Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ETIKA DAN HUKUM KEPERAWATAN

TENTANG EUTHANASIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Etika dan Keperawatan yang diampuh
oleh:

Ns. Happy Dwi Aprilina, S.Kep., M.Kep.

Disusun oleh:

Kelompok 3

Nur Fadhilah Oktaviani 1711020181

Rifa Enggi Pitulung 1711020185

Arif Wibowo 1711020188

Reyhan Rofif 1711020205

Rofi Yulsiska 1711020206

Darojatul Wafiroh 1711020208

Sindi Nurkhayati 1711020218

Desi Sukmawati 1711020222

Ishna Armaylia Arsad 1711020226

KEPERAWATAN S1

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat–Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Etika dan Hukum
Keperawatan yang berjudul Euthanasia.
Makalah ini telah kami susun semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan  baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi yang membaca dan bagi pengembangan ilmu keperawatan.

Purwokerto, Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN
C. MANFAAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. PENGERTIAN
B. MACAM-MACAM EUTHANASIA
C. SYARAT DILAKUKANNYA EUTHANASIA
D. ASPEK-ASPEK DALAM EUTHANASIA
E. HAK PASIEN
F. KEWAJIBAN PASIEN
G. KEWAJIBAN PERAWAT
H. HAK PERAWAT
I. KODE ETIK KEPERAWATAN
J. PRINSIP ETIKA KEPERAWATAN

BAB III PEMBAHASAN


A. KAJIAN TEORI TENTANG KASUS

BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang
dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut,
kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar dan ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang
sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya
sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tetapi bagaimana dengan hak pasien
untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi pembahasan
hangat di Indonesia. Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah
euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi
bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Untuk itulah masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk
dibahas.
Salah satu contoh kasus euthanasia di Indonesia seperti “Kasus Tn. Berlin Silalahi (46
tahun) di Aceh. Beliau sudah tidak kuat karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh,
hingga beliau meminta kepada istrinya untuk mengajukan euthanasia kepada dirinya.
Namun, pengadilan belum memberikan hasil keputusan karena belum ada dasar hukum yang
jelas mengenai tindakan euthanasia di Indonesia.”

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar mengenai Euthanasia dan aspek etika dan hukum dalam
kasus tersebut.
2. Untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga dan tenaga kesehatan
baik dokter maupun perawat terhadap kasus Euthanasia.
3. Untuk mengetahui bagaimana peran masing- masing profesi yaitu perawat dan tenaga
kesehatan lainnya dalam menghadapi masalah Euthanasia jika dikaitkan dengan etika dan
hukum keperawatan.
4. Untuk mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan
untuk kasus Euthanasia.
5. Untuk mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan
memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia.

C. MANFAAT

Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang
seharusnya dilakukan oleh seorang perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam pengambilan
keputusan mengenai masalah Euthanasia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN EUTHANASIA
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma
atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik.
Sedangkan secara harfiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang.
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat
keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan
yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah.

B. MACAM-MACAM EUTHANASIA
Berdasarkan dari cara pelaksanaannya, dibagi menjadi dua jenis:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh dokter atau
tenaga kesehatan untuk mencabut atau mengakhiri hidup sang pasien, misalnya dengan
memberikan obat-obat yang mematikan melalui suntikan, maupun tablet. Pada euthanasia
aktif ini, pasien secara langsung meninggal setelah diberikan suntikan mati. Euthanasia
aktif hanya diperbolehkan di Belanda, Belgia, dan Luxemburg.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif dilakukan pada kondisi dimana seorang pasien secara tegas menolak
untuk menerima perawatan medis. Pada kondisi ini, sang pasien sudah mengetahui bahwa
penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut, ia membuat sebuah “codicil”, yaitu pernyataan yang tertulis. Pada
dasarnya eutanasia pasif adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan sang pasien
itu sendiri. Euthanasia pasif ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya dengan
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
bernapas, menolak untuk melakukan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, dan sebagainya. Tindakan yang dilakukan tidak membuat
pasien langsung mati setelah diberhentikan asupan medisnya, tetapi secara perlahan-
lahan.
Berdasarkan dari status pemberian izin, euthanasia dibagi menjadi 2, yaitu:

1.      Euthanasia secara tidak sukarela

Pelaksanaan euthanasia secara tidak sukarela ini didasarkan pada keputusan dari
seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan,
misalnya wali dari si pasien. Namun di sisi lain, kondisi pasien sendiri tidak
memungkinkan untuk memberikan ijin, misalnya pasien mengalami koma atau tidak
sadar. Pada umumnya, pengambilan keputusan untuk melakukan euthanasia didasarkan
pada ketidaktegaan seseorang melihat sang pasien kesakitan.

2.      Euthanasia secara sukarela

Euthanasia secara sukarela merupakan euthanasia yang dilakukan atas persetujuan si


pasien sendiri dalam keadaan sadar.

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:

1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi
obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri maupun keluarganya.

C. SYARAT DILAKUKANNYA EUTHANASIA


Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral dan kesopanan
menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas
permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh adalah perbuatan
yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician
assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang
adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat
dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit dan
tidak dapat diobati misalnya kanker.
b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal
menunggu kematian.
c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya
dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter
keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis
yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia. Semua persyaratan itu harus
dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan
Pancasila, dengan sila pertamanya „Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak mungkin
menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai
bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi
lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak
memperpanjang atau berjalan secara alamiah.

D. ASPEK-ASPEK DALAM EUTHANASIA


 Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam
tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia
tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri
atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat
atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain
pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar
bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya
seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam
undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam
menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat
lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia
tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani
berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan
pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki
pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya
mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan
khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”,
karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau
pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan
hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut
‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda
yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang
umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi
generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang
sifatnya umum.

 Aspek Hak Azasi


Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai,
& sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek
hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan
euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari
segala penderitaan yang hebat.

 Aspek Ilmu Pengetahuan


Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan
medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila
secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan
ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan
haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan
akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di
samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam
habisnya keuangan.

 Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh
membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas
melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak
Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki
euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus asa tidak berkenan di
hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar,
& tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi
sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan
dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke
dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di
tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat
diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian.
Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak
Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum
positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral
yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan,
jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam
agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab
itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia,
sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud
materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.

E. HAK PASIEN MENURUT UU N0. 44 TAHUN 2009


1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah
Sakit.
2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.
3. Memperoleh pelayanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi.
4. Memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur dan operasional.
5. Memperoleh pelayanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi.

F. KEWAJIBAN PASIEN MENURUT PERMENKES NO. 69 TAHUN 2014


1. Mematuhi peraturan yang berlaku di Rumah Sakit.
2. Menggunakan fasilitas Rumah Sakit secara bertanggung jawab.
3. Menghormati hak-hak pasien lain, pengunjung dan hak Tenaga Kesehatan serta
petugas lainnya yang bekerja di Rumah Sakit.
4. Memberikan informasi yang jujur, lengkap, dan aktual sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuannya mengenai masalah kesehatan.
5. Memberi informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan yang
dimilikinya.

G. KEWAJIBAN PERAWAT
1. Melengkapi saran dan prasarana pelayanan keperawatan sesuai dengan standar
pelayanan keperawatan dan ketentuan perundang-undangan.
2. Memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan kode etik, standar pelayanan
keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Merujuk klien yang tidak dapat di tangani kepada perawat atau tenaga kesehatan lain
yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya.
4. Mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar.
5. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti
mengenai tindakan keperawatan pada klien dan/ atau keluarganya sesuai dengan batas
kewenangannya.

H. HAK PERAWAT
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Memperoleh informasi yang jelas, benar, dan jujur dari klien dan/ atau keluarganya.
3. Menerima imbalan jasa atas pelayanan keperawatan yang telah diberikan.
4. Menolak keinginan klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar
profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan perautan perundang-undangan.
5. Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.

I. KODE ETIK KEPERAWATAN


1. Perawat memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi martabat kemanusiaan
dan keunikan klien.
2. Perawat melindungi hak klien akan privasi dengan memegang teguh informasi yang
bersifat rahasia.
3. Perawat melindungi klien dan publik bila kesehatan dan keselamatannya terancam
oleh praktik seseorang yang tidak berkompeten, tidak etis, atau legal.

J. PRINSIP ETIKA KEPERAWATAN


1. Prinsip otonomi.
2. Benefisiensi.
3. Keadilan (justice).
4. Veracity (kejujuran).
5. Nonmalefisien.
6. Prinsip fidelity (menepati janji).
7. Kerahasiaan (confidentiality).
8. Akuntabilitas.
BAB III

PEMBAHASAN

Pertanyaan:

1. Apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga, tenaga kesehatan dan dokter dalam
kasus ini?
2. Bagaimana peran masing-masing profesi jika dikaitkan dengan etik dan hukum
dalam kasus tersebut?
3. Siapa yang memegang peranan penting?
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak memutuskannya? Berikan
alasannya!
5. Bagaimana tindakan yang profesional?

Jawaban:

1. Hal yang seharusnya dilakukan oleh:


 Keluarga
Tindakan euthanasia yang diminta oleh pasien adalah hak pasien dan
keluarga, tetapi sebaiknya pasien atau keluarga tidak meminta tindakan
euthanasia tersebut.
 Tenaga Kesehatan dan Dokter
Menolak permintaan pasien atau keluarga terhadap tindakan euthanasia
tersebut.
 Dari segi agama kematian adalah semata-mata hak dari Tuhan,
sehingga manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai
hak untuk menentukkan kematiannya.
 Dari segi hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara
dan seringkali berubah seiring perubahan norma-norma budaya, di
beberapa negara euthanasia di anggap legal. Sedangkan di negara
lain di anggap melanggar hukum. Di negara maju seperti Amerika
Serikat, Belanda di akui hak untuk mati walaupun tidak mutlak.
Dalam keadaan tertentu euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan
di Amerika Serikat, namun di Indonesia masalah euthanasia tetap
di larang.

2. Peran masing-masing profesi:


 Peran perawat
Memberikan asuhan keperawatan seoptimal dan semaksimal mungkin dan
tidak melakukan tindakan yang mengarah kepada tindakan euthanasia,
seperti melepas alat ventilator, melepas selang oksigen, dll.
 Peran dokter
Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan
perkembangan kesehatan pasien tersebut.

3. Yang memegang peranan penting.


Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya memegang peranan penting
dalam pengambilan keputusan, akan tetapi keluarga adalah penentu dan
pemegang peranan yang paling openting dalam pengambilan keputusan
tersebut. Dokter memberikan masukan kepada keluarga untuk memikirkan
kembali niatnya meminta tindakan euthanasia, sebab ajal ada di tangan
Tuhan. Bisa jadi keadaan pasien sekarang yang berada di ruangan dengan
dilakukannya perawatan secara intensif maka akan mengalami kemajuan
secara perlahan-lahan dalam pemulihan kesehatannya.

4. Solusi yang dilakukan


Memberikan penjelasn kepada keluarga bahwa tindakan euthanasia
dilarang di Indonesia, jika masalah pasien adalah biaya perawatan,
masalah tersebut bis di cari solusinya. Seperti meminta bantuan ke Dinas
Sosial untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

5. Tindakan yang profesional.


Dalam kasus ini perawat mempunyai peran dalam memberikan asuhan
keperawatan. Peran advokat (pelindung) serta sebagai counselor yaitu membela
dan melindungi pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari
ancaman kematian.
 Perawat diharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada
keluarga pasien bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang optimal dan tidak melakukan euthanasia.
 Perawat hendaknya menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative
jalan keluar dalam hal mencari sumber biaya lain seperti melalui BAZDA,
DINAS SOSIAL, JAMKESDA, JAMKESMAS, dll.
 Perawat berusaha menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga
kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi
yang sejelas-jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan
untuk sembuh dan berapa besar biaya yang telah dan akan dikeluarkan.
 Perawat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang positif pada keluarga
dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pulang Tn. Berlin
Silalahi atau dilakukannya euthanasia pasif.
 Perawat tetap memberikan perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan
dasar pasien selama perawatan.
 Membantu keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan
Rumah Sakit.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri. Aturan mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma- norma budaya. Di beberapa Negara euthanasia
dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap dilarang karena tidak ada dasar
hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal 344,
pasal 355 dan pasal 359. Sehingga pada kasus Tn.Berlin euthanasia tidak dibenarkan.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral dan legal
dan juga pandangan bahwa apabila dilegalisir euthanasia dapat disalahgunakan.
Sebagai perawat berperan dalam memberikan advokasi. serta sebagai counselor yaitu
membela dan melindungi pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari
ancaman kematian. Perawat diharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan
kepada keluarga pasien bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang optimal dan tidak melakukan euthanasia.
Menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar dalam hal
mencari sumber biaya yang lain, menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga
kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi yang sejelas-
jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa
besar biaya yang telah dan akan dikeluarkan. Memberikan pertimbangan- pertimbangan
yang positif pada keluarga dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang
pasien Tn. Berlin atau dilakukannya euthanasia pasif. Perawat tetap memberikan
perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar pasien selama perawata. Dan
membantu keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah Sakit.

B. Saran

1. Bagi Keluarga
Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia.
Dan permasalahan biaya melalui jamkesmas, jamkesda, dll.
2. Bagi Petugas (Perawat, Dokter, dan Tenaga Kesehatan lainnya)
Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan
perlindungan kepada pasien sebagai advokat.
3. Bagi Pemerintah
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai
salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi
nilai etika, sosial, maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA

https://news.detik.com/berita/225608/kasus-ny-agian-rs-telah-lakukan-euthanasia-pasif

http://ilmugreen.blogspot.co.id/2012/07/pengertian-macam-macam-euthanasia.html

http://gc.ukm.ugm.ac.id/2016/05/euthanasiadapatkah-dilakukan-di-indonesia/

https://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-
indonesia/

https://agneshartanty.files.wordpress.com/2011/12/makalah-euthanasia1.pdf

http://qncjellygamatyangasli.com/2016/10/18/manfaat-dan-khasiat-tusuk-jarum-akupuntur-
untuk-kesehatan/

Anda mungkin juga menyukai