Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUBUNGAN ANTARPERATURAN PERUNDANG


UNDANGAN

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

1. NUR FADHIA
2. NIRWANA
3. ISMA INA
4. MUH. AQFAN SYAH
5. FAJRYANSYAH HAQ

SMK NEGARA 2 MAJENE TAHUN


AJARAN 2022/2023

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. i


KATA PENGENTAR ................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHSAN
A. Permasalahan antarperaturan perundang-undangan .......................... 4
B. Keselarasan peraturan perundang undangan ..................................... 5
C. Menganalisis peraturan perundang undangan ................................... 7
D. Penyesuaian melalui perubahan perundang undangan ...................... 7
E. Ketidak sesuaian peraturan perundang undangan ............................ 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimmpulan ................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................. 14

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Karena atas rahmat dan hidayah-Nya
lah sehingga kita dapat menyelesaikan makalah pendidikan pancasila ini yang
berjudul “Hubungan Antar Peraturan Perundang Undangan”.
Kami sendiri menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan serta masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Makalah ini disesuaikan dengan berdasarkan materi-materi yang
ada.Makalah ini bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan kreatifitas
dalam belajar. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bagi
pihak yang menbutuhkan.

01 September 2023

Kelompok 3

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstitusi Republik Indonesia dinyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum, yang mempunyai tujuan untuk menciptakan tata tertib
hukum dan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi
pemerintahan di Indonesia, dan Negara hukum adalah Negara yang
berlandaskan atas hukum. Peraturan perundang undangan memengaruhi
tertibnya dan tidak tertipnya masyarakat. Hai ini dikarenakan peraturan
perundang undangan disusun untuk membentuk tatanan sosial yang tertib
sesuai cita cita ideal masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia
diatas, peraturan perundang-undangan yang paling rendah kedudukannya
adalah Peraturan Desa (Peraturan Negara), dalam hal ini untuk wilayah
Propinsi Sumatra Barat yang memiliki pemerintahan paling kecil yaitu
Pemerintahan Negara, jadi disebut Peraturan Negara (PERNA). Peraturan
Negara disini memiliki kedudukan paling rendah, akan tetapi kedudukannya
digolongkan sebagai Peraturan Daerah Propinsi dan juga Peraturan Daerah
Kabupaten/kota, karena sama-sama bagian dari pemerintahan daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan diatas, jelas kalau Peraturan Negara tidak
mempunyai kedudukan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
Negara Republik Indonesia.
Pembentukan perundang-undang adalah syarat bagi suatu negara untuk
membentuk hukum nasional. Pembentukan peraturan undang-undangan
hanya dapat terwujud apabila didukung oleh metode yang baik, yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan. Konsep pembentukan perundang-undangan harus sejalan dengan
ideologi negara yaitu Pancasila. Selain itu pembentukan undang-undang juga
harus mengutamakan hak asasi manusia. Dengan kata lain perundang-

1
undangan harus menyetarakan seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang
ras, status sosial atau agama.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut, tidak dapat di
hindarkan lagi timbul banyak pertanyaan-pertanyaan, yaitu tentang
kedudukan Peraturan Negara. Mengingat Peraturan Negara itu sangat penting
sekali, salah satu yang di atur dalam Peraturan Negara itu adalah mengenai
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sedangkan menurut tata urutan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak mempunyai
kedudukan lagi. Selain itu Bamus Negara dalam pembetukan Peraturan
Negara akan kehilangan kewenangannya dan bagaimana dengan keputusan
Wali Negara, apakah masih tetap berlaku atau tidak.
Untuk itu kita harus mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukan
Peraturan Negara menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta bagaimana implikasi
yuridis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terhadap kedudukan
Peraturan Negara yang berlaku saat ini. Agar lebih jelas daya berlakunya
ditengah kehidupan masyarakat dan dalam kehidupan pemerintah Negara. Hal
ini sangat penting sekali agar kemudian hari tidak terjadi kerancuan dalam
pemberlakuannya, apalagi dalam jalannya pemerintahan Negara.
Dari penjelasan awal diataslah yang melatarbelakangi penulis untuk
melakukan pembuatan makalah dalam rangka memenuhi tugas yang berjudul
“Hubungan Antarperaturan Perundang Undangan”.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja permasalahan antarperaturan perundang-undangan?
2. Bagaimana keselarasan peraturan perundang undangan?
3. Bagaimana cara menganalisis peraturan perundang undangan?
4. Bagaimana penyesuaian melalui perubahan perundang undangan?
5. Bagaimana ketidak sesuaian peraturan perundang undangan?

2
C. Tujuan
Untuk menkaji lebih mendalam mengenai peraturan negeri menurut
peraturan perundang undangan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Permasalahan antarperaturan perundang-undangan


Di dalam kehidupan suatu negara, peraturan perundang- undangan
memiliki fungsi vital. Peraturan perundang-undangan memengaruhi tertib dan
tidak tertibnya masyarakat. Hal ini karena peraturan perundang-undangan
disusun untuk membentuk tatanan sosial yang tertib sesuai cita-cita ideal
masyarakat.
Tatanan sosial masyarakat yang ideal sejatinya didesain oleh peraturan
perundang-undangan yang terdapat di masyarakat. Contohnya, UU RI No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur segala sesuatu
terkait lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia. Hadirnya peraturan
perundang-undangan ini mendorong keteraturan berlalu lintas di Indonesia.
Contohnya, aturan pada Pasal 294 UU RI No. 22 Tahun 2009 mengenai
kewajiban memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat
tangan bagi setiap pengemudi kendaraan bermotor yang akan membelok arah
atau berbalik arah. Pengemudi yang melanggarnya akan dikenai pidana
kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00.
Melihat pentingnya peraturan perundang-undangan tersebut, harus
dipahami pula adanya pembuatan peraturan perundang- undangan. Terdapat
tahap-tahap yang harus dilakukan untuk menyusun suatu peraturan
perundang-undangan. Contohnya, untuk menyusun suatu undang-undang,
Rancangan Undang-Undang (RUU) disertakan naskah akademik serta
keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
Rencana penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) yang disusun DPR, DPD, dan pemerintah. DPR, presiden, atau
DPD kemudian mengajukan RUU pada rapat paripurna DPR. Setelah
dilakukan rapat tingkat pertama dan kedua, RUU yang disetujui DPR dan
wakil pemerintah diserahkan ke presiden untuk ditandatangani.
Perundang-undangan yang terdapat di Indonesia diakui tidak semuanya
sempurna. Pada tahap penyusunan peraturan perundang-undangan, Redi

4
(2018) mencatat terdapat adanya masalah. Masalah tersebut salah satunya
mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Masalah
pembentukan ini terkait dengan penyimpangan atas proses baku yang
seharusnya ditaati Contohnya, pada proses perencanaan penyusunan
peraturan pemerintah dan peraturan presiden, masalah yang umum ditemukan
ialah ketidaktaatan untuk secara konsisten melaksanakan jangka waktu
pembentukan peraturan pemerintah dan peraturan presiden sesuai waktu yang
ditentukan oleh peraturan induknya (yang menjadi dasar pembentukan).
Contohnya, UU RI No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Di dalam Pasal
117 UU ini diatur bahwa peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini
ditetapkan paling lama (dua) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Namun, sampai dengan 2017 atau lebih dari dua tahun sejak undang-undang
ini diundangkan, hanya terdapat satu peraturan pemerintah yang terbentuk,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan
Dana Perkebunan. Padahal, ada 7 (tujuh) amanah ketentuan lebih lanjut
undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah (Redi, 2018).

B. Keselarasan peraturan perundang undangan


Masih terkait hubungan antarperaturan perundang-undangan, Sadiawati,
dkk., dalam bukunya, Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia (2019), juga
mencatat ketidakselarasan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sadiawati, dkk., yang tergabung dalam lembaga Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK), bekerja sama dengan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) selama tahun 2018-2019 melakukan studi mengenai
reformasi regulasi atau peraturan perundang-undangan. Hasilnya dituangkan
dalam kajian Reformasi Regulasi di Indonesia (2019) dan menjadi bahan
masukan dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Periode 2019-2024.
Sadiawati, dkk. mencatat, sepanjang 2000-2015, pemerintah telah
menerbitkan 12.471 produk regulasi. Jumlah itu tentu belum termasuk produk
peraturan yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga lain, seperti Komisi

5
Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU). Fenomena tingginya jumlah peraturan pada
menimbulkan potensi tumpang tindih pengaturan, baik secara vertikal
maupun horizontal (Sadiawati, dkk., 2019).
Berbagai produk regulasi, baik pusat maupun daerah pada akhirnya
dapat menimbulkan tidak selarasnya peraturan perundang-undangan.
Penelitian PSHK pada tahun 2011 menunjukkan pemerintah telah
membatalkan 1.691 Perda selama 2004-2009. Dari jumlah tersebut, sebanyak
63 persen Perda mengatur retribusi daerah, 13 persen Perda mengatur pajak
daerah, dan 11 persen Perda mengatur perizinan. Ketiga kategori Perda yang
dibatalkan itu dinilai menghambat iklim investasi di daerah. Selain itu, pada
pertengahan 2016, pemerintah membatalkan 3.143 Peraturan Daerah (perda)
yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang
jalur birokrasi, serta menghambat investasi dan kemudahan berusaha.
Banyaknya peraturan tingkat daerah yang dengan peraturan perundang-
undangan di atasnya dan bertentangan dengan kebijakan nasional menjadi
kendala dalam mendorong percepatan pembangunan (Sadiawati, 2019).
Selain itu, pada Oktober 2016, pemerintah mengeluarkan paket
kebijakan revitalisasi hukum. Tiga program direncanakan dalam kebijakan
itu. Pertama, penataan regulasi. Kedua, pembenahan kelembagaan. Ketiga,
pembangunan budaya hukum. Terkait program penataan regulasi, terdapat
tiga subprogram yang dijalankan, yaitu penguatan pembentukan peraturan
perundang-undangan, revitalisasi evaluasi peraturan perundang-undangan,
dan penataan pangkalan data (database) peraturan perundang-undangan.
Sejumlah langkah tersebut dilakukan pemerintah dalam menata kembali
regulasi di Indonesia.
Peraturan perundang-undangan merupakan elemen penting dalam
negara hukum untuk mencapai tujuan nasional. Kita harapkan proses
keselarasan peraturan perundang-undangan di Indonesia.terus berjalan dengan
tepat. Juga, kualitas peraturan perundang. undangan di Indonesia terus
meningkat.

6
C. Menganalisis peraturan perundang undangan
Di Negara Indonesia, segala peraturan tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD NRI
Tahun 1945 sebagai hukum dasar bagi peraturan perundang-undangan. Kedua
hal tersebut tercantum dengan jelas pada Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1) UU RI
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 13 Tahun 2022 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Adapun kaitan antara UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan- peraturan
di bawahnya dapat dilihat pada Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 berikut.
"Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-
aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada
Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk
menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan sosial. Terutama
bagi Negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu
hanya memuat aturan-aturan pokok, sedang aturan- aturan yang
menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu diserahkan kepada undang-
undang yang lebih mudah caranya membuat mengubah, dan mencabut,"
Berdasarkan pernyataan pada Penjelasan UUD NRI Tahun 1945
tersebut, suatu undang-undang dapat melaksanakan atau mengatur lebih lanjut
hal-hal yang disebutkan secara tegas ataupun tidak di dalam UUD NRI Tahun
1945. Secara tidak langsung, undang- undang dan peraturan-peraturan lain di
bawahnya harus tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
sebagai hukum dasar peraturan perundang-undangan di Indonesia.

D. Penyesuaian melalui perubahan perundang undangan


Perubahan peraturan perundang-undangan adalah proses yang
dilakukan dengan menyisipkan atau menambah materi ke dalam peraturan
perundang-undangan, atau dengan menghapus/ mengganti sebagian materi
peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Perubahan
peraturan perundang-undangan dapat dilakukan terhadap seluruh atau

7
sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat, kata, frasa, istilah,
kalimat, angka, dan/atau tanda baca. Perubahan peraturan umumnya
dilakukan dengan menerbitkan peraturan yang tingkatnya sama dalam
hierarki dengan peraturan yang diubah.
Untuk membahas peraturan perundang-undangan lebih lanjut. berikut
akan dianalisis secara sederhana UU RI No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan UU
RI No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau yang dikenal
dengan UU Minerba. Bahan yang dianalisis adalah Pertambangan Mineral
dan Batu Bara dan Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum terkait
Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara yang Berkelanjutan yang
dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tahun 2020.
Pada Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi. "Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Pasal tersebut
memperlihatkan Indonesia menganut prinsip demokrasi ekonomi (dari, oleh,
dan untuk rakyat), yaitu bahwa negara menguasai SDA untuk digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dilarang adanya
penguasaan sumber daya alam di tangan orang seorang atau kelompok
tertentu. Dengan kata lain monopoli, oligopoli, maupun praktek kartel dalam
pengelolaan sumber daya alam tidak dibolehkan.
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1899 mengundangkan "Indische
Mijn Wet 1899", yaitu Undang-Undang Pertambangan yang diberlakukan di
Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, baru pada tahun 1960
pemerintah menerbitkan suatu kebijakan yang mengatur tentang
pertambangan, yaitu dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang menjadi UU RI No. 37 Tahun 1960 tentang
Pertambangan. UU ini merupakan produk regulasi nasional pertama di bidang
pertambangan. Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU RI No. 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Seiring

8
berjalannya waktu, UU tersebut dinilai tidak lagi sesuai sehingga perlu
produk peraturan perundang-undangan. yang baru di sektor pertambangan
mineral dan batubara Peraturan baru diperlukan agar pengelolaan potensi
mineral dan batu bara dapat dilakukan secara mandiri andal, transparan,
berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin
pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Untuk itu pemerintah kemudian menerbitkan UU RI No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau yang dikenal dengan UU
Minerba. Pada tanggal 12 Mei 2020, dalam sidang paripurna DPR menyetu
RUU Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (RUU Minerba) untuk disahkan menjadi Undang-Undang RUU
Minerba Perubahan pun diundangkan menjadi UU RI No. 3. Tahun 2020
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Terdapat sejumlah perubahan signifikan dalam UU Minerba Perubahan
in, antara lain jumlah bab menjadi dua puluh delapan dan jumlah pasal
menjadi 217 pasal. Perubahan ini dilakukan dengan menambah dua bat
menghapus sembilan pasal, menambah 51 pasal, dan mengubah 83 pasal.
Terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-
Undang Minerba Perubahan, yaitu sebagai berikut
1. Ketentuan mengenai konsep wilayah hukum pertambangan
2. Perubahan kewenangan pengelolaan mineral dan batubara
3. Kewajiban menyusun rencana pengelolaan mineral dan batubara bagi
usaha pertambangan
4. Penugasan kepada lembaga riset negara, BUMN, BUMD, atau
BadanUsaha untuk melakukan penyelidikan dan penelitian dalam
rangkamenyiapkan wilayah ijin usaha pertambangan (WIUP);
5. Pengaturan kembali perizinan dalam pengusahaan mineral dan batubara,
termasuk di dalamnya konsep perizinan baru terkait pengusahaan bantuan
untuk jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu, serta perizinan untuk
pertambangan rakyat, dan

9
6. Penguatan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup pada kegiatan
usaha pertambangan, termasuk pelaksanaan reklamasi pascatambang
Berdasarkan poin-poin perubahan tersebut, dapat dipahami bahwa
pembaruan peraturan perundang-undangan dilakukan guna mewujudkan
kehidupan bangsa Indonesia yang makmur, adil, dan damai.

E. Ketidak sesuaian peraturan perundang undangan


Bentuk ketidaksesuaian antarperaturan perundang-undangan dapat
berupa materi produk peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi
yang telah ditetapkan dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, misalnya UU yang bertentangan dengan UUD
NRI Tahun 1945, akan dilakukan judicial review atau pengujian oleh
Mahkamah Konstitusi, Keputusan berdasarkan hasil pengujian dapat berupa
pembatalan terhadap UU yang telah ditetapkan tersebut.
Untuk membahas ketidaksesuaian peraturan perundang-undangan, pada
bagian ini akan dianalisis UU RI No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian,
UU tersebut diundangkan pada tanggal 30 Oktober 2012 untuk menggantikan
UU RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dianggap sudah tidak
cocok dengan kebutuhan hukum dan perkembangan perkoperasian di
Indonesia
UU RI No. 17 Tahun 2012 (UU Perkoperasian) disusun untuk
mempertegas jati diri koperasi, asas dan tujuan, keanggotaan, perangkat
organisasi, modal, pengawasan, peranan gerakan koperasi dan pemerintah,
pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan penjamin Simpanan Anggota
Koperasi Simpan Pinjam, serta sanksi yang dapat turut mencapai tujuan
pembangunan koperasi. Implementasi undang- undang ini diharapkan
menjadikan koperasi Indonesia makin dipercaya kuat, sehat, mandiri, dan
tangguh serta bermanfaat bagi anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
Akan tetapi, materi UU Perkoperasian dianggap bertentangan dengan
Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan "Perekonomian

10
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pasal-pasal
yang dianggap bertentangan dan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK)
adalah Pasal 1 angka 1., Pasal 50 Ayat(1). Pasal 55 Ayat (1), Pasal 56 Ayat
(1), Pasal 66, Pasal 67. Pasal 68, Pasal 69. Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal
73, Pasal 74, Pasal 75 Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83.
Setelah melakukan pengujian, MK memutuskan untuk mengabulkan
gugatan pihak pemohon dan membatalkan seluruh materi muatan uu
Perkoperasian. Keputusan MK membatalkan UU tersebut didasarkan
pertimbangan, salah satunya bahwa UU tersebut secara masit mengandung
ciri-ciri kapitalisme yang bertentangan dengan jiwa koperasi sebagai usaha
gotong royong yang didasarkan pada semangat kekeluargaan. Ciri-ciri
kapitalisme yang diidentifikasi MK adalah sebaga berikut.
1. UU Perkoperasian menempatkan modal sebagai penentu Menurut MK,
UU ini menitikberatkan pada modal sebagai fondasi utama koperasi
dengan menggunakan istilah Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi
menggantikan simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela.
Dengan Setoran Pokok, anggota menyerahkan uangnya untuk menjadi
modal koperasi, Ini berbeda dengan konsep simpanan pokok yang
maknanya anggota menaruh uangnya di koperasi bukan semata- mata
sebagai modal koperasi, tetapi juga sebagai tabungan sehingga ketika
anggota bersangkutan keluar, simpanan tersebut bisa diambil lagi.
Simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela adalah salah
satu struktur pemodalan koperasi, Akan tetapi, bagi MK, UU
Perkoperasian justru mengubahnya dan mendorong anggota untuk
menumpuk Sertifikat Modal Koperasi, konsekuensinya, celah si kaya dan
si miskin akan makin lebar. Praktik koperasi ini identik dengan Perseroan
Terbatas. UU ini juga mewajibkan anggota membeli Sertifikat Modal
Koperasi dalam jumlah minimum yang ditetapkan dalam anggaran dasar.
Hal ini mengabaikan prinsip kesukarelaan dalam koperasi.
2. UU Perkoperasian berorientasi pada keuntungan (profit oriented) Menurut
MK, Pasal 78 Ayat (2) UU Perkoperasian melarang koperasi membagikan
kepada anggota Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan

11
non-anggota. Ketentuan ini menurut MK mengindikasikan bahwa UU
Perkoperasian berorientasi pada keuntungan pribadi. Anggota koperasi
tidak bisa menikmati hasil usaha dari koperasi yang mereka bangun
sehingga keuntungan atas adanya koperasi hanya dinikmati oleh non-
anggota koperasi. Untuk mewujudkan keuntungan tersebut, menurut MK,
UU Perkoperasian mengabaikan kedudukand dan fungsi Rapat Anggota
sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi
dalam koperasi. Wewenang Rapat Anggota justru diserahkan kepada
pengawas untuk mengusulkan calon pengurus, menetapkan penerimaan,
penolakan, atau pemberhentian anggota, serta mengusulkan gaji dan
tunjangan pengurus. Hal ini bagi MK sangat bertentangan dengan Pasal 33
Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
3. UU Perkoperasian berbasis kepentingan orang seorang Pasal 1 Angka 1
UU Perkoperasian mengatur bahwa koperasi adalah badan hukum yang
didirikan oleh orang perorangan. Bagi MK, ketentuan tersebut secara
gamblang menjadikan kepentingan orang perseorangan sebagai salah satu
unsur pembentuk koperasi. Ini bertentangan dengan jati diri koperasi
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan didirikan di atas
dasar paham kolektif/kolektivisme. Jati diri koperasi bukan didirikan oleh
seseorang, tetapi oleh sekelompok orang.
4. UU Perkoperasian menjadikan orang lain sebagai kompetitor Pasal 55
Ayat (1), UU Perkoperasian menentukan bahwa pengurus dipilih dari
orang perseorangan, baik anggota maupun non-anggota. Menurut MK,
ketentuan ini dengan sendirinya menjadikan orang lain, khususnya non-
anggota sebagai kompetitor dari anggota untuk menjadi pengurus koperasi.
Bagi MK, dalam koperasi, orang lain adalah saudara seperjuangan, bukan
sebagai kompetitor. Penempatan orang lain (non-anggota) sebagai
kompetitor, menurut MK, diwujudkan dengan menjadikan pengawas
sebagai organ superior yang melebihi Rapat Anggota. Akibatnya, tidak ada
checks and balances system sehingga terjadi persaingan kekuasaan
antarorgan koperasi.

12
Oleh karena keputusan membatalkan UU Perkoperasian dan untuk
menghindari kekosongan hukum, MK menyatakan berlaku kembali UU RI
No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. UU tersebut berlaku untuk
sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru.
Pembentukan peraturan harus dilandasi asas keterbukaan. Asas tersebut
perlu sejak dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan
pengundangan. Dengan demikian, proses pembentukan peraturan harus
transparan dan terbuka agar ruang publik, seperti masyarakat, dapat
mengawasi dan terlibat. Keterlibatan masyarakat sangat penting untuk
mengawal proses perumusan sehingga peraturan yan dihasilkan dapat sesuai
dengan kepentingan.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimmpulan
Berdasarkan paparan diatas,maka dapat disimpulkan bahwa
pembentukan peraturan perundan undangan sebagian dibentuk oleh PERDA
.Peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan dalam pasal 1 ayat 8 undang
undang no 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang undangan yang
berbunyi: “peraturan daerah kabupaten/kota adalah peraturan perundang
undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota dengan persetujuan bersama bupati/wali kota”.
Pembentukan peraturan undang-undangan hanya dapat terwujud apabila
didukung oleh metode yang baik, mengikat semua lembaga yang berwenang
dalam membuat peraturan perundang-undangan. Konsep pembentukan
perundang-undangan harus sejalan dengan ideologi negara yaitu Pancasila.
Selain itu pembentukan undang-undang juga harus mengutamakan hak asasi
manusia.

B. Saran
Agar sistem hukum nasional benar benar terarah untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakatdan pembangun yang berkelanjutan maka perlu
adanya kesatuan sistem hukum yang memadai dalam masing masing sistem
dan adanya pengawasan indenpenden yang berkualitas dan berinteritas dalam
menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri demi keadilan
dan kesejahteraan indonesia.penegakan hukum diindonesia harusnya lebih
jujur dan adil pada setiap warganegara tanpa memandang pelanggar hukum
tersebut.dan diperlukan lebih banyak sosialisasi mengenai aturan aturan yang
berlaku dan sansi yang jelas agar masyarakat mengerti dan menbangun
kesadaran diri untuk menaati dan melaksanakan hukum yang berlaku.

14

Anda mungkin juga menyukai