AUTANISIA
Disusun oleh:
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-nya sehingga makalah yang
berjudul Masalah pada euthanasian dapat terselesaikan.
Makalah ini ditulis utuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas kuliah masallul
fihqiyah.
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari pihak-
pihak luar, sehingga masalah ini dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan.
KATA PENGANTAR............................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................ 2
a. Pengertian euthanasia........................................................................................................ 2
b. Macam-macam euthanasia................................................................................................ 3
c. Pandagan syariat isalam.................................................................................................... 3
...........................................................................................................................................
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di
tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap
Tuhan, karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak
ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup
dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan perdata
beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had dan qisas termasuk
hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau
lembaga peradilan, nmaupun hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena
hidup dan mati ditangan Tuhan, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik
terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai
dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan
diakhiri dengan kematian.Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu
yang masih mengandung misteri yang sangat besar.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos
yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-
maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan
yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk
mempercepat kematiannya.
Euthanasia dapat dibagi dua macam, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
Euthanasia aktif (positif) adalah apabila seorang dokter melihat pasiennya dalam keadaan
penderitaan yang sangat berat karena penyakitnya yang sangat sulit disembuhkan dan menurut
pendapatnya penyakit terssebut akan mengakibatkan kematian dan karena rasa kasihan terhadap
si penderita ia melakukan penyuntikan untuk mempercepat kematiannya.
Euthanasia pasif (negatif) adalah apabila dokter tidak memberikan bantuan secara aktif
untuk mempercepat proses kematian si pasien. Jika seorang pasien menderita penyakit dalam
stadium terminal, yang menurut dokter sudah tidak bisa lagi disembuhkan, maka kadang-kadang
pihak keluarga tidak tega melihat seorang anggota kelurganya berlama-lama menderita dirumah
1 As’ad, Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus
sakit, lalu meminta kepada dokter untuk menghentikan pengobatannya. Akibatnya sipenderita
meninggal.
1. Euthanasia aktif
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
2. Euthanasia Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan
dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,
yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis
masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat
tinggi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk
sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka
dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan,
akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam
praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter
terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan
pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode
etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak
pidana di negara mana pun.
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif.
1. Euthanasia Aktif
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya
firman Allah SWT :
....... )151:(األنعام. اآلية....و ال تقتلوا النفس التي حرم هللا إال بالحق
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
)92 : (النساء. اآلية....و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إال خطأ
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
)178 :(البقرة. اآلية....يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-
Baqarah : 178)
....... )178 :(البقرة. اآلية.... فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun
(jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i. Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang
emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas
(1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham =
2,975 gram perak).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini
hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan,
maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan
atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu
keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu.
Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman :
hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan
surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia Pasif
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,
seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah
SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada
dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-
hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan
(epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat
surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku
tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi
(qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya,
hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam
hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah,
maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para
dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas
pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti
tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital
lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada
pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat
dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari
bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis
lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak
diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia
tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode
etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun
menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah
dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka
pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut.
Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang
mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan
konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan
pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik
moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien
dan bukan mengakhiri hidup pasien.
Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa
dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu,
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun
kalau orang itu jadi bunuh diri.”
3. Analisa
Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal
ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat
menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan
manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk
menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri.
Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk dilakukan
karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab tidak
mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi bila pada akhirnya manusia jualah
yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak
percaya Tuhan. Ketika kita melihat orang yang sudah sekarat bertahun-tahun dan sangat
menderita, beberapa kelompok orang sering secara cepat mengambil keputusan karena merasa
kasihan dan mengambil tindakan yang menurut mereka baik agar orang tersebut tidak lagi hidup
dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan yaitu meminta
tolong dokter atau para medis untuk ‘membunuh’nya, hal itu juga dipicu karena orang ini sudah
terlalu menyusahakan keluarganya.
Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan
mengtuhankan diri kita sendiri sebagai ‘Tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau matinya
orang ini. Pada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, beranggapan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan
segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian.
Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka
ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan
pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita ketahui
bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan
mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu keluarga
merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan
membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa
dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang,
karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup
kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau
digunkan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup bukan untuk
mati. Jadi selama si pasien masih memiliki kesempatan untuk hidup mengapa orang lain justru
ingin mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah hidup kita ini lebih berharga daripada uang dan
tak bisa diukur dengan nilai apapun.
Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya
tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin melakukan
euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena
ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati, dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia
untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan
semakin parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu
tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan
cara membunuh.
Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang
fungsinya menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut
harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut? Alat-alat yang
dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja dengan membunuhnya,
sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih menunjang diri pasien tersebut
untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan
jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia,
karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan sakit,
sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah bertujuan untuk
memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini adalah dokter belum
bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada didepannya, jadi selagi
pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga. Untuk
mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan
hukum yang terdapat pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat
administrasi yang belum selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang.
Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak
bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa
tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan
tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk mengurangi
beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja hal ini
melanggar hak asasi si pasien. sPengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah
termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter
seharusnya berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir
kesanggupannya. dalam kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus
mengerahkan kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara
hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak
boleh dilakukan didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut
melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat. Disamping fakta
bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk
mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan. Akan
tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa tindakan
Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang.
Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan
kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya. Sebagai manusia yang
berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang telah diberikan
akal dan budi agar mampu mengembangkan secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita
dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah
diberikanNya kepada kita untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang
bertentangan dengan moral dan etika, seperti membunuh orang dengan cara apapun.
Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang memiliki Critical Thinking, kita perlu
menolak Euthanasia ini, sebab ketika kita menyetujui hal ini, kita sama saja dengan orang yang
tidak beragama dan tidak memiliki moral serta etika yang baik yang menginginkan kematian dan
pembunuhan terhadap orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Qordhawi, Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/