TENTANG EUTHANASIA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Etika dan Keperawatan yang diampuh
oleh:
Disusun oleh:
Kelompok 3
KEPERAWATAN S1
2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat–Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Etika dan Hukum
Keperawatan yang berjudul Euthanasia.
Makalah ini telah kami susun semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi yang membaca dan bagi pengembangan ilmu keperawatan.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN
C. MANFAAT
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang
dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut,
kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar dan ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang
sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya
sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tetapi bagaimana dengan hak pasien
untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi pembahasan
hangat di Indonesia. Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah
euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi
bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Untuk itulah masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk
dibahas.
Salah satu contoh kasus euthanasia di Indonesia seperti “Kasus Tn. Berlin Silalahi (46
tahun) di Aceh. Beliau sudah tidak kuat karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh,
hingga beliau meminta kepada istrinya untuk mengajukan euthanasia kepada dirinya.
Namun, pengadilan belum memberikan hasil keputusan karena belum ada dasar hukum yang
jelas mengenai tindakan euthanasia di Indonesia.”
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar mengenai Euthanasia dan aspek etika dan hukum dalam
kasus tersebut.
2. Untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga dan tenaga kesehatan
baik dokter maupun perawat terhadap kasus Euthanasia.
3. Untuk mengetahui bagaimana peran masing- masing profesi yaitu perawat dan tenaga
kesehatan lainnya dalam menghadapi masalah Euthanasia jika dikaitkan dengan etika dan
hukum keperawatan.
4. Untuk mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan
untuk kasus Euthanasia.
5. Untuk mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan
memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia.
C. MANFAAT
Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang
seharusnya dilakukan oleh seorang perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam pengambilan
keputusan mengenai masalah Euthanasia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN EUTHANASIA
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma
atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik.
Sedangkan secara harfiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang.
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat
keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan
yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah.
B. MACAM-MACAM EUTHANASIA
Berdasarkan dari cara pelaksanaannya, dibagi menjadi dua jenis:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh dokter atau
tenaga kesehatan untuk mencabut atau mengakhiri hidup sang pasien, misalnya dengan
memberikan obat-obat yang mematikan melalui suntikan, maupun tablet. Pada euthanasia
aktif ini, pasien secara langsung meninggal setelah diberikan suntikan mati. Euthanasia
aktif hanya diperbolehkan di Belanda, Belgia, dan Luxemburg.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif dilakukan pada kondisi dimana seorang pasien secara tegas menolak
untuk menerima perawatan medis. Pada kondisi ini, sang pasien sudah mengetahui bahwa
penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut, ia membuat sebuah “codicil”, yaitu pernyataan yang tertulis. Pada
dasarnya eutanasia pasif adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan sang pasien
itu sendiri. Euthanasia pasif ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya dengan
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
bernapas, menolak untuk melakukan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, dan sebagainya. Tindakan yang dilakukan tidak membuat
pasien langsung mati setelah diberhentikan asupan medisnya, tetapi secara perlahan-
lahan.
Berdasarkan dari status pemberian izin, euthanasia dibagi menjadi 2, yaitu:
Pelaksanaan euthanasia secara tidak sukarela ini didasarkan pada keputusan dari
seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan,
misalnya wali dari si pasien. Namun di sisi lain, kondisi pasien sendiri tidak
memungkinkan untuk memberikan ijin, misalnya pasien mengalami koma atau tidak
sadar. Pada umumnya, pengambilan keputusan untuk melakukan euthanasia didasarkan
pada ketidaktegaan seseorang melihat sang pasien kesakitan.
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi
obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri maupun keluarganya.
Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh
membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas
melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak
Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki
euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus asa tidak berkenan di
hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar,
& tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi
sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan
dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke
dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di
tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat
diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian.
Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak
Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum
positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral
yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan,
jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam
agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab
itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia,
sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud
materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.
G. KEWAJIBAN PERAWAT
1. Melengkapi saran dan prasarana pelayanan keperawatan sesuai dengan standar
pelayanan keperawatan dan ketentuan perundang-undangan.
2. Memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan kode etik, standar pelayanan
keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Merujuk klien yang tidak dapat di tangani kepada perawat atau tenaga kesehatan lain
yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya.
4. Mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar.
5. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti
mengenai tindakan keperawatan pada klien dan/ atau keluarganya sesuai dengan batas
kewenangannya.
H. HAK PERAWAT
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Memperoleh informasi yang jelas, benar, dan jujur dari klien dan/ atau keluarganya.
3. Menerima imbalan jasa atas pelayanan keperawatan yang telah diberikan.
4. Menolak keinginan klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar
profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan perautan perundang-undangan.
5. Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
PEMBAHASAN
Pertanyaan:
1. Apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga, tenaga kesehatan dan dokter dalam
kasus ini?
2. Bagaimana peran masing-masing profesi jika dikaitkan dengan etik dan hukum
dalam kasus tersebut?
3. Siapa yang memegang peranan penting?
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak memutuskannya? Berikan
alasannya!
5. Bagaimana tindakan yang profesional?
Jawaban:
PENUTUP
A. Kesimpulan
Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri. Aturan mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma- norma budaya. Di beberapa Negara euthanasia
dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap dilarang karena tidak ada dasar
hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal 344,
pasal 355 dan pasal 359. Sehingga pada kasus Tn.Berlin euthanasia tidak dibenarkan.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral dan legal
dan juga pandangan bahwa apabila dilegalisir euthanasia dapat disalahgunakan.
Sebagai perawat berperan dalam memberikan advokasi. serta sebagai counselor yaitu
membela dan melindungi pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari
ancaman kematian. Perawat diharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan
kepada keluarga pasien bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang optimal dan tidak melakukan euthanasia.
Menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar dalam hal
mencari sumber biaya yang lain, menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga
kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi yang sejelas-
jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa
besar biaya yang telah dan akan dikeluarkan. Memberikan pertimbangan- pertimbangan
yang positif pada keluarga dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang
pasien Tn. Berlin atau dilakukannya euthanasia pasif. Perawat tetap memberikan
perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar pasien selama perawata. Dan
membantu keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah Sakit.
B. Saran
1. Bagi Keluarga
Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia.
Dan permasalahan biaya melalui jamkesmas, jamkesda, dll.
2. Bagi Petugas (Perawat, Dokter, dan Tenaga Kesehatan lainnya)
Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan
perlindungan kepada pasien sebagai advokat.
3. Bagi Pemerintah
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai
salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi
nilai etika, sosial, maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA
https://news.detik.com/berita/225608/kasus-ny-agian-rs-telah-lakukan-euthanasia-pasif
http://ilmugreen.blogspot.co.id/2012/07/pengertian-macam-macam-euthanasia.html
http://gc.ukm.ugm.ac.id/2016/05/euthanasiadapatkah-dilakukan-di-indonesia/
https://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-
indonesia/
https://agneshartanty.files.wordpress.com/2011/12/makalah-euthanasia1.pdf
http://qncjellygamatyangasli.com/2016/10/18/manfaat-dan-khasiat-tusuk-jarum-akupuntur-
untuk-kesehatan/