Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH LEGISLASI HUKUM ISLAM


PENERAPAN HUKUM SYARIAH SECARA FORMAL DI ERA MODERN
Dosen pengampu : Dr. Holis, M,HI

Dosen Pengampu : Dr. Holis, M,HI

KELOMPOK 8 :
Dedi setiadi (220711100033)
Lathifatuz zahroh (220711100011)
M. Hirzul jousyan (220711100112)

PROGRAM STUDY HUKUM BISNIS SYARIAH


FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-nya, sehingga pembuatan makalah yang berjudul “ Penerapan Hukum Syariah
Secara Formal Di Era Modern ” ini dapat terselesaikan dengan baik. Atas dukungan moral
dan materi penulis ucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Holis selaku dosen Pengampu
Mata Kuliah Sejarah Legislasi Hukum Islam.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan yang
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemmapuan dari kelompok penulis. Oleh karena
itu, penulis mengharap kritik dan saran yang dapat membangun motivasi kami agar dapat
menjadi lebih baik untuk masa akan datang. Harapan penulis semoga makalah yang penulis
buat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Bangkalan, 8 Mei 2023

Kelompok 8
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................................................

BAB I...........................................................................................................................................

PENDAHULUAN.......................................................................................................................

A. latar belakang...........................................................................................................................

BAB II..........................................................................................................................................

PEMBAHASAN.........................................................................................................................

A.Pemikiran-pemikiran Baru Mengenai Penerapan Syariah Di Era Modern .............................

B. Dampak Positif Dan Negatif Penerapan Hukun Syariah Di Dunia Modern ….....................

C. Tokoh-tokoh Yang Menjadi Pelopor Gagasan Penerapan Syariah Secara Formal...............

BAB III........................................................................................................................................

PENUTUP...................................................................................................................................

A.
KESIMPULAN........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena atas berkat Rahmat dan Hidayahnya, saya
dapat menyelesaikan penulisan Makalah tentang Penerapan hukum syaraiah secara formal di
era modern dan Shalawat besrta salam kita haturkan kepada Nabi kita Nabi Muhammad
SAW dan para sahabat-sahabat, tabi’in- tabi’in dan para pengikutnya, karena berkat beliaulah
kita dapat menegenal Islam. Makalah Ini ditulis bukan hanya dibaca dan dipelajari oleh para
mahasiswa, lebih dari itu Makalah ini juga untuk diketahui oleh khalayak Umum, khususnya
Ummat Islam agar dapat mengetahui dan mengenalnya.

Makalah Ini Membahas Yang Sangat Jelas Mengenai Penerapan hukum syariah secara formal
di era modern,yang didalamnya membahas: Pemikiran-pemikiran baru mengenai penerrapan
syariah di era modern,Dampak negatif dan positif penerapan hukum syariah di dunia
modern,Tokoh-tokoh yang menjadi pelopor gagasan penerapan syariah secara formal.
Makalah ini bilamana terdapat kesalahan dan kejanggalan di dalamnya mohon maaf yang
sebesar- besarnya (tidak ada gading yang tidak retak. Tidak ada tupai yang tidak gawa) dan
dengan kerendahan hati dan tidak mengurangi rasa hormat kami menerima kritik dan saran
serta pemikiran yang konstruktif bagi penyempurnaan penulisan berikutnya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BARU MENGENAI PENERRAPAN SYARIAH DI


ERA MODERN
Dalam sebuah seminar hukum di Den Haag tahun 1937 M, Syekh Mahmûd Syaltût
(Rektor Universitas Al-Azhar) dan Dr. Hasan Sûfi Abû Thâlib menegaskan bahwa:
Pertama, hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum umum; Kedua, hukum
Islam merupakan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat;
Ketiga, hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan tidak diambil dari
hukum lain.Berkenaan dengan hal itu, perkembangan hukum Islam yang berlaku
dalam komunitas muslim di berbagai negara sangat dipengaruhi oleh identitas hukum
Islam itu sendiri, antara lain:
1. Sempurna (Paripurna)
Syarî‘at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum. Hukum awalnya bersifat
tetap sedangkan substansinya berubah mengikuti ‘illatnya. Hukum-hukum yang lebih
rinci ditetapkan dalam kaidah dan pedoman umum, sedangkan penjelasan atau
implementasinya diserahkan kepada ahli hukum yang memahami hakikat
hukum.Pedoman-pedoman atau prinsip-prinsip dasar yang berlaku umum dalam
syarî‘at Islam mengindikasikan identitas hukum yang menunjukkan sifat
kesempurnaannya, universal dan teknis, serta dapat diterima oleh masyarakat di
semua tempat dan waktu. Kesempurnaan hukum Islam dengan sendirinya
menempatkan diri sebagai hukum yang tertinggi dan seharusnya dapat diterapkan oleh
komunitas muslim maupun non muslim, karena hukum ini melindungi hak-hak
hukum setiap subyek.

2. Elastis (Fleksibel)
Selain bersifat sempurna, hukum Islam pun memiliki fleksbilitas dalam hal
aplikasinya. Oleh karena itu, cakupan hukum Islam meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia yang sifatnya vertikal maupun horizontal. Dalam hukum Islam, tidak saja
diatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya (vertikal), tetapi juga hubungan
manusia dengan manu Adapun munculnya perbedaan corak pemahaman hukum Islam
dalam konteks fiqh banyak disebabkan oleh perbedaan pola pikir ahli hukum
(mujtahid) dalam wacana pemikiran dan penelitian atas obyek-obyek hukum Islam
(ijtihâd).Implikasinya jelas berpengaruh pada perbedaan corak madzhab hukum yang
berlaku dalam masyarakat muslim. Hal ini manjadi bukti bahwa hukum Islam berlalu
menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi, waktu dan tempat.

3. Universal dan Dinamis


Hukum Islam bersifat universal dan dinamis mengandung pengertian bahwa hukum
Islam yang dimasukan dalam term fiqh mencakup bagian-bagian atas keseluruhan
hukum dalam term syari’ah, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, identitas
hukum Islam yang mengandung dimensi vertikal dan horizontal dalam semua
cakupan hukumnya telah menjadi ciri universalitas hukum Islam itu sendiri.Adapun
dinamika hukum Islam dapat diketahui dari proses perkembangan berlakunya hukum
Islam sejak periode Rasul hingga periode modern dengan segala dimensinya.
Perkembangan hukum Islam secara sistematis telah bergeser dari sistem hukum
material yang umum dalam nash, kemudian direduksi dalam bentuk transformasi
pemikiran hukum (ijtihâd) dan diimplementasikan menjadi berbagai bentuk pemikiran
produk hukum (fiqh) hingga selanjutnya dikodifikasikan menjadi Qanûn.

4. Sistematis
Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam bersifat sistematis adalah hukum Islam itu
konkret mencerminkan sejumlah doktrin hukum yang bertalian satu sama lain secala
logis dan. Hukum ini mencakup seluruh komponen hukum berupa pokok-pokok
ajaran tentang etika, moral dan keadilan serta keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha
Pencipta. Sedangkan perwujudan dari sistematisnya hukum Islam adalah Fiqh. Fiqh
sebagai produk pemikiran orang Islam terhadap ajaran Islam sebagaimana
digambarkan oleh para ahli hukum mencakup atas segi-segi secara khusus, seperti:
‘ibâdah, mu‘âmalah, jinâyah, siyâsah dan sebagainnya. Semua jenis pembidangan
hukum Islam dalam bidang hukum Islam (fiqh) adalah suatu refleksi dari bentuk
ketaatan orang Islam kepada ajaran Islam secara totaliter.Sistematika hukum Islam
dapat berarti pula saling berhubungannya atau interaksi setiap bentuk dan unsur-unsur
hukum secara sinergis dan organis. Karena hukum Islam berlaku secara fleksibel dan
rigid, maka ia menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan hidup
manusia baik secara individual maupun kolektif. Sehingga secara metodologis akan
terbentuk suatu sistem hukum secara piramidal (hierarki hukum Islam).1

5. Ta‘aqquli dan Ta‘abbudi


Ta‘aqquli dan Ta‘abbudi dalam karakteristik hukum Islam adalah hukum Islam
mengandung muatan dimensi vertikal dan horizontal. Hukum Islam bersumber kepada
wahyu yang mengandung muatan teologis menunjukan aturan tentang hubungan
antara manusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pembuat hukum secara mutlak.
Konsekuensinya ada keharusan bagi orang Islam untuk tunduk dan patuh terhadap
hukum Islam.Namun demikian, tidak semua hukum Islam itu kaidah norma
hukumnya berbentuk khusus dan jelas, malainkan diperlukan suatu bentuk penafsiran
atas segi-segi hukum yang umum. Pada tingkatan metodologi, interpretasi atas segi
norma hukum dalam nash kemudian dikonkretkan menjadi produk hukum
2

2.2 Dampak Negatif dan Penerapan Hukum Syariah Di Dunia Modern


A.DAMPAK POSITIF
> Berkuarangnya tingkat kriminalitas dan kemaksiatan
Aceh adalah bukti dari penerapan hukum islam yang berdampak positif walaupun
hukum islam itu tidak semuanya di terapkan namun hanya sebagian saja.Penerapan
syariat Islam ini telah berhasil mengurangi perilaku tak baik yang ada di tengah
masyarakat Aceh. Dulu, orang-orang yang minum minuman keras maupun bermain
judi terlihat di jalan-jalan.”Namun, sejak diberlakukannya syariat Islam, hal itu tak
terlihat lagi. Ini artinya, penerapan syariat Islam di Aceh memberikan dampak
positif,” katanya kepada Republika.Huzaimah mengatakan, berdasarkan informasi
yang didapatkan dari sejumlah tokoh Aceh saat berkunjung ke sana, melalui
penerapan syariat Islam, seperti melakukan enam cambukan bagi mereka yang
kedapatan minum minuman keras atau bermain judi, membuat para pelakunya
menjadi jera dan tak melakukan hal itu lagi.

1
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Buntang. 1970), hlm. 202-203.
2
Hânafi, hukum Islam telah berlaku umum dan dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan hidup modern
sebagaimana ia telah mensinyalir dari Seminar Hukum di Den Haag-Belanda Agustur 1948 dan Paris-Perancis
Juli 1951.
Menurut Huzaimah, itu baru enam kali cambukan. Padahal, menurut fikih, hukuman
bagi penjudi dan peminum itu bisa sampai 40 kali cambukan. Ia optimistis, jika
penerapan syariat Islam benar-benar dilakukan secara baik, kehidupan masyarakat
Aceh akan lebih baik lagi.”Sebab, sesungguhnya tujuan penerapan syariat Islam itu
memang untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan pribadi, keluarga, maupun
masyarakat,” kata Huzaimah.Ia juga mempertanyakan landasan yang dilakukan
negara-negara Barat yang selama ini memandang negatif terhadap penerapan syariat
Islam.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin, menyatakan sah-sah saja Aceh
menerapkan syariat Islam karena memang Aceh memiliki Undang-Undang Otonomi
Daerah Khusus yang diperkenankan menerapkan syariat Islam.”Insya Allah, tidak ada
masalah baik buat masyarakat Aceh maupun bangsa Indonesia,” katanya.
Sedangkan Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Ahmad Satori Ismail,
mengatakan bila suatu umat atau bangsa ingin mendapatkan keberkahan dari langit
dan bumi serta rezeki yang melimpah, sudah seharusnya mereka mematuhi perintah
Allah SWT sebagai pemilik langit dan bumi.Oleh karena itu, bila masyarakat dan
Pemerintah Aceh menerapkan syariat Islam dengan cara yang bijak, jujur, penuh
kelembutan, dan langkah-langkah yang baik, kata Satori, insya Allah mereka akan
mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. ”Hal terpenting, jangan sampai salah niat,”
katanya.
Penerapan syariat Islam, jelas Satori, harus benar-benar niatnya karena Allah SWT,
bukan karena ingin kekuasaan dan kepentingan duniawi. Ia mengakui, untuk mampu
menerapkan syariat Islam bukanlah perkara mudah. Banyak ujian dan ganjalan dari
berbagai pihak, salah satunya masyarakat Barat. (roh)
Mereka, jelas Satori, memang tidak suka bila suatu umat atau suatu bangsa
melaksanakan perintah Allah dengan baik. Upaya menjegal apa yang mereka lakukan
tidak perlu ditanggapi serius. Namun, ia juga mengingatkan, penerapan syariat Islam
harus dilakukan secara bertahap agar bisa diterima semua pihak.Ini artinya, penerapan
syariat Islam tak dilakukan secara kaku, bukan asal potong tangan misalnya. Langkah
awal, masyarakat terlebih dahulu harus akidah atau tauhidnya kemudian ibadahnya,
seperti shalat dan hukum-hukum Islam yang lainnya serta kesejahteraan hidupnya.
Dengan demikian, mereka bisa menerima penerapan syariat Islam dengan baik.
Satori mencontohkan pada masa paceklik, Khalifah Umar bin Khathab tidak
memberlakukan hukum potong tangan pada seorang pelaku pencurian. Sebab,
ternyata alasan pencurian itu bukan untuk memperkaya diri, tetapi karena kebutuhan
mendesak. ”Ini sudah ada contohnya, penerapan syariat tidak kaku.”Sebenarnya
dalam hukum islam segala aspek itu telah di atur sedemikian rupa hingga tidak ada
yang merasa dirugikan karenanya, banyak bukti sejarah menunjukkan kejayaan islam
yang penuh rasa nyaman dan aman baik dalam bermuamalat atau bersosial maupun
beribadah, seperti yang penah sejarah ceritakan tentang kerajaan islam.Namun hal ini
seakan hanya menjadi sebuah sejarah, dewasa ini penegakan hukum islam mengalami
kemunduran yang di sebabkan berbagai faktor salah satunya yaitu sikap contra
terhadap hukum islam ini yang mana banyak kalalangan yang menolak terwujudnya
hukum islam itu dengan berbagai alasan seperti yang sering kita dapati bahwa hukum
islam melanggar HAM, ini disebabkan minimnya pengetahun tentang hukum islam
yang hanya memandang bahwasanya islam itu keras.
3

B. Dampak negatif ( tantangan hukum islam dari berbagai hal dan pihak)
Dalam hal ini kami tidak mengutarakan dampak negatif dari penerpan hukum islam
itu secara terperinci , namun kami hanya akan mengupas tentang kesalah pahaman
terhadap islam dan hukum islam yang nantinya juga menimbulkan pandangan yang
negatif.Islam sebagai agama dan hukum, sering disalah pahami bukan hanya oleh
orang-orang non-muslim, tetpai juga oleh orang-orang muslim itu sendiri. Dan hal ini
disebabkan berbagai faktor diantaranya
(1) salah memahami ruang lingkup ajaran islam
(2) salah menggambarkan kerangka dasar ajaran islam
(3) salah menggunakan metode ajaran islam.
Kesalahpahaman
(1) mengenai ruang lingkup ajaran islam terjadi, misalanya kaerana orang
menganggap semua agama itu sama dan ruang lingkupnya juga sama, dipengaruhi
ajaran agama Nasrani yang rauang lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia
dengan tuhan saja, orang menggap agama Islam pun demikian juga halnya.
Tetapi, islam itu tidaklah hanya menagtur hubungam antara manusia denngan
tuhan saja, seperti yang dikandung dalam istilah religion, tetapai juga mengatur
hunbungan manusia manusia dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat dan
denagn benda dan alam sekitarnya. Sebagai satu sistem ia mengatur hidup dan

3
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), hlm. 46.
kehidupan manusia dalam berbagai dimensi dan karena itu ruang lingkup
ajarannya pun mencakup tata hubungan itu.
Untuk menghindari salah paham orang harus mempelajari islam dari sumbernya
yang asli, yaitu Al-qur’an dan hadist, jika kita mempelajari agama islam itu dari
sumber yang asli, yaitu al-qur’an dan al- hadist yang memuat sunnah Nabi
Muhammad kita kan memperoleh gambaran yang jelas mengenai tata hubungan
itu, sebab Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama agama islam itu adalah
tidak hanya memuat ajaran tentang iman dan ibadah atau akidah dan syariah saja,
tetapi memeuat juga akhlak tentang bagaimana manuasia harus bersikap dan
berbuat dalam hidup dan kehidupannya di dunia terhadap dirinya sendiri, manusia
lain dan lingkungan hidupnya.mempelajari agama islam dari kedua sumbearnya
yang asli yang memuat ruang lingkup agama islam itu tidakalah menjadi masalah
lagi sekarang karna telah banyak buku-buku terjemahan yang bersal dari
arab.sepeti tafsir al-quran dan syarah (penjelasan) kitab-kitab dan buku-buku
penuntun mempelajari Al-quran dan Al-hadist telah banyak ditulis orang dan
dengan mudah dapat diperoleh.Dalam hal ini agaknya, mempelajari islam tanpa
bantuan guru maka sebaiknya dilakukan melalui pembelajran pustaka denagn
mempelajari buku yang ditulis oleh mereka yang ahli dalm bidang keislaman.
Pada umumnya mereka ini adalah ulama, cendikiawan dan sarjana muslim yang
diakuai otoritasnya didalam bidang kajian itu. Analisis dan kesimpulan para
orientalis, kecuali mereka yang terkenal kejujurannya terhadap islam atau karya
mereka yang diberi catatan pembenaran atau koreksi dari sarjana muslim.
Sebaiknya dihindari oleh merka yang pemula dalam mempelajari agama islam
karean dapat menimbulkan penyimpangan hal ini disebabkan masih dangkalanya
pengtahuan tantang islam itu sendiri.
kesalahpahaman
(2) terjadi karena orang salah menggambarkan kerangka dasar ajaran islam. Oarng
menggambarkan bagian-bagian ajaran islamm itu hanya sepotong-potong dan
tidak menyeluruh sebagai satu kesatuan. Misalnya orang mengambarakan bahwa
islam itu hanya sebatas akidah, atau iman saja. Atau agama islam itu hanya
tentang syriah atau hukum belaka. Atau agama islam itu hanyalah akhlah semata-
mata, tanpa meletakkan dan menghubungkan bagian-bagian itu dalam kerangka
dasar keterpaduan agama islam secara menyeluruh. Menggambarkan islam secara
sepotong-potong inilah yang telah meyebabkan islam it salah dipahami di dunia
ini. Penggambaran agama islam seperti ini sering dilakukan oleh orang islam
sendiri tanpa disadari dan dengan karena maksud-maksud tertentu dilakukan oleh
para orientalis, terutama dimasa-masa sebelum perang dunia kedua dahulu.
Untuk menghindari kesalah pahaman ini hendaklah komponen-komponen ajaran
islam yang menjadi kerangka dasar agama islam itu digambarakan seluruhnya
dalam satu kesatuan yang padu. Selain itu, untuk memperoleh wawasan yang baik
dan benar tentang agama islam, dan menghindari salahpaham kajian dan
pemahamannya harus dihubungkan dengan berbagai persoalan asasi yang
dihadapi oleh manusia dalam masyarakat dan dilihat relasi serta relevansinya
dengan masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sepanjang sejarah, teruma
sejarah umat islam. Memperlajari dan memahami islam dengan dengan bantuan
ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang sampai sekarang, akan meperluas
wawasan kita tentang islam. Ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial dalam dan
budaya , ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora beserta cabang-cabangnya.
Kesalahpahaman
(3) terjadi karena salah mempergunakan metode mempelajari islam. Metode yang
dipergunakan oleh orientalis terutam sebelum perang dunia kedua, adalah
pendekatan yang tidak benar, karean meraka, pada umumnya, menjadikan bagian-
bagian bahkan seluruh ajaran agama islam semata-mata sebagai objek studi dan
anailisis.laksan dokter bedah mayat, kat Farluz Rahman, para orientalis itu
meletakkan islam diatas meja oprasinya, memotongnya bagian demi bagian dan
menganalisis bagian-bagian itu dengan mempergunakan norma-norma atau
ukuran-ukuran mereka sendiri yang un Islamic. Artinya mereka mepergunakan
metode mepelajari dan menganalisis ajaran Agama islam denagn metode anailisis
serta ukuran-ukuran yang tidak islami, tidak sesuai dengan ajaran islam, hasilnya
tentusja tidak sesuai deangan konsep islam yang sebetulnya dan hal ini akan
menimbulakn kesalah pahaman terhadap ajaran-ajaran islam.
Para orientalis yang mempelajari islam, juga seringkali pula melakukan
pendekatan menyamakan agama islam dengan keadaan umat islam disuatu tempat
pada suatu masa. Keadaan umat yang miskin, terbelakang disuatu tempat pada
kurun waktu sekarang ini mereka menggunakan sebagai data untuk menarik
kesimpulan bahwa agama islam itu adalah agama yang terbelakang dan tidak
relevan denga perkembangan zaman hal ini jelas-jelas telah menyalahi konsep
agama islam yaitu rahmatan lil alamin yaitu rahmat bagi alam semesta.Motode
pendekatan yang digunakan para orinetalis ini tidak sesuai deangn jaran agam
islam oleh karen itu untuk mempelajari islam secara baik dan benar dan agar tidak
tejadi kesalahpahaman terhadap islam pelajarilah islam denagn metode yang
sesuai dengan ajaran islam. Metode mempelajari islam ini berarti bahwa hukum
islam :
1. Harus dipelajari dalam kerangka dasar ajaran islam, yang menmpatkan
hukumislam sebagai salah satu bagian agama islam

2 Harus dihubungkan dengan iman dan kesusilaan, karena dalam sistem hukum
islam iman, hukum, dan kesusilaan satu hak yang tidak dapat dipisahkan.

3. Islam tidak dapat dikaji dan dipahami dengan hukum barat yang sifatnya
sekular

4. Harus dikaitkan dengan beberapa istilah kunci, diantaranya adalah syariah dan
fiqih dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan untuk pembaruan dan
perkembangan hukum islam kedua hal ini tidak boleh dipisakan karena kedua hal
ini slaing berhubungan syariah lebih berbentuk umum sebagai suatu pedoman
dasar agar tidak terjadi penyimpangan dan fiqih adalah suatu bentuk inovasi yang
tentunya tidak betentangan dengan sifat syariah itu sendiri, nah hal ini
memberikan suatu dampak yang sangat positif yaitu hukum akan terus susuai
dengan keadaan manusia hingga akhir zaman nanti.

5.Mengatur seluruh tata hubungan baik itu hubungan manusia dengan tuhan
maupun hubungan manusia dengan manusia termasuk hubungan manusia dengan
lingkungannya atau alam.4

2.3 Tokoh-Tokoh Yang Menjadi Pelopor Gagasan Penerapan Syariah Secara


Formal

1.Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun memiliki nama lengkap Wali al-Din ‘Abd al-Rahman bin
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin Muhammad bin
Jabir bin Muhammad bin Ibrahim ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun a lHadhrami.
4
Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang. 1985), hlm. 113.
Hasbie Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm. 23-24. dan Cik Hasan
Bisri,hlm 114.
Silsilah nasabnya terhubung dengan sahabat Nabi Wail bin Hajar. Ibnu Khaldun
dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan 732H bertepatan dengan 27 Mei 1332M
dan wafat pada tanggal 19 Maret 1406 M dalam usia 73 tahun. Ketika kecil sering
dipanggil dengan ‘Abd al-Rahman. Di dalam keluarga ia dipanggil dengan Ibnu
Zaid. Ia juga bergelar dengan “Wali al-Din” pada saat menjabat hakim di Mesir
dan terkenal dengan sebutan Ibnu Khaldun.

Ia berasal dari keturunan bangsawan Bani Khaldun. Bani Khaldun berhijrah ke


Tunisia setelah jatuhnya Sevilla ke tangan Reconquista pada pertengahan abad ke-
13 M. Keluarganya ini terlibat dalam jabatan pemerintahan, tetapi, karena situasi
dan kondisi mengundurkan diri dari dunia politik dan melakukan perjalanan
spiritual.Ibnu Khaldun dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama dan
terpandang. Ia memiliki latar belakang keilmuan yang kuat. Ia belajar ilmu qirâ’at
dari ayahnya. Sementara ilmu yang lain seperti bahasa Arab, hadits dan fiqih
dipelajari dari berbagai guru yang terkemuka pada masanya, di antaranya Abu al-
Abbas al-Qassar dan Muhammad bin Jabir al-Rawi.Pengembaraannya dalam
mendapatkan ilmu sangat jauh. Berbagai wilayah pada masa itu Ia jelajahi, seperti
ke Andalusia (Spanyol), Maroko, Persia (Iran), dan Tilimsin (al-Jazair).

Tokoh Ekonomi Islam Klasik yang satu ini memiliki kepakaran dalam berbagai
ilmu, seperti fikih, sejarah, dan sosiologi. Dalam bidang pemikiran ekonomi. Ia
tidak menulis secara khusus, tetapi sebagai seorang sosiolog, ia mengkaji tentang
sosiologi dalam bidang ekonomi. Pemikirannya tersebut di dalam karya besarnya
al-Muqaddimah. Sebuah buku terlengkap pada abad ke-14 M yang telah
diterjemahkan ke beberapa bahasa yang memuat pokok-pokok pikiran tentang
gejala-gejala sosial kemasyarakatan, sistem pemerintahan dan politik di
masyarakat, ekonomi, bermasyarakat dan bernegara, gejala manusia dan pengaruh
lingkungan, geografis, dan ilmu pengetahuan beserta alatnya.

Beberapa pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun yang dalam lintas sejarah


perekonomian dunia dapat disamakan dengan pemikiran para tokoh pemikir
ekonomi modern. Di dalam bukunya, al-Muqaddimah Ibnu Khaldun memiliki
pemikiran mengenai konsep nilai, konsep harga, dan konsep uang. Ibnu Khaldun
dikenal sebagai sosiolog dan sejarawan muslim yang hidup pada abad kedelapan
hijriah. Konsep ekonomi yang sudah ia bahas meliputi; nilai, harga, uang,
pertumbuhan, pembangunan, distribusi, keuangan publik, sewa, siklus bisnis,
politik ekonomi dan manfaat perdagangan. Konsep pembangunan yang ia
tawarkan terformulasikan dalam delapan nasihat utama, antara satu dengan yang
lain saling terkait. Delapan nasihat itu adalah:

(1) Pemerintah yang kuat tidak akan terwujud kecuali melalui pelaksanaan
Syarī’at;

(2) Syarī’at tidak dapat diwujudkan kecuali melalui pemerintahan;

(3) Kerajaan tidak akan meningkatkan kekuatannya kecuali melalui masyarakat


(al-rijal);

(4) Masyarakat tidak akan bertahan kecuali dengan kekayaan (al-mal);

(5) Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-imârah);

(6) Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan;

(7) Keadilan adalah kriteria yang mana digunakan oleh Tuhan untuk menilai
manusia.

(8) Pemerintahan dibebankan tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan.

2.Abu Yusuf

Tokoh Ekonomi Islam klasik yang satu ini merupakan seorang ulama yang
bernama lengkap Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al Anshari ini lahir di Kuffah
pada tahun 113 H/731 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 182 H/798 M.
Keluarganya memiliki julukan al-Anshari karena Ibunya masih berdarah
keturunan kaum Anshar. Abu Yusuf termasuk salah seorang ulama yang hidup di
era pergolakan politik antara Daulah Umayyah dengan Abbasiyah.Karier
intelektualnya sangat mengesankan karena berguru dari banyak ulama terkemuka
dari kalangan tabi’in pakar hadis seperti Hisyam bin Urwah, ada juga Abi Ishaq,
al-Syaibâni, Sulaiman At-Taimi, Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Yahya bin Said
Al-Anshari dan Atha’bin Saib.

Abu Yusuf adalah teman Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laili, seorang
mujtahid ahl ra’yi yang berpengalaman menjadi hakim selama 33 tahun di Kuffah.
Ia juga menimba ilmu selama 17 tahun dari ulama yang masyhur dengan
penggunaan ro’yu-nya dalam berijtihad, yaitu Abu Hanifah, sehingga dari sinilah
keilmuan.

Abu Yusuf dalam kajian fikih berkembang, sekaligus meneruskan perjuangan


mazhab Hanafi. Abu Hanifah dan Ibnu Abu Laila adalah dua sosok yang paling
dominan menjiwai karakter pemikiran Abu Yusuf dalam bidang Fikih. Namun
bedanya, dalam wilayah konsep dan gagasan,Ibnu Laila paling dominan, dan Abu
Hanifah dalam operasional dan praktiknya. Pengabdiannya kepada sang Guru,
Abu Hanifah, berlanjut ketika Abu Yusuf menggantikan gurunya wafat. Selama
16 tahun ia memiliki komitmen kuat untuk tidak berhubungan dengan urusan
pemerintahan. Ia hanya fokus meneruskan kajian Fikih yang telah membesarkan
namanya termasuk mazhab Hanafi secara tidak langsung.

Walaupun Abu Yusuf adalah murid sekaligus pengikut mazhab Hanafi, tetapi
tidak tampak dalam buah pikirnya. Ia cenderung independen, bahkan dalam
beberapa hal berseberangan dengan gurunya tersebut. Ini membuktikan keluasan
ilmunya yang didapat dari guru-guru dengan pengalaman sebagai hakim
profesional di pemerintahan Abbasiyah. Meski demikian ia juga banyak
mengambil pendapat dari Abu Hanifah. Kelahirannya dalam bidang Fikih
membuat namanya diperbincangkan dan tersebar, bahkan sampai kalangan istana.

Karya Masterpiece Abu Yusuf adalah kitab Al-Kharāj yang paling monumental.
Dalam karyanya ini memuat kajian yang cukup komprehensif, karena tidak hanya
membahas sumber pendapatan negara kharāj, jizyah, ‘usyr, ghanimah, fai’,
shadaqah dan zakat, sesuai dengan keperluan dalam pengelolaan baitul mâl saat
itu, tetapi ada juga regulasi perang, perlakuan pemerintah kepada orang murtad,
non muslim, sampai hal-hal kecil lainnya seperti air dan rumput juga ia bahas.

Penyusunan kitab menggunakan metode yang bersumber dari Al-Qur’an dan


Hadis, kemudian dalil ‘aqliyyah atau ra’yu (bertendensi pada kaidah istishlah dan
istihsan). Abu Yusuf juga memberikan masukan tentang pengelolaan dan
pembelanjaan publik, sehingga tidak hanya penjelasan tentang sistem keuangan
Islam, tetapi juga membangun sistem yang realistis dan kontekstual dengan
kondisi ekonomi.

3.Ibnu Taimiyah
Tokoh Ekonomi Islam Klaksik yang satu ini bernama Taqī ad-Dīn Abu ‘l-ʿAbbās
Aḥmad ibn ʿAbd al-Ḥalīm ibn ʿAbd as-Salām Ibnu Taymiyah al-Ḥarrānī yang
dilahirkan di Harran pada tahun 1263 Masehi. Ayahnya ‘Abd al-Halim, pamannya
Fakhr, dan kakeknya Majd al-Din adalah orang-orang yang hebat dari mazhab
Hanbali.Keluarganya terpaksa meninggalkan tempat asalnya pada tahun 1269 M
sebelum pendekatan bangsa Mongol dan mengambilnya berlindung di Damaskus.
Pendidikan Ibnu Taimiyah pada dasarnya dari teologi Hambali. Namun ia juga
mempelajari fiqih lainnya dan bidang lain seperti filsafat dan tasawuf.
Pengetahuannya tentang sejarah Yunani dan Islam sangat luas, dan buku agama
orang lain, terbukti dari ragam buku yang dia tulis. Kontribusinya di bidang
pemikiran ekonomi Islam.

Ia menghembuskan nafas terakhir pada 26 September 1328 Masehi (20


Dzulqa’dah 728 H) mengalami kondisi yang keras selama lima bulan.
Keseluruhan negara berduka. Sekolah, toko, penginapan dan pasar ditutup untuk
menandai kematiannya. Pemikirannya di bidang ekonomi banyak dikaji oleh
sarjana muslim kontemporer di antaranya adalah Abdul Azim Islahi yang berjudul
Economic Concept of Ibn Taimiyah.

4.Al Maqrizi

Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Abdul Qadir Al-Husaini tokoh ekonomi
Islam klasik yang lahir di Barjuwan, Kairo, pada 766 H. Keluarganya berasal dari
Maqarizah, sebuah desa yang terletak di kota Ba’labak. Karena itu, ia lebih
banyak dikenal dengan sebutan Al-Maqrizi. Kondisi keluarga yang serba
kecukupan membuat Al-Maqrizi kecil harus menjalani pendidikan dengan berada
di bawah tanggungan kakeknya, Hanafi ibnu Sa’igh, penganut mazhab Hanafi.
Al-Maqrizi muda pun tumbuh berdasarkan pendidikan mazhab ini. Setelah
kakeknya wafat pada 786 H (1384 M), Al-Maqrizi beralih ke mazhab Syafi’i.
Bahkan dalam perkembangan pemikirannya, ia menjadi condong ke arah mazhab
Zahiri. Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil, ia
gemar melakukan perjalanan intelektual. Ia mempelajari bermacam disiplin ilmu:
fikih, hadis, dan sejarah, dari para ulama besar yang hidup pada masanya. Di
antara tokoh terkenal yang amat mempengaruhi pemikirannya adalah Ibnu
Khaldun, seorang ulama besar dan penggagas ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu
ekonomi.

Interaksinya dengan Ibnu Khaldun dimulai saat Abu Al-Iqtishad ini menetap di
Kairo dan memangku jabatan hakim agung (Qadi Al-Qudat) mazhab Maliki pada
masa pemerintahan Sultan Barquq (784-801 H).Saat berumur 22 tahun, Al-
Maqrizi mulai terlibat dalam berbagai tugas pemerintahan Daulah Mamluk. Pada
788 H, ia memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya, semacam
sekretaris negara. Lalu ia diangkat menjadi wakil Qadi pada kantor hakim agung
mazhab Syafi’i, khatib di Masjid Jami ’Amr dan Madrasah Sultan Hasan, Imam
Masjid Jami Al-Hakim, dan guru hadis di Madrasah Al-Muayyadah.Pada tahun
791 H, Sultan Barquq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib, semacam
pengawas pasar, di Kairo. Jabatan tersebut diemban selama dua tahun. Pada masa
ini, Al-Maqrizi mulai banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar,
perdagangan, dan mudharabah, sehingga perhatiannya terfokus pada harga-harga
yang berlaku, asal usul uang, dan kaidah-kaidah timbangan.

Pada 811, Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di


Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit an-Nuri, Damaskus. Pada tahun yang
sama, ia menjadi guru hadis di Madrasah Asyrafiyyah dan Madrasah Iqbaliyyah.
Kemudian, Sultan Al-Malik Nashir Faraj bin Barquq (1399-1412 M)
menawarinya jabatan wakil pemerintah Daulah Mamluk di Damaskus. Namun,
tawaran ini ditolaknya. Hampir 10 tahun menetap di Damaskus, Al-Maqrizi
kembali ke Kairo. Sejak itu, ia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintah
dan menghabiskan waktunya untuk ilmu. Pada tahun 834 H, bersama keluarga, ia
menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makkah selama beberapa waktu untuk
menuntut ilmu serta mengajarkan hadis dan menulis sejarah.Lima tahun
kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya, Barjuwan, Kairo. Di sini
ia juga aktif mengajar dan menulis, terutama sejarah Islam, hingga terkenal
sebagai seorang sejarawan besar pada abad ke-9 Hijriah. Al-Maqrizi wafat di
ibukota Mesir itu pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan
tanggal 9 Februari 1442 M.5

5
Ibid. hlm. 112. Hasbie Ash-Shiddiqie, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tintamas. 1975), hlm. 27.
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan Makalah di atas dapat disimpulkan bahwa sistem politik Islam tidak
tunggal, khususnya terkait kedudukan syariah dan model penerapannya dalam eksistensi
negara Islam modern. Bahwa ajaran Islam melingkupi setiap aspek kehidupan umat yang
penubuhannya ada pada syariah, itu merupakan hal yang sudah pasti dan diyakini oleh setiap
pemeluknya. Hanya saja, dalam wujud praktiknya, terdapat berbagai macam penafsiran
terhadap isi syariah itu. Di belahan dunia Islam, muncul penafsiran-penafsiran tentang
syariah yang kadang-kadang saling bertentangan satu sama lain. Inilah yang menjadikan
Islam itu mempunyai sifat yang multi-interpretatif. Dalam masalah politik Islam pun, sifat
multi-interpretatif ini juga

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Buntang. 1970), hlm. 202-203.

Hânafi, hukum Islam telah berlaku umum dan dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan
hidup modern sebagaimana ia telah mensinyalir dari Seminar Hukum di Den Haag-Belanda
Agustur 1948 dan Paris-Perancis Juli 1951.

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), hlm. 46.

Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang. 1985),
hlm. 113. Hasbie Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975),
hlm. 23-24. dan Cik Hasan Bisri,hlm 114.
Ibid. hlm. 112. Hasbie Ash-Shiddiqie, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam (Jakarta:
Tintamas. 1975), hlm. 27.

Anda mungkin juga menyukai