Anda di halaman 1dari 27

EUTHANASIA BAGI PENDERITA AIDS

“Disusun untuk memenuhi tugas kelompok


Mata Kuliah Fiqh Kontemporer”

Dosen Pengampu:
Dr. Rusli Halil Nasution, S.HI., MA

Disusun oleh:
Kelompok 7—HTN VI D

1. Dinda Mayang Sari Nasution (0203193170)


2. M. Fadly Syahwala (0203193134)
3. Dhendy Setiawan (0203193144)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA/ SIYASAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2022 M/ 1443 H
KATA PENGANTAR

‫من ِبسْ ِم ا‬
ِ ْ‫ِيم الرَّ ح‬
ِ ‫الرَّ ح‬
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas
terselesaikannya makalah ini yang berjudul Eunthanasia Bagi Penderita AIDS.
Karena tanpa izin dan kehendak-Nya kami selaku penulis tidak mampu
menyelesaikan makalah ini dengan kekuatan sendiri.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak yang terkait dalam


penyelesaian makalah ini, terutama kepada Bapak Dr. Rusli Halil Nasution, S.HI.,
MA selaku dosen yang telah memberikan tema dan bimbingan terkait pengerjaan
makalah ini. Begitu juga kepada pihak yang kami jadikan sumber acuan
pembuatan makalah ini seperti para penulis yang buku-buku beliau kami gunakan
sebagai referensi.

Kami sebagai penulis mengetahui masih banyak sekali kesalahan yang


terdapat dalam tulisan makalah ini. Kami meminta maaf dan dengan kerendahan
hati mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang
membaca guna kemajuan dan kebaikan makalah ini ke depannya.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah guna menyelesaikan tugas mata
kuliah Fiqh Kontemporer—UIN SUMATERA UTARA MEDAN yang
dibebankan oleh dosen pengampu mata kuliah tersebut.

Medan, Mei 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG......................................................................1


1.2. RUMUSAN MASALAH.................................................................1
1.3. TUJUAN PENULISAN...................................................................1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN EUTHANASIA......................................................2


2.2. MACAM-MACAM EUTHANASIA...............................................3
2.3. EUTHANASIA DALAM HUKUM POSITIF.................................7
2.4. EUTHANASIA DALAM HUKUM ISLAM...................................8
2.5. EUTHANASIA BAGI PENDERITA AIDS..................................19

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN..............................................................................21
3.2. KRITIK DAN SARAN..................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit
kelamin yang sangat menyengsarakan fisik, mental dan sosial. Penyakit AIDS
baru dikenal sejak tahun 1980. Berkembang begitu cepat, menyebar dan menjalar
keseleruh penjuru dunia. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang biasa kita sebut
dengan Human Immunodefiency Virus (HIV).
AIDS adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan pada tubuh
manusia, sehingga sangat mudah untuk penyakit-penyakit lain masuk kedalam
tubuh penderita AIDS tersebut. Hal ini tentunya akan menimbulkan penderitaan
panjang terharap penderita. Beberapa ahli bahkan tokoh agama memperbolehkan
Euthanasia bagi penderita AIDS dengan tujuan untuk menolong penderita agar
tidak telalu lama dalam menanggung penderitaannya. Bagaimanakah hukum
Euthanasia dalam hukum positif Indonesia dan aturan dalam Fiqh Kontemporer?

1.2. Rumusan Masalah


Adapun permasalahan yang akan dibahas diantaranya adalah:
a) Apa itu pengertian dari Euthanasia dan macam-macamnya?
b) Bagaimana Hukum Positif mengenai Euthanasia?
c) Bagaimana Hukum Islam mengenai Euthanasia?
d) Bagaimana Euthanasia Bagi Penderita AIDS?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dibuat makalah ini diantaranya adalah:
1. Untuk memahami pengertian dari Euthanasia dan macam-macamnya.
2. Untuk memahami Hukum Positif dari Euthanasia.
3. Untuk memahami Hukum Islam dari Euthanasia.
4. Untuk memahami Euthanasia Bagi Penderita AIDS.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN EUTHANASIA


Secara etimologi istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yang
merupakan perpaduan antara dua kata, yaitu: eu memiliki arti baik dan thanatos
yang memiliki arti mati atau mayat.1 Dengan demikian euthanasia secara harfiyah
berarti kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Adapun menurut
Kamus Inggris Indonesia, euthanasia diartikan sebagai tindakan mematikan orang
untuk meringankan penderitaan sekarat.2
Pengertian euthansia juga disebutkan dalam Kamus Teologi yaitu kematian
atau hal-hal yang menyebabkan kematian dengan cara lembut dan tanpa rasa sakit
bagi penderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.3 Namun ada juga yang
menggolongkan euthanasia sebagai salah satu bentuk pembunuhan, yang mana
tindakan tersebut dilakukan dengan rasa belas kasih dan dengan tujuan untuk
meringankan penderitaan pasien.4
Menurut Ikatan Dokter Indonesia,5 euthanasia diartikan sebagai sebuah
tindakan mengakhiri kehidupan seseorang yang menurut ilmu dan pengetahuan
tidak mungin akan sembuh.6 Selain itu, euthanasia juga dapat digunakan dalam
tiga arti, yaitu:
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan
bagi yang beriman dengan nama Allah Ta’ala di bibir.

1
Muhammad Alain Yanto, Ajaklah Hatimu Bicara, cet, ke-1, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2007), p. 83.
2
John M. Echols & Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia”, cet.ke-13, (Jakarta:
Gramedia, 1984 M), p. 219
3
Henk Ten Napel, “Kamus Teologi”, cet. ke-9, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006 M), p. 130
4
Mohammad Fadil Imran, “Mutilasi dalam Prespektif Kriminologi”, cet. ke-1, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015 M), p. 15.
5
Ikatan Dokter Indonesia atau IDI merupakan satu-satunya organisasi bagi para dokter di
seluruh Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 24 Oktober 1950.
6
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, “Kode Etik Kedokteran Indonesia”, (Jakarta:
t.p., 2012 M), p. 38.

2
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien
diperingan dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.7

Dalam bahasa Arab, euthanasia diistilahkan dengan sebutan al-Qathlu ar-


Rahmah (‫ )القتل الرحمة‬atau al-Qathlu bi Dafi’i ar-Rahmah (‫) القتل بدافع الرحمة‬. Al-
Qathlu ( ‫ ) القتل‬berarti membunuh atau mematikan dan ar-Rahmah (‫ ) الرحمة‬berarti
belas kasih. Sehingga al-Qathlu ar-Rahmah dapat diartikan sebagai sebuah
tindakan untuk mempermudah kematian seseorang dengan kasih sayang.
Disebutkan bahwa dalam istilah modern, euthanasia didefinisikan sebagai
tindakan mempermudah kematian seseorang yang mengalami sakit kronis yang
mana penyakitnya sukar untuk diatasi serta telah dinyatakan bahwa kematiannya
tidak akan lama lagi. Selain definisi yang telah disebutkan, definisi lain datang
dari para ulama kontemporer, salah satunya adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi, beliau
mengartikan bahwa euthanasia adalah tindakan mempermudah kematian
seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, dengan kasih sayang, dengan
tujuan meringankan penderitaan si sakit baik dengan cara positif atau negatif.

2.2. MACAM-MACAM EUTHANASIA


Kematian pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat
menakutkan8, namun kematian adalah suatu keniscayaan bagi makhluk hidup.9
Selain itu kematian juga merupakan suatu proses yang tidak dapat ditunda jika
telah tiba waktunya. Dan euthanasia merupakan salah satu dari beberapa jenis
pembagian kematian. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan
membedakan kematian ke dalam tiga jenis, antara lain:
1) Orthothanasia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2) Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar dan

7
Ikatan Dokter Indonesia, “Kode Etik Kedokteran..., p. 27
8
Arifin Rada, Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Perspektif, Vol. XVIII
No. 2. Mei 2013, p. 108.
9
Yulianti Dwi Astuti, Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada Kondisi
Psikologis, Jurnal UNISIA, Vol. XXX No. 66, Desember 2007, p. 363.

3
3) Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.10

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, euthanasia secara umum


adalah sebuah tindakan mempermudah kematian seseorang dengan sengaja, tanpa
merasakan sakit dan dengan kasih sayang.11 Namun perlu diketahui bahwasannya
euthanasia memiliki berberapa pembagian. Franz Magnis Suseno mencatat
setidaknya ada tiga bentuk euthanasia, yakni:
1) Euthanasia pasif, di mana dokter tidak mempergunakan semua
kemungkinan teknik kedokteran yang dapat dipakai untuk memperpanjang
kehidupan pasien,
2) Euthanasia aktif tidak langsung, di mana dokter memberi obat kepada
pasien yang diketahui akan mempercepat kematiannya,
3) Euthanasia aktif langsung, pada bentuk ini disebut juga mercy killing, di
mana dokter secara langsung memperpendek kehidupan seorang pasien.12

Ditinjau dari cara dilaksanakannya, euthanasia dapat dibedakan menjadi


dua bagian, yaitu:
1) Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengonatan yang perlu untuk mempertahankan hidup
manusia.
2) Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui
intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
manusia. Euthanasia aktif ini dapat dibedakan atas:

a. Euthanasia Aktif Langsung (Direct)

10
Abdal Rahim, Euthanasia Perspektif Medis dan Hukum Pidana Indonesia, p. 2.
11
Ahmad Sarwat, Fiqih Kontemporer, cet. ke-4, (t.t.p.: DU. Center, t.t.), p. 63.
12
Tarmizi Taher, Medical Ethics, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003 M), p. 78.

4
Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik
secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien,
atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal
dengan sebutan mercy killing.
b. Eutahanasia Tidak Aktif Langsung (Indirect)
Euthanasia tidak aktif langsung adalah saat dokter atau tenaga
kesehatan melakukan tindakan medis untuk meringankan penderitaan
pasien namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat
memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.13

Adapun jika ditinjau dari permintaan, euthanasia dibedakan atas:


1) Euthanasia voluntir atau suka rela (atas permintaan pasien)
Euthanasia atas permintaan pasien adalah euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
2) Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien)
Euthanasia tidak atas permintaan pasien adalah euthanasia yang
dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar, dan biasanya keluarga
pasien yang meminta.14

Sedangkan Jabir Ibrahim al-Haja Hajjah membagi euthanasia menjadi lima


pembagian, yaitu:
1) Seorang pasien yang bertahan hidup hanya dengan mengkonsumsi obat-
obatan tertentu dan dengan kadar tertentu untuk dapat melanjutkan
hidupnya.
2) Seseorang yang memfasilitasi senjata atau obat-obatan tertentu kepada
pasien supaya pasien dapat mengakhiri hidupnya sendiri.
3) Pasien yang meminta kepada dokter atau perawat untuk memberinya
racun atau obat-obatan dosis tinggi atau menembaknya dengan senjata
api supaya mempercepat kematiannya.

13
Muhammad Yusuf Hanifah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,
cet. ke-4, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2008 M), p. 119-120.
14
ibid

5
4) Seorang pasien yang meninggal secara alami, namun sebelumnya segala
pengobatan diberhentikan oleh dokter, yang mana dokter mengetahui
bahwasannya pengobatan tersebut tidak bermanfaat baginya dan tidak
ada kemungkinan untuk dapat sembuh.
5) Pembunuhan yang dilakukan tanpa izin dan kerelaan pasien, namun jenis
ini tidak simaksudnya untuk melakukan tindakan euthanasia melainkan
demi kemaslahatan ekonomi dan sosial.

Pembagian lain datang dari Ahmad Muhammad Ka’an, beliau adalah


pengarang kitab al-Mausu’ah ath-Tibiyah al-Fiqhiyah, adapun pembagiannya
adalah sebagai berikut:
1) Memberikan pasien obat dosis tinggi guna memperingan sakitnya.
2) Seorang pasien yang tidak mampu bernafas kecuali dengan bantuan
respirator, jika respirator dicabut maka akan berhenti pernafasannya
dan akan mengakibatkan kematian.
3) Pengobatan yang diberikan kepada pasien perupaan sebab pasien dapat
bertahan hidup bukan untuk kesembuhannya. Jika pengobatan
diberhentikan maka akan mengakibatkan pasien meninggal.

Dari pembagian yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa


pada umumnya euthanasia dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Euthansia aktif, yaitu tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup si pasien.
2) Euthanasia pasif, dimana dokter atau tenaga kesehatan lain secara
sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien.
3) Auto-Euthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan
sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal itu
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.

2.3. EUTHANASIA DALAM HUKUM POSITIF

6
Pada dasarnya tidak ada satu peraturan pun yang sangat jelas mengatur
tentang permasalahan euthanasia, hanya saja secara yuridis formal dalam hukum
pidana positif di Indonesia hanya dikenal dua bentuk euthanasia, yaitu euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien/ korban itu sendiri dan euthanasia yang
dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/ korban
sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP.
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.”

Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:


“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”  

Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak


diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun
pembunuhan itu dilakukan dengan alasan membiarkan dan atas permintaan orang
itu sendiri. Hukum di Indonesia tidak mengenal dan tidak dapat membenarkan
apapun alasan atau motif euthanasia. Undang-Undang Indonesia tidak
memberikan tempat untuk mentoleransi salah satu alasan pengakhiran hidup
manusia dengan cara seperti itu.

2.4. EUTHANASIA MENURUT HUKUM ISLAM


Syariat Islam merupakan syariat yang penuh dengan kebenaran pada
seluruh berita yang dikandunganya. Selain itu syariat Islam merupakan syariat
yang adil, universal, jujur dan jauh dari kezaliminan serta kepentingan tertentu

7
pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.15 Islam juga merupakan
agama yang sempurna, sebagaimana yang telah Allah Ta’ala sebutkan dalam
Surat al-Maidah ayat tiga.

‫يت َل ُك ُم اِإْل ْساَل َم دِي ًنا‬ ُ ‫ت َل ُك ْم دِي َن ُك ْم َوَأ ْت َم ْم‬


ُ ِ‫ت َع َل ْي ُك ْم ن ِْع َمتِي َو َرض‬ ُ ‫ا ْل َي ْو َم َأ ْك َم ْل‬
Artinya: “... Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Aku cukupkan nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu...”

Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim


bahwa Allah Ta’ala telah memberikan nikmat yang agung kepada umat
Muhammad, yaitu Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama bagi umat Islam.
Dan menjadikannya tidak lagi membutuhkan agama selain Islam serta nabi selain
nabi Muhammad ‫ﷺ‬.16 Adapun Muhammad bin Yusuf menafsirkan bahwa Allah
Ta’ala telah menyempurnakan segalanya, salah satunya adalah perkara halal dan
haram.17

Berikut penjelasan hukum euthanasia menurut hukum Islam:


1. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif atau disebut “taisir al-maut al-fa’al” merupakan tindakan
memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen. Sebagai contoh seseorang yang menderita kanker
ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam
hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian
dokter memberinya obat dengan takaran tinggi yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, akan tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.18
15
Luqman Baabduh, “Islam Adalah Agama dan Sumber Hukum yang Sempurna”, (t.t.p.:
Islam House, 2013 M), p. 3-4.
16
Imaddudin Abi al-Fida’ Ismail bin Katsir ad-Dimasyqi, “Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim”,
cet. ke-1, jilid. 5, (Jaizah: Maktabah Aulad asy-Syaikh lit Turats, 2000 M), p. 46.
17
Muhammad bin Yusuf terkenal dengan Abi Hayyan al-Andalsy, “Tafsir al-Bahrul
Muhith”, cet. ke-1, jilid. 3, (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993 M), p. 441.
18
Ahmad Sarwat, “Fiqh al-Hayyah Seri Fiqih Kehidupan Kedokteran”, cet. ke-1 , jilid.
13, (Jakarta Selatan: DU Publishing, 2011 M), p. 285-289.

8
Dalam euthanasia jenis ini, dapat dibedakan menjadi dua keadaan,
pertama, euthanasia terjadi tanpa persetujuan pasien dan bertentangngan dengan
kemauan pasien untuk terus bertahan hidup. Kedua, dengan persetujuan pasien
atau pasien memintanya berulang-ulang karena tak sanggup dengan penyakit yang
dideritanya.
a. Tanpa Persetujuan
Adapun keadaan pertama yaitu tanpa persetujuan pasien maka hal ini jelas
dilarang, karena jenis ini masuk dalam ranah pembunuhan sengaja, maka
pelakunya wajib mendapatkan qishas. Dan Allah Ta’ala telah mengharamkan
pembunuhan melalui banyak ayat serta hadits.19 Adapun larangan yang bersumber
dari al-Qur’an adalah sebagai berikut,

‫س ا َّلتِي َح َّر َم هَّللا ُ ِإاَّل ِبا ْل َح ِّق‬


َ ‫َواَل َت ْق ُتلُوا ال َّن ْف‬
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharakan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar” Q.S. al-An’am:151

Disebutkan bahwa makna dari jiwa yang diharamkan Allah Ta’ala untuk
dibunuh adalah jiwanya seorang mukmin dan orang-orang yang memiliki
ِّ ‫ ) ِإاَّل بِ ْال َح‬bermakna kecuali dengan alasan yang
perjanjian. Sedangkan kalimat ( ‫ق‬
dapat dibenarkan oleh syari’at, seperti seseorang yang telah membunuh orang
lain, atau seseorang yang berzina atau yang telah murtad dari agama Islam.
Dari pemaparan yang telah disebutkan, menunjukkan bahwa euthanasia
aktif jenis pertama masuk dalam ranah pembunuhan yang diharamkan secara
qat’I20, yang mana perbuatan tersebut merupakan perbuatan munkar dan salah satu
dari dosa-dosa besar. Namun secara umum jika ada seseorang melakukan tindakan
pembunuhan terhadap orang yang sakit parah maka wajib baginya qishas.21

19
Muwaffaquddin Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Qudamah al-Maqdisi, al-
Mughni ‘ala Mukhtashar al-Hiraqi, cet. ke-1, jilid7, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008 M), p.
3.
20
Suatu nash yang menunjukkan makna tertentu dan tidak mengandung kemungkinan
makna selainnya.
21
Abi Zakariya bin Syaraf an-Nawawi, “Mughni Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz al-
Minhaj”, jilid. 4, (Beirut: Dar al-Fikri, 2009 M), p. 17.

9
b. Dengan Persetujuan
Sedangkan keadaan yang kedua, yaitu ketika pasien juga menyetujui
bahkan memintanya maka hal tersebut sama halnya dengan bentuk pertama.
Bentuk kedua juga masuk dalam ranah pembunuhan disengaja, karena kerelaan
dari si pasien tidak dapat mengubah hukum. Selain itu, kerelaan bukan merupakan
rukun dalam jarimah pembunuhan. Ibnu Hazm menjelaskan barangsiapa yang
membolehkan orang lain untuk membunuh dirinya, maka bagi keluarganya
(keluarga terbunuh-pent) berhak atas qishas dan diyat.22
Abu Hanifah berpendapat walaupun seseorang diberi izin untuk
membunuh, tidak menjadikan hukum membunuh diperbolehkan karena
keterlindungan jiwa seseorang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan sesuatu
yang telah ditetapkan nash dan kerelaan bukanlah termasuk sebab dibolehkannya
penjagaan jiwa seseorang dihilangkan. Dan memasukkan pembunuhan seperti ini
ke dalam kategori pembunuhan seperti sengaja. Adapun pendapat yang paling
kuat dalam madzhab Maliki yaitu walaupun pasien telah mengizinkan untuk
membunuhnya, namun perbuatan tersebut tetaplah dilarang dan juga tidak dapat
menggugurkan hukumannya bagi pelaku.
Selain itu perbuatan pasien tersebut masuk delam katogori bunuh diri yang
jelas telah dilarang syari’at dan perbuatan mengabulkan permintaan pasien adalah
berdosa serta baginya dikenakan hukum-hukum sebagaimana pembunuhan
disengaja, karena perbuatan tersebut masuk dalam kategori pembunuhan yang
disengaja. Adapun dalil-dalil yang menunjukan pelarangannya adalah sebagai
berikut,

‫س ُك ْم ِإنَّ هَّللا َ َكانَ ِب ُك ْم َرحِي ًما‬


َ ُ‫َوال َت ْق ُتلُوا َأ ْنف‬
“... dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah maha
Penyayang kepadamu ...” Q.S. an-Nisa’: 29

Maksudnya janganlah sesama muslim saling membunuh sesamanya


kecuali dengan sebab-sebab yang dibolehkan syar’i atau membunuh diri sendiri

22
Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’i bin Hazm al-Andalusi, “al-Ishalu fi al-Muhalla
bi al-Atsar”, cet. ke-3, jilid. 11, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 M), p. 112.

10
dengan mendekati perkara-perkara maksiat atau dapat juga bermakna membunuh
diri sendiri secara hakiki.23

2. Euthanasia Tidak Langsung


Disebutkan dalam kitab Fatawa ath-Thib wa al-Mardha apabila dokter
melakukan suatu tindakan medis dan didapati terjadi kerusakan pada bagian tubuh
pasien atau bahkan menyebabkan pasien meninggal maka syari’at tidak melarang
untuk diadakan pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Dan perlu diketahui
bahwa jenis dari hukuman untuk dokter apabila terbukti ia telah melakukan aniaya
terhadap pasien menurut perkataan ulama.
Dan permasalahan ini berdasarkan hadis Amru bin Syu’ab dari ayahnya
dari kakeknya, bahwasannya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

َ ‫َمنْ َت َط َّب َب َواَل ُي ْع َل ْم ِم ْن ُه طِ َّب َف ُه َو‬


ٌ‫ضامِن‬
“Barang siapa yang mengobati namun tidak mempelajari medikasi
sebelumnya, maka ia harus bertanggungjaawab atas akibatnya” H.R Abu Dawud
no. 4586 dan Ibnu Majjah no. 3466.

Dalam kitab Ihda’u ad-Dibajah menyebutkan bahwa barangsiapa yang


mengobati orang yang sakit, akan tetapi ia bukanlah seorang dokter. Seperti
belumnya ia belajar kepada seorang guru (dokter), selain itu ia belum
mendapatkan persetujuan untuk melakukan praktek. Dan karena kejahilannya
menyebabkan bahaya bagi pasien, baik menyebabkan pasien meninggal atau
semakain bertambah sakitnya, maka ia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Berkata Abdu al-Malik apabila pasien meningal disebabkan oleh
pengobatan dari seorang dokter (pengobatan), dan diketahui bahwa dokter
tersebut tidak melakukaan kesalahan apapun dan tidak menyalahi aturan serta
dokter tersebut mahir dalam bidang kedokteran, maka dokter tersebut tidak
bertanggungjawab atas resiko yang terjadi. Namun apabila dokter bukan orang
23
Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, “Fathu al-Qadhir al-Jami’ baina
Faniya ar-Riwayah wa ad-Dirayah min ‘Ilmi at-Tafsir, cet. ke-1, jilid. 1, (Bairut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2003 M), p. 372.

11
yang mahir maka ia bertanggungjawab atas akibat yang akan timbul. Hukuman
baginya adalah diyat dan tidak ada qishas baginya, dikarenakan perbuatannya
tidak disengaja.24
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh menyebutkan bahwa
orang yang memberikan pengobatan dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
a) Seseorang yang menjalankan aktivitas kedokteran akan tetapi ia jahil,
maka ia harus bertanggungjawab atas setiap kerusakan atau bahaya yang
terjadi, yang mana ini merupakan kesepakatan ahli ilmi.
Pertanggungjawabanya adalah diyat dan tidak ada qishas baginya karena ia
tidak bertindak sewenang-wenang dalam pengobatan tersebut tanpa izin
dari pasien.Akan tetapi jika pasien mengetahui kejahilan dokter dan pasien
mengizinkanya untuk melakukan tindakan medis terhadapnya, maka tidak
ada pertanggungjawaban atas dokter dalam keadaan seperti ini.
b) Apabila dokter seorang yang pandai dan memberikan pelayanan sesuai
dengan haknya, dan ia telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam
memilihkan obat yang tepat untuk pasien. Akan tetapi akibat dari
tindakannya tersebut adalah rusaknya sebagian anggota badan pasien atau
bahkan menyebabkan pasien meninggal, namun tindakan tersebut telah
mendapatkan izin dari pasien atau wali pasien. Maka bagi dokter tidak ada
pertanggungjawaban secara ittifaq, karena dokternya merupakan seseorang
yang pandai dan ia memberikan pelayanan sesuai dengan haknya.

Namun jika ia salah dalam memberikan obat atau cara pemakaiannya atau
tangannya melukai bagian tubuh yang sehat dan menyebabkannya rusak atau
bahkan menjadikan pasien meninggal, seperti memberikan obat diluar batas dosis
yang telah ditentukan. Maka perbuatan dokter tersebut masuk dalam kategori
pembunuhan tersalahkan.
Berkaitan dengan hadis di atas Ibnu Qayyim dalam kitabnya Zadu al-
Ma’ad menyebutkan bahwa hadis tersebut mengandung tiga perkara: masalah
24
Abdu al-Malik bin Habib bin Habib bin Sulaiman bin Harun as-Silmi il-Biri al-Qurthubi,
Mukhtashar fi at-Thib al-‘Ilaj bi al-Aghdiyah wa al-A’syab, )Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998
M), p. 30.

12
bahasa, masalah fikih, dan masalah pengobatan. Kaitannya dengan masalah
bahasa, kata ath-Thibb mengandung beberapa pengertian, seperti pembenahan,
kemahiran, kebiasaan dan sihir. Sabda beliau, “Tathabbaba”, berarti memaksakan
diri dalam suatu urusan yang sulit bagi dirinya dan dia bukan ahlinya.25
Kaitannya dengan masalah fiqih atau ketetapan syariat adalah seorang
dokter yang bodoh harus bertanggungjawab atas tindakannya. Jika ia
mempraktekkan ilmu kedokterannya, padahal dia tidak menunjangnya dengan
pengalaman dan pengetahuan, berarti dengan kebodohannya ia telah
membahayakan jiwa manusia dan dianggap melakukan penipuan terhadap orang
yang sakit. Oleh sebab itu ia harus bertanggungjawab atas tindakannya, begitulah
kesepakatan para ulama.26
Adapun kaitannya dengan dokter yang melakukan pengobatan, dapat
dibedakan menjadi lima macam27, yaitu:
a) Dokter yang mahir yang bertindak menurut batasan keahliannya dan tidak
melakukan kesalahan. Jika tindakannya tersebut menimbulkan kerusakan
organ tubuh atau bahkan mengakibatkan kematian dalam hal ini ia tidak
bertanggungjawab.
b) Orang bodoh yang melakukan pengobatan dan mengakibatkan kematian.
Jika pihak pasien mengetahui baahwa ia adalah seorang yang bodoh maka
ia tidak bertanggungjawab atas akibat yang muncul. Namun apabila pasien
mengira ia adalah seorang dokter, padahal bukanlah seperti yang pasien
sangkakan, maka ia bertanggungjawab atas akibatnya.
c) Dokter yang mahir dan mendapatkaan izin untuk melakukan pengobatan.
Jika ia berbuat menurut batasan ilmunya lalu ia berbuat salah, seperti
memutuskan urat pada saat mengkhitan, maka ia bertanggungjawab atas
akibatnya. Karena keadaan seperti ini merupakan jinayah khata’
(kejahatan karena terjadi kesalahan atau kekeliruan).

25
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zadu al-Ma’ad fi Hadyi Khairi al-‘Ibad, jilid. 4, cet. ke-16,
(Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1992 M), p. 135-138.
26
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zadu al-Ma’ad..., p. 139.
27
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zadu al-Ma’ad..., p. 139-142.

13
d) Dokter yang mahir, yang sudah berusaha mendiagnosa jenis penyakit lalu
memberikan resep. Namun ternyata resep yang ia berikan salah hingga
menyebabkan pasien meninggal, dalam hal ini terdapat dua riwayat.
Pertama, tebusan diambilkaan dari baitul mal. Kedua, tebusan dibayarkan
oleh orang lain yaang turut menjamin dokter tersebut.
e) Dokter yang mahir yang menangani seorang anak, orang gila atau seorang
pasien tanpa sepengetahuan pasien atau walinya maka menurut ashab
(rekan Ibnu Qayyim) kami, dia harus bertanggungjawab atas kesalahan
yang dilakukannya.

3. Euthanasia Pasif
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif sebagaimana
kerusakan total pada bagian otak yang mengakibatkannya tidak mampu
menggerakkan seluruh bagian tubuhnya, atau yang sering disebut kematian otak
dapat berkisar pada penghentian pengobatan atau tidak memberikan pengobatan.
Hal ini didasari pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak
ada gunanya dan tidak memberikan harapan pada pasien.
Pada keadaan seperti ini, Lajnah ad-Daimah berfatwa bahwa boleh untuk
mengakhiri pengobatan, karena pengobatan yang dilakukan akan sia-sia. Sama
halnya dengan al-Lajnah ad-Daimah, al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami berpendapat
apabila ada sesorang yang sakit dan di tubuhnya telah terpasang alat-alat medis
untuk memperpanjang hidupnya, namun otaknya dinyatakan telah mati maka
dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mencabut alat-alat medis yang
terpasang pada tubuh pasien.
Dalam istilah Arab dapat disebut dengan ‫ رفع أجهزة اإلنعاش‬yang memiliki
arti mencabut pengobatan yang menjadi penopang hidupnya. Dan para ulama
telah mengelompokan keadaan ini dalam tiga keadaan, yaitu:
a) Mencabut alat bantu untuk mengembalian pernafasannya dan detak
jantungnya kepada kondisi semula. Dan saran dokter untuk melepasnya
guna keselamatnnya dan menghilangkan bahaya.

14
b) Berhentinya hati dan nafas secara sempurna, serta tubuh pasien tidak
menerima alat-alat medis. Dan dokter menetapkan kematiannya telah
sempurna dengan tanda hati dan otaknya tidak lagi menerima alat bantu.
Oleh karenanya dokter memutuskan untuk mencabut alat bantunya agar
memperjelas kematiannya.
c) Di mana pasien memiliki tanda-tanda kematian otak, seperti tidak adanya
gerakan. Akan tetapi pasien hidup dengan perantara alat-alat kedokteran
seperti respirator dan alat bantu jantung yang mana alat tersebut berfungsi
agar jantung terus berdetak. Dan pasien masih bernafas dengan bantuan
dari respirator tersebut. Dan dokter telah menyatakaan pasien telah mati
ditandai dengan matinya otak pasien tersebut. Dan juga menyatakan
bahwa nafas dan jantungnya akan benar-benar mati dengan hanya
mencabut alat-alat kedokteran yang terdapat pada tubuh pasien.

Adapun bentuk pertama dan kedua, maka tidak seyogyanya ada


perselisihan dalam pencabutan respiratornya. Sebagai bentuk keselamatan pasien
pada bentuk pertama dan memperjelas kematiannya pada bentuk kedua.
Sedangkan bentuk ketiga, maka dalam keadaan ini butuh adanya pembahasan dan
penelitian yang lebih mendalam.
Namun Bakar Abdullah Abu Zaid menyatakan bahwa bolehnya mencabut
alat bantu tersebut, karena walaupun menggunakan alat bantu tidak ada
kemungkinan untuk kesembuhan pasien. Akan tetapi tidak dilakukankan kepada
pasien tersebut hukum-hukum syar’i sebagaimana orang yang mati seperti
pembagian warisannya.
Di sisi lain hukum berobat masih diperselisihkan oleh para ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Menurut Jumhur ulama hukum berobat
tidaklah wajib hanya sebagian kecil ulama saja yang menganggapnya wajib
seperti ulama dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah. Selain itu, para ulama
berselisih pendapat manakah yang lebih utama antara berobat dan bersabar,
dikarenakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yaitu tentang seorang
wanita yang menderita sakit epilepsi dan meminta dido’akan oleh Nabi ‫ ﷺ‬,

15
:‫ قالت‬. ِ‫هللا َأنْ ُي َعافِ َيك‬
َ ‫ت‬ ِ ‫ َو ِإنْ شِ ْئ‬.‫ت َو َلكِ ا ْل َج َّن ُة‬
ُ ‫ت دَ َع ْو‬ ِ ‫ص َب ْر‬ ِ ‫ِإنْ شِ ْئ‬
َ ‫ت‬
ْ ‫َأ‬
‫ص ِب َر‬
“Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga, dan jika engkau mau ,saya akan mendoakan kepada Allah
agar menyembuhkanmu”. Wanita itu menjawab: “Aku akan bersabar”. H.R al-
Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya Fathu al-


Bari, hadis di atas berisi tentang keutamaan orang yang bersabar ketika tertimpa
penyakit epilepsi. Selain itu juga terkandung pelajaran bahwa orang yang bersabar
terhadap cobaan dunia, dapat menjadi sebab baginya menuju surga. Dan hadis ini
menunjukkan kebolehan untuk meninggalkan berobat.28

4. Auto Euthanasia
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya auto euthanasia
merupakan penolakan pasien dengan tegas terhadap pengobatannya. Jelas dalam
euthanasia jenis ini syari’at melarangnya, karena hal ini masuk dalam ranah bunuh
diri. Bunuh diri sebagaimana penjelasan sebelumnya sangat dilarang dan bunuh
diri menunjukkan kepada keputusasaan kepada rahmat Allah Ta’ala. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala,

َ‫هللا ِإاَّل ا ْل َق ْو ُم ا ْل َكاف ِِر ْون‬


ِ ‫ح‬ ِ ‫الر ْو‬ ُ ‫هللا ِإ َّنه اَل َيا ْيَئ‬
َّ ْ‫س مِن‬ ِ ‫ح‬ ُ ‫َو اَل َت ْيَأ‬
ِ ‫س ْوا مِنْ َر ْو‬
“... dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya
yang berputus asa dari rahmat Allah adalah orang-orang kafir” Q.S Yusuf: 87

Maksudnya, janganlah putus harapannya dari kelonggaran dan


kebahagiaannya, karena berputus asa tanda terpotongnya pengharapan, dan
dikatakan janganlah berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala yang mana dengan

28
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani, “Fathu al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari”, cet.
ke-4, jilid. 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012 M), p. 99.

16
rahmat-Nyalah seorang hamba hidup. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa
orang yang meninggalkan pengharapan serta berputus asa dari rahmat Allah
Ta’ala telah dikatakan kufur. Adapun menurut Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
yang dimaksud dengan “sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah
adalah orang-orang kafir” adalah disebabkan dengan kekufuran mereka akan
menjauhkan mereka dari rahmat Allah Ta’ala dan janganlah menyerupai dengan
orang kafir.29
Selain ayat di atas, larangan akan bunuh diri terdapat dalam surat al-Hijr:
56,

َّ َّ‫َو َمنْ َّي ْق َن ُط مِنْ َّر ْح َم ِة َر ّبه ِاال‬


َ‫الضآلُّ ْون‬
“... Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Rabbnya kecuali orang-
orang yang sesat.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang berputus asa dari


rahmat Allah Ta’ala merupakan orang-orang yang menyelisihi jalan kebenaran
dan telah telah meninggalkan tujuan hidaup yaitu pengharapan kepada Allah
Ta’ala. Selain itu mereka telah sesat dari agama Allah Ta’ala.
Larangan lain juga datang dari bebagai hadis, salah satunya hadits yang
diriwayatkan oleh Abi Hurairah,

ِ ‫ َوالَّذِى َي ْط ُع ُن َها َي ْط ُع ُن َها فِى ال َّن‬، ‫ار‬


‫ار‬ ِ ‫س ُه َي ْخ ُنقُ َها فِى ال َّن‬
َ ‫ا َّلذِى َي ْخ ُن ُق َن ْف‬
“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik
lehernya, maka ia akan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula
di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan
benda tajam, maka di neraka ia akan menusuk dirinya dengan cara itu” H.R
Bukhari no. 136530

29
Abdurraman bin Nashir as-Sa’di, “Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir al-Qur’an”,
cet. ke-1, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2003 M), p. 380-381.
30
Abi Abdillah Muhaammad bin Ismail Ibnu Ibrahim al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-
Bukhari, “Bab pada bunuh diri”, cet. ke-7, jilid. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2014 M), p.
332, no. 1365.

17
Hadits lain yang menunjukkan pelarangan bunuh diri adalah yang
diriwayatkan dari Tsabit bin Dhahak dari Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,

‫ش ْى ٍء ُع ِّذ َب ِب ِه َي ْو َم ا ْلقِ َيا َم ِة‬ َ ‫َو َمنْ َق َتل َ َن ْف‬


َ ‫س ُه ِب‬
“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu cara yang
ada di dunia, niscaya kelak pada hari Kiamat Allah akan menyiksanya dengan
cara seperti itu pula” Q.R Bukhari no. 6047, Muslim no. 110.

Dalam kitab al-Bahru al-Muhith menyebutkan bahwa hadist di atas masuk


dalam bab jenis-jenis hukuman di akhirat karena perkara jinayat31 di dunia. Dan
dapat disimpulkan bahwa dosa kejahatan terhadap diri sendiri sama halnya dengan
kejahatan terhadap orang lain, karena jiwa seseorang merupakan kepemilikan
mutlak Allah Ta’ala. Dari pemaparan yang telah disebutkan menunjukkan bahwa
bunuh diri dalam Islam sangat dilarang dan diancam dengan ancaman yang keras.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa pasien dan yang melakukan euthanasia
semuanya berdosa.

2.5. EUTHANASIA BAGI PENDERITA AIDS


Dalam rangka pencegahan menularnya penyakit yang sangat ganas itu—
AIDS, penulis sepakat agar terhadap penderita penyakit AIDS tersebut, dilakukan
euthanasia, dengan tujuan antara lain:
a. Menolong penderita agar tidak terlalu lama dalam menanggung
penderitaannya.
b. Untuk menyelamatkan umat manusia dari bahaya besar dengan cara
memutus mata rantai penularan virus tersebut.
Dalam melihat status hukum dalam konteks Islam harus mempertimbang-
kan berbagai dimensi sumber hukum Islam. Bila dilihat secara umum masalah ini
(euthanasia pengidap AIDS) tidak terdapat ayat al-Qur’an atau as-sunnah yang
secara eksplisit berbicara. Pada tahap ketiga yakni penggunaan akal sebagai
31
Bentuk kejahatan.

18
sebuah ijtihad dalam masalah ini dapat dianalisis. Bentuk ijtihad yang relevan
dengan masalah kontemporer ini adalah ijtihad insya’i, yaitu ijtihad kreatif yang
mengedepankan aspek mashlahat yang merupakan esensi dari maqashid al
syari’ah dan ijtihad koletif.
Namun, euthanasia pengidap AIDS ini merupakan permasalahan yang
kompleks, yang memerlukan kajian yang obyektif dan komprehensif. Karena
euthanasia sangat bersentuhan dengan aspek agama, hukum, etika dan medis.
Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan yang sama sekali baru,
diperlukan pengetahuan yang menjadi persyaratan ijtihad itu sendiri. Dalam hal
ini ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) mutlak diperlukan.
Sebagai contoh dalam mengeuthanasia pengidap AIDS ini, diperlukan ahli
medis yang tahu betul bahwa seseorang tersebut telah mengidap AIDS, melalui
sebuah penelitian di laboratorium. Di samping itu ahli medis belum mampu
menemukan obat yang efektif untuk menyembuhkannya. Contoh lain adalah
diperlukannya ahli hukum untuk membuat peraturan perundang-undangan.
Artinya tindakan itu tidak dapat dilaksanakan secara individual oleh seorang
dokter atau atas permintaan pihak si penderita semata, melainkan harus didasarkan
pula pada peraturan dan putusan peradilan di samping pertimbangan dari sudut
medis.
Menurut Yusuf Qardhawi euthanasia di atas adalah merupakan bentuk
euthanasia aktif atau taisir al maut al fa’al, yang menurut penulis tidak berlaku
mutlak, tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Obat/ vaksinnya tidak ada.
b. Kondisi kesehatan semakin parah.
c. Atas permintaan pasien secara tertulis dan mendapat persetujuan dari
pihak keluarga dan tim medis maupun keputusan pengadilan.
d. Adanya bahaya penularan sehingga apabila ditemukan vaksin yang bisa
mensterilkan penularan, maka euthanasia aktif ini haram dilakukan.
e. Bahwa penderita AIDS tersebut telah masuk dalam kategori hadits Nabi
Muhammad SAW, yang artinya:

19
Dari ibnu Mas’ud r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Orang Islam yang telah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan lain yang
sebenarnya melainkan Allah dan bahwasannya Nabi Muhammad pesuruh-
Nya. Mereka tidak halal dibunuh kecuali karena tiga sebab: pertama
orang telah kawin kemudian berzina, kedua membunuh orang, ketiga
orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri.” (Muttafaq
‘alaih)

f. Disetujui oleh dokter ahli jiwa (psikiater)


Persetujuan akhir oleh psikiater ini menentukan dilakukan atau
tidaknya dilakukan euthanasia aktif atau taisir al maut al fa’al ini, yaitu
apabila pada evaluasi pemeriksaan psikiatrik depresi mental penderita
tidak dapat lagi ditanggulangi, sehingga ditakutkan yang bersangkutan
akan menularkan penyakitnya kepada orang lain atau yang bersangkutan
akan melakukan bunuh diri.
Apabila yang bersangkutan tidak disetujui oleh dokter ahli jiwa
(psikiater), misalnya karena yang bersangkutan tekanan jiwanya masih
stabil dan tabah serta tawakal menerima cobaan yang dialaminya, maka
euthanasia aktif atau taisir al maut al fa’al bagi pengidap AIDS ini belum
bisa dilakukan. Namun karena AIDS ini belum ditemukan obatnya dan
perawatannya memerlukan biaya cukup banyak serta intensitas
penularannya cukup tinggi, maka yang wajib dilakukan bagi pengidap
AIDS semacam ini adalah mengkarantinanya dan memberlakukan
euthanasia pasif atau taisir al maut al munfa’il.

Hal ini sesuai apa yang dikatakan oleh Yusuf al Qardhawi, apabila si
penderita sakit diberi berbagai macam pengobatan (dengan cara meminum obat,
suntikan, diberi makan glukose, dan sebagainya, atau menggunakan alat
pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern)
dalam waktu cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka
melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin

20
kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab. Maka
memudahkan proses kematian (taisir al maut) semacam ini tidak sayogianya
diembel-embeli dengan istilah qatl arrahmah (membunuh karena kasih sayang),
karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter.
Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak
sunah , sehingga tidak dikenai sanksi. Dengan demikian, tindakan tersebut
dibenarkan syara’, tidak dilarang. Lebih–lebih peralatan tersebut hanya
dipergunakan penderita sekedar untuk kehidupan yang lahir (yang tampak dalam
pernapasan dan peredaran darah (denyut nadi saja). Padahal dilihat dari segi
aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat
mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan
sarafnya sebagai sumber semuanya itu telah rusak. Membiarkan si sakit dalam
kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak
terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain
yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Di sisi lain, penderita yang sudah tidak merasakan apa-apa itu hanya
menjadikan sanak saudaranya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang
mungkin sampai puluhan tahun lamanya.32
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Euthanasia adalah tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Berkaitan dengan euthanasia tidak langsung, undang-undang di Indonesia
melarang pelaksanaannya dan dokter dapat di jerat dengan pasal. Dalam Undang-
Undang tersebut tidak diperinci secara jelas, baik kondisi maupun keadaan
pelakunya.
32
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, cet.ke-1, jilid. 2, (Jakarta: Gema
Insani, 1995 M), p. 753-755, terj. As’ad Yasin.

21
Adapun dalam hukum Islam walaupun tidak secara jelas menjelaskan
permasalahan ini, Akan tetapi dapat disandarkan dengan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Amru bin Syu’ab, yang mana hadis tersebut berisi tentang
keadaan dokter yang dapat dijerat dengan hukum (dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatannya).
Adapun dengan euthanasia pasif, undang-undang Indonesia melarang dan
tidak menerima pengakhiran hidup manusia dengan cara seperti ini. Namun dalam
hukum Islam permasalahan ini dirinci oleh para ulama. Dengan melihat kepada
kadar sakit dari pasien tersebut. Hal ini dikarenakan para ulama berbeda pedapat
tentang hukum berobat, selain itu ulama juga berbeda pendapat antara lebih baik
berobat atau bersabar.
Para ulama pun tidak begitu saja membolehkan pelaksanaan euthanasia
pasif. Namun para ulama menetapkan syarat-syarat yang dapat memperbolehkan
dilaksanakannya euthnasia pasif. Karena kedudukan jiwa seorang masusia sangat
dilindungi dalam Islam. Bahkan kedudukan penjagaan jiwa menempati
kedudukan kedua dalam dharuriyatul khamsah setelah penjagaan terhadap agama.

3.2. KRITIK DAN SARAN


Setelah membahas masalah diatas, penulis memberi saran kepada keluarga
atau dokter dan penderita penyakit tertentu baik itu penyakit AIDS dan terpikir
untuk melakukan Euthanasia, lebih baik berusaha semaksimal mungkin dahulu
untuk bertahan hidup dan pasrah terhadap Allah serta mensyukuri segala nikmat
yang telah diberikan Allah. Bahwa sesungguhnya sakit itu juga sebagian dari ujian
Allah, di dalam menjalani sakit itupun Allah telah menghapus dosa-dosa orang
tersebut.
Umat Islam diharapkan untuk tetap berpegang teguh kepada
kepercayaannya yang memandang segala musibah—termasuk menderita sakit—
sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT. Hal itu hendaknya dihadapi

22
dengan penuh kesdaran dan tawakkal. Justru, keadaan yang kritis itu merupakan
masa penentuan kokoh atau goyahnya iman seseorang.
Semoga dengan adanya makalah ini pembaca mampu mengetahui lebih
dalam tentang Euthanasia. Makalah ini dalam penyusunanya masih terdapat
banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, segala saran dan kritik yang mambangun
sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini.
Akhirnya, dengan penuh harap, semoga makalah ini memberikan
tambahan dalam perbendaharaan ilmu, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
kaum muslimin. Wallahu a’lam

DAFTAR PUSTAKA
ad-Dimasyqi, I. A.-F. (2000). Tafsir al-Qur'an al-'Adzim. Jaizah: Maktabah Aulad
asy-Syaikh lit Turats.

al-Maqdisi, M. A. (2008). al-Mughni 'ala Mukhtashar al-Hiraqi. Beirut: Dar al-


Kutub al-Ilmiyah.

al-Qardhawi, Y. (1995). Fatwa-Fatwa Kontemporer. (A. Yasin, Trans.) Jakarta:


Gema Insani.

an-Nawawi, A. Z. (2009). Mughni Muhtaj ila Ma'rifah Ma'ani Alfadz al-Minhaj.


Beirut: Dar al-Fikri.

23
Astuti, Y. D. (2007, Desember). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada
Kondisi Psikologis. Jurnal UNISIA, Vol. XXX No. 66, 363.

Baabduh, L. (2013). Islam Adalah Agama dan Sumber Hukum yang Sempurna.
t.t.p: Islam House.

Echols, J. M., & Shadily, H. (1984). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Imran, M. F. (2015). Mutilasi dalam Perspektif Kriminologi. Jakarta: Yayasan


Pustaka Obor Indonesia.

Muhammad Yusuf Hanifah, & Amir, A. (2008). Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Napel, H. T. (2006). Kamus Teologi. Jakarta: Gunung Mulia.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. (2012). Kode Etik Kedokteran


Indonesia. Jakarta: t.p.

Rada, A. (2013, Mei). Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal


Perspektif, Vol. XVIII No.2, 108.

Sarwat, A. (2011). Fiqh al-Hayyah Seri Fiqih Kehidupan Kedokteran. Jakarta:


DU Publishing.

Taher, T. (2003). Medical Ethics. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yanto, M. A. (2007). Ajaklah Hatimu Bicara. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Yusuf, M. b. (1993). Tafsir al-Bahrul Muhith. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

24

Anda mungkin juga menyukai