Dosen Pengampu:
Dr. Rusli Halil Nasution, S.HI., MA
Disusun oleh:
Kelompok 7—HTN VI D
من ِبسْ ِم ا
ِ ِْيم الرَّ ح
ِ الرَّ ح
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas
terselesaikannya makalah ini yang berjudul Eunthanasia Bagi Penderita AIDS.
Karena tanpa izin dan kehendak-Nya kami selaku penulis tidak mampu
menyelesaikan makalah ini dengan kekuatan sendiri.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah guna menyelesaikan tugas mata
kuliah Fiqh Kontemporer—UIN SUMATERA UTARA MEDAN yang
dibebankan oleh dosen pengampu mata kuliah tersebut.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
COVER...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN..............................................................................21
3.2. KRITIK DAN SARAN..................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................24
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Muhammad Alain Yanto, Ajaklah Hatimu Bicara, cet, ke-1, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2007), p. 83.
2
John M. Echols & Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia”, cet.ke-13, (Jakarta:
Gramedia, 1984 M), p. 219
3
Henk Ten Napel, “Kamus Teologi”, cet. ke-9, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006 M), p. 130
4
Mohammad Fadil Imran, “Mutilasi dalam Prespektif Kriminologi”, cet. ke-1, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015 M), p. 15.
5
Ikatan Dokter Indonesia atau IDI merupakan satu-satunya organisasi bagi para dokter di
seluruh Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 24 Oktober 1950.
6
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, “Kode Etik Kedokteran Indonesia”, (Jakarta:
t.p., 2012 M), p. 38.
2
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien
diperingan dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.7
7
Ikatan Dokter Indonesia, “Kode Etik Kedokteran..., p. 27
8
Arifin Rada, Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Perspektif, Vol. XVIII
No. 2. Mei 2013, p. 108.
9
Yulianti Dwi Astuti, Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada Kondisi
Psikologis, Jurnal UNISIA, Vol. XXX No. 66, Desember 2007, p. 363.
3
3) Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.10
10
Abdal Rahim, Euthanasia Perspektif Medis dan Hukum Pidana Indonesia, p. 2.
11
Ahmad Sarwat, Fiqih Kontemporer, cet. ke-4, (t.t.p.: DU. Center, t.t.), p. 63.
12
Tarmizi Taher, Medical Ethics, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003 M), p. 78.
4
Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik
secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien,
atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal
dengan sebutan mercy killing.
b. Eutahanasia Tidak Aktif Langsung (Indirect)
Euthanasia tidak aktif langsung adalah saat dokter atau tenaga
kesehatan melakukan tindakan medis untuk meringankan penderitaan
pasien namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat
memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.13
13
Muhammad Yusuf Hanifah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,
cet. ke-4, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2008 M), p. 119-120.
14
ibid
5
4) Seorang pasien yang meninggal secara alami, namun sebelumnya segala
pengobatan diberhentikan oleh dokter, yang mana dokter mengetahui
bahwasannya pengobatan tersebut tidak bermanfaat baginya dan tidak
ada kemungkinan untuk dapat sembuh.
5) Pembunuhan yang dilakukan tanpa izin dan kerelaan pasien, namun jenis
ini tidak simaksudnya untuk melakukan tindakan euthanasia melainkan
demi kemaslahatan ekonomi dan sosial.
6
Pada dasarnya tidak ada satu peraturan pun yang sangat jelas mengatur
tentang permasalahan euthanasia, hanya saja secara yuridis formal dalam hukum
pidana positif di Indonesia hanya dikenal dua bentuk euthanasia, yaitu euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien/ korban itu sendiri dan euthanasia yang
dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/ korban
sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP.
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.”
7
pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.15 Islam juga merupakan
agama yang sempurna, sebagaimana yang telah Allah Ta’ala sebutkan dalam
Surat al-Maidah ayat tiga.
8
Dalam euthanasia jenis ini, dapat dibedakan menjadi dua keadaan,
pertama, euthanasia terjadi tanpa persetujuan pasien dan bertentangngan dengan
kemauan pasien untuk terus bertahan hidup. Kedua, dengan persetujuan pasien
atau pasien memintanya berulang-ulang karena tak sanggup dengan penyakit yang
dideritanya.
a. Tanpa Persetujuan
Adapun keadaan pertama yaitu tanpa persetujuan pasien maka hal ini jelas
dilarang, karena jenis ini masuk dalam ranah pembunuhan sengaja, maka
pelakunya wajib mendapatkan qishas. Dan Allah Ta’ala telah mengharamkan
pembunuhan melalui banyak ayat serta hadits.19 Adapun larangan yang bersumber
dari al-Qur’an adalah sebagai berikut,
Disebutkan bahwa makna dari jiwa yang diharamkan Allah Ta’ala untuk
dibunuh adalah jiwanya seorang mukmin dan orang-orang yang memiliki
ِّ ) ِإاَّل بِ ْال َحbermakna kecuali dengan alasan yang
perjanjian. Sedangkan kalimat ( ق
dapat dibenarkan oleh syari’at, seperti seseorang yang telah membunuh orang
lain, atau seseorang yang berzina atau yang telah murtad dari agama Islam.
Dari pemaparan yang telah disebutkan, menunjukkan bahwa euthanasia
aktif jenis pertama masuk dalam ranah pembunuhan yang diharamkan secara
qat’I20, yang mana perbuatan tersebut merupakan perbuatan munkar dan salah satu
dari dosa-dosa besar. Namun secara umum jika ada seseorang melakukan tindakan
pembunuhan terhadap orang yang sakit parah maka wajib baginya qishas.21
19
Muwaffaquddin Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Qudamah al-Maqdisi, al-
Mughni ‘ala Mukhtashar al-Hiraqi, cet. ke-1, jilid7, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008 M), p.
3.
20
Suatu nash yang menunjukkan makna tertentu dan tidak mengandung kemungkinan
makna selainnya.
21
Abi Zakariya bin Syaraf an-Nawawi, “Mughni Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz al-
Minhaj”, jilid. 4, (Beirut: Dar al-Fikri, 2009 M), p. 17.
9
b. Dengan Persetujuan
Sedangkan keadaan yang kedua, yaitu ketika pasien juga menyetujui
bahkan memintanya maka hal tersebut sama halnya dengan bentuk pertama.
Bentuk kedua juga masuk dalam ranah pembunuhan disengaja, karena kerelaan
dari si pasien tidak dapat mengubah hukum. Selain itu, kerelaan bukan merupakan
rukun dalam jarimah pembunuhan. Ibnu Hazm menjelaskan barangsiapa yang
membolehkan orang lain untuk membunuh dirinya, maka bagi keluarganya
(keluarga terbunuh-pent) berhak atas qishas dan diyat.22
Abu Hanifah berpendapat walaupun seseorang diberi izin untuk
membunuh, tidak menjadikan hukum membunuh diperbolehkan karena
keterlindungan jiwa seseorang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan sesuatu
yang telah ditetapkan nash dan kerelaan bukanlah termasuk sebab dibolehkannya
penjagaan jiwa seseorang dihilangkan. Dan memasukkan pembunuhan seperti ini
ke dalam kategori pembunuhan seperti sengaja. Adapun pendapat yang paling
kuat dalam madzhab Maliki yaitu walaupun pasien telah mengizinkan untuk
membunuhnya, namun perbuatan tersebut tetaplah dilarang dan juga tidak dapat
menggugurkan hukumannya bagi pelaku.
Selain itu perbuatan pasien tersebut masuk delam katogori bunuh diri yang
jelas telah dilarang syari’at dan perbuatan mengabulkan permintaan pasien adalah
berdosa serta baginya dikenakan hukum-hukum sebagaimana pembunuhan
disengaja, karena perbuatan tersebut masuk dalam kategori pembunuhan yang
disengaja. Adapun dalil-dalil yang menunjukan pelarangannya adalah sebagai
berikut,
22
Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’i bin Hazm al-Andalusi, “al-Ishalu fi al-Muhalla
bi al-Atsar”, cet. ke-3, jilid. 11, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 M), p. 112.
10
dengan mendekati perkara-perkara maksiat atau dapat juga bermakna membunuh
diri sendiri secara hakiki.23
11
yang mahir maka ia bertanggungjawab atas akibat yang akan timbul. Hukuman
baginya adalah diyat dan tidak ada qishas baginya, dikarenakan perbuatannya
tidak disengaja.24
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh menyebutkan bahwa
orang yang memberikan pengobatan dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
a) Seseorang yang menjalankan aktivitas kedokteran akan tetapi ia jahil,
maka ia harus bertanggungjawab atas setiap kerusakan atau bahaya yang
terjadi, yang mana ini merupakan kesepakatan ahli ilmi.
Pertanggungjawabanya adalah diyat dan tidak ada qishas baginya karena ia
tidak bertindak sewenang-wenang dalam pengobatan tersebut tanpa izin
dari pasien.Akan tetapi jika pasien mengetahui kejahilan dokter dan pasien
mengizinkanya untuk melakukan tindakan medis terhadapnya, maka tidak
ada pertanggungjawaban atas dokter dalam keadaan seperti ini.
b) Apabila dokter seorang yang pandai dan memberikan pelayanan sesuai
dengan haknya, dan ia telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam
memilihkan obat yang tepat untuk pasien. Akan tetapi akibat dari
tindakannya tersebut adalah rusaknya sebagian anggota badan pasien atau
bahkan menyebabkan pasien meninggal, namun tindakan tersebut telah
mendapatkan izin dari pasien atau wali pasien. Maka bagi dokter tidak ada
pertanggungjawaban secara ittifaq, karena dokternya merupakan seseorang
yang pandai dan ia memberikan pelayanan sesuai dengan haknya.
Namun jika ia salah dalam memberikan obat atau cara pemakaiannya atau
tangannya melukai bagian tubuh yang sehat dan menyebabkannya rusak atau
bahkan menjadikan pasien meninggal, seperti memberikan obat diluar batas dosis
yang telah ditentukan. Maka perbuatan dokter tersebut masuk dalam kategori
pembunuhan tersalahkan.
Berkaitan dengan hadis di atas Ibnu Qayyim dalam kitabnya Zadu al-
Ma’ad menyebutkan bahwa hadis tersebut mengandung tiga perkara: masalah
24
Abdu al-Malik bin Habib bin Habib bin Sulaiman bin Harun as-Silmi il-Biri al-Qurthubi,
Mukhtashar fi at-Thib al-‘Ilaj bi al-Aghdiyah wa al-A’syab, )Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998
M), p. 30.
12
bahasa, masalah fikih, dan masalah pengobatan. Kaitannya dengan masalah
bahasa, kata ath-Thibb mengandung beberapa pengertian, seperti pembenahan,
kemahiran, kebiasaan dan sihir. Sabda beliau, “Tathabbaba”, berarti memaksakan
diri dalam suatu urusan yang sulit bagi dirinya dan dia bukan ahlinya.25
Kaitannya dengan masalah fiqih atau ketetapan syariat adalah seorang
dokter yang bodoh harus bertanggungjawab atas tindakannya. Jika ia
mempraktekkan ilmu kedokterannya, padahal dia tidak menunjangnya dengan
pengalaman dan pengetahuan, berarti dengan kebodohannya ia telah
membahayakan jiwa manusia dan dianggap melakukan penipuan terhadap orang
yang sakit. Oleh sebab itu ia harus bertanggungjawab atas tindakannya, begitulah
kesepakatan para ulama.26
Adapun kaitannya dengan dokter yang melakukan pengobatan, dapat
dibedakan menjadi lima macam27, yaitu:
a) Dokter yang mahir yang bertindak menurut batasan keahliannya dan tidak
melakukan kesalahan. Jika tindakannya tersebut menimbulkan kerusakan
organ tubuh atau bahkan mengakibatkan kematian dalam hal ini ia tidak
bertanggungjawab.
b) Orang bodoh yang melakukan pengobatan dan mengakibatkan kematian.
Jika pihak pasien mengetahui baahwa ia adalah seorang yang bodoh maka
ia tidak bertanggungjawab atas akibat yang muncul. Namun apabila pasien
mengira ia adalah seorang dokter, padahal bukanlah seperti yang pasien
sangkakan, maka ia bertanggungjawab atas akibatnya.
c) Dokter yang mahir dan mendapatkaan izin untuk melakukan pengobatan.
Jika ia berbuat menurut batasan ilmunya lalu ia berbuat salah, seperti
memutuskan urat pada saat mengkhitan, maka ia bertanggungjawab atas
akibatnya. Karena keadaan seperti ini merupakan jinayah khata’
(kejahatan karena terjadi kesalahan atau kekeliruan).
25
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zadu al-Ma’ad fi Hadyi Khairi al-‘Ibad, jilid. 4, cet. ke-16,
(Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1992 M), p. 135-138.
26
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zadu al-Ma’ad..., p. 139.
27
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zadu al-Ma’ad..., p. 139-142.
13
d) Dokter yang mahir, yang sudah berusaha mendiagnosa jenis penyakit lalu
memberikan resep. Namun ternyata resep yang ia berikan salah hingga
menyebabkan pasien meninggal, dalam hal ini terdapat dua riwayat.
Pertama, tebusan diambilkaan dari baitul mal. Kedua, tebusan dibayarkan
oleh orang lain yaang turut menjamin dokter tersebut.
e) Dokter yang mahir yang menangani seorang anak, orang gila atau seorang
pasien tanpa sepengetahuan pasien atau walinya maka menurut ashab
(rekan Ibnu Qayyim) kami, dia harus bertanggungjawab atas kesalahan
yang dilakukannya.
3. Euthanasia Pasif
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif sebagaimana
kerusakan total pada bagian otak yang mengakibatkannya tidak mampu
menggerakkan seluruh bagian tubuhnya, atau yang sering disebut kematian otak
dapat berkisar pada penghentian pengobatan atau tidak memberikan pengobatan.
Hal ini didasari pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak
ada gunanya dan tidak memberikan harapan pada pasien.
Pada keadaan seperti ini, Lajnah ad-Daimah berfatwa bahwa boleh untuk
mengakhiri pengobatan, karena pengobatan yang dilakukan akan sia-sia. Sama
halnya dengan al-Lajnah ad-Daimah, al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami berpendapat
apabila ada sesorang yang sakit dan di tubuhnya telah terpasang alat-alat medis
untuk memperpanjang hidupnya, namun otaknya dinyatakan telah mati maka
dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mencabut alat-alat medis yang
terpasang pada tubuh pasien.
Dalam istilah Arab dapat disebut dengan رفع أجهزة اإلنعاشyang memiliki
arti mencabut pengobatan yang menjadi penopang hidupnya. Dan para ulama
telah mengelompokan keadaan ini dalam tiga keadaan, yaitu:
a) Mencabut alat bantu untuk mengembalian pernafasannya dan detak
jantungnya kepada kondisi semula. Dan saran dokter untuk melepasnya
guna keselamatnnya dan menghilangkan bahaya.
14
b) Berhentinya hati dan nafas secara sempurna, serta tubuh pasien tidak
menerima alat-alat medis. Dan dokter menetapkan kematiannya telah
sempurna dengan tanda hati dan otaknya tidak lagi menerima alat bantu.
Oleh karenanya dokter memutuskan untuk mencabut alat bantunya agar
memperjelas kematiannya.
c) Di mana pasien memiliki tanda-tanda kematian otak, seperti tidak adanya
gerakan. Akan tetapi pasien hidup dengan perantara alat-alat kedokteran
seperti respirator dan alat bantu jantung yang mana alat tersebut berfungsi
agar jantung terus berdetak. Dan pasien masih bernafas dengan bantuan
dari respirator tersebut. Dan dokter telah menyatakaan pasien telah mati
ditandai dengan matinya otak pasien tersebut. Dan juga menyatakan
bahwa nafas dan jantungnya akan benar-benar mati dengan hanya
mencabut alat-alat kedokteran yang terdapat pada tubuh pasien.
15
: قالت. ِهللا َأنْ ُي َعافِ َيك
َ ت ِ َو ِإنْ شِ ْئ.ت َو َلكِ ا ْل َج َّن ُة
ُ ت دَ َع ْو ِ ص َب ْر ِ ِإنْ شِ ْئ
َ ت
ْ َأ
ص ِب َر
“Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga, dan jika engkau mau ,saya akan mendoakan kepada Allah
agar menyembuhkanmu”. Wanita itu menjawab: “Aku akan bersabar”. H.R al-
Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576.
4. Auto Euthanasia
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya auto euthanasia
merupakan penolakan pasien dengan tegas terhadap pengobatannya. Jelas dalam
euthanasia jenis ini syari’at melarangnya, karena hal ini masuk dalam ranah bunuh
diri. Bunuh diri sebagaimana penjelasan sebelumnya sangat dilarang dan bunuh
diri menunjukkan kepada keputusasaan kepada rahmat Allah Ta’ala. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala,
28
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani, “Fathu al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari”, cet.
ke-4, jilid. 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012 M), p. 99.
16
rahmat-Nyalah seorang hamba hidup. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa
orang yang meninggalkan pengharapan serta berputus asa dari rahmat Allah
Ta’ala telah dikatakan kufur. Adapun menurut Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
yang dimaksud dengan “sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah
adalah orang-orang kafir” adalah disebabkan dengan kekufuran mereka akan
menjauhkan mereka dari rahmat Allah Ta’ala dan janganlah menyerupai dengan
orang kafir.29
Selain ayat di atas, larangan akan bunuh diri terdapat dalam surat al-Hijr:
56,
29
Abdurraman bin Nashir as-Sa’di, “Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir al-Qur’an”,
cet. ke-1, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2003 M), p. 380-381.
30
Abi Abdillah Muhaammad bin Ismail Ibnu Ibrahim al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-
Bukhari, “Bab pada bunuh diri”, cet. ke-7, jilid. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2014 M), p.
332, no. 1365.
17
Hadits lain yang menunjukkan pelarangan bunuh diri adalah yang
diriwayatkan dari Tsabit bin Dhahak dari Rasulullah ﷺbersabda,
18
sebuah ijtihad dalam masalah ini dapat dianalisis. Bentuk ijtihad yang relevan
dengan masalah kontemporer ini adalah ijtihad insya’i, yaitu ijtihad kreatif yang
mengedepankan aspek mashlahat yang merupakan esensi dari maqashid al
syari’ah dan ijtihad koletif.
Namun, euthanasia pengidap AIDS ini merupakan permasalahan yang
kompleks, yang memerlukan kajian yang obyektif dan komprehensif. Karena
euthanasia sangat bersentuhan dengan aspek agama, hukum, etika dan medis.
Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan yang sama sekali baru,
diperlukan pengetahuan yang menjadi persyaratan ijtihad itu sendiri. Dalam hal
ini ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) mutlak diperlukan.
Sebagai contoh dalam mengeuthanasia pengidap AIDS ini, diperlukan ahli
medis yang tahu betul bahwa seseorang tersebut telah mengidap AIDS, melalui
sebuah penelitian di laboratorium. Di samping itu ahli medis belum mampu
menemukan obat yang efektif untuk menyembuhkannya. Contoh lain adalah
diperlukannya ahli hukum untuk membuat peraturan perundang-undangan.
Artinya tindakan itu tidak dapat dilaksanakan secara individual oleh seorang
dokter atau atas permintaan pihak si penderita semata, melainkan harus didasarkan
pula pada peraturan dan putusan peradilan di samping pertimbangan dari sudut
medis.
Menurut Yusuf Qardhawi euthanasia di atas adalah merupakan bentuk
euthanasia aktif atau taisir al maut al fa’al, yang menurut penulis tidak berlaku
mutlak, tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Obat/ vaksinnya tidak ada.
b. Kondisi kesehatan semakin parah.
c. Atas permintaan pasien secara tertulis dan mendapat persetujuan dari
pihak keluarga dan tim medis maupun keputusan pengadilan.
d. Adanya bahaya penularan sehingga apabila ditemukan vaksin yang bisa
mensterilkan penularan, maka euthanasia aktif ini haram dilakukan.
e. Bahwa penderita AIDS tersebut telah masuk dalam kategori hadits Nabi
Muhammad SAW, yang artinya:
19
Dari ibnu Mas’ud r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Orang Islam yang telah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan lain yang
sebenarnya melainkan Allah dan bahwasannya Nabi Muhammad pesuruh-
Nya. Mereka tidak halal dibunuh kecuali karena tiga sebab: pertama
orang telah kawin kemudian berzina, kedua membunuh orang, ketiga
orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri.” (Muttafaq
‘alaih)
Hal ini sesuai apa yang dikatakan oleh Yusuf al Qardhawi, apabila si
penderita sakit diberi berbagai macam pengobatan (dengan cara meminum obat,
suntikan, diberi makan glukose, dan sebagainya, atau menggunakan alat
pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern)
dalam waktu cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka
melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin
20
kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab. Maka
memudahkan proses kematian (taisir al maut) semacam ini tidak sayogianya
diembel-embeli dengan istilah qatl arrahmah (membunuh karena kasih sayang),
karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter.
Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak
sunah , sehingga tidak dikenai sanksi. Dengan demikian, tindakan tersebut
dibenarkan syara’, tidak dilarang. Lebih–lebih peralatan tersebut hanya
dipergunakan penderita sekedar untuk kehidupan yang lahir (yang tampak dalam
pernapasan dan peredaran darah (denyut nadi saja). Padahal dilihat dari segi
aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat
mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan
sarafnya sebagai sumber semuanya itu telah rusak. Membiarkan si sakit dalam
kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak
terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain
yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Di sisi lain, penderita yang sudah tidak merasakan apa-apa itu hanya
menjadikan sanak saudaranya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang
mungkin sampai puluhan tahun lamanya.32
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Euthanasia adalah tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Berkaitan dengan euthanasia tidak langsung, undang-undang di Indonesia
melarang pelaksanaannya dan dokter dapat di jerat dengan pasal. Dalam Undang-
Undang tersebut tidak diperinci secara jelas, baik kondisi maupun keadaan
pelakunya.
32
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, cet.ke-1, jilid. 2, (Jakarta: Gema
Insani, 1995 M), p. 753-755, terj. As’ad Yasin.
21
Adapun dalam hukum Islam walaupun tidak secara jelas menjelaskan
permasalahan ini, Akan tetapi dapat disandarkan dengan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Amru bin Syu’ab, yang mana hadis tersebut berisi tentang
keadaan dokter yang dapat dijerat dengan hukum (dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatannya).
Adapun dengan euthanasia pasif, undang-undang Indonesia melarang dan
tidak menerima pengakhiran hidup manusia dengan cara seperti ini. Namun dalam
hukum Islam permasalahan ini dirinci oleh para ulama. Dengan melihat kepada
kadar sakit dari pasien tersebut. Hal ini dikarenakan para ulama berbeda pedapat
tentang hukum berobat, selain itu ulama juga berbeda pendapat antara lebih baik
berobat atau bersabar.
Para ulama pun tidak begitu saja membolehkan pelaksanaan euthanasia
pasif. Namun para ulama menetapkan syarat-syarat yang dapat memperbolehkan
dilaksanakannya euthnasia pasif. Karena kedudukan jiwa seorang masusia sangat
dilindungi dalam Islam. Bahkan kedudukan penjagaan jiwa menempati
kedudukan kedua dalam dharuriyatul khamsah setelah penjagaan terhadap agama.
22
dengan penuh kesdaran dan tawakkal. Justru, keadaan yang kritis itu merupakan
masa penentuan kokoh atau goyahnya iman seseorang.
Semoga dengan adanya makalah ini pembaca mampu mengetahui lebih
dalam tentang Euthanasia. Makalah ini dalam penyusunanya masih terdapat
banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, segala saran dan kritik yang mambangun
sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini.
Akhirnya, dengan penuh harap, semoga makalah ini memberikan
tambahan dalam perbendaharaan ilmu, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
kaum muslimin. Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
ad-Dimasyqi, I. A.-F. (2000). Tafsir al-Qur'an al-'Adzim. Jaizah: Maktabah Aulad
asy-Syaikh lit Turats.
23
Astuti, Y. D. (2007, Desember). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada
Kondisi Psikologis. Jurnal UNISIA, Vol. XXX No. 66, 363.
Baabduh, L. (2013). Islam Adalah Agama dan Sumber Hukum yang Sempurna.
t.t.p: Islam House.
Echols, J. M., & Shadily, H. (1984). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Muhammad Yusuf Hanifah, & Amir, A. (2008). Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
24