perbankan syariah di Indonesia. UU No.
10 Tahun 1998 secara tegas menggunakan kata bank syariah dan mengatur
secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan BPR, dapat beroperasi dan
melakukan pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah. (lihat Pasal 1 butir
12, Pasal 7 huruf c, Pasal 8 ayat (1 & 2), Pasal 11 ayat (1) & (4a), Pasal 13,
Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (1) huruf c).
Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah, menurut Pasal 1 butir 13,
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan atau pembiyaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
pernyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip
sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah
wa iqtina). Ketentuan di atas menunjukkan perluasanan eksistensi bank
syariah dalam melaksanakan kegiatannya, di mana dalam UU sebelumnya hal
tersebut tidak diatur secara jelas.
Selanjutnya, UU No. 10 Tahun 1998 ini juga membolehkan bank
konvensional untuk menjalankan aktifitasnya berdasarkan prinsip syariah
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.(Pasal 6 huruf m).
Dalam hal ini, bank konvensional yang hendak menjalankan kegiatan syariah
harus mendirikan kantor cabang atau sub kantor cabang. Adapun untuk BPR
tetap tidak dibolehkan untuk menjalankan aktifitas secara konvensional dan
syariah secara bersamaan. Perbedaan lainnya adalah diberikannya wewenang
kepada Bank Indonesia untuk mengawasi dan mengeluarkan peraturan
mengenai bank syariah. Sebelumnya kewenangan tersebut diberikan kepada

23
kementrian keuangan. Sejarah mencatat, bagaimana Bank Indonesia sangat
aktif dalam mengembangan perbankan syariah. Banyak Peraturan Bank
Indonesia yang telah dikeluarkan demi menunjang kelancaran operasional
bank syariah.
3) UU No. 21 Tahun 2008
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia, dasar hukum perbankan syariah di Indonesia semakin kuat dan
jumlah bank syariah semakin meningkat secara signifikan. Akan tetapi,
beberapa praktisi dan pakar perbankan syariah berpendapat bahwa peraturan
yang ada masih tidak cukup untuk mendukung operasional perbankan syariah
di Indonesia. Sebagai contoh, bank syariah beroperasi hanya berdasarkan pada
fatwa Dewan Syariah Nasional yang kemudian diadopsi Bank Indonesia
dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia yang
tersebar dalam berbagai bentuk kadangkala overlapping satu sama lainnya.
Kemudian, bank syariah mempunyai karakterisitk yang berbeda dengan bank
konvensional, sehingga pengaturan bank syariah dan bank konvensional
dalam satu Undang-Undang yang sama dipandang tidak mencukupi. Oleh
karena itu, adanya UU khusus yang mengatur bisnis perbankan syariah secara
konfrehensif merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk
diwujudkan.
Pada tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat dengan dukungan pemerintah,
mengesahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini
terdiri dari 70 pasal dan dibagi menjadi 13 bab. Secara umum struktur Hukum
Perbankan Syariah ini sama dengan Hukum Perbankan Nasional. Aspek baru
yang diatur dalam UU ini adalah terkait dengan tata kelola (corporate
governance), prinsip kehati-hatian (prudential principles), menajemen resiko
(risk menagement), penyelesaian sengketa, otoritas fatwa dan komite
perbankan syariah serta pembinaan dan pengawasan perbankan syariah. Bank
Indonesia tetap mempunyai peran dalam mengawasi dan mengatur perbankan
syariah di Indonesia, namun saat ini pengaturan dan pengawasan perbankan,

24
termasuk perbankan syariah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai
dengan amanah UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Dengan adanya UU khusus yang mengatur perbankan Syariah serta instrumen
hukum lainnya , diharapkan eksistensi perbankan syariah semakin kokoh, para
investor semakin tertarik untuk melakukan bisnis di bank syariah sehingga
perbankan syariah di Indonesia semakin lebih baik lagi.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Islam dan perubahan sosial

25
Eksistensi Hukum Islam Dan Perubahan Sosial Dalam perjalanan sejarahnya,
hukum Islam merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif, hal ini dapat
dilihat dari instruksi Rasul SAW kepada para sahabat dalam menghadapi realitas
sosiologis umat pada waktu itu.
Ragam kasus yang muncul pada periode kepemimpinan Khalifah mulai
berkembang seperti hukum keluarga, hukum transaksi dan juga hukum yang
berkaitan dengan kepentingan umum seperti hak-hak dasar manusia, hak untuk
mendapatkan kemerdekaan dan hukum yang berkaitan dengan kehidupan
bernegara.
Makna Islam dan perubahan sosial Dalam Nalar Ilmu Filasaf Pengetahuan,
modernitas adalah era kepercayaan kepada kemajuan, yang sejajar dengan
kepercayaan kepada nilai dan hal baru (lantaran yang baru diganjar dengan nilai
yang lebih besar ketimbang yang tidak baru).
Pembaharuan hukum Islam di Indonesia
Gagasan bahwa ijtihad telah ditutup merupakan langkah awal yang diambil oleh
para pembaharu hukum Islam di Indonesia. Pemikiran bahwa lebih baik
menyetujui kewajiban daripada membuat peraturan baru harus segera ditepis.
Upaya menjadikan hukum Islam sebagai dasar hukum nasional.
Kompilasi Hukum Islam
Pengertian kompilasi ada dalam dua bentuk, Pertama sebagai hasil usaha
mengumpulkan berbagai pendapat dalam satu bidang tertentu, kedua Kompilasi
diartikan dalam wujudnya sebagai suatu benda seperti berupa suatu buku yang
berisi kumpulan pendapat-pendapat yang ada mengenai suatu bidang persoalan
tertentu.
Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas
pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan
Fungsional. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan
wujud nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI
merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik
dan yuridis dari Negara.
UU wakaf, UU zakat dan Perbankan syariah di Indonesia

26
Dahulunya, wakaf diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 28 Tahun 1997.
Namun semenjak UU No. 41 Tahun 2004 lahir, perwakafan diatur oleh Undang-
Undang tersebut dan membuatnya semakin baik.
UU yang mengatur tentang Zakat yaitu Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. Kedua Undang-Undang tersebut mengatur
tentang pengelolaan zakat.
Hukum perbankan di Indonesia berbentuk Undang-Undang, yakni :
1) UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
2) UU No. 10 Tahun 1998
3) UU No. 21 Tahun 2008

Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di
atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya
penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan
menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun
dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

27
Muhammad Syukri Albani Nasution. 2013. FILSAFAT HUKUM ISLAM cetakan
ke-1. Depok: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA.
Maimun. 2020. HUKUM ISLAM DALAM DINAMIKA PERUBAHAN
SOSIAL. Jawa Timur: Duta Media Publishing.
Manan, Abdul. 2017. PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Depok:
KENCANA.
MAHKAMAH AGUNG R. I. 2011. HIMPUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM SERTA PENGERTIAN DALAM
PEMBAHASANNYA. Jakarta: Literatu Perpustakaan Mahkamah Agung
RI.
Athoillah, Anton. 2019. Zakat dan Wakaf Konsepsi, Regulasi, dan Implementasi.
Bandung: SIMBIOSA REKATAMA MEDIA.
Rasyid, Abdul. 2015. “HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA”,
https://business-law.binus.ac.id/2015/06/02/hukum-perbankan-syariah-di-
indonesia/, diakses 1 Desember 2022 pukul 15.16

28
29
30

Anda mungkin juga menyukai