Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAIDAH – KAIDAH HUKUM ISLAM

DISUSUN OLEH : KELOMPOK I

Al Indah Mutia : 210101003


Gadis Adiati : 210101009
Siti Ramadani : 210101024
Fitri Maulida : 210101008
Annisa Fajria : 210101106
Ibda Razikin : 210101042
Nurul Hazizar : 210101081
Ketemi : 210101013

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAMUDRA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini. Penulis sangat berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Kaidah Hukum
Islam yang telah bersedia membimbing untuk menulis makah ini sehingga makalah ini dapat
diselesaikan.
Penulis tahu bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, itu sebabnya penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kedepannya penulis dapat membuat
makalah yang lebih baik lagi.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, penulis ucapkan terima kasih.

Langsa, 6 oktober 2023


penulis

1
DAFTAR ISI

Kata pengantar.........................................................................................................1
Daftar isi....................................................................................................................2
Bab I Pendahuluan
a. Latar Belakang ..............................................................................................3
b. Rumusan Masalah..........................................................................................4
c. Tujuan Penulisan............................................................................................4
Bab II Pembahasan
a. Pengertian Dan Tujuan Penetapan Hukum....................................................5
b. Peristiwa Hukum Dan Kaidah Fiqiyah..........................................................8
c. Perubahan Hukum Dalam Islam....................................................................10
Bab III Penutup
Kesimpulan...............................................................................................................12

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat adalah suatu bentuk perkumpulan yang terdiri dari orang-orang
yang berasal dari berbagai komunitas atau perkumpulan yang secara geografis
berdekatan. Batasan-batasan suatu masyarakat tidaklah selalu mudah untuk
dispesifikasikan, karena hubungan antar masyarakat menyulitkan untuk mengatakan
mengapa satu masyarakat ditinggalkan dan yang lainnya dimasuki. Tetapi
bagaimanapun juga, perbedaan atau batas, sampai titik tertentu dapat ditarik. Karena
semua masyarakat diatur oleh hukum, pergerakan dari satu yurisdiksi hukum berarti,
sampai batas tertentu, pergerakan dari satu masyarakat ke lainnya. Dari penjelasan
tersebut jelas bahwa setiap masyarakat pasti mempunyai hukum dan diatur oleh
hukum. Hal ini sesuai dengan definisi hukum secara etimologis, yaitu hukum adalah
sebuah kumpulan aturan, baik berupa hasil pengundangan formal maupun dari
kebiasaan, yang mana sebuah negara atau masyarakat mengaku terikat sebagai
anggota atau subjeknya.
Bagaimana hukum di bangun? Hal ini bisa dijelaskan dengan melihat pandangan
fungsional dari pembuatan hukum, seperti dirumuskan oleh Paul Bohannan (1973),
terutama membahas bagaimana hukum dibangun. Bohannan berargumen bahwa
hukum adalah jenis khusus dari “adat yang dilembagakan kembali”. Adat adalah
norma atau aturan tentang cara bagaimana orang harus berperilaku jika lembaga sosial
akan melaksanakan fungsinya dan masyarakat akan berlangsung. Pembuatan hukum
adalah pernyataan kembali dari beberapa adat (misalnya yang berhubungan dengan
transaksi ekonomi, properti, atau perilaku menyimpang) sehingga mereka dapat
dtegakkan oleh institusi hukum.
Jika hukum merupakan norma atau aturan yang ditegakkan oleh institusi
hukum, maka hukum juga akan mengalami perubahan jika norma dalam masyarakat
berubah. Dapat ditegaskan lagi bahwa hal ini terkait dengan perubahan sosial. Moore
memasukkan ke dalam definisi perubahan sosial dengan berbagai ekspresi mengenai
struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Jelaslah, definisi demikian itu
serba mencakup. Definisi yang lain juga mencakup bidang yang sangat luas;
perubahan sosial didefinisikan sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap aspek
proses sosial, pola sosial dan bentuk-bentuk sosial, serta “setiap modifikasi pola
antar hubungan yang mapan dan standar perilaku.
Dengan demikian bagaimana dengan hukum Islam. Apakah hukum Islam juga
dapat dengan mudah berubah menyesuaikan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat?
Seperti yang kita tahu hukum Islam merupakan sejumlah aturan yang bersumber
pada wahyu Allah dan Sunnah Rasul baik yang langsung maupun yang tidak
langsung, yang mengatur tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini serta harus
dikerjakan oleh umat Islam. Di samping itu, hukum Islam juga harus memiliki

3
kekuatan untuk mengatur baik secara politis maupun sosial. Yang menarik dalam
konteks modern mengenai teori liberal klasik tentang hukum, adalah fakta bahwa
dalam Islam, hukum ditemukan dan bukan dibuat. Hal ini tentu saja merupakan
pembedaan yang dipopulerkan oleh Hayek dan sangat mengagumkan bagaimana
konsep Islam mengenai hukum sangat mirip dengan yurisprudensi Hayek.
Hukum Islam dengan segala keunggulannya, merupakan aturan Tuhan yang
bertujuan memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat manusia. Dengan
demikian, hukum Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak dimiliki oleh
hukum manapun di dunia. Kekhasan tersebut diantaranya adalah sifatnya yang
fleksibel. Adanya sifat fleksibel tersebut, selain untuk kemudahan umat dalam
mengaktualisasikan titah Tuhan, juga merupakan bentuk konkret dari humanitas
hukum “langit”. Sebab, hukum Tuhan tidak sama sekali hanya pengisi ruang
idealisme yang melangit, namun ditempa untuk kemaslahatan umat dalam
mengarahkan kehidupan yang ideal yang tidak tercerabut dari area kekinian dan
kedisinian. Oleh karena itu, pembahasan hukum Tuhan yang mengatur hak-hak
manusia, melindungi dan menjamin hak tersebut jauh lebih banyak daripada
pembahasan hak-hak Tuhan itu sendiri.
Perubahan hukum Islam itu perlu, untuk menyesuaikan dengan konteks zaman
sekaligus dengan karakter masyarakatnya. Sehingga Islam yang ada di Arab tidak bisa
sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena masyarakat Indonesia memiliki karakter
sendiri. Formulasi hukum Islam untuk menjawab kebutuhan zaman tersebut harus
didasarkan kepada maqashid al-syari’ah sekaligus maslahah. Sebagai agama
rohmatan lil‟alamin, Islam memiliki prinsip - prinsip keadilan, kebebasan dan sikap
toleran terhadap agama yang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan tujuan penetapan hukum ?
2. Bagaimana peristiwa hukum dan kaidah - kaidah fiqiyah ?
3. Bagaimana perubahan hukum dalam islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian serta tujuan penetapan hukum.
2. Untuk mengetahui apa saja peristiwa hukum dan kaidah – kaidah fiqiyah.
3. Untuk mengetahui bagaimana perubahan hukum dalam islam.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Tujuan Penetapan Hukum

1. Pengertian penetapan hukum


Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal sebagai istilah maqashid al
syari’ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum islam. Karena
begitu pentingnya maqashid al syari’ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan
maqashid al syari’ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang
melakukan ijtihad. Adapun inti – inti dari teori maqashid al syari’ah adalah
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat
dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al syari’ah
tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam islam harus bermuara
kepada maslahat.
Perlu diketahui bahwa Allah SWT sebagai syar’i (yang menetapkan syari’at)
tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan tetapi hukum dan aturan itu
diciptakan dengantujuan dan maksud tertentu. Ibnu qayyim al – jauzziyah,
sebagiamana dikutip oleh Khairul Umam menyatakan bahwa tujuan syariat adalah
kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syari’at semuanya adil, semuanya berisi
Rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari
keadilan, Rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan ketentuan syari’at.
Maqashid al syari’ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari’ah. Kata
maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan,
sedangkan syari’ah mempunyai pengertian hukum – hukum Allah yang ditetapkan
untuk manusoia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia maupun
akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al syari’ah berarti kandungan nilai yang
menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al syari’ah
adalah tujuan – tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.
Menurut Satria Efendi, maqashid al syari’ah mengandung pengertian umum
dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang
dimaksud oleh ayat – ayat hukum dan hadits – hadits hukum, baik yang ditunjukan
oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Pengertian
yang bersifat umum itu identic dengan pengertian oistilah maqashid al syari’ (maksud
Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkan
hadits hukum). Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau
tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum.
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1986:1017) mendefinisikan maqashid
syari'ah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam

5
seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan
rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya.
Kajian teori maqashid al-syari'ah dalam hukum Islam adalah sangat penting.
Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Pertama,
hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan
bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan dengan perubahan
sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang sumber utamanya (Al-
Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa abad yang lampau dapat beradaptasi dengan
perubahan sosial. Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah
diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang
terpenting adalah teori maqashid al-syari'ah. Kedua, dilihat dari aspek historis,
sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para
sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuan tentang maqashid al-
syari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas
landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar sesama
manusia dapat dikembalikan. Abdul Wahhab Khallaf (1968:198), seorang pakar ushul
fiqh, menyatakan bahwa nash-nash syari'ah itu tidak dapat dipahami secara benar
kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-syari'ah (tujuan hukum).
Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-Zuhaili
(1986:1017), yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah
merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan
membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui rahasia-
rahasia syari'ah.
Kandungan maqashid al-syari'ah dapat diketahui dengan merujuk ungkapan
al-Syathibi, seorang tokoh pembaru ushul fiqh yang hidup pada abad ke-8 Hijriah,
dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Di situ beliau mengatakan bahwa
sesungguhnya syari'at itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan manusia di dunia
dan di akhirat. Jadi, pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan
individu dan jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan segenap
sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjang jenjang kesempurnaan, kebaikan,
budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat bagi
semua manusia.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan utama
dalam maqashid al-syari'ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum. Dalam
kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas
dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan
sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu
adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud
disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia.

2. Tujuan penetapan hukum


Pembentukan hukum Islam memiliki tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan
manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharûriyyah), kebutuhan
sekunder (hâjiyyah) serta kebutuhan pelengkap (tahsîniyyat). Dalam wacana

6
umum, kebutuhan dharûriyyah disebut primer, kebutuhan hâjiyyah disebut
sekunder, dan kebutuhan tahsîniyyah disebut tersier
Mempelajari hukum Islam harus mengetahui terlebih dahulu maksud dan tujuan
pembuat hukum dan keadaan atau kejadian yang memerlukan turunnya wahyu
suatu ayat al-Quran dan Hadits Nabi saw. Para ahli hukum Islam
mengklasifikasikan tujuan-tujuan yang luas dari syariat atau hukum Islam sebagai
berikut:
a. Dahruriyyah
Dalam kehidupan manusia, kebutuhan ini merupakan hal penting
sehingga tidak dapat diabaikan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak
terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di manamana. Kelima
kebutuhan hidup yang primer ini (dharûriyyah) dalam kepustakaan hukum
Islam disebut dengan istilah al-maqâshid alkhamsah atau disebut juga al-
kulliyyat al-khoms (lima hal inti/ pokok), yaitu: hifdz ad-din (memelihara
agama), hifdz an-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-‘aql (memelihara akal),
hifdz an-nasl (memelihara keturunan), dan hifdz al-mâl (memelihara hak
milik/ harta).
b. Tahsîniyyat
Tujuan selanjutnya dari perundang-undangan Islam adalah membuat
berbagai perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan
sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup
lebih baik. Keperluan ini disebut tersier atau tahsîniyyat. Ketiadaan perbaikan
ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhankebutuhan
hidup. Namun, perbaikan perlu dilakukan agar peraturan selalu
berkesinambungan. Perbaikan dalam hal ini mencakup arti kebajikan (virtues),
cara-cara yang baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi
peningkatan cara hidup.
Perilaku yang menunjukkan tahsîniyyat adalah bersikap ramah
terhadap semua makhluk Allah di muka bumi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila ada orang masuk surga hanya karena memberi minum
anjing yang kehausan, wanita yang masuk neraka akibat tidak memberi makan
seekor kucing, terdapat larangan buang air kecil dibawah pohon, dan larangan
membakar pepohonan sekalipun sedang dalam keadaan perang.
Tujuan hukum Islam menjadi arah setiap perilaku dan tindakan
manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati
semua hukum-hukumNya.Menurut Ibnu Qayyim, tujuan hukum Islam adalah
untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan
di akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan
dalam hidupnya. Syariat Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang),
kemaslahatan dan kebijaksanaan sepenuhnya. Setiap persoalan yang keluar
dan menuju keaniayaan, menyimpang dari kasih sayang, menyimpang dari
kemaslahatan menuju kemafsadatan, menyimpang dari kebijaksanaan menuju
hal yang sia-sia, itu bukanlah hukum Islam

7
Bagi manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh
Allah swt. adapun maksud dan tujuan dalam menetapkan hukum adalah untuk
membebaskan manusia dari keinginan nafsu. Dimaksudkan agar mereka dapat
menjadi hamba secara ikhtiar dan bukan secara idtirar (terpaksa). Artinya
manusia harus menjadi hamba Tuhan yang taat kepadaNya atas kemauan dan
kebebasan sendiri.
Tujuan dari penetapan hukum Islam atau yang sering disebut dengan
istilah Maqashid al-syari'ah adalah salah satu konsep penting dalam
pembahasan hukum Islam. Karena begitu pentingnya pemahasan tentang
Maqashid al-syari’ah tersebut, para ahli hukum Islam menjadikan teori
Maqashid al-syari’ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang
melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori Maqashid al-syari’ah yaitu untuk
menciptakan kebaikan serta sekaligus menjauhkan dari keburukan, atau
menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari
maqashid syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam
Islam harus bermuara kepada maslahat.

B. Peristiwa Hukum dan Kaidah – Kaidah Fiqiyah

1. Peristiwa hukum
Peristiwa hukum Sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum
sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur di sebut
peristiwa hukum. peristiwa hukum ini adalah suatu kejadian dalam masyarakat
yang menggerakkan suatu peratauran hukum tertentu, sehingga ketentuan-
ketentuan yang tercantum didalamnya lalu diwujudkan. suatu peraturan hukum
yang mengatur tentang kewarisan karena kematian akan tetap merupakan
rumusan kata-kata yang diam sampai ada seoranng yang meninggal dan
menimbulkan masalah kewarisan. Kematian orang itu merupakan suatu peristiwa
hukum. Secara lebih terperinci kita bisa mengatakan sebagai berikut: apabila
dalam masyarakat timbul suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu sesuai dengan
yang dilogiskan dalam peraturan hukum, maka peratuaran hukum itu pun lalu
dikenakan kepada peristiwa tersebut. Jadi, peristiwa hukum adalah peristiwa
kemasyarakatan yang akibatnya diatur oleh hukum.
Dalam konteks hukum, suatu peristiwa atau kejadian terkadang dapat
masukdalam peranah hukum, sehinhgga di sebut sebagai bukan peristiwa
hukum.Tentunya kedua peristiwa tersebut memiliki perbedaan yang mendasar terutama
byang berhhubungan dengan konsekuensi yang harus di tanggung oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam peristiwa tersebut peristiwa hukum adalah semua kejadian atau
fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang memiliki akibat hukum.Anggota-
anggota masyakat mengadakan hubungan satu dengan yang lainnyameninmbulkan
berbagai peristiwa kemasyarakatan.
menurut R.soeroso dalam buku beliau yang berjudul "pengantar ilmu hukum"
contoh peristiwa hukum adalah:

8
 Suatu rechtsfeit/suatu kejadian hukum.

 Suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh
hukum.

 Perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang membawa akibat hukum,
karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subjek hukum atau karena
subjek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum.

 Peristiwa di dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Tidak


semua peristiwa mempunyai akibat hukum, jadi tidak semua peristiwa adalah
peristiwa hukum.

2. Kaidah – kaidah fiqiyah

Dan dalam kaidah-kaidah fiqqiyah salah satu hal penting sebagai pedoman
bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-
batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan
perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama untuk
ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu
dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi
yang baik.

Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut


adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk
mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya, seperti
dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali „Imran ayat 32, yang
artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta‟atiah Allah dan Rasul-Nya.
Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu
sebagai 'umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak
hanya itu, kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-
penyelesaian berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung,
termasuk masalah hukum.
kaidah-kaidah Seperti dikemukakan para ulama, berdasarkan
materinya, hukum Islam itu dapat diklasifikasikan kepada dua macam yaitu :
Pertama, hukum ibadah, seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Hukum-
hukum semacam ini dimaksudkan adalah untuk merealisir dan merupakan
implementasi dari kesadaran mendalam seorang hamba akan tujuan utama
hidupnya, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya. Kedua, hukum-hukum mu‟amalah
(hukum yang berkenaan dengan kemasyarakatan dalam arti luas), seperti

9
transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, sanksisanksi hukum kejahatan dan
sebagainya, selain dari masalah ibadah mahdhah.
Dewasa ini, hukum-hukum mu‟amalah tersebut telah berkembang pesat dan
mengambil bentuk berbagai disiplin ilmu yang mengandung berbagai persoalan
hukum, seperti terlihat dalam kitab-kitab ushul al-fiqh kontemporer, ketika
membicarakan masalah pembagian hukum.Oleh karena itu, solusi alternatif yang
dapat dilakukan dalam mengatasinya adalah dengan merumuskan kaidah-kaidah
fiqih yang merupakan generalisasi dari masalah-masalah fiqih tersebut, dan setiap
generalisasi dapat menampung masalah-masalah yang serupa.
Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqih tersebut, para ahli hukum Islam
akan merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum suatu masalah dengan
memproyeksikan masalah-masalah yang akan ditentukan hukumnya itu kepada
kaidah fiqih yang menampungnya. Sehubungan dengan ini, “Masalah-masalah
fiqh itu hanya dapat dipahami dengan mudah melalui kaidah-kaidah fiqih. Karena
itu, menghafal dan memahami kaidah-kaidah tersebut sangat bermanfaat”.
Sejalan dengan pernyataan Muhammad Hamzah diatas, al-Qarafi
mengemukakan bahwa: kaidah-kaidah fiqih ini sangat urgen dan bermanfaat,
dengan menguasainya membuat ahli hukum itu mulia dan berprestise. Barang
siapa menetapkan hukum-hukum cabang yang partikularpartikularnya
bersesuaian, tanpa menggunakan kaidah-kaidah kuliyah, maka hukum cabang itu
akan saling bertentangan dan berbeda, bahkan menjadi kacau. Sejauh itu, (tanpa
penggunaan kaidah-kaidah fiqih), seseorang perlu menghafal hukum-hukum
cabang yang sangat banyak, sehingga akan menghabiskan energi. Dengan
demikian, siapapun yang memahami kaidah-kaidah fiqih, maka ia tidak perlu
menghafal hukum-hukum cabang yang jumlahnya sangat banyak.

C. Perubahan Hukum dalam Islam


Jika kita hendak mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam
bidang hukum, dan lebih khusus lagi dalam bidang fikih, maka kita harus
memandang fikih sebagai produk dominan akal ketimbang wahyu, dan karenanya
boleh diotak-atik, dirubah atau bahkan dibuang pada setiap saat. Fikih harus
dipandang sebagai varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang
terkait dengan tempat dan waktu. Pendek kata, fikih harus dilihat sebagai mata
rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya
karena toh pada akhirnya fikih itu hanya menyangkut soal cabang dari agama.
Tapi untuk melakukan pilihan-pilihan yang tepat diperlukan beberapa syarat,
sedikitnya ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, adanya tingkat
pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Kedua,
adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan pilihan yang
tidak konvensional. Ketiga, memahami faktor-faktor sosiokultural dan politik
yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fikihiyah tertentu, agar
dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran hukum itu. Dengan

10
demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur
partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan
sendirinya harus dirubah. Hukum diturunkan untuk masyarakat dan penerapannya
bergantung pada keberadaan masyarakat itu (Muhammad Said alAsymawi, 2004).
Dengan demikian dinamika hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan.
Konsep perubahan hukum yang dibawa oleh hukum Islam adalah cerminan dari
tujuan dan hakikat hukum Islam yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah
stabilitas kehidupan di dunia yang sesuai dengan maksud Tuhan sebagai pembuat
syari’at.
Tujuan dan hakikat hukum Islam tersebut terdiri dari empat aspek, yaitu; 1)
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, 2) realisasi
kemaslahatan hukum Islam tersebut harus dipahami agar sesuai dengan fitrah
manusia, 3) setelah mendapatkan pemahaman yang benar, maka hukum Islam
harus dilaksanakan oleh orang Islam, 4) sehingga dapat memberikan
perlindungan hukum dan ketenangan terhadap kaum muslim bahkan terhadap non
muslim sekalipun (Fathi al-Dharaini, 1975). Aspek kemashlahatan tersebut harus
memperhatikan terpenuhnya lima unsur pokok, yaitu memelihara agama, jiwa,
keturunan, akal dan harta (Asafri jaya Bakri, 1996). Keterpenuhan unsur tersebut
menunjukkan bahwa tujuan hukum Islam memiliki cita-cita mulia karena mampu
memberikan stabilitas seorang hamba dalam menjalankan segala aktifitasnya di
dunia. Karena sangat memperhatikan urusan akhirat dan juga duniawi. Sehingga
manusia mampu memberikan porsi yang seimbang terkait uruan dunia dan
akhirannya karena telah memahami kategori-kategori yang harus diperhatikan
dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Aspek pemahaman terhadap hukum
Islam terkait dengan dimensi bahasa. Esensi bahasa dalam hukum dimaksudkan
sebagai alat untuk memahami kandungan-kandungan hukum Islam yang
bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan. Karena itu, peraturan hukum Islam
dibuat dengan menisbatkan kepada bangsa dan bahasanya sendiri supaya
masyarakat mampu memahami hukum yang terkandung dalam peraturan hukum
tersebut dengan cara memiliki pengetahuan bahasa, pengetahuan tentang sumber
hukum dan pengetahuan tentang sebab-sebab pembuatan peraturan hukum Islam
(Asafri jaya Bakri).
Pemahaman masyarakat terhadap aspek tersebut menjadikan masyarakat
mampu mengerti regulasi secara substantif dan menyeluruh sehingga berbanding
lurus pula dengan penerapannya. Aspek pelaksanaan hukum Islam, terkait dengan
kemampuan manusia dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan taklif yang ada
dalam peraturan hukum tersebut. Kemampuan manusia dalam taklif dibagi ke
dalam dua bagian. Pertama, ahliya al- ada’, yaitu sifat atau kecakapan bertindak
hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung
jawabkan seluruh perbuataannya, baik yang positif maupun yang negatif. Kedua,
Ahliya al- wujub, yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-haknya,
tetapi belum cukup untuk di bebani seluruh kewajibannya (Nasrun Haroen, 1996).
Penentuan cakap tidaknya seseorang dalam bertindak hukum di samping dilihat

11
dari segi akalnya juga disebabkan karena hukum biologis. Akal seseorang bisa
berubah, kurang

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tujuan hukum Islam menjadi arah setiap perilaku dan tindakan manusia dalam
rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati semua hukum-
hukumNya.Menurut Ibnu Qayyim, tujuan hukum Islam adalah untuk kebahagiaan,
kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan di akhirat. Hukum Islam
bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidupnya. Syariat Islam
adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan sepenuhnya.
Setiap persoalan yang keluar dan menuju keaniayaan, menyimpang dari kasih sayang,
menyimpang dari kemaslahatan menuju kemafsadatan, menyimpang dari
kebijaksanaan menuju hal yang sia-sia, itu bukanlah hukum Islam.
Peristiwa hukum Sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga
ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur di sebut peristiwa hukum.
peristiwa hukum ini adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan
suatu peratauran hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum
didalamnya lalu diwujudkan.
Dalam kaidah-kaidah fiqqiyah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi
umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas
boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan
yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam
berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang
dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.
Konsep perubahan hukum yang dibawa oleh hukum Islam adalah cerminan
dari tujuan dan hakikat hukum Islam yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah
stabilitas kehidupan di dunia yang sesuai dengan maksud Tuhan sebagai pembuat
syari’at. Tujuan dan hakikat hukum Islam tersebut terdiri dari empat aspek, yaitu; 1)
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, 2) realisasi kemaslahatan
hukum Islam tersebut harus dipahami agar sesuai dengan fitrah manusia, 3) setelah
mendapatkan pemahaman yang benar, maka hukum Islam harus dilaksanakan oleh
orang Islam, 4) sehingga dapat memberikan perlindungan hukum dan ketenangan
terhadap kaum muslim bahkan terhadap non muslim sekalipun.

12

Anda mungkin juga menyukai