Anda di halaman 1dari 20

DINAMIKA HUKUM ISLAM DAN MASYARAKAT

“Dipresentasikan dalam mata kuliah Sosiologi dan Antropologi Hukum”

Dosen pengampu: Dr. Bastiar, S.H.I., M.A.

Disusun Oleh Kelompok 7 :

1. Sakinah Fitri 202013006

2. Sulfia Maharani 202013003

3. Rika Arianda 202013010

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

INTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nyalah
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dinamika Hukum Islam dan
Masyarakat” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi dan
Antropologi Hukum.
Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada bapak Dr. Bastiar, S.
H.I.,M.A. sebagai dosen pengampu mata kuliah Sosiologi dan Antropologi
Hukum serta kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah
ini.
Meskipun dalam penyusunan makalah ini, penulis dapat menyelesaikan
dengan baik, namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat
kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
yang sifatnya membangun dari semua pihak. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Lhokseumawe, 29 Maret 2023

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar...............................................................................................i

Daftar isi..........................................................................................................ii

BAB I: PENDAHULUAN..............................................................................1

A. Latar belakang......................................................................................1

B. Rumusan masalah.................................................................................2

C. Tujuan ..................................................................................................2

BAB II: PEMBAHASAN...............................................................................3

A. Dinamika hukum islam dan masyarakat indonesia..............................3

B. Sosiologi hukum islam dan budaya lokal.............................................8

C. Antropologi hukum islam dan budaya lokal.........................................12

BAB III: PENUTUP.......................................................................................16

A. Kesimpulan...........................................................................................16

Daftar pustaka................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dari fase ke
fase semakin melebar yang mulanya hanya berkaitan dengan kekeluargaan
dewasa ini merambah pada sistem ekonomi. Dalam sejarah peradaban
umat manusia selalu muncul fenomena yang mengarah pada adanya suatu
perubahan. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa perubahan sosial budaya
selalu mempengaruhi tata kehidupan manusia. Umat Islam yang
merupakan salah satu fenomena perubahan diatas ternyata pernah
mehgalami kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi yang kemudian
merupakan embrio kemajuan ilmu dan teknologi di abad modern ini.Satu
aspek yang menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah kenyataan bahwa
perkembangan pemikiran hukum Islam yang terjadi pada waktu kemajuan
Islam itu temyata sejalan dengan derap setiap perubahan sosial budaya
yang dalam ilmu tasyri' disebut masa Imam Mazdhab.

Studi Hukum Islam terus mengalami perkembangan dari waktu ke


waktu. Perkembangan tersebut tampak dari munculnya berbagai gagasan
tentang studi Islam. Hal tersebut selain disebabkan oleh warisan klasik
kesarjanaan muslim yang hingga kinimasih eksis, juga disebabkan oleh
tradisi keilmuan barat yang telah lebih dahulu maju dalam berbagai
disiplin ilmu, baik secara langsung maupun tidak langsung
Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia,
lebih berfokus mengenai tingkah laku, pola berfikir kehidupan manusia ata
u masyarakat dalam suatu wilayah. Pendekatan yang dilakukan dalam
antropologi yaitu pendekatanmenyeluruh artinya jika ingin mengenal suatu
kaum atau suatu masyarakat dalam suatuwilayah pendekatannya
kitalangsung menghadapi, merasakan turut serta ke dalammasyarakat
tersebut. Pendekatan antropologi terhadap hukum memungkinkan
kitamengenal perilaku budaya hukum suatu masyarakat.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dinamika Hukum islam dan masyarakat Indonesia?
2. Bagaimana Sosiologi hukum islam dan Budaya lokal ?
3. Bagaimana Antropologi hukum islam dan budaya lokal?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang dinamika hukum islam dan masyarakat
Indonesia.
2. Untuk memahami bagaimana Sosiologi hukum islam dan budaya
lokal.
3. Untuk mengetahui bagaimana Antropologi hukum islam dan budaya
lokal.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinamika hukum islam di masyarakat Indonesia
Dinamika artinya perkembangan kearah yang lebih jauh, ilmu
fisika yang berada pada posisi tetap. Pembaruan hukum Islam dilakukan
dengan ijtihad. Dan ijtihad inilah yang menjadi intisari pembaruan dalam
Islam. Dengan adanya ijtihad, dapat diadakan penafsiran dan interpretasi
baru terhadap ajaran-ajaran yang bersifat zanni. Dan juga dengan adanya
ijtihad dapat ditimbulkan pendapat dan pemikiran baru sebagai ganti
pendapat dan pemikiran ulama-ulama terdahulu yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman.
Ajaran Islam berasal dari dua sumber pokok. yaitu Al-Qur'an dan
hadis. Di antara ajaran-ajaran ini ada nas Al-Qur'an atau hadis Nabi SAW
yang qat'i (Qat'idan Zannij) yaitu tegas dan jelas, hingga arti lafalnya tidak
mengandung maksud lain. Dalam memahami nas yang qat'i ini tidak
terdapat perbedaan pendapat ulama. Di samping itu ada pula nas yang
bersifat zanni, yaitu tidak tegas dan tidak jelas, sehingga boleh ditatsirkan
lain dari arti lafalnya. Di samping ajaran yang ada nasnya dalam Al-Qur'an
dan hadis, ada pula ajaran yang timbul sebagai hasil ijtihad ulama. Dalam
hal ajaran yang mengandung arti zanni dan ajaran yang bersumber dari
ijtihad terdapat perbedaan pendapat ulama-ulama Islam. Perbedaan
pendapat inilah yang kemudian menimbulkan aliran atau mazhsb yang
berbeda-beda dalam Islam.
Secara garis besarnya, hukum Islam meliputi empat bidang, yaitu:
pertama, bidang ibadah, yakni merupakan penataan hubungan antara
manusia dengan Allah Swt. Kedua, bidang munakahah, merupakan
penataan hubungan antara manusia dalam lingkungan keluarga. Ketiga,
bidang muamalah, merupakan penataan hubungan antar manusia dalam
pergaulan hidup masyarakat. Keempat, bidang jinayah, merupakan
penataan pengamanan dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin

3
keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.1 Sedangkan
menurut A. Jazuli, hukum Islam meliputi: bidang ibadah, bidang ahwal al-
Syakhshiyah (perkawinan, kewarisan, wasiat, dan wakaf), bidang
muamalah (dalam arti sempit), bidang jinay ah, bidang aqdhiyah
(peradilan), dan bidang siyasah (dusturiyah, maliyah, dan dauliyah).
Pembidangan hukum Islam tersebut, sejalan dengan perkembangan
pranata sosial, sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu,
semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata
sosial, maka semakin berkembang pula pemikiran ulama dan pembidangan
hukum Islam pun mengalami pengembangan. Hal itu menunjukkan,
terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata sosial dengan
pemikiran ulama secara sistematis. Atau sebaliknya, penyebarluasan
produk pemikiran ulama yang mengacu kepada firman Allah melahirkan
berbagai pranata sosial.
Dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia dewasa ini, dikenal
berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman. Pranata-pranata sosial
meliputi berbagai bidang kehidupan, yang senantiasa mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Ada pranata yang amat dekat dengan
keyakinan yang dianut, sehingga memiliki tingkat kepekaan yang sangat
tinggi, seperti pranata peribadatan, pranata kekerabatan, dan pranata
pendidikan. Ada pula pranata sosial yang relatif agak jauh dari keyakinan,
sehingga relatif luwes atau netral, seperti pranata ekonomi dan pranata
keilmuan, sehingga proses adaptasinya relatif longgar dan labelnya sebagai
hukum Islam bersifat luwes. Selanjutnya pranata-pranata sosial mengalami
kongkretisasi dalam struktur masyarakat, dalam bentuk berbagai
organisasi sosial sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan hidup secara
kolektif dan terencana. Kenyataan itu menunjukkan bahwa di dalam
masyarakat terjadi penyerapan produk teknologi sosial (pengorganisasian

1
Ali Yafi, Menggagas Fikih Sosia,l (Get. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 132.

4
masyarakat) mutakhir, dan dapat dijadikan saluran untuk
mengaktualisasikan hukum Islam di dalam kehidupan nyata.2
Dengan demikian, pembaruan hukum Islam sebagai aktualisasi
perintah Allah mempunyai beragam bentuk dan mencakup beragam
pranata sosial. Oleh karena itu, pembaruan hukum Islam di Indonesia
terpola pada internalisasi hukum Islam ke dalam pranata-pranata sosial
atau sebaliknya pranata sosial terinternaliosasi ke dalam hukum Islam.
Pada konteks ini, tampak relasi yang saling mendukung antara hukum
Islam dan pranata sosial.
Dalam konteks tersebut, pembaruan hukum Islam di Indonesia
meliputi empat kategori, yaitu:
1. Fikih
Salah satu wujud hukum Islam yang sistematis dan rinci adalah
fiqh. Secara. Garis besarnya fikih meliputi empat bidang, yaitu: pertama,
ibadah merupakan penataan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Kedua, bidang muakahat yang merupakan penataan hubungan antar
manusia dalam lingkungan keluarga. Ketiga, bidang muamalah merupakan
penataan hubungan antar manusia dalam pergaulan
kemasyarakatan.keempat, bidang jinayah merupakan penataan
pengamanan dalam suatu tertib pergaulan yang menjadi keselamatan dan
ketenteraman dalam hidup bermasyarakat.
Fikih sebagai produk pemikiran hukum Islam, baru berkembang
pada masa sahabat sepeninggal Rasulullah. Hal it disebabkan oleh karena
pada masa kenabian karena setiap persoalan yang ada dengan mudak dapat
diselesaikan oleh nabi sendiri melalui wahyu dan sabda-sabadanya.
Muncul dan berkembangnya kajian-kajian fikih disebabkan oleh muncul
persoalan-persoalan akibat semakin meluasnya wilayah Islam dan semakin
besarnya jumlah umat Islam dengan latar belakang etnis dan kultur.

2
Cik Hasan Bisri, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Get. I; Jakarta:
Logos, 1998), h. 115.

5
Oleh karena masalah-masalah yang muncul itu belum pernah
dialami oleh Rasulullah dan tidak terdapat nash secara jelas dan tegas
tentang hal itu, maka para sahabat dan generasi berikutnya dituntut untuk
berpikir dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
2. Fatwa
Fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan
peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Produk pemikiran hukum
Islam dalam kategori fatwa, di antara cirinya ialah bersifat kasuistik,
karena merupakan respon atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa. Berbeda dengan putusan pengadilan, fatwa tidak
mempunyai daya ikat dan daya paksa, dalam arti bahwa yang meminta
fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya.
Demikian pula masyarakat luas tidak harus terikat dengan fatwa itu,
karena fatwa seorang ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dengan
fatwa ulama lain di tempat yang sama.
Biasanya fatwa cenderung bersifat dinamis karena merupakan
respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi oleh orang atau
kelompok yang meminta fatwa. Isi suatu fatwa belum tentu dinamis, akan
tetapi sikap responnya itu sekurangkurangnya dapat dikatakan dinamis.
Meskipun fatwa itu dikeluarkan secara kasuistik, namun sejumlah fatwa
dari ulama besar.atau lembaga keagamaan dan hukum telah dibukukan,
akan tetapi sistematikanya tetap berbeda dengan fikih.
Di Indonesia, pembaruan hukum Islam dalam kategori fatwa
dilakukan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti NU, MUI,
Muhammadiyah dan Persis20. Masing-masing organisasi mempunyai
lembaga khusus yang melakukan pembaruan hukum Islam dalam bentuk
fatwa. Dalam lingkungan NU adalah pembaruan hukum Islam dalam
bentuk fatwa dilakukan Mejelis Syuriah dan majelis Ahlu al-Hall wa
alAqdi, di lingkungan MUI adalah Komisi Fatwa, di lingkungan
Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih dan di lingkungan Persis adalah
Dewan Hisbah. Pembaruan hukum Islam melalui organisasi ini memiliki

6
kegunaan praktis terutama bagi yang membutuhkannya, baik oleh
pmerintah maupun oleh para pemimpin dan anggota masyarakat, pada
gilirannya fatwa dapat menjadi acuan dalam penerapan hukum Islam.
3. Putusan hakim /Peradilan Agama (Yurisprudensi)
produk pemikiran hukum Islam melalui yurisprudensi dipandang
perlu dan baik. Dikatakan demikian karena yurisprudensi selain
menggambarkan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, juga selaras dengan kesadaran hukum masyarakat muslim
Indonesia, dengan catatan bahwa hakaim peradilan Agama yang membuat
yurisprudensi itu, selaim paham benar tentang hukum Islam, juga
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum pada
umumnya yang terdapat dalam masyarakat. Lebih jauh dapat dikatakan
bahwa pembaruan hukum Islam melalui yurisprudensi dianggap sebagai
sesuatu yang baik, didasarkan atas beberapa alasan bahwa putusan hakim
(yurisprudensi) mempunyai kekuatan mengikat, terutama kalau putusan itu
dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
Di samping itu, yurisprudensi secara psikologis dapat diterima oleh
masyarakat karena ia lahir dari suatu perkara yang secara langsung terjadi
dalam masyarakat. Itu artinya bahwa yurisprudensi lebih menyentuh
masalah-masalah praktis dalam tatanan sosial kemasyarakatan.
4. Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan sebagai salah satu wujud
pembaruan hukum Islam, seperti halnya dengan yurisprudensi atau
putusan pengadilan ia bersifat mengikat. Bahkan daya ikatnya lebih luas
dalam masyarakat, karena tidak hanya pada pihak-pihak tertentu, akan
tetapi juga seluruh masyarakat yang ada di wilayah hukumnya. Unsur-
unsur yang terlibat dalam perumusan perundang-undangan tidak terbatas
pada golongan ulama (fuqaha) saja, akan tetapi juga melibatkan unsur-
unsur lain dalam masyarakat seperti cendikiawan, politisi dan lain-lain.
Masa berlakunya suatu Undang-Undang, berlangsung sampai ada
peraturan perundang-undangan baru yang menggantikannya.

7
Di antara produk pemikiran hukum Islam yang telah diakomodasi
dalam kategori peraturan perundang-undangan antara lain; Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang mengatur
tentang kewarisan, perkawinan, perwakafan, hibah, sadakah dan wasiat,
dan lain-lain. Sebagai produk pemikiran hukum Islam, undangundang
memberikan sanksi hukum terhadap orang yang melakukan pelanggaran.
Sebagaimana produk kolektif, Undang-Undang memiliki daya ikat yang
lebih luas dari keputusan pengadilan. Dalam hal ini yang terpenting harus
dimiliki oleh undangUndang sebagai produk pemikiran hukum Islam
adalah kualitas yang tinggi dan dapat mencerminkan realitas hukum yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.3

B. Sosiologi Hukum Islam dan Budaya Lokal


Sosiologi adalah suatu ilmu yang mengambarkan tentang keadaan
masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial
lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu itu, suatu fenomena sosial
dapat dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya
hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari
terjadinya proses tersebut.4 Dengan ilmu sosiologi dapat dilihat gejala
sosial yang ada di masyarakat dengan fenomena sosial yang timbul seiring
dengan perkembangan masyarakat, yang saling memengaruhi.
Sosiologi hukum membahas pengaruh timbal balik antara
perubahan hukum dan masyarakat. Perubahan hukum dapat memengaruhi
perubahan masyarakat, dan sebaliknya perubahan masyarakat dapat
menyebabkan terjadinya perubahan hukum.5 Pengaruh timbal balik antara
3
Muhammadong,Dinamika Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan Tantangannya,
Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013.
4
Abbuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 39.
5
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara,
1977), h. 17.

8
hukum dan masyarakat merupakan fakta yang sering menjadi objek
penelitian dengan pendekatan yang tepat.
Istilah fikih Islam secara terminologi yang dikembangkan oleh
Abu Zahrah adalah sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syara yang amali diambil dari dalil-dalil terperinci. Ketika mencoba
memahami hukum Islam dalam pendekatan sosio-historis yaitu hukum
Islam sebagai ilmu yang mempelajari sejarah kehidupan suatu masyarakat
yang ada hubungannya dengan proses kelahiran dan perkembangan
hukum Islam sebagai bagian dari ilmu sosial, maka sosiologi hukum juga
mempelajari masyarakat yang secara khusus mengkaji gejala-gejala
hukum yang hidup di masyarakat. Berangkat dari beberapa
pengertian tersebut, maka peranan sosiologi hukum sangat penting
dalam memahami perkembangan masyarakat kaitan dengan interaksinya
dengan hukum Islam di Indonesia yang meliputi adanya kemampuan
memahami proses fakta sosial hukum yang beranak pinak di masyarakat.
Terkait dengan perubahan sosial, maka hukum Islam yang
berfungsi sebagai pagar pengaman sosial atau pranata sosial, memiliki dua
fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial, dan kedua, sebagi nilai baru dan
proses perubahan sosial. Jika fungsi yang pertama di tempatkan sebagai
“cetak biru” Tuhan (Allah SWT)selain sebagai kontrol sosial juga
sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu entitas
dari masyarakat. Sementara yag kedua, lebih merupakan produk sejarah
yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap
tuntutan perubahan sosial, baik dalam budaya dan maupun politik. Karena
itu perubahan sosial akan berjalan pincang jika tidak ada alat kontrol
terhadap interaksi sosial.
Dalam hukum Islam perubahan sosial, budaya dan letak geografis
suatu objek hukum, merupakan variabel urgent yang ikut menentukan
bisa tidaknya, dan perlu tidaknya suatu perubahan hukum. Sebagaimana
rumusan kaidah fiqihtaghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman (tidak

9
dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum dengan sebab berubahnya
zaman).
Dalam Islam, budaya dan perubahan sosial sangat jelas
pengaruhnya terhadap pemikiran hukum. Perbedaan budaya dan
perubahan sosial yang terjadi di daerah-daerah yang dikuasai oleh umat
Islam di awal abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan
pendapat di kalangan ulama fikih tentang masalah hukum, yang akhirnya
menyebabkan terbentuknya aliran-aliran hukum dalam Islam.6
Hukum Islam (fikih, syariah) tidak saja berfungsi sebagai hukum,
tetapi juga berfungsi sebagai nilai-nilai normatif. Secara teoritis berkaitan
dengan segenap aspek kehidupan, dan merupakan satu-satunya pranata
(institusi) sosial dalam Islam yang dapat memberikan legitimasi terhadap
perubahan-perubahan yang dikehendaki dalam penyelarasan antara ajaran
Islam dan dinamika sosial.7 Ketetapan hukum dapat berubah seiring
dengan perubahan sosial, dalam hal ini taraf kehidupan ekonomi
masyarakat yang makin berkembang saat itu.Pemikiran tentang perubahan
hukum akibat perubahan sosial sebagai „illat hukum, sesungguhnya
merupakan keharusan, sehingga hukum Islam tidak bersifat statis, tetapi
mengikuti alur kehidupan umat manusia, yang dasar-dasar pemikirannya
telah dimulai oleh ulama terdahulu. Sosiologi dapat digunakan sebagai
salah satu pendekatan dalammemahami agama. Karena banyak kajian
agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila
menggunakan bantuan dari ilmu sosiologi. Di samping itu, besarnya
perhatian agama terhadap masalah sosial yang mendorong umatnya untuk
memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
Dalam menyimak persinggungan Hukum Islam dan Budaya
Lokal, kebutuhan informasi, meskipun sepintas dan ringkas, mengenai
definisi keduanya masih dibutuhkan. Walaupun sudah dibahas dan

6
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 4.
7
Ibid. h. 1-2.

10
sudah teramat jelas, namun pada tataran definitif, istilah keduanya
menjadi mutlak untuk diuraikan terlebih dahulu sebelum memaparkan
persinggungan keduanya.
Pada ruang definisi tersebut sebenarnya sudah memunculkan
sedikit masalah problematik, yakni pada tataran di mana Hukum
Islam berdasarkan pada wahyu dan Sunnah Rasul, sementara budaya
adalah hasil ciptaan manusia. Sisi problematik tersebut pernah disinggung
oleh tokoh yang membumikan gagasan “Pribumisasi Islam”
Abdurrahman Wahid sebagai berikut: “ Agama Islam bersumberkan
wahyu dan memiliki norma-normanya sendiri. Karena bersifat
normatif, maka ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya
adalah buatan manusia, karenanya ia berkembang sesuai perkembangan
zaman dan cenderung untuk selalu berubah”.8
Upaya mempertautkan atau melakukan rekonsiliasi antara
hukum Islam dan budaya lokal, menurut Abdurrhman Wahid,
sebenarnya bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara
keduanya, namun hal ini bertitik tolak pada pemahaman bahwa wahyu
harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual,
termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Di sini letak urgensitas
pertautan antara Hukum Islam dan Budaya Lokal. Bahwa
keberadaannya bukan hendak menegasikan satu sama lain, namun
dapat berwujud sebagai rekonsiliasi harmonis di mana Islam hadir dengan
seperangkat aturan yang akan diterapkan dalam suatu kondisi
masyarakat yang memiliki sebuah latar belakang istiadat yang berbeda.
Pembentukan Hukum Islam, pada gilirannya, selalu akan
bersinggungan dengan unsur lokalitas di mana Islam hadir, baik dengan
cara akomodatif maupun malah menegasikannya.Tentu saja, berjejal hal
yang masih perlu dipahami sebelum menyingkap segenap hal yang
saling bersinggungan, bahkan berseteru, dalam wujud rekonsiliasi

8
Abdurrahman, Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh
(Ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), h. 81.

11
yang saling berinteraksi. Interaksiini pula yang mendasari Dede Rosyada
menjelaskan terwujudnya pranata sosial dalam masyarakat muslim di
mana ia mengartikan pranata sosial sebagai tradisi-tradisi dalam
kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara reaksi
kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya, dengan etos
yang menjadi nilai dasar kehidupannya.

C. Antropologi Hukum Islam dan Budaya Lokal


Bagian ini difokuskan untuk melihat keterkaitan antara Pancasila
sebagai produk budaya Bangsa Indonesia yang sangat dipengaruhi
karakteristik antropologisnya dengan Hukum Islam sebagai ketentuan
Tuhan yang diyakini oleh majoritas warga negara Indonesia. Hukum
tertinggi di Indonesia adalah UndangUndang Dasar 1945 dan Pancasila
sebagai falsafahnya. Islam sebagai sebuah keyakinan dan Ideologi yang
dianut mayoritas penduduk Indonesia yang megajarkan kepada kebaikan
dan kebenaran telah mewarnai sumber-sumber hukum di Indonesia dalam
tataran pelaksanaannya.
Di Indonesia, Islam merupakan pelembagaan dari keyakinan yang
sejalan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila. Beberapa
tema idiologis dalam jurisprudensi Islam mengajarkan banyak hal yang
berkaitan dengan pemerintahan. Ada empat sumber hukum dalam
Syari'ah: al-Qur'an, Hadits dan Sunnah, Ijma (kesepakatan fuqaha/mufti
dalam keputusan) dan Qiyas (silogisme). Sumber hukum, khususnya yang
terakhir, menggunakan akal-pikiran manusia. Ini tidak berarti bahwa tiga
yang lainnya tidak mengunakan akal pikiran manusia; tetapi, secara relatif
dikatakan bahwa Qiyas adalah sumber hukum yang membutuhkan deduksi
dan rujukan kemanusiaan.
Beberapa pemikiran tersebut mendasari bahwa ada kesesuaian
tentang tujuan Agama Islam dan Pancasila. Karena Pancasila adalah ajaran
yang baik maka Islam wajib memberikan dukungan secara moral dan
material terhadap keberadaan dan keutuhan Pancasila. Pola beragama kita

12
masih cenderung parsial, tidak utuh, sehingga tampilan perilaku
masyarakat yang beragama terkesan hanya menonjolkan aspek tertentu
dan menafikan aspek lain. Padahal, hakikat agama tidak hanya diamalkan
secara ritual formal, yang lebih penting adalah diamalkan dalam aspek
kehidupan umat manusia.9
Islam agar dapat berkembang harus fleksibel dalam memandang
fenomena-feenomena sosial. Artinya, sampai level tertentu, Islam harus
menyesuaikan kepada norma ajaran dan aturan yang hidup di suatu
setempat dalam penyiarannya.10
Di negara Indonesia, Pancasila berfungsi sebagai falsafah Negara
Republik Indonesia sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Seluruh
kedudukan dan fungsi Pancasila tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Namun
bila dikelompokkan akan kembali pada kedudukan dan fungsi Pancasila
sebagai Dasar Filsafat Negara dan sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia. Artinya dalam Pancasila tidaklah ada agama yang dilarang
keberadaannya. Berarti Pancasila memberi kebebasan ruang bagi umat
yang memeluknya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai makna bahwa segala
aspek penyelenggaraan negara baik yang material maupun yang spiritual
harus sesuai dengan hakekat Tuhan dalam arti kesesuaian negara dengan
nilai-nilai yang datang dari Tuhan sebagai Kausa Prima.Kekuatan
pelaksanaan agama Islam dalam Pancasila diakui dan dihormati, dan tidak
ada larangan bagi umat Islam untuk menjalankan sareatnya sesuai dengan
ajaran yang dimiliki.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Pancasila sebagai
falsafah bangsa dan negara Indonesia memiliki visi dasar yang bersumber
pada hakekat manusia. Visi dasar inilah yang memberikan isi dan arah

9
Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela,
2001), h.123.
10
Francois Houtart, “Kultus Kekerasan Atas Nama Agama: Suatu Panorama” dalam
Thomas Santoso, Kekerasan Agama tanpa Agama, (Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002), h.78.

13
bagi seluruh kehidupan kemasyarakatan dan bersumber pada hakekatnya
manusia adalah sebagai pendukung pokok negara. Inti kemanusiaan itu
terkandung dalam sila kedua yaitu: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Islam juga memiliki aturan hubungan antara sesama manusia dan antara
manusia dengan Tuhan yang disebut hablu minnallah dan hablu minnanas,
yang menghormati hak dan kewajiban manusia sebagai mahluk sosial dan
mahluk pribadi.
Sila Persatuan Indonesia. Makna persatuan Indonesia adalah bahwa
sifat dan keadaan negara Indonesia, harus sesuai dengan hakekat satu.
Sifat dan keadaan negara Indonesia yang sesuai dengan hakekat satu
berarti mutlak tidak dapat dibagi, sehingga secara Indonesia merupakan
suatu negara yang berdiri menempati suatu wilayah tertentu merupakan
suatu negara yang berdiri sendiri memiliki sifat dan keadaannya sendiri
yang terpisah dari negara lain di dunia ini.
Islam mengajarkan persatuan tanpa perpecahan, karena perpecahan
lebih banyak mudlaratnya daripada manfaatnya. Maka umat manusia
terutama bangsa Indonesia dan Umat Islam pada khususnya wajib
menjalankan ajarannya dengan baik terutama tentang persatuan dan
kesatuan yang terjalin dalam persaudaraan berbangsa dan bernegara. Islam
tidak pernah membedakan suku, agama, ras, dan keyakinan seseorang
seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad S.A.W.
Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Hakekat dan sifat negara yang
berkaitan dengan dasar politik negara memungkinkan terwujudnya suatu
dasar demokrasi bagi negara Indonesia. Indonesia adalah negara
demokrasi yang mono dualis karena manusia adalah makhluk individu dan
makhluk sosial.
Kepemimpinan, perwakilan dan demokrasi berdasarkan Islam
adalah sesuai dengan ajaran Islam. Hanya Implementasi dari hal-hal
tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya. Musyawarah dan mufakat adalah
cara yang terbaik dalam Islam dalam menyelesaikan masalah.

14
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Cita-cita
keadilan sosial yang terkandung dalam proklamasi kemerdekaan, cita-cita
kemanusiaan yang terkandung dalam sila ke lima. Negara memberikan
kesempatan dan memberikan bantuan yang sebaik-baiknya kepada
perseorangan. Baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk
berusaha sendiri memenuhi keinginan, kebutuhan, dan kepentingan
sendiri. Islam selalu menentang ketidakadilan. Artinya bahwa tujuan
Hukum Islam adalah menciptakan suatu keadilan. Keadilan akan
melahirkan kemakmuran bagi seluruh manusia di dunia. Namun keadilan
selama ini tidak terus tercapai dalam perjalanan kehidupan manusia,
karena manusia memiliki keserakahan.11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinamika artinya perkembangan kearah yang lebih jauh, ilmu
fisika yang berada pada posisi tetap. Pembaruan hukum Islam dilakukan
dengan ijtihad. Dan ijtihad inilah yang menjadi intisari pembaruan dalam

11
Marx Weber, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002), h. 221.

15
Islam. Dengan adanya ijtihad, dapat diadakan penafsiran dan interpretasi
baru terhadap ajaran-ajaran yang bersifat zanni. Dan juga dengan adanya
ijtihad dapat ditimbulkan pendapat dan pemikiran baru sebagai ganti
pendapat dan pemikiran ulama-ulama terdahulu yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman.
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mengambarkan tentang keadaan
masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial
lainnya yang saling berkaitan, Sosiologi hukum membahas pengaruh
timbal balik antara perubahan hukum dan masyarakat. Perubahan hukum
dapat memengaruhi perubahan masyarakat, dan sebaliknya perubahan
masyarakat dapat menyebabkan terjadinya perubahan hukum.
Pembentukan Hukum Islam, pada gilirannya, selalu akan
bersinggungan dengan unsur lokalitas di mana Islam hadir, baik dengan
cara akomodatif maupun malah menegasikannya.
Bagian ini difokuskan untuk melihat keterkaitan antara Pancasila
sebagai produk budaya Bangsa Indonesia yang sangat dipengaruhi
karakteristik antropologisnya dengan Hukum Islam sebagai ketentuan
Tuhan yang diyakini oleh majoritas warga negara Indonesia. Hukum
tertinggi di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila
sebagai falsafahnya. Islam sebagai sebuah keyakinan dan Ideologi yang
dianut mayoritas penduduk Indonesia yang megajarkan kepada kebaikan
dan kebenaran telah mewarnai sumber-sumber hukum di Indonesia dalam
tataran pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Yafi, Menggagas Fikih Sosial, Get. I; Bandung: Mizan, 1995.

Cik Hasan Bisri, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Get. I;
Jakarta: Logos, 1998.

16
Muhammadong,Dinamika Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan
Tantangannya, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013.
Abbuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999.

Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Bhratara Karya Aksara,


1977.

Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2003.


Abdurrahman, Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im
Saleh (Ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela,
2001.
Francois Houtart, “Kultus Kekerasan Atas Nama Agama: Suatu Panorama” dalam
Thomas Santoso, Kekerasan Agama tanpa Agama, Jakarta: Pustaka Utan
Kayu, 2002.
Marx Weber, Sosiologi Agama, Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.

17

Anda mungkin juga menyukai