Dosen Pengampu:
Syafaruddin Panjaitan, S.HI., MH
Disusun oleh:
Kelompok 2—HTN VI D
i
KATA PENGANTAR
من ِبسْ ِم ا
ِ ِْيم الرَّ ح
ِ الرَّ ح
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas
terselesaikannya makalah ini yang berjudul Fungsi Peraturan Perundang-
Undangan. Karena tanpa izin dan kehendak-Nya kami selaku penulis tidak
mampu menyelesaikan makalah ini dengan kekuatan sendiri.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah guna menyelesaikan tugas mata
kuliah Legal Drafting—UIN SUMATERA UTARA MEDAN yang dibebankan
oleh dosen pengampu mata kuliah tersebut.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN..............................................................................10
3.2. KRITIK DAN SARAN..................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Keempat: pengetahuan mengenai seluk beluk peraturan perundang-
undangan untuk menciptakan suatu sistem peraturan peraundang-undangan yang
tertib sebagai salah satu unsur perundang-undangan yang baik. Dalam
perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dikenal ada berbagai jenis peraturan
perundang-undangan.
Secara eksplisit dalam UUD Tahun 1945 hanya menyebutkan jenis
peraturan perundang-undangan yaitu: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu), dan Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan
peraturan lainnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan praktek
ketatanegaraan Indonesia.
Berikut jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan
sejarahnya pada Masa Hindia Belanda. Belanda datang ke Indonesia pada Tahun
1596, dimana hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum tidak tertulis
(Hukum Adat). Namun dengan masuknya Belanda ke Indonesia dan mendirikan
perserikatan dagang yang dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) maka terjadi perubahan terkait hukum yang ada.
Masuknya VOC akibat diberikannya hak octrooi kepada VOC oleh Staten
Generaal, yaitu badan federatif tertinggi negara-negara Belanda, hal ini
berdampak pada terjadinya dualisme hukum yakni adanya Hukum Adat dan
Hukum yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Hukum Belanda adalah hukum
yang diberlakukan bagi orang eropa, khususnya Belanda di pusat-pusat dagang
VOC, yang pada awalnya berlaku bagi kapal-kapal VOC. Hukum tersebut
terutama berupa hukum disiplin (tucht recht). Namun pada akhirnya hukum
Belanda juga diberlakukan kepada pribumi dalam beberapa hal. Menurut Utrecht,
hukum Belanda yang berlaku di daerah kekuasaan VOC terdiri dari :
1. Hukum Statuta (yang termuat dalam statuten van Batavia),
2. Hukum Belanda yang kuno, dan
3. Asas-asas hukum Romawi.
3
Pada masa ini, peraturan yang tertinggi adalah perintah dari Raja Belanda,
kemudian yang ada dibawahnya adalah “Heeren Zewentie” yaitu peraturan yang
dibuat di plakat-plakat buatan VOC untuk mengatasi keadaan-keadaan yang perlu
penanganan secara khusus. Pada masa Gubernur Jenderal Van Diemen (1636-
1646) meminta bantuan Joan Maetsyucker, seorang pensiunan dari Hof Van
Justitie (setingkat MA) untuk mengumpulkan dan menyusun plakaat yang telah
diterbitkan. Pada Tahun 1642, “Heeren Zewentie” berhasil dihimpun
(dikodifikasi), kemudian diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta
Betawi). Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif dan memiliki kekuatan
berlaku yang sama sebagaimana peraturan lain yang telah ada. Mengenai
pemberlakuannya, Statuta Betawi ditujukan kepada orang pribumi maupun orang
pendatang. Kemudian pada Tahun 1766 dihasilkan kumpulan plakat ke-2 diberi
nama Statuta Bara.
Selanjutnya pada masa penjajahan Belanda berdasarkan Pasal 36
Netherland Gronwet 1814, menentukan bahwa “Raja yang berdaulat punya
kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di daerah-
daerah lain.” Dalam melaksanakan kekuasaannya raja membuat peraturan bersifat
umum yang biasa disebut dengan Algemene Verordering (peraturan pusat) atau
Koninklijk Besluit (besluit raja = keputusan/ penetapan) yang berlaku dibidang
eksekutif untuk daerah jajahan dan Aglemene Maatregel van Bestuur (AmvB)
yang berlaku untuk pemerintah Belanda. Peraturan ini dibuat oleh raja (kroon)
bersama dengan parlemen Belanda (staten general).
4
Tahun 1945. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum
bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut A.Hamid S Attamimi, UUD Tahun 1945 tidak tepat disebut
sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dengan mengatakan
bahwa: UUD Tahun 1945 dan Ketetapan MPR tidak tepat masuk dalam jenis
peraturan perundang-undangan karena termasuk dalam aturan dasar. Sedangkan
yang termasuk peraturan perundang-undangan adalah undang-undang/ perpu,
Peraturam Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Keputusan Direktur Jendral Departemen,
Keputusan Kepala Badan Negara diluar jajaran pemerintah yang dibentuk dengan
Undang-Undang, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah , Keputusan Bupati/ Wali
Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Eksistensi UUD Tahun 1945 sendiri diakui dalam Pasal 3 ayat (1) UUD
Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa; MPR berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar.
b. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah Putusan majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
Sedangkan Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”
dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
5
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
6
Rakyat (DPR) dan hanya dapat dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan
memaksa. Perpu harus mendapatkan persetujuan DPR pada sidang berikutnya
untuk dapat berubah menjadi UU. Bila tidak maka Perpu tersebut harus dicabut.
7
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan (Pasal 1 angka 6, UU No. 12 Tahun
2011). Rumusan tersebut jelas menegaskan bahwa kewenangan untuk membentuk
Perpres adalah ditangan Presiden, dan pembentukan Perpres dilakukan dalam
rangka pelaksanaan pemerintahan oleh presiden.
8
2.2. FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Terkait peraturan perundang-undangan maka fungsi peraturan perundang-
undangan dapat diartikan sebagai kegunaan peraturan perundang-undangan secara
umum dan secara khusus sesuai dengan jenisnya. Atau dapat dikatakan bahwa
peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen kebijakan (beleids
instrument), yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang yang
memiliki kegunaan atau fungsi-fungsi tertentu.
Ada perbedaan antara fungsi hukum dan fungsi peraturan
perundangundangan. Fungsi hukum dimaksudkan sebagai fungsi dari setiap
sumber hukum, sedangkan fungsi peraturan perundang-undangan adalah fungsi
dari salah satu sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Robert Baldwin dan Martin Cave, sebagaiman di kutip oleh Ismail Hasani
dan Prof. DR. A. Gani Abdullah, SH, mengemukakan bahwa peraturan perundang
undangan memiliki fungsi:
a. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya;
b. Mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas dan komunitas atau
lingkunganya;
c. Membuka informasi bagi publik dan mendorong keseteraan antar
kelompok (mendorong perubahan institusi, atau affirmative action kepada
kelompok marginal);
d. Mencegah kelangkaan sumber daya publik dari eksploitasi jangka pendek;
e. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan sosial,
perluasan akses dan redtribusi sumber daya; dan
f. Memeperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sector ekonomi.
9
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Jenis-jenis Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, antara lain sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945);
b. Ketetapan MPR (TAP MPR);
c. Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu);
d. Peraturan Pemerintah (PP);
e. Peraturan Presiden (Perpres);
f. Peraturan Daerah Provinsi/ Peraturan Daerah Tingkat I (Perda Prov);
g. Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota/ Peraturan Daerah Tingkat II
(Perda Kab, Perda Kota);
10
3.2. KRITIK DAN SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini pembaca mampu mengetahui lebih
dalam tentang Jenis dan Fungsi Peraturan Perundang-Undangan. Makalah ini
dalam penyusunanya masih terdapat banyak kekurangannya. Oleh sebab itu,
segala saran dan kritik yang mambangun sangat penulis harapkan untuk
melengkapi makalah ini.
Akhirnya, dengan penuh harap, semoga makalah ini memberikan
tambahan dalam perbendaharaan ilmu, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
para pembaca. Wallahu a’lam
11