Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG & PERATURAN DAERAH

DISUSUN OLEH :

ANISA

1701414345

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah Puji dan Syukur Saya panjatkan Kehadirat allah swt , yang masih
memberikan nikmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
kami yang berjudul ”Proses pembentukan undang-undang & peraturan daerah” dalam
makalah saya ini saya menyelesaikanya dengan semampu saya sesuai dengan beberapa
literasi yang saya dapat.

Sekian makalah yang saya buat semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca .
Apabila ada kesalahan kata dalam makalah saya mohon dimaklumi sekian makalah
yang saya buat dan saya ucapkan banyak terimakasih.

Palopo, 15 November 2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................i

DAFTAR ISI ............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah .......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Rancangan Undang-undang .................................................................... 3

2.2 Tahapan/Proses Pembentukan Undang-undang ..................................... 8

2.3 Peraturan Daerah ................................................................................... 12

1. Fungsi peraturan daerah........................................................................... 13

2. Prosedur penyusunan peraturan daerah ................................................... 14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 16

3.2 Saran ...................................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Suatu negara, dalam praktiknya, antara politik dan hukum memang


tidak bisa dipisahkan. Hal tersebut dilakukan guna melaksanakan konsep
tujuan pemerintahannya, khususnya yang berhubungan dengan pembangunan
dan kebijakan-kebijakan politik serta aturan perundang-undangannya.
Indonesia sendiri adalah negara hukum, yang pada dasarnya segala aktivitas
masyarakat bersinggungan dengan norma dan perbuatan hukum, maka dari itu,
perlu adanya aturan yang tertulis maupun tidak tertulis untuk mengatur segala
aktivitas agar tercipta kesejahteraan. Dalam tujuan pemerintahan yang
berhubungan dengan pembangunan perundang-undangan, untuk menciptakan
peraturan agar tercipta tertib sosial, maka para pembuat produk hukum
hendaknya mengutamakan kepentingan bersama yang berdasarkan pada norma
dan nilai kebaikan.

Terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan juga merupakan


sebuah proses sebagai dinamika kehidupan demokrasi di lembaga legislatif,
dengan prosedur dan alur sistematika yang telah disepakati bersama. Proses
pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut juga harus memperhatikan
materi muatan yang berdasar pada ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 (UUD 1945).

Dalam proses penyusunan UU Pilkada di DPR, terdapat pola


komunikasi politik yang dapat mempengaruhi terbentuknya norma pada UU
Pilkada, yang tercermin dari aspirasi anggota fraksi secara demokratis dalam
sidang parlemen pada saat proses penyusunan undang-undang tersebut. Pada
proses pembuatan UU Pilkada tersebut, banyak terjadi perdebatan dan
penolakan. Hal tersebut dikarenakan, Susilo Bambang Yudhoyono
menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang mengacu pada pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh
DPRD.2 Kemungkinan penolakan muncul, karena selama ini pemilihan kepala
daerah dipilih secara langsung oleh rakyat secara demokratis.

1
Perkembangan peratuaran perundangan sangat flexible mengikuti
perkembangan zaman sesuai dengan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-
undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup
materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja Undang-
Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya,
selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Proses dan Tahap pembentukan Rancangan Undang-Undang?

2. Apa yang dimaksud dengan peraturan daerah Provinsi?


3. Apa fungsi dari peraturan daerah provinsi?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui proses dan tahap pembentukan undang-undang serta
peraturan daerah yang terkait didalamnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Rancangan Undang-Undang (RUU)

1. Pengertian

Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula dari


perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut
dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif
(Presiden beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR).

Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas


program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum
nasional yang integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun peraturan di
bawah UU. Penyusunan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:

a. Perintah UUD NKRI Tahun 1945;

b. Perintah Ketetapan MPR;

c. Perintah UU lainya;

d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;

e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional;

f. Rencana pembangunan jangka menegah;

g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;

h. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitanya
dengan peraturan perundang-undangan lainya. Materi yang diatur dan keterkaitanya
dengan peraturan perundang-undang lainya merupakan keterangan mengenai konsep
RUU yang meliputi:

a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;

3
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;

c. Jangkawan dan arah peraturan.

2. Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang

Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah


non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU.
Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam
keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih
dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden. Pengajuan permohonan
ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang
meliputi (i) urgensi dan tujuan penyusunan, (ii) sasaran yang ingin diwujudkan,
(iii) pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv) jangkauan serta arah
pengaturan.
Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang
memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu :
a. menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-
Undang
b. meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional
c. melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
d. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam
e. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang
mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.

Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka
penyusunannya tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Pemrakarsa
dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai
materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa
bersama-sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan
tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah

4
akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggiatau pihak ketiga lainnya yang
mempunyai keahlian.

a. Penyusunan RUU Berdasarkan Prolegnas

Ketentuan tentang penyusunan RUU yang dilakukan pemrakarsa berdasarkan


prolegnas diatur dalam pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005. Ditetapkan
bahwa Penyusunan RUU yang berdasarkan Prolegnas tidak memerlukan izin
pemrakarsa dari presiden. Namun, secara berkala, pemrakarsa melaporkan persiapan
dari penyusunan RUU tersebut kepada presiden

Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen oleh


pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur departemen dan lembaga
pemerintah non departemen yang terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan
dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris
panitia antar departemen dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang
emnyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa..

Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar departemen


untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Dalam
pembahasan RUU di tingkat panitia antar departemen, pemrakarsa dapat pula
mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial
politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam
penyusunan RUU.

Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan perkembangan


penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan
atau arahan. Ketua panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir RUU
kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka
penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat.

Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan


tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan
lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan. Pertimbangan

5
dan paraf persetujuan dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan
teknik perancangan perundang-undangan. Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak RUU diterima.

Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah


diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham menyelesaikan perbedaan
tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut
tidak berhasil maka Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada
presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan
oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menhukham.

Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi
maupun segi teknik perancangan perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan
RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila
presiden berpendapat RUU masih mengandung permasalahan maka presiden
menugaskan kepada Menhukham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali
penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterima penugasan maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada
presiden.

b. Penyusunan RUU diluar Prolegnas

Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama dengan


penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam menyusun RUU diluar
prolegnas ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan
penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini
dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui
metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.

Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan


konsepsi RUU Menhukham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan
pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang
peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya.
Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi.

6
Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa
melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat
atau pandangan yang muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk
mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan izin prakarsa
penyusunan RUU.

c. Penyampaian RUU Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan


kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Menteri Sekretaris Negara menyiapkan
surat Presiden kepada Pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan
Keterangan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-Undang dimaksud. Surat
Presiden sebagaimana dimaksud Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 yang terdapat
pada Pasal 26 ayat (2) paling sedikit memuat :

1. Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan Rancangan


Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat
2. Sifat penyelesaiaan Rancangan Undang-Undang yang dikehendaki
3. Cara penanganan atau pembahasannya beserta dengan keterangan pengusul atau
naskah akademis.

Dalam rapat paripurna Keterangan Pemerintah disiapkan oleh Pemrakarsa, yang


paling sedikit memuat :

1. Urgensi dan tujuan penyusunan

2. Sasaran yang ingin diwujudkan

3. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur

4. Jangkauan serta arah pengaturan

Surat Presiden ditembuskan kepada Wakil Presiden, para menteri koordinator,


menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden/Pemrakarsa, dan Menteri. Dalam
rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat,
Pemrakarsa memperbanyak Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang
diperlukan.

7
d. RUU Yang Disusun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

RUU yang berasal dari usul inisiatif DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu,
yaitu

1. Badan Legislasi
2. Komisi
3. Gabungan komisi
4. Tujuh belas orang anggota.

Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun
anggota diserahkan kepada pimpinan DPR selanjutnya, pimpinan sidang akan
mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU
tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah
RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan
diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk
memberikan pendapat.

2.2 Tahapan Pembentukan Undang-Undang

a. Tahap Perencanaan

Dari perspektif perencanaan, pembentukan undang-undang dimulai dari


penyusunan Program Legislasi Nasional. Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
merupakan salah satu instrument penting dalam kerangka pembangunan hukum,
khususnya dalam konteks pembentukan materi hukum.

1. Proses Penyusunan

Prolegnas Dalam proses penyusunan Prolegnas, penentuan arah kebijakan dan


penyusunan daftar judul dilakukan pemerintah mapun di DPR RI secara terpisah.
Masing-masing, baik pemerintah maupun DPR, menggalang masukan dari berbagai
pihak. Pemerintah meminta dan menerima masukan dari setiap kementerian dan non-
kementerian yang ada di lingkungan pemerintahan. Sedangkan DPR menggalang
masukan dari anggota DPR, fraksi, komisi, DPD dan masyarakat.

8
2. Keputusan Prolegnas

Daftar judul RUU yang ada dalam Prolegnas yang merupakan hasil dari
pembahasan bersama antara Pemerintah dan DPR kemudian ditetapkan di Rapat
Paripurna DPR untuk kemudian dimuat dalam keputusan DPR RI.

3. Pengajuan RUU diluar Prolegnas

Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa RUU (baik itu Pemerintah atau DPR) dapat
mengajukan RUU dari luar daftar Prolegnas. Rancangan undang-undang (yang
diajukan di luar Prolegnas) terlebih dahulu disepakati oleh Badan Legislasi dan
selanjutnya Badan Legislasi melakukan koordinasi dengan menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan
persetujuan bersama, dan hasilnya dilaporkan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan.

b.Tahap Penyusunan

Didalam tahap penyusunan UU, proses penyusunanya dilakukan mulai dari


perencanaan rancangan UU berdasarkan daftar prioritas Prolegnas. Selanjutnya
penyiapan RUU yang diajukan oleh Presiden atau DPR. Dalam pengajuan RUU, baik
yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertai Naskah Akademik. UU PPP
menjadikan Naskah Akademik sebagai persyaratan dalam pengajuan sebuah RUU,
kecuali terhadap RUU, mengenai:

1. APBN
2. Penetapan Perpu
3. Pencabutan UU atau pecabutan Perpu; yang cukup disertai dengan keterangan
yang memuat pokok pikiran dan meteri muatan yang diatur.

Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik adalah sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP bahwa penyusunan Naskah Akademik yang
tercantum dalam Lampiran 1 UU PPP, sehingga didapatkan formula Naskah Akademik
yang sama, baik dari sisi sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam substansi
yang akan diatur.

Untuk memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai prosedur dan
teknik penyusunan perundang-undangan, maka diatur ketentuan bahwa setiap RUU

9
yang diajukan kepada DPR oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD
harus dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh
Badan Legislasi DPR RI. Demikian halnya terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden
yang penyiapanya dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintahan
nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas tanggung jawabnya, dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Menteri Hukum
dan HAM.

c. Tahap Pembahasan

Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PPP menjelaskan bahwa pembahasan RUU


dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Hal ini sesuai bunyi
Pasal 20 ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945, yakni “Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Adapun
pelibatan atau keikutsertaan DPD dalam pembahsan RUU hanya dilakukan apabila
RUU yang dibahas berkaitan dengan:

1. Otonomi daerah
2. Hubungan pusat dan daerah
3. Pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah
4. Perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada pembicara tingkat I
(Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD diwakili oleh alat kelengkapan yang
membidangi materi muatan RUU tersebut.

d. Tahap Pengesahan

Sesuai ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Peresiden untuk disahkan
menjadi UU. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penentuan tenggang waktu 7
(tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan
teknis penulisan RUU kelembaran resmi Presdiden sampai dengan penandatangan

10
pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus pengundangan ke
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) oleh Mentri Hukum dan HAM.

e. Tahap Pengundangan

Pengundangan peraturan perundang-undangan didalam UU PPP tetap


dilakuakan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita
Daerah. Penempatan peraturan perundang-undangan didalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia hanya berupa batang tubuh
peraturan perundang-undangan an sich. Sementara penjelasan peraturan perundang-
undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan
perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dimuat
dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Untuk melaksanakan
pengundangan peraturan perundangan-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.

f. Tahap Penyebarluasan

Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan untuk


memberikan informasi dan/atau memproleh masukan masyarakat serta para pemangku
kepentingan mengenai Prolegnas dan RUU yang sedang disusun, dibahas, dan yang
telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan
terhadap Prolegnas dan RUU tersebut atau memahami UU yang telah diundangkan.
Kegiatan penyebarluasan tersebut dilakukan melalui media elektroknik dan/atau media
cetak.

Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan, bukan hanya


kewenagan pemerintah semata, melainkan penyebarluasan dilakukan secara bersama
oleh DPR dan pemerintah. Didalam UU ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas
dilakukan bersama oleh DPR dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi
DPR. Penyebarluasan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh

11
komisi/panitia/badan/Badan Legislasi DPR. Sementara penyebarluasan RUU yang
berasal dari presiden dilaksankan oleh instansi pemrakarsa.

Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa


penyebarluasan UU yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI) dilakukan secarara bersama-sama oleh DPR dan pemerintah. Dalam
hal UU yang berkaitan disahkan berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolahan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainya serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah, maka penyebarluasan UU tersebut dapat dilakukan juga
oleh DPD.

2.3 Peraturan Daerah

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk


oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah
(gubernur atau bupati/walikota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan, dan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pengertian Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur.

Perda Provinsi merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan


berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). Pengertian Perda Provinsi adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur (Pasal 1 angka 7 UU 12/2011). Materi
muatan Perda Provinsi berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi

12
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 14 UU
12/2011).

Peraturan daerah provinsi adalah peraturan yang dibentuk oleh gubernur/kepala


daerah provinsi bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) provinsi, dalam melaksanakan otonomi daerah yang diberikan kepada
pemerintah daerah provinsi. Menurut undang-undang no.12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dimaksud degan peraturan daearah
adalah peraturan perundangan-undangan yang dibentul oleh dewan perwakilan rakyat
daerah dengan persetujuan kepala daerah.

1. Fungsi Peraturan Daerah

Fungsi Peraturan Daerah (Provinsi) adalah untuk menyelenggarakan otonomi


daerah di tingkat propinsi dan tugas pembantuan (medebewind) serta dekonsentrasi
dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7, Pasal 9, dan
Pasal 13(tugas pembantuan) dari UU No. 22/1999 yang kemudian dijabarkan lebih
lanjut dalam PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propini
Sebagai Daerah Otonom (vide Pasal 3 PP No. 25/2000). Disamping itu fungsi Peraturan
Daerah Propinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari
DPRD Propinsi dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD,
dan pengelolaan keuangan daerah Propinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23
ayat (1) UU No. 25/1999tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.

Fungsi Peraturan Daerah diatur dalam BAB IV khususnya pada pasal 69 dan
pasal 70. UU no. 22 Tahun 1999. Fungsi Keputusan Kepala Daerah Adalah
menyelenggarakan pengaturan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah yang
bersangkutan dan tugas-tugas pemerintahan.

13
2. Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah
1. Perumusan
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala
daerah (gubernur, bupati, atau walikota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah
disampaikan kepada DPRD. Draf Raperda pada dasarnya adalah kerangka awal yang
dipersiapkan untuk mengatasi masalah sosial yang hendak diselesaikan.

Apapun jenis peraturan daerah yang akan dibentuk, maka rancangan perda
tersebut harus secara jelas mendiskripsikan tentang penataan wewenang (regulation of
authority) bagi lembaga pelaksana (law implementing agency) dan penataan perilaku
(rule of conduct /rule of behavior) bagi masyarakat yang harus mematuhinya (rule
occupant). Secara sederhana harus dapat dijelaskan : siapa lembaga pelaksana aturan,
kewenangan apa yang diberikan padanya, perlu tidaknya dipisahkan antara organ
pelaksana peraturan dengan organ yang menetapkan sanksi atas ketidak patuhan,
persyaratan apa yang mengikat lembaga pelaksana, apa sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada aparat pelaksana jika menyalahgunakan wewenang

2. Pembahasan

Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau


bupati/walikota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan,
dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi,
dan dalam rapat paripurna. Terdapat dua tahap penting pembahasan draf raperda, yaitu
pada lingkup tim teknis eksekutif dan pembahasan bersama dengan DPRD.

Pembahasan pada tim teknis, adalah pembahasan yang lebih merepresentasi pada
kepentingan eksekutif. Oleh UU tentang perundang-undangan, diwajibkan bagi
pemerintah untuk memberi kesempatan kepada semua masyarakat berpartisipasi aktif
baik secara lisan maupun tulisan (Pasal 53). Pembahasan pada lingkup DPRD sangat
sarat dengan kepentingan politis masing-masing fraksi.

3. Pengesahan

Perjalanan akhir dari perancangan sebuah draf perda adalah tahap pengesahan
yang dilakukan dalam bentuk penandatangan naskah oleh pihak pemerintah daerah

14
dengan DPRD. Dalam konsep hukum, perda tersebut telah mempunyai kekuatan hukum
materiil (materiele rechtskrach) terhadap pihak yang menyetujuinya.

Sejak ditandatangani, maka rumusan hukum yang ada dalam raperda tersebut
sudah tidak dapat diganti secara sepihak. Pengundangan dalam Lembaran Daerah
adalah tahapan yang harus dilalui agar raperda mempunyai kekuatan hukum mengikat
kepada publik. Dalam konsep hukum, maka draf raperda sudah menjadi perda yang
berkekuatan hukum formal (formele-rechtskrach). Secara teoritik, “semua orang
dianggap tahu adanya perda” mulai diberlakukan dan seluruh isi/muatan perda dapat
diterapkan.

Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar tahapan


penyebarluasan (sosialisasi) perda harus dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi
komunikasi hukum antara perda dengan masyarakat yang harus patuh. Pola ini
diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam perda sehingga
ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.

Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7
hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda
tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota.

Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak
ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi
Perda dan wajib diundangkan.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang ( RUU ), terdapat banyak


prosedur dan cara dalam membuatnya, Ada Proses penyiapan RUU dari pemerintah,
yang mana berdasarkan prolegnas yaitu tidak memerlukan izin pemrakarsa dari
presiden. Namun, secara berkala, pemrakarsa melaporkan persiapan dari penyusunan
RUU tersebut kepada presiden. Dan juga di luar dari prolegnas yaitu sama dengan
Prolegnas tetapi ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan
penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini
dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui
metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.

Begitu juga pada peraturan daerah Peraturan daerah provinsi adalah peraturan
yang dibentuk oleh gubernur/kepala daerah provinsi bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dalam melaksanakan otonomi daerah yang
diberikan kepada pemerintah daerah provinsi.

3.2 Saran

Sebagai generasi penerus bangsa kita harus tahu dan memahami akan
pentingnya konstitusi bagi negara,serta berusaha untuk mempelajari semua hal yang
berkaitan dengan konstitusi ini untuk dapat kita jadikan pedoman dalam mengatasi
setiap masalah dalam kapasitas kita sebagai warga negara.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aziz Syamsyudin. Proses dan Teknik Penyusunan Undang - Undang, Jakarta Timur;
Sinar Grafik (2014)

Erni Setyowati dan M. Nur Sholikin, Bagaimana Undang-Undang Dibuat, sebuah


artikel, diunduh dari http://pengacaraku.com/site/legal-articles/75-bagaimana-
undang-undang-dibuat-.html di Akses pada pukul 19.55 Tanggal 26 Maret 2017

Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan 2. Yogyakarta: Kanisius

Penjelasan Pasal 5 yang dikutip dari http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/asas-


asas-pembentukan-peraturan.html di Akses pada Pukul 20.00 Tanggal 26 Maret
2017

Republik Indonesia.2011. Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan


peraturan perundang-undangan.Lembaran Negara RI Tahun 2011, No.82.
Tambahan Lembaran Negara RI No.5234. Sekretariat Negara. Jakarta.

Yani, Ahmad, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Responsif,

Jakarta: Konstitusi Press (2013).

Galery Ilmu, 2016. Pengertian Peraturan Daerah Provinsi.

https://a-i-n-a.blogspot.com/2016/04/pengertian-peraturan-daerah-provinsi.
html (Diakses 07 Desember 2017, jam 07.45)

Indrati S. Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan2 Proses dan Teknik


Pembentukannya. Penerbit : Kansius Yogyakarta, 2007.

Kinel Blog, 2016.Beda Peraturan Daerah (PERDA) dan Peraturan Gubernur (PERGUB)
https://kinelblog.wordpress.com/2016/04/05/beda-peraturan-daerah-perda-dan-
peraturan-gubernur-pergub/(Diakses 07 Desember 2017, jam 08.00)

Yuliandri, S.H.,M.H, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang


Baik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011

17

Anda mungkin juga menyukai