DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 12
PUJI ASTUTI (1910104029)
OVVY EKA WIDIANA PUTRI (1910104027)
KATA PENGANTAR
i
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah
Legal Drafting ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
yang dberikan oleh M.Tamudin,S.Ag.,M.H pada mata kuliah Legal Drafting.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Tahapan
Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, baik bagi penulis ataupun
pembaca.
Kami sebagai penulis mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari seluruh pihak senantiasa kami
harapkan demi kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini dapat
membawa pemahaman dan pengetahuan bagi kita semua tentang “Tahapan
Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan” ini.
Penulis
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. PENGERTIAN PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN............3
B. TAHAP PERSIAPAN DAN PERENCANAAN..........................................5
C. TAHAP PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RUU..............................7
D. TAHAP PEMBAHASAN DAN PEMBICARAAN DI DPR.......................9
BAB III..................................................................................................................16
PENUTUP..............................................................................................................16
A KESIMPULAN...........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang ditemukan dalam penulisan makalah ini yakni ;
1) Apa yang dimaksud tahapan pembentukan di dalam perundang-undangan?
2) Bagaimana tahap persiapan dan perencanan pembentukan peraturan
perundangan?
3) Sebutkan tahapan pembahasan dan pengesahan RUU?
4) Ada berapa tahapan pembahasan dan pembicaraan di DPR dalam
pembentukan peraturan perundangan?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yakmi :
1. Untuk mengetahui pengertian tahapan pembentukan di dalam perundang-
undangan
2. Untuk mengetahui tahap persiapan dan perencanan pembentukan peraturan
perundangan
3. Untuk mengetahui tahapan pembahasan dan pengesahan RUU
4. Untuk mengetahui tahapan pembahasan dan pembicaraan di DPR dalam
pembentukan peraturan perundangan
BAB II
2
PEMBAHASAN
Maka dari itu pemerintah dan lembaga legislatif serta seluruh pemangku
kepentingan sudah seharusnya memikirkan jalan keluar dari persoalan proses
pembentukan undang-undang tersebut. Adapun beberapa solusi yang dapat
3
dilakukan yaitu memberikan kewenangan kepada lembaga yang telah ada
seperti Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI untuk
melakukan analisa dan evaluasi terhadap undang-undang secara berkala untuk
memberikan rekomendasi undang-undang yang sudah seharusnya diubah atau
diganti kepada instansi terkait yang berhak mengajukan usulan RUU ataupun
memperluas kewenangan kepada MA-RI untuk melakukan peninjauan
undang-undang (law review) terhadap dinamika hukum atau perkembangan
dalam masyarakat serta menempuh jalur pembentukan Perppu bagi undang-
undang yang tidak kunjung selesai.1
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah suatu kegiatan
pembuatan beberapa peraturan-peraturan yang mencangkup Perundang-
undangan mengenai beberapa hal seperti tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Peraturan
Perundang-Undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan. Adapun seperti Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang merupakan peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota. Pada tanggal 24 Mei 2004 Dewan
perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undan-undang tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan yang kemudian disahkan sebagai
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 58 Undang-undang No
10 Th 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka sejak
tanggal 1 November 2004 segala sesuatu tentang pembentukan peraturan
perundangan terikat oleh undang-undang tersebut.
1
Lihat Naskah Akademik Rancangan Undang –Undang tentang Perubahan Atas Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_revisi_uu_no._12_tahun___2011.pdf, 23
November 2017.
4
B. TAHAP PERSIAPAN DAN PERENCANAAN.
5
5 (lima) tahun. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir
tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas
tahunan. Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai
pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum
penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah
dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota
DPR, DPD, dan/atau masyarakat. Adapun untuk penyusunan Prolegnas di
lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Hasil
penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah disepakati menjadi
Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR yang selanjutnya
ditetapkan dengan Keputusan DPR.
Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
pengesahan perjanjian internasional tertentu; akibat putusan Mahkamah
Konstitusi; Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota;
dan penetapan/ pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang. Selain itu, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat
mengajukan Rancangan Undang- Undang di luar Prolegnas mencakup:
untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional
atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh
alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.3
3
Redi Ahmad, Hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2017,hlm 25
6
C. TAHAP PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RUU.
7
1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi Undang-Undang.
2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden.
4) Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah
menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
5) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang Rancangan Undang-
Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tidak
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui
bersama, kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini
dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6) Kalimat pengesahan yang berbunyi harus dibubuhkan pada halaman
terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
7) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan
Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan
Undang-Undang tersebut.
8) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan
dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-
8
Undang dikecualikan dari keharusan pencantuman batas waktu penetapan
Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-
Undang tersebut.5
5
Redi Ahmad, Hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, Jakarta: Sinar Grafika,
2017,hlm 25
9
undang-undang yang lama tentunya mempunyai dasar atau pertimbangan,
salah satunya adalah dinamika hukum atau perkembangan yang terjadi di
dalam masyarakat.
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal satu
nama jenis undang-undang, yaitu keputusan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dengan persetujuan bersama Presiden, dan
disahkan oleh Presiden. Selain itu, tidak ada Undang- Undang yang dibentuk
oleh lembaga lainnya baik di pusat maupun di daerah, sehingga di Indonesia
tidak ada istilah Undang-Undang Pusat ataupun Undang-Undang Lokal. 6 Pasal
20 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, “Setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama”. Bukan tanpa sebab mengapa pembentukan undang-
undang harus mendapatkan persetujuan DPR. Tidak lain karena DPR yang
merupakan lembaga legislatif yang merupakan representasi dari rakyat
Indonesia yang memiliki fungsi legislasi diamanatkan oleh Pasal 20 ayat (1)
UUD NRI 1945 yaitu, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang undang.” Sehingga setiap pembentukan Undang-Undang
harus melalui DPR sebagai lembaga legislatif yang diberi kewenangan dalam
membentuk undang-undang.
Pembentukan suatu undang-undang atau pembentukan peraturan
perundang-undangan bukanlah kegiatan yang monodisipliner ilmu hukum
semata-mata. Beberapa cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu politik dan
sosiologi, memberikan sahamnya. Isi sebuah peraturan negara misalnya, jelas
merupakan porsi ilmu politik dan sosiologi; bentuk sebuah peraturan
merupakan sumbangan ilmu dogmatika hukum, metodologinya datang dari
sosiologi hukum dan ilmu ilmu perencanaan, dan prosesnya ditunjang oleh
hukum tatanegara dogmatik. Menurut Burkhardt Krems, ilmu pengetahuan
bidang perundang-undangan atau ilmu perundang-undangan dalam arti luas
(Gesetzgebungswessenschaft) merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner
dari ilmu hukum, ilmu politik, dan sosiologi. Hubungannya dengan ketiga
6
CST.Kansil dkk, Kemahiran Membuat Perundang-undangan (Sebelum dan Sesudah tahun 1998),
PT. Perca, Jakarta, 2003, hlm.37
10
ilmu tersebut, ia lebih luas bila dilihat dari segi permasalahan, paradigma dan
metode serta lebih sempit bila dilihat dari segi obyek penelitian.
DPR-RI merupakan lembaga legislatif yang tidak lain merupakan
lembaga politik yang terdiri dari berbagai perwakilan partai politik yang
diyakini sebagai wadah aspirasi kelompok masyarakat. Undang-undang yang
dibentuk melalui lembaga politik ini tidak dapat dipungkiri merupakan hasil
dari produk politik. Pembentukan undang-undang juga sangat dipengaruhi oleh
politik hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Sebagai legal policy,
arti politik hukum adalah arah atau keinginan yang dimaksud oleh pembuat
UUD/UU ketika isi UUD/UU itu dibuat melalui perdebatan di lembaga yang
membuatnya untuk kemudian dirumuskan dalam kalimat-kalimat hukum.
Tahap perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden (serta DPD
terkait RUU tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun ke depan.
Proses ini umumnya dikenal dengan istilah penyusunan Program Legislasi
Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan tersebut kemudian dituangkan dalam
Keputusan DPR. Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun untuk jangka
waktu 5 tahun (Prolegnas Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan (Prolegnas
Prioritas Tahunan/ProlegPT). Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam
Prolegnas tahunan, DPR dan/Pemerintah sudah harus menyusun terlebih
dahulu Naskah Akademik dan RUU tersebut.11 Hal tersebut merupakan bagian
dari gambaran tahap perencanaan pembentukan undang-undang. Tahapan
tersebut belum melingkupi tahapan pembahasan secara menyeluruh hingga
tahapan pengudangan. Hal tersebut memberikan gambaran betapa panjangnya
proses pembentukan suatu undang-undang.
Rancangan undang-undang (RUU) yang telah disusun dalam Prolegnas
Jangka Menengah dan Prolegnas Prioritas tahunan diurutkan prioritas
pembahasannya. Pimpinan DPR akan memberitahukan adanya RUU dan
membagikan RUU kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna. DPR
dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa
persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan. Selanjutnya RUU
ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat I
dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi,
11
rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Kegiatan dalam pembicaraan
tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahasan daftar
inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi. Pembicaraan
tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna berisi: a.
penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini
DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau
penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh
pimpinan rapat paripurna; dan c.pendapat akhir Presiden yang disampaikan
oleh menteri yang mewakilinya. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Rangkaian
proses pembahasan rancangan undang-undang ini merupakan suatu rangkaian
panjang dalam waktu yang lama tanpa adanya kepastian waktu pengesahan.
Hal ini tidak jarang mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan kepastian
hukum menjadi terbengkalai.
Melalui perdebatan politik dalam pembicaraan atau pembahasan suatu
rancangan undang-undang inilah suatu undang-undang dihasilkan. Perdebatan
yang menyangkut kepentingan terhadap suatu ketentuan yang akan diatur akan
tetapi terkadang tidak mudah untuk mendapat suatu kesepakatan diantara
pembahas undang-undang. Ketidaksatuan atau perbedaan pendapat inilah turut
mempengaruhi cepat atau lambatnya pembentukan suatu undang-undang.
Bagaimanapun juga untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik peran
politik hukum tentu sangat diperlukan. Politik hukum menurut Soedarto yaitu,
usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu. Sedangkan Satjipto Rahardjo mendefinisikan
politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk
mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Pada dasarnya
politik hukum dibutuhkan untuk mengetahui penting atau tidaknya suatu
hukum (aturan) untuk diberlakukan.7
1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama
Presiden atau menteri yang ditugasi.
7
Moh. Mahfud MD, 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm.123
12
2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.
4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan
Rancangan Undang-Undang yang dibahas.
5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-
Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
6) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan yang terdiri atas: pembicaraan tingkat I dalam rapat
komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan
Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan pembicaraan tingkat II dalam
rapat paripurna.
7) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
pengantar musyawarah; pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
penyampaian pendapat mini.
8) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat
paripurna dengan kegiatan: penyampaian laporan yang berisi proses,
pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat
I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan
anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang
ditugasi.
9) Dalam hal persetujuan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi
dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna tidak
dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan
dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
13
10) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
11) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPR dan Presiden.
12) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik
kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
13) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme
yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
14) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme
khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan
Undang- Undang.
15) Ketentuan mengenai mekanisme khusus yang dikecualikan dari
mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang dilaksanakan
dengan tata cara sebagai berikut.
a) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau
Presiden
b) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna
DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden.
c) Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-
Undang tentang Pencabutan dilaksanakan dalam Rapat Paripurna
DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak
memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut.8
8
Redi Ahmad, Hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2017,hlm 25
14
BAB III
PENUTUP
A KESIMPULAN
a) Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu rangkaian
proses yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah suatu kegiatan pembuatan beberapa
peraturan-peraturan yang mencangkup Perundang-undangan mengenai
beberapa hal seperti tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Peraturan Perundang-
Undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-Undangan.
b) Tahap persiapan dan perencanaan Pembentukan peraturan perundang-
undangan. Proses pembentukan undang-undang menurut Pasal 15 ayat (1),
dan Pasal 16 Undang-Undang No. 10 th. 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dilaksanakan sesuai dengan Program
Legislasi Nasional, yang merupakan perencanaan penyusunan Undang-
Undang yang disusun secara terpadu antara Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah Republik Indonesia
c) Tahap pembahasan dan pengesahan RUU itu ada 2 yatu : (1) Pengesahan
secara material yaitu Apabila suatu RUU telah ditetapkan menjadi UU,
maka dengan demikian telah terjadi pengesahan secara material oleh
lembaga legislatif. Terhadap RUU yang telah ditetapkan menjadi UU tidak
dapat lagi dilakukan perubahan baik yang menyangkut persoalan secara
teknis maupun substansi. dan (2) Pengesahan secara formal yatu Suatu
15
RUU yang telah disahkan secara material oleh lembaga legislatif belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memang, pembahasan RUU telah
dinyatakan selesai dan ditetapkan menjadi UU. Akan tetapi untuk
keperluan yuridis, UU tersebut harus ditandangani oleh yang berwenang.
Pada pembahasan diatas pengesahan secara formal ini memiliki 8 tahapan.
d) Tahap pembahasan dan pembicaraan di DPR. Mulai dari tahapan
perencanaan dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU)
yang harus disertai dengan naskah hasil penelitian/hasil kajian (naskah
akademik), kemudian melalui tahap pembahasan di lembaga legislatif
(DPR-RI) hingga tahapan pengundangan. Hal tersebut merupakan
prosedur “normal” sebagaimana yang diatur dalam UU P3. Tahapan atau
prosedur yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama tersebut juga
dikarenakan oleh undang-undang yang dibentuk bertujuan mengatur
kepentingan masyarakat luas dengan segala karakteristik sehingga harus
dilakukan dengan saksama dan tepat sesuai dengan pedoman pembentukan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16
DAFTAR PUSTAKA
17