Anda di halaman 1dari 20

Peran Tuha Peut Dalam Menyelesaikan Perkara Di

Gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe Menurut Qanun Aceh
Nomor 09 Tahun 2008

PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian dan Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Hukum Tata Negara Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe

Oleh :
Andre pasaribu
202013005

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE 2022

i
DAFTAR ISI

BAB I ............................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .............................................................................................................................................. 2
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................................................... 2
C. B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 8
Tujuan Penelitian ....................................................................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................................................ 9
E. Definisi Oprasional ................................................................................................................................. 9
F. Kajian Terdahulu ......................................................................................................................................12
G. Metode Penelitian ...................................................................................................................................14
1. Lokasi Penelitian ..................................................................................................................................14
2. Jenis dan Bentuk Penelitian .................................................................................................................14
3. Sumber Data ........................................................................................................................................15
4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data ........................................................................................15
5. Tehnik Analisis Data .............................................................................................................................16
H. Sistematika Pembahasan ....................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Provinsi Aceh merupakan satuan pemerintah daerah yang diberi status oleh pemerintah
pusat otonomi khusus (lex spesialis), yang selanjutnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Tentu kewenangan serta pengelolaan pemerintahanya
berbeda jika dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia, hal tersebut jelas terimplementasi
dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh.
Selanjutnya menurut penjelasan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Gampong, yang dimaksud dengan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim, yang menempati wilayah
tertentu, yang dipimpin oleh seorang keuchik, berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya
sendiri.1
Pada pasal 2 dan 3 Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong, bahwa
gampong merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada di bawah mukim dalam
struktur organisasi pemerintahan di Provinsi Aceh. Gampong berfungsi serta diberikan
kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina
masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan syariat Islam, sebagaimana yang telah diamanahkan
dalam ketentuan perundang-undangan, khususnya di Aceh.2
Penyelenggaraan pemerintahan gampong tidak terlepas dari peran lembaga Tuha Peut
dalam mengawasi proses pelaksanaan pemerintahan gampong, yang dilaksanakan oleh keuchik.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan pemerintahan harus mendapat persetujuan dari
Tuha Peut gampong. Tuha Peuet dibentuk untuk menjadi sarana dalam mewujudkan demokrasi,
keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan gampong. Di

1
Qanun Pemerintahan Gampong Nomor 5 Tahun 2003. Aceh
2
Qanun Pemerintahan Gampong…,

2
samping itu, Tuha Peut juga berfungsi sebagai pemberi nasehat dan pertimbangan kepada keuchik
dalam bidang hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.3XX
Qanun Provinsi Aceh Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong Dalam
Provinsi Aceh, tidak secara khusus diatur tentang peradilan adat. Hanya saja dalam qanun ini
ditemui pasal-pasal yang secara substansial dapat diartikan tentang peran dan eksistensi lembaga
adat dalam menyelesaikan sengketa masyarakat. Dalam qanun ini disebutkan bahwa salah satu
fungsi Tuha Peut adalah sebagai hakim perdamaian yang dibantu oleh Imeum Meunasah.
Mengenai tugas Tuha Peut Gampong diatur dalam Pasal 18 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun
2008 Tentang Lembaga Adat. Adapun tugas tuha peut gampong adalah:
a. Membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan belanja gampong
b. Membahas dan menyetujui Qanun gampong
c. Mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong
d. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan
e. Merumuskan kebijakan gampong bersama keuchik
f. Memberi nasehat dan pendapat kepada keuchik baik diminta maupun tidak diminta dan
g. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat.
Dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat, diatur secara tegas dalam bab tersendiri mengenai jenis-jenis sengketa/perselisihan adat
yang dapat diselesaikan melalui lembaga adat. Dalam Pasal 13 Ayat (1) Qanun tersebut, diatur
bahwa setidaknya terdapat 18 (delapan belas) jenis sengketa/perselisihan adat yang dapat
diselesaikan melalui lembaga adat, yaitu:
a. Perselisihan dalam rumah tangga
b. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh
c. Perselisihan antar warga
d. Khalwat meusum
e. Perselisihan tentang hak milik
f. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan)
g. Perselisihan harta sehareukat

3
M. Nur Daud, Pemerintahan Gampong dalam Konteks Undang-undangNo.18 Tahun 2001 Terhadap
Pembangunan Masyarakat Desa, (Banda Aceh: Jurnal Fakultas Hukum Unsyiah), hal. 635

3
h. Pencurian ringan
i. Pencurian ternak peliharaan
j. Pelanggaran adat tentang ternak
k. pertanian, dan hutan
l. Persengketaan di laut
m. Persengketaan di pasar
n. Penganiayaan ringan
o. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat)
p. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik
q. Pencemaran lingkungan (skala ringan)
r. Ancam-mengancam (tergantung dari jenis ancaman), dan
s. Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Pada umumnya, sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan pada tingkat
gampong dilaksanakan di Meunasah. Sedangkan pada tingkat Mukim, sidang musyawarah
penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Mesjid.
Sesuai filososfi dalam hukum adat terdapat asas-asas penyelesaian perkara khas Aceh yang
digunakan dalam menyelesaikan perkara dalam masyarakat, yang sebagiannya diambil dari hadih
maja dan sebagiannya diambil dari hukum umum berasal dari barat. Adapun asas yang dikandung
dalam proses penyelesaian perkara oleh Tuha Peut tersebut ialah sebagai berikut: 4
a. Pemeriksaan perkara dilakukan melalui proses setiap orang diberi hak yang sama di depan
pengadilan untuk mengemukakan dalil membantah dalil pihak lawan. Hal itu berarti pula dalam
persidangan setiap orang diberi kedudukan yang sama. Hal para pihak adalah menyampaikan
segala dalil yang berhubungan dengan perkara dan membantah segala dalil yang dikemukakan
pihak lawan di depan sidang. Hakim adalah menyimpulkan kebenaran darifakta-fakta yang
diajukan para pihak untuk mewujudkan dalam suatu putusan.
b. Peradilan dilaksanakan dengan hakim kolegial, fungsionaris peradilan diberi kedudukan
sebagai hakim, terdiri dari keuchik/kepala desa (gampong). Mereka masing-masing bertindak
sebagai hakim selain sebagai pejabat dalam pemerintahan gampong, mereka itulah yang
mengadili dan melaksanakan putusan sebagai hakim kolegial.

4
M. Isa sulaiman, Syamsuddin, Pedoman Umum Adat Aceh (Peradilan dan HukumAdat), (Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam: Majelis Adat Aceh (MAA), 2007), hal. 13

4
c. Hukum harus ditegakkan, akan tetapi harus diperhatikan pula jangan sampai dengan putusan
itu menimbulkan perpecahan dalam masyarakat, asas tersebut dapat ditemukan dalam hadih
maja, “uleeu bek matee ranteng bek patah”5 Pertimbangan utama dalam penyelesaian suatau
perkara menurut asas tersebut adalah terjadinya keseimbangan dalam masyarakat yang dalam
wujud kongkritnya berupa kerukunan masyarakat.
d. Penyelesaian diwujudkan dalam bentuk perdamaian. Asas tersebut ditemukan dalam hadih
maja, “tatarek panyang talingkang paneuk”.6 Asas ini mengandung ajaran bahwa suatu
persoalan apabila diperpanjang atau dibesar-besarkan, maka persoalannya menjadi besar.
Sebaliknya apabila persoalannya diperkecil dengan cara masing-msing pihak mengalah sedikit
untuk selesainya perkara, maka persoalannya menjadi kecil. Pada asas ini terkandung prinsip
kompromi dengan cara mengalah. Kompromi dalam arti masing-masing pihak memandang
pihak lain bukan sebagai lawan, akan tetapi sebagai kawan.
e. Penyelesaian perkara pidana dilakukan secara formal dan material. Asas ini mengandung ajaran
bahwa penyelesaian suatu sengketa dikehendaki dan ditujukan untuk memperbaiki segala
sesuatu yang telah rusak akibat kasus yang telah terjadi. Perbaikan itu tidak hanya dilakukan
melalui penyelesaian formal raja dengan menghukum siapa yang terbukti bersalah dan
membebaskan dari jeratan hukum terhadap yang tidak bersalah. Akan tetapi menurut asas
tersebut juga dikehendaki diselesaikan secara material.
Mekanisme yang digunakan sangat mudah. Dari tahapan menerima laporan, musyawarah,
dan pengambilan putusan, diatur dengan sangat sederhana dan cepat. Dalam Peraturan Gubernur
Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan
Istiada Proses penyelesaian sengketa dibagi menjadi 12 bagian:
a. Penerimaan laporan/ pengaduan
b. Perlindungan para pihak
c. Koordinasi dan gelar perkara (pernbahasan perkara) di tingkat perangkat Gampong atau nama
lain
d. Pemanggilan pelapor, korban dan pelaku serta penelusuran duduk perkara
e. Pemeriksaan para pihak, saksi-saksi dan barang bukti serta tempat kejadian
f. Penentuan keputusan penyelesaian kasus

5
Ibid., h. 14
6
Ibid., h. 15

5
g. Mediasi dan lobi para pihak
h. Sidang adat dan rapat pengambilan keputusan
i. Penyampaian atau pengumuman keputusan
j. Penandatanganan lembar berita acara penyelesaian peradilan adat (oleh para pihak, para saksi,
anggota majelis peradilan adat)
k. Pelaksanaan putusan dan pemulihan; dan
l. Pengajuan ke tingkat mukim atau ke polisi.
Wujud penyelesaian secara material berupa perbuatan maaf, peusijuk dan pemberian ganti
rugi kepada korban atau ahli warisnya dalam hal korban meninggal dunia. Ganti rugi dalam
penyelesaian perkara secara mateial adalah berupa pembayaran sejumlah uang oleh tindak
kekerasan kepada korban ataupun keluarga korban ditinggalkan dalam hal korban meninggal
dunia.
Permintaan maaf dilakukan atas kemauan pihak pelaku dan di depan majelis peradilan serta
masyarakat lingkunganya dengan mendatangi pihak korban, mengucapkan permintaan maaf atas
segala kesalahannya serta menjabat tangan pihak korban disertai dengan pernyataan pemberian
maaf dari pihak korban. Peusijuk merupakan suatu perbuatan simbolis yang bermakna memanggil
kembali semangat pihak korban yang hilang akibat tindakan kekerasan dialaminya dengan cara
menepung tawari korban.7 Peusijuk yang perwujudannya berupa menepung tawari korban akan
memberi kesejukan suasana batin korban, keluarga dan masyarakat lingkungan.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, terdapat beberapa jenis hukum yang hidup dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat. Diantaranya terdapat hukum adat yang merupakan perpaduan
hukum dan adat, yang keduanya boleh dikatakan telah melebur dan melekat menjadi satu, sehingga
dalam hadih maja disebut, “hukom ngen adat, lage zat ngon sifeut, lagee mata itam ngon mata
puteh.” Meskipun diketahui mana kaidah yang berasal dari hukum Islam dan mana kaidah yang
berasal dari adat, akan tetapi tidak dapat dikatakan sebagian hukum Islam dan sebagian adat.
Apabila dipisahkan antara keduanya maka tidak dapat lagi kumpulan kaidah itu disebut hukum
Islam.8

7
Ibid.,
8
Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat Aceh dan Sisi-sisi Keterkaitan Kawasan Adat Mukim dan
Gampong di Aceh, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2014), hal. 4

6
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat memuat beberapa kaedah yang
dapat dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan peradilan adat, karena dapat berfungsi sebagai
wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan
masyarakat dan penyelesaian masalah-masalah sosial masyarakat. 9 Dengan adanya peraturan
daerah/qanun tersebut telah memperkuat untuk melaksanakan keistimewaan Aceh dalam
perkembangannya, khususnya menyangkut peradilan adat di Aceh. Kasus yang terjadi digampong
Alue Awe Kec Muara Dua Kota Lhokseumawe.
Sebagai penasehat Tuha Peuet dalam menganalisa setiap persoalan dan masalah yang
timbul dalam masyarakat harus memberikan nasehat, saran dan pertimbangan kepada keuchik baik
diminta maupun tidak. Dengan demikian, maka suatu keputusan dan kebijakan gampong yang
belum diketahui Tuha Peuet belum sempurna dan pelaksanaannya akan kurang berwibawa,
keputusan yang demikian akan hambar dalam pelaksanaannya dan dalam penerapannya. 10
Kehadiran Tuha Peut gampong sebagai badan permusyawaratan gampong dalam rangka
pelayanan umum gampong. Otonomi gampong dijalankan bersama-sama oleh Pemerintah
Gampong dan Tuha Peut Gampong sebagai perwujudan demokrasi. 11 Tuha Peut Gampong sebagai
lembaga adat dikunci ada pada tingkat gampong dan ada pada tingkat mukim. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Observasi awal yang peneliti lakukan terlihat bahwa12 keberadaan lembaga Tuha Peut di
Gampong Alue Awe, belum memberikan kontribusi secara maksimal, hal ini berdasarkan
pengamatan serta diskusi yang penulis lakukan dengan masyarakat setempat, bahwa pelaksanaan
fungsi dan tugas Tuha Peut belum maksimal dilaksanakan, tidak sebagaimana yang dijelaskan
dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan gampong serta Peraturan Gubernur
Aceh Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintah Gampong.
Hasil observasi di atas diperkuat dengan wawancara dengan Tuha Peut Alue Awe
menyatakan bahwa belum maksimalnya peran Tuha Peut dalam pelaksanaan tugas pemerintahan
gampong, seperti contohnya terjadinya keributan antar keluarga di masyarakat, dalam hal ini

9
Khalidin, skripsi., Peran Tuha Lapan Dalam Memberikan Sanksi Bagi Pelaku Pelanggaran Adat Gampong
(studi kasus di Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie), (Banda Aceh: 2014), hlm. 43.
10
T. M. Juned, Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh, (Jakarta: Yayasan Rumpun Bambu dan CSSP, 2003), hal.
46
11
Abdurrahman, Reusam Gampong, Majalah Jeumala, Edisi No.XXVII Juli 2008, Majelis Adat Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2008, hal.13
12
Hasil observasi awal terhadap peran Tuha Peut di gamong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota
Lhokseumawe, pada tanggal 17 september 2020.

7
kechik menyelesaikan sendiri kasus tersebut, lain lagi halnya terjadinya pencurian di gampong
yang dilakukan oleh salah satu warga gampong, geuchik dengan beberapa perangkat gampong
menyelesaikannya perkara tersebut tampa melibatkan Tuha Peut, apa lagi masalah anggaran,
keuchik sering kali tidak melibatkan Tuha Peut.13
Dari hasil observasi dan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa peran Tuha Peut di
gampong Alue Awe masih kurang dimaksimal oleh pemerintah gampong. Hal tersebut disebabkan
karna keuchik selaku pimpinan di gampong kurang berkonsultasi dan berkomunikasi dengan Tuha
Peut setiap mengambil kebijakan dan juga saat ada masalah di gampong. Seyogyanya tentu
menjadi harapan masyarakat untuk masa yang akan datang, yang menjadi anggota Tuha Peut
gampong benar-benar dimamfaatkan peran dan fungsinya dalam melaksanakan tugas di gampong.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik mengkaji lebih dalam dalam bentuk
sebuah penelitian dengan judul Peran Tuha Peut Dalam Menyelesaikan Perkara Di Gampong
Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe Menurut Qanun Aceh Nomor 09 Tahun
2008

B. Rumusan Masalah
Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas peneliti membuat rumusan masalah
yaitu:
1. Bagaimana peran tuha peut dalam menyelesaikan perkara di gampong Alue Awe Kecamatan
Muara Dua Kota Lhokseumawe dalam Qanun Aceh Nomor 09 Tahun 2008?
2. Apa saja kendala tuha peut dalam menyelesaikan perkara di gampong Alue Awe Kecamatan
Muara Dua Kota Lhokseumawe?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui peran tuha peut dalam menyelesaikan perkara di gampong Alue Awe
Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe dalam Qanun Aceh Nomor 09 Tahun 2008
2. Untuk mengetahui kendala tuha peut dalam menyelesaikan perkara di gampong Alue Awe
Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe.

13
Hasil wawancara denga Tgk. Tarmizi, (Anggota Tuha Peut Gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua
Kota Lhokseumawe), pada tanggal 17 September 2020

8
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat secara teoritis
secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan
bagi perkembangan ilmu hukum serta menambah kajian ilmu tentang peratuaran perundang-
undang khusunya Qanun Aceh yang berkaitan dengan peran lembaga Tuha Peut dalam
menyelesaikan perkara didalam masyarakat.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi:
a. Bagi penulis. Tersedianya informasi yang memadai mengenai Tuha Peut dalam
menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di dalam masyarakat khususnya masyarakat di
gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe.
b. Bagi peneliti. Selanjutnya tersedianya informasi dasar serta landasan awal untuk para
peneliti berikutnya terhadap mereka-mereka yang menganggap masalah Tuha Peut ini
menarik untuk diteliti.
c. Bagi mahasiswa. Sebagai upaya menambahkan rasa ketertarikan dengan semangat yang
tinggi untuk melakukan atau mengembangkan penelitian dimasa yang akan datang. Secara
akademis penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus
sebagai informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan tentang lembaga Tuha Peut yang
ada di Aceh.

E. Definisi Oprasional
1. Pengertian Peran
Peranan berasal dari kata “peran”. Peran memiliki makna yaitu seperangkat tingkat
diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan dimasyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, diartikan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan”. 14 Istilah
“peran” sering diucapkan banyak orang kata peran sering dikaitkan dengan posisi atau
kedudukan seseorang. Atau “peran” dikaitkan dengan apa yang dimainkan dengan aktor dalam
suatu drama, lebih jelasnya kata “peran” atau role dalam kamus oxford dictionary diartikan:

14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 8452

9
Actor’s part, one sor function, yang berarti aktor, tugas seseorang atau fungsi.15 istilah “peran”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti pemain sandiwara atau film, tukang
lawak, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di peserta
didik.16 Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan maka seseorang yang diberi
suatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai yang diamanakan.
Menurut penulis dalam tulisan ini peran merupakan tugas utama yang diperankan oleh
seseorang dalam sebuah drama /sandiwara merupakan suatu rangkaian perilaku yang
diharapkan dari seseorang dengan berdasarkan posisi sosial, baik itu dengan secara formal
maupun informal.
2. Pengertian Tuha Peut
Tuha Peut Gampong merupakan sebuah lembaga di Aceh merupakan dewan empat yang
anggota-anggotnya, baik masing-masing maupun bersama-sama mengambil tanggung jawab
tugas-tugas perintah umum sebagai dewan yang mendampingi uleeblang (keucik) dalam tugas
sehari-hari, maka lembaga Tuha Peut ini mempunyai saham yang amat penting dalam
kehidupan masyarakat Aceh.
Ketentuan Pasal 4 huruf (a) Qanun No. 10/2008 tentang Lembaga Adat ditegaskan para
Tuha Peut dalam menjalankan fungsinya berwenang untuk menjaga keamanan, ketentraman,
kerukunan, dan ketertiban masyarakat. peran yang diberikan oleh perangkat hukum ini perlu
ditegaskan kembali terutama bahwa para Tuha Peut juga turut bertanggungjawab akan
terciptanya perdamaian dan keamanan dalam masyarakat gampong. Berdasarkan ketentuan ini,
maka terbuka peluang bagi paraTuha Peut untuk menjadi agen perdamaian. Sehingga peran
para Tuha Peut ini perlu didekonstruksi sehingga lebih bisa mengarahkan masyarakat kedalam
suasana perdamaian. Terutama hingga saat ini, peran lembaga ini masih berkisar pada konflik-
konflik yang berkaitan dengan kasus-kasus kesusilaan atau masalah rumah tangga.
Kepemimpinan Tuha Peut ditingkat gampong membuka mata kita tentang pentingnya
memperkuat dan memberdayakan mereka dalam sistem administrasi desa yang selama ini
mayoritasnya laki-laki. Anggota Tuha Peut yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman

15
The New Oxford Illustrated Dictionary, (Oxford University Press, 1982), h. 1466
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa…, h. 854

10
dan kemampuan kepemimpinan bagi tuha peut, menjalin silaturrahmi Tuha Peut antar Desa,
dan menyediakan wadah saling tukar informasi.17
Menurut penulis dalam tulisan ini tuha peut adalah unsur pemerintahan gampong yang
berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong yang disebut legislatif gampong.
3. Pengertian Perkara
Perkara diartikan sebagai masalah atau persoalan atau urusan dan perlu penyelesaian
secara teori perkara dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a. Perkara yang mengadung sengketa, yang mengandung perselishan, terdapat kepentingan,
atau hak yang di tuntut oleh pihak yang yang satu terhadap pihak yang lain. contohnya ialah
sengketa tentang warisan, sengketa tentang jual beli, dalam hal ini tugas hakim diberikan
wewenang mengadili dalam arti yang sebenarnya untuk memberikan suatu keputusan dalam
suatu sengketa.
b. Perkara yang tidak ada sengketanya dan perkara tidak mengandung perselisihan di
dalamnya. contohnya adalah permohonan tentang pengangkatan anak, dalam hal ini hakim
bertugas sebagai petugas administrasi negara untuk mengatur hal tersebut.
Menurut penulis dalam tulisan ini perkara merupakan suatu persoalan atau urusan yang
harus diselesaikan baik secara diadili maupun secara adat.

4. Pengertian Qanun
Qanun adalah qanna yang artinya membuat hukum yang artinya (to law to legislate) dalam
perkembangannya, kata qanun berarti hukum (law) peraturan dan undang-undang (statute
,code). Secara terminologi Qanun merupakan ketetapan hukum yang berlaku dalam masyarakat
dan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat.
Menurut penulis di tulisan ini qanun merupakan hukum/aturan-aturan yang berlaku di
suatu daerah dan di kembangkan oleh daerah tesebut guna untuk kemaslahatan masyarakat.

17
Consortium for Villages Strengthening in Aceh (Convis Aceh), Workshop Tuha Peut Menggagas
Eksistensi Tuha Peut Perempuan Aceh, dari
http://convisaceh.org/in/detail/2973/workshop.tuhapeut.menggagas.eksistensi.tuhapeut.perempuan-aceh, diakses 18
September 2020

11
F. Kajian Terdahulu
Sejauh kajian yang penulis kaji, tentunya penelitian ini beranjak dari ide penulis setelah
membaca beberapa hasil penelitian dan tidak menafikan adanya hasil kajian terdahulu. Berikut
beberapa kajian yang penulis temukan, diantaranya:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Zulfikar, mahasiswa pada Universitas Teuku Umar program
Studi Ilmu Administrasi Negara Meulaboh Aceh Barat tahun 2014, dengan judul penelitian
yaitu Analisis Peran Tuha Peut Sebagai Perangkat pemerintahan Gampong Di Gampong
Ujong tanoh Darat Kecamatan Meureubo kabupaten Aceh Barat (Menurut Tinjauan Qanun
Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pelaksanaan peran Tuha Peut sebagai perangkat Pemerintahan Gampong di Gampong Tanoh
Darat, masih kurang efektif sebagaimana yang diamanatkan dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003
Tentang pemerintahan Gampong. Hal ini karena anggota Tuha Peut kurang memahami tugas
dan fungsi sebagaimana yang diuraikan di dalam Qanun tersebut serta dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan yang rendah. Adapun penghambat Tuha Peut dalam menjalankan perannya masih
rendahnya pemahaman mengenai peran dan fungsi serta tugas yang harus dijalankan
sebagaimana yang diatur dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang pemerintahan
Gampong.18
2. Penelitian yang dilakukan oleh Rabi Agustia, mahasiswa pada Fakultas Hukum Unversitas
Syiah Kuala. Dengan judul penelitian yaitu Peran Tuha Peut Gampong Sebagai Badan
Permusyawaratan Gampong Dalam Penyelesaian Perselisihan Masyarakat (Suatu Penelitian
Di Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada tiga gampong di Kecamatan Babahrot, Tuha Peut Gampong masih belum berperan dengan
baik dalam menyelesaikan perselisihan, dimana ada yang tidak dilibatkan, dilibatkan tapi belum
berperan aktif, dan kurangnya kemampuan dalam memberi pendapat dan pertimbangan untuk
pengambilan keputusan dalam menyelesaikan perselisihan. Kendala belum berperannya Tuha
Peut Gampong dengan baik adalah belum mendapat sosialisasi yang memadai tentang peran

18
Zulfikar, Skripsi., Analisis Peran Tuha Peut Sebagai Perangkat pemerintahan Gampong Di Gampong
Ujong tanoh Darat Kecamatan Meureubo kabupaten Aceh Barat (Menurut Tinjauan Qanun Nomor 5 Tahun 2003
Tentang Pemerintahan Gampong), (Meulaboh: Universitas Teuku Umar Program Studi Ilmu Administrasi Negara,
2014), h. 6

12
Tuha Peut Gampong dalam penyelesaian perselisihan masyarakat, pemahaman yang berbeda
antara Tuha Peut Gampong dengan Geuchik, tidak adanya komunikasi dan koordinasi yang
baik di anggota Tuha Peut Gampong, dan kurangnya kemampuan Tuha Peut Gampong dalam
penyelidikan atau pendekatan dengan pihak yang berselisih serta memberi pendapat dan
pertimbangan Upaya penguatan peran Tuha Peut Gampong dalam penyelesaian perselisihan
masyarakat yang dilakukan baru berupa pembinaan dan sosialisasi secara terbatas sehingga
belum memadai.19
3. Penelitian yang dilakukan oleh Kasnidar, Mahasiswa pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Jurusan Manajemen Dakwah. dengan judul penelitian yaitu Peran Tuha Peut Dalam
Menyelesaikan Konflik di Dalam Masyarakat (Studi di Kecamatan Kluet Utara Kabupaten
Aceh Selatan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Konflik-konflik yang terjadi dalam
masyarakat di Kecamatan Kluet Utara yaitu perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara
keluarga yang berkaitan dengan faraidh, perselisihan antar warga, khalwat meusum
(perselingkuhan), persengketaan dilaut, persengketaan di pasar, perselisihan tentang hak milik,
perselisihan harta sehareukat, fitnah, dan hasut. (2) Peran Tuha Peut dalam menyelesaikan
konflik yang terjadi dalam masyarakat di kecamatan Kluet Utara dibatasi hanya menyelesaikan
sengketa atau perselisihan, yaitu berperan sebagai mediator, persidangan, dan mengeksekusi
keputusan sidang atas sengketa dan perselisihan yang terjadi. (3) Kendala yang dihadapi tuha
peut dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat di Kecamatan Kluet Utara
yaitu berkaitan dengan kesediaan masyarakat yang bersengketa untuk menyelesaikan melalui
peradilan gampong, kesediaan membayar denda/sanksi dan juga terjadi tumpang tindih dengan
hukum positif.20
Setelah penulis melakukan pengamatan dan penelurusan, belum diketahui tulisan maupun
penelitian yang secara mendetail membahas tentang “Peran Tuha Peut Dalam Menyelesaikan
Perkara di Gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe Qanun Aceh Nomor
05 Tahun 2003”. Meskipun pokok bahasan sama, namun nampak adanya perbedaan dan
persamaan dengan penelitian terdahulu. Adapun persamaannya yaitu sama-sama meneliti tentang

19
Rabi Agustia, Skripsi., Peran Tuha Peut Gampong Sebagai Badan Permusyawaratan Gampong Dalam
Penyelesaian Perselisihan Masyarakat (Suatu Penelitian Di Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya),
(Banda: Fakultas Hukum Unversitas Syiah Kuala, 2017), h. 5
20
Kasnidar, Skripsi., Peran Tuha Peut Dalam Menyelesaikan Konflik di Dalam Masyarakat (Studi di
Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan), (Banda Aceh: UIN Arraniry, 2004), h. 5

13
Tuha Peut, sedangkan perbedaanya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zulfikar, fokus
penelitiannya pada analisis peran Tuha Peut Sebagai Perangkat pemerintahan Gampong, penelitian
yang dilakukan oleh Rabi Agustia, fokus penelitiannya pada Peran Tuha Peut Gampong Sebagai
Badan Permusyawaratan Gampong, dan penelitian yang dilakukan oleh Kasnidar, fokus
penelitiannya pada peran Tuha Peut Dalam Menyelesaikan Konflik di Dalam Masyarakat. Sedang
penelitian yang penulis lakukan fokusnya pada Peran Tuha Peut Dalam Menyelesaikan Perkara di
Gampong.

G. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota

Lhokseumawe. Alasan penulis melakukan lokasi penelitian di daerah tersebut, karena di daerah

Kecamatan Muara Dua ada kasus tentang kurang difungsikannya peran Tuha Peut dalam

menyelesaikan perkara di gampong, disisi lain tempat penelitian tersebut terjangkau bagi penulis,

sehingga memudahkan penulis untuk mengadakan penelitian. Maka dari itu penulis tertarik untuk

meneliti di Gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe.

2. Jenis dan Bentuk Penelitian


Setiap penelitian sudah tentu menggunakan metode penelitian. Hal ini dimaksud agar

memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data, mengolah dan menganalisis data serta tidak

terjadi kesimpangsiuran ketika penelitian berlangsung. Jenis penelitian ini merupakan penelitian

lapangan (field Research). 21 Sedangkan bentuk penelitian ini adalah kualitatif, dengan

menggunakan metode Purposif Sampling, yaitu mengambil informasi untuk diwawancarai yang

21
Lexy J. Moleong M.A. Metode Penelitian Kualitatif, Cet. 23, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal.
120.

14
dianggap sesuai dengan tujuan penelitian. 22 Orang-orang yang menurut peneliti bisa memberikan

informasi.

3. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari

mana data itu diperoleh, sehingga penelitian ini bersumber dari data sebagai berikut:

a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli

penelitian yang mengambil data dari lapangan dengan mewawancarai nara sumber dilokasi

penelitian, seperti: Tuha Peut, Keucik, dan kaur Gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua

Kota Lhokseumawe

b. Data sekunder, adalah data pedukung dari penelitiaan ini, berupa buku-buku dan jurnal, atau

yang berkenaan dengan penelitian proposal skripsi penulis. Pada penelitian ini penulis

mengambil informasi dari Tuha Peut, Keucik, dan kaur Alue Awe, khususnya peran Tuha Peut

dalm menyelesaiakn perkara di gampong Penelitian ini dilakukan di Gampong Alue Awe

Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe.

4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data


Penulis menyadari setiap penelitian memerlukan data yang lengkap, objektif dan tepat.

Maka untuk itu penulis telah berusaha menurut kemampuan yang ada dalam pengumpulan data

tersebut. Dengan demikian metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Observasi, dapat diartikan sebagai pengamatan langsung terhadap fenomena yang sedang

diselidiki.23 Observasi dilakukan dalam penelitian ini untuk memperoleh Informasi Peran

Tuha Peut Dalam Menyelesaikan Permasalahan di Gampong. Untuk mendapatkan data yang

jelas perlu pengamatan dan memperhatikan kegiatan yang dilakukan di lokasi penelitian.

22
Suharsimin Arikunto, Prosedur Penelitian, Cet. Ke 12, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 123.
23
Ibid., hal. 106.

15
Kemudiaan penulis bukukan dalam bentuk catatan.

b. Wawancara, yaitu suatu metode yang digunakan untuk pendukung dari yang

diwawancarai.24 Wawancara dilakukan dengan menjumpai langsung pihak yang akan

memberikan data dan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan

penelitiaan penulis. Orang yang penulis wawancarai adalah Tuha Peut, keucik, dan kaur

Gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe

c. Dokumentasi, yaitu data penelitian yang berupa dokumen bagi Peran Tuha Peut Dalam

menyelesaikan Permasalahan di Gampong.

5. Tehnik Analisis Data


Data diolah dan dianalisa secara induktif, mengarah sasaran penelitian pada usaha

menemukan teori dasar yang bersifat kooperatif sesuai dengan hasil wawancara beberapa

Informasi dan observasi langsung ke lapangan untuk menjawab semua masalah penelitian. Hal ini

agar memudahkan dalam memberi gambaran tentang persoalan yang sedang diteliti, setelah itu

data diolah dan selanjutnya peneliti akan menganalisa dengan menggunakan deskriptif analisis,

setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul yang berkaitan dengan penelitian ini kemudian

data tersebut peneliti kembali dengan maksud untuk mengetahui keabsahan dan kevalidan data-

data yang terkumpul, alat /instrumen berupa buku catatan dan rekaman, ini bertujuan untuk

memperoleh hasil penelitian yang sempurna.

Dalam penulisan proposal skripsi ini penulis menggunakan Panduan Penulisan Karya
Ilmiah IAIN Lhokseumawe Tahun 2020.

6. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan proposal skripsi ini mengacu pada panduan penulisan skripsi IAIN
Lhokseumawe yang terdiri dari lima Bab.

24
Ibid., hal. 108.

16
Bab I membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat
penelitian, definisi oprasional, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II landasan teori membahas tentang Peran Tuha Peut, Perkara di Gampong, Qanun
Aceh Nomor 05 Tahun 2003.
Bab III membahas tentang lokasi penelitian, jenis dan bentuk penelitian, teknik
pengumpulan dan pengolahan data, tehnik analisis data, jenis penelitian, subjek penelitian,
instrumen penelitiaan, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
Bab IV membahas tentang gambaran umum lokasi penelitian, analisis peran Tuha Peut
dalam menyelesaikan perkara di gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe
dalam Qanun Aceh Nomor 05 Tahun 2003, dan kendala tuha peut dalam menyelesaikan perkara
di gampong Alue Awe Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe dalam Qanun Aceh Nomor 05
Tahun 2003
Bab V, merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.

17
DAFTAR PUSTAKA
Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat Aceh dan Sisi-sisi Keterkaitan Kawasan Adat
Mukim dan Gampong di Aceh, Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2014

Consortium for Villages Strengthening in Aceh (Convis Aceh), Workshop Tuha Peut Menggagas
Eksistensi Tuha Peut Perempuan Aceh, dari
http://convisaceh.org/in/detail/2973/workshop.tuhapeut.menggagas.eksistensi.tuhapeut.pe
rempuan-aceh, diakses 18 September 2020

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia


Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007

Kasnidar, Skripsi., Peran Tuha Peut Dalam Menyelesaikan Konflik di Dalam Masyarakat Studi di
Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan), Banda Aceh: UIN Arraniry, 2004

Khalidin, skripsi., Peran Tuha Lapan Dalam Memberikan Sanksi Bagi Pelaku Pelanggaran Adat
Gampong (studi kasus di Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie), Banda Aceh: 2014

Lexy J. Moleong M.A. Metode Penelitian Kualitatif, Cet. 23, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

M. Isa sulaiman, Syamsuddin, Pedoman Umum Adat Aceh (Peradilan dan HukumAdat), Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam: Majelis Adat Aceh (MAA), 2007

M. Nur Daud, Pemerintahan Gampong dalam Konteks Undang-undangNo.18 Tahun 2001


Terhadap Pembangunan Masyarakat Desa, Banda Aceh: Jurnal Fakultas Hukum Unsyiah

Qanun Pemerintahan Gampong Nomor 5 Tahun 2003. Aceh


Rabi Agustia, Skripsi., Peran Tuha Peut Gampong Sebagai Badan Permusyawaratan Gampong
Dalam Penyelesaian Perselisihan Masyarakat (Suatu Penelitian Di Kecamatan Babahrot
Kabupaten Aceh Barat Daya), Banda: Fakultas Hukum Unversitas Syiah Kuala, 2017

Suharsimin Arikunto, Prosedur Penelitian, Cet. Ke 12, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
T. M. Juned, Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh, Jakarta: Yayasan Rumpun Bambu dan
CSSP, 2003

The New Oxford Illustrated Dictionary, Oxford University Press, 1982


Zulfikar, Skripsi., Analisis Peran Tuha Peut Sebagai Perangkat pemerintahan Gampong Di
Gampong Ujong tanoh Darat Kecamatan Meureubo kabupaten Aceh Barat (Menurut
Tinjauan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong), Meulaboh:
Universitas Teuku Umar Program Studi Ilmu Administrasi Negara, 2014

18
19

Anda mungkin juga menyukai