Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TAFSIR AKHAM

“TAFSIR AYAT POLIGAHIMI”

DOSEN PENGAMPU
OLEH : Dr. Iskandar, M.Sy

Kelompok 7

1. Firman Azang (2111211021)


2. M. Tahta Firmansyah (2111211017)
3. Ahmil Zulkarnain Esa (2111211028)
4. Rustanto M. Yusuf (2111211032)

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSYIYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia, dan hidayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
TAFSIR AKHAM tentang “TAFSIR AYAT POLIGAMI” ini dengan baik.
Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen bidang studi tafsir
akham yang telah memberikan kepercayaan kepada kami dengan sepenuhnya sehingga
kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan lancar. Kami juga berterima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung dan memberikan arahan kepada kami, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahan dan perlu adanya keterlibatan dari semua pihak, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan sesuai dengan apa yang diharapkan. Kritik dan saran sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian penyusunan makalah ini kami buat. Bila ada kekurangan kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan juga umumnya untuk masyarakat pada umumnya.

Kupang, 29 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1
A. LATAR BELAKANG.....................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................
A. NASKAH/AYAT TERJEMAHAN ASBABUN NUZUL
(SURAH AN-NISA AYAT 3 DAN 129 )...........................................3
B. SYARAT-SYARAT POLIGAMI....................................................9
C. BATASAN ADIL DALAM POLIGAMI........................................12
D. ASPEK KEUSNAHAN DALAM POLIGAMI...............................12

BAB III PENUTUP...................................................................................14


A. KESIMPULAN.........................................................................14
B. SARAN............................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.Masalah poligami meskipun
Islam membolehkannya, tetapi oleh kaum wanita seiring dengan meningkatnya
kesadaran akan hak dan martabat status mereka dipandang sebagai suatu upaya
eksploitasi wanita demi kebutuhan biologis kaum adam. Sementara bagi kaum adam
pada umunya, poligami adalah sesuatu yang legal dan telah dipraktekkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Meskipun Nabi Muhammad SAW mempraktekkannya, tetapi dalam
perkembangannya, tidak semua ulama berpendapat seragam, sebagian mereka ada yang
menolak kebolehannya.
Persoalan hak-hak dan kesetaraan bagi wanita selalu menarik untuk di kaji, khusunya
di negara-negara Muslim. Upaya peningkatan status wanita terus diupayakan terutama
dalam wacana pembaharuan hukum keluarga Muslim. Hal ini penting dikemukakan,
karena stigma yang selalu muncul adalah kondisi wanita selalu termaginalkan dan
mengalami subordinasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Faktor penyebab
munculnya masalah ini erat kaitannya dengan konstruksi hukum Islam yang telah
tertanam dalam struktur masyarakat muslim yang menampilkan bias patriarkhi.
Salah satu isu yang paling mengemuka dan banyak mendapat sorotan dari kalangan
feminis adalah masalah poligami. Bentuk perkawinan semacam ini dalam hukum Islam
juga selalu mengundang perdebatan di kalangan pemikir Muslim dari dulu hingga
sekarang.
Bahkan perdebatan tersebut tidak akan pernah berakhir dikarenakan poligami tidak
hanya mempunyai legalitas hukum, tetapi juga di dukung oleh tradisi masyarakat.
Landasan hukum yang digunakan oleh negara-negara Muslim dalam merumuskan
ketentuan tentang poligami serta batasan-batasan jumlah wanita yang boleh di poligami,
pada dasarnya merujuk pada ayat al-Quran yakni surat al-Nisa (4):3. Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)

1
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya. (QS. al-Nisa (4) : 3).
Berangkat dari penafsiran terhadap surat al-Nisaayat 3 inilah kemudian para ulama
berbeda pendapat dalam menghukumi poligami. Di antara mereka ada yang
membolehkan dan ada pula yang sebaliknya. Di antara mereka yang membolehkan
adalah Ibnu Jarir al-Tabari.beliau berkata bahwa janganlah menikahi wanita kecuali
dengan wanita yang kalian yakin bisa berbuat adil, satu sampai empat wanita.
Sebaliknya, kalau ada kekhawatiran tidak bisa berbuat adil maka cukup menikahi
seorang wanita saja
Sedangkan al-Jassas berpendapat bahwa status melakukan poligami hanya bersifat
boleh (mubah). Kebolehan ini juga disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil di
antara para istri. Untuk ukuran keadilan sendiri menurut al-Jassas termasuk materil
seperti tempat tinggal, pemberian nafkah dan sejenisnya. Selain kebutuham materil, juga
kebutuhan non-material seperti rasa kasih sayang. Namun, dia mencatat bahwa
kemampuan berbuat adil dalam bidang non-material sangatlah berat.
Al-Shawkani ketika menafsirkan ayat ini menghapus kebiasaan orang Arab pra-Islam
yang menikahi wanita tanpa batas. Dengan ayayt ini maka hanya boleh menikahi empat
wanita saja. Namun kebolehan inipun masih disyaratkan kemampuan berbuat adil.
Dengan mengambil pendapat Ibnu Atiyyah, Shawkani berkata arti kata khiftum adalah
prasangka (keraguan) bukan keyakinan, karenanya barang siapa yang mempunyai
prasangka tidak dapat berbuat adil maka cukup menikahi satu wanita saja.8 Penafsiran
ulama-ulama di atas merupakan penafsiran yanng sudah umum di kalangan mufassir
sampai kemudian muncul pemikir-pemikir modern seperti Muhammad Abduh dan
Fazlur Rahman. Abduh berpendapat bahwa dalam poligami disyaratkan keadilan,

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Naskah/Ayat,Terjemahan Dan Asbabun Nuzul (Surah An-Nisa Ayat
3 Dan 129)?
2. Apakah Syarat-Syarat Poligami?
3. Bagaiamana Batasan Adil Dalam Poligami?
4. Bagaimana Aspek Kesunnahan Poligami Rasululah?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Naskah/Ayat terjemahan Asbabun nuzul (surah An-nisa ayat 3 dan 129 )

1) Naskah/Ayat terjemahan Asbabun nuzul (surah An-nisa ayat 3 )

a. Q.S Surah anisa ayat 3

Artinya ; “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”(surah An-nisa ayat
3).

b. Asbabun nuzul

Adapun penjelasan tentang surat an-Nisa: 3 terdapat dalam kitab Shahih Bukhari pada
Bab 18: Firman Allah ‟Azza wa Jalla: ”Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil
terhadap anak-anak yatim...” (Q.S an-Nisa: 3).

Diriwayatkan dari ‟Aisyah ra bahwa dia ditanya oleh Urwah mengenai firman Allah
swt: ”Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim...” (Q.S
an-Nisa: 3). Kemudian ‟Aisyah menyatakan kepada Urwah: ”Wahai putra saudara
perempuanku! Anak perempuan yatim yang dimaksud dalam ayat tersebut berada dalam
asuhan walinya yang mengurus hartanya, kemudian wali tersebut terpikat oleh harta dan
kecantikan anak yatim itu sehingga dia ingin mengawininya tanpa berlaku adil dalam
memberikan maskawin, yakni hanya memberinya maskawin sebanding dengan apa yang
diberikan kepadanya oleh laki-laki lain. Dengan adanya kasus tersebut maka wali yang

3
mengasuh perempuan yatim dilarang mengawininya kecuali jika bisa berlaku adil dan
memberinya maskawin lebih tinggi dari pada apa yang diberikan oleh laki-laki lain pada
umumnya. Para wali yatim tersebut diperintahkan menikahi perempuan-perempuan lain
yang baik bagi mereka (jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anakanak
yatim yang ada dalam perwalian mereka)”. ‟Aisyah ra melanjutkan: Sesudah ayat ini,
orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw., maka Allah menurunkan ayat lagi
(yang artinya): ”Mereka meminta fatwa kepadamu mengenai para wanita”

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa menurut Hamka, Islam memberi peluang bagi
umat Muhammad Saw. untuk berpoligami, sedangkan menurut Quraish Shihab, surat al-
Nisa` ayat 3 tidak membuat peraturan tentang poligami dan ayat ini tidak mewajibkan
kita berpoligami atau menganjurkannya, ayat tersebut hanya berbicara tentang bolehnya
poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang-orang
yang amat membutuhkan dengan syarat yang tidaklah ringan.

“M. Quraish Shihab mengatakan apabila perlu, kamu dapat menggabungkan dalam saat
yang sama dua, tiga atau empat, tetapi jangan lebih lalu jika kamu takut tidak akan
berbuat adil dalam hal harta dan 34 Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah
(HAMKA), Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), perlakuan lahiriyah,
bukan dalam hal cinta, jika menghimpun lebih dari seorang isteri, maka kawini seorang
saja atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi
selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan, dan mencukupi satu orang isteri
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniayayakni lebih mengantarkan kamu kepada
keadilan atau kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup
mereka”.

C. Tafsir ayat

 Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr.


Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)

Dan apabila kalian takut tidak akan dapat berlaku adil jika kalian menikah dengan
anak-anak perempuan yatim yang berada di bawah perwalian kalian (boleh jadi takut
mengurangi mas kawin yang seharusnya menjadi hak milik mereka, atau

4
memperlakukan mereka secara buruk) maka hindarilah mereka dan menikahlah
dengan wanita-wanita baik lainnya. Jika kalian mau, menikahlah dengan dua wanita,
tiga wanita atau empat wanita. Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil
kepada mereka, maka cukuplah menikah dengan satu wanita saja. Atau bersenang-
senanglah dengan budak-budak wanita yang kalian miliki, karena hak-hak mereka
tidak sama dengan para istri. Ketentuan yang ada di dalam ayat tersebut yang
berkenaan dengan urusan anak-anak yatim, membatasi diri dengan menikahi satu
orang wanita, dan bersenang-senang dengan budak wanita itu lebih memungkinkan
kalian untuk tidak berbuat sewenang-wenang dan menyimpang dari kebenaran.

 Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah


pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an
Universitas Islam Madinah

Dan jika kalian takut berbuat zalim terhadap anak-anak yatim perempuan yang kalian
asuh, maka janganlah kalian menikahi mereka, dan menikahlah dengan wanita selain
mereka yang telah dihalalkan bagi kalian, baik itu dua, tiga, atau empat wanita.

Namun jika kalian takut tidak bisa berbuat adil dengan istri-istri kalian, maka
nikahilah seorang wanita saja atau nikahilah budak wanita yang kalian miliki. Hukum
ini lebih mudah untuk tidak berbuat zalim.

Poligami dalam pernikahan ini secara umum bermanfaat bagi anak-anak yatim dalam
hal pengasuhan mereka, sebab semakin banyak orang yang akan memberi mereka
perhatian.

Demikianlah hukum agung yang lebih memperhatikan hak-hak anak-anak yatim dan
hak-hak para istri.

 Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
mudarris tafsir Universitas Islam Madinah

5
۟ ‫ان ِكح‬Sَ‫وا فِى ْاليَ ٰتم ٰى ف‬
‫ُوا‬ ۟ ُ‫ط‬S‫( َو ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِس‬Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
َ ‫ِإ‬
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah)

Ada seorang laki-laki yang mengasuh seorang perempuan yatim karena ia adalah wali
dari anak tersebut, kemudian laki-laki ini ingin menikahinya namun tidak berlaku adil
dalam maharnya, yakni tidak memberinya sebagaimana suami-suami lain memberi
mahar istri-istri mereka. Maka Allah melarang para wali menikahi mereka kecuali
dengan berlaku adil kepada mereka dan memantaskan mahar mereka dan seluruh hak-
hak lainnya sebagai istri.

Dan Allah memerintahkan kepada mereka untuk menikahi wanita-wanita lain selain
mereka; yakni barangsiapa yang memungkinan besar akan lalai dalam berlaku adil
terhadap perempuan yatim bersebut maka hendaklah ia tidak menikahinya, lalu
menikahi wanita lainnya.

2. Naskah/Ayat terjemahan Asbabun nuzul (surah An-nisa ayat 129)


a. Surah an nisa ayat 129

‫َولَ ْن تَ ْستَ ِط ْيع ُْٓوا اَ ْن تَ ْع ِدلُ ْوا بَي َْن النِّ َس ۤا ِء َولَ ْو َح َرصْ تُ ْم فَاَل‬
‫لِح ُْوا‬S ‫ص‬ْ ُ‫ ِة ۗ َواِ ْن ت‬S َ‫ َذر ُْوهَا َك ْال ُم َعلَّق‬S َ‫ل فَت‬S
ِ S‫ َّل ْال َم ْي‬S ‫ ُك‬S‫وا‬Sْ Sُ‫تَ ِم ْيل‬
ِ ‫ان َغفُ ْورًا ر‬
‫َّح ْي ًما‬ َ ‫ فَا ِ َّن هّٰللا َ َك‬S‫َوتَتَّقُ ْوا‬
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

6
b. Asbabun Nuzul Ayat

Imam Ibnu Katsir mengatakan dari Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa
ayat ini turun berkenaan dengan Rasulullah saw. Sangat mencintai Aisyah melebihi
istri istrinya yang lain. Sebagaimana hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad
dari Aisyah r.a ia berkata : Rasulullah saw berkata :

Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku pad
apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki. Yaitu hati. ( lafadz hadits ini adalah
berdasarkan riwayat dari abu Dawud dan isnadnya Shahih, akan tetapi At-Tirmidzi
berkata hadits ini di riwayatkan pula oleh hammad bin Zaid dan yang lainnya dari
Ayyub dari Abu Khilabah secara mursal dan ini lebih Shahih).

c. Tafsir Ayat

Pada ayat ini Allah mengingatkan kepada mereka yang ingin berpoligami. Dan kamu,
wahai para suami, tidak akan dapat berlaku adil yang mutlak dan sempurna dengan
menyamakan cinta, kasih sayang, dan pemberian nafkah batin di antara istri-istri-mu,
karena keadilan itu merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan dan bahkan di luar bat
as kemampuan kamu, walaupun kamu dengan sungguh-sungguh sangat ingin
berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada perempuan-
perempuan yang kamu cintai dan kamu ingin nikahi, sehingga kamu membiarkan istri
yang lain terkatung-katung, seakan-akan mereka bukan istrimu, dan bukan istri yang
sudah kamu ceraikan. Dan jika kamu mengadakan perbaikan atas kesalahan dan
perbuatan dosa yang telah kamu lakukan sebelumnya dan selalu memelihara diri dari
kecurangan, maka sungguh, Allah Maha Pengampun atas dosa-dosa yang kamu
lakukan, Maha Penyayang dengan memberikan rahmat kepadamu.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat
demikian. An-Nisa: 129) Kalian tidak akan mampu, wahai manusia, untuk berlaku
adil kepada semua istri kalian dengan perlakuan yang sama di antara sesama mereka

7
dari segala segi. Karena sesungguhnya jika memang terjadi keadilan dalam
pembagian giliran secara lahiriah, yaitu misalnya masing-masing istri mendapat
giliran satu malam, maka tidak luput dari perbedaan dalam segi cinta dan berahinya
serta persetubuhan yang dilakukan. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh
Ibnu Abbas, Ubaidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan Adh-Dhahhak
ibnu Muzahim. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada
kami Husain Al-Ju'fi, dari Zaidah, dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Ibnu Abu
Mulaikah yang mengatakan bahwa firman-Nya: Dan kalian sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat
demikian. (An-Nisa: 129) diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah Demikian itu
karena Nabi ‫ ﷺ‬mencintainya dengan kecintaan yang lebih besar daripada istri-istri
beliau yang lainnya.

Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan para pemilik kitab sunan melalui hadits Hammad ibnu Salamah, dari
Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Aisyah yang menceritakan
bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬membagi-bagi gilirannya di antara istri-istrinya dengan cara
yang adil. Kemudian Nabi ‫ ﷺ‬bersabda: Ya Allah, inilah pembagianku terhadap apa
yang aku miliki, tetapi janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau
miliki, sedangkan aku tidak memilikinya. Yang beliau maksud ialah kecenderungan
hati. Demikianlah menurut lafal hadits yang diketengahkan oleh Imam Abu Dawud,
dan hadits ini sanadnya sahih. Tetapi Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Zaid dan lainnya yang bukan hanya seorang
dari Ayyub, dari Abu Qilabah, secara mursal. Menurut Imam At-Tirmidzi, sanad ini
lebih sahih. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Karena itu, janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai). (An-Nisa: 129) Dengan kata lain, apabila kamu
cenderung lebih mencintai seseorang dari istri-istrimu, maka janganlah kamu
berlebihan dalam kecenderungan itu secara habis-habisan.

sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (An-Nisa: 129) Yakni istri
yang lainnya ditelantarkan. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-
Hasan, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Suddi, dan Muqatil ibnu Hayyan,
makna yang dimaksud ialah istri yang lain dibiarkan terkatung-katung, bukan seperti

8
wanita yang bersuami, bukan pula seperti wanita yang diceraikan. Abu Dawud At-
Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah, dari
An-Nadr ibnu Anas, dari Basyir ibnu Nahik, dari Abu Hurairah yang menceritakan
bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬telah bersabda: Barang siapa yang mempunyai dua orang istri,
lalu ia cenderung (lebih mencintai kepada) salah seorangnya, kelak di hari kiamat ia
akan datang, sedangkan salah satu dari pundaknya miring. Hal yang sama
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunan melalui hadits
Hammam ibnu Yahya, dari Qatadah, dengan lafal yang sama.

Imam At-Tirmidzi mengatakan, sesungguhnya yang mengisnadkan hadits ini


adalah Hammam, dan Hisyam Ad-Dustuwai' meriwayatkannya dari Qatadah. Imam
At-Tirmidzi mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, hadits ini tidak dikenal
berpredikat marfu' kecuali yang melalui hadits Hammam. Firman Allah subhanahu wa
ta’ala: Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 129)
Maksudnya, apabila kalian memperbaiki perkara kalian dan melakukan giliran dengan
adil terhadap semua istri kalian, serta kalian bertakwa kepada Allah dalam segala
keadaan, niscaya Allah memberikan ampunan bagi kalian atas apa yang kalian
lakukan, yaitu kecenderungan kalian kepada salah seorang di antara istri-istri kalian,
sedangkan yang lainnya tidak kalian cenderungi. Kemudian Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman: Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan
kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Mahaluas
(karunia-Nya) lagi Mahabijaksana.

B. Syarat Syarat Poligami

Allah Azza wa Jalla tidak mensyaratkan adanya poligami, kecuali dengan satu
syarat saja. Yaitu berlaku adil terhadap para isteri dalam perkara lahiriyah. Disamping
itu, juga harus memiliki kemampuan melakukan poligami, karena kemampuan
merupakan syarat di dalam melaksanakan seluruh jenis ibadah, sebagaimana telah
dimaklumi. Berikut kami sebutkan dalil-dalil berkaitan dengan kedua syarat di atas.

9
1) Berlaku Adil Terhadap Para Isteri Dalam Pembagian Giliran Dan Nafkah.

Allah Ta’ala berfirman:

Artinya ; “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”(surah An-nisa ayat
3).

Allah Azza wa Jalla tidak mensyaratkan adanya poligami, kecuali dengan satu syarat
saja. Yaitu berlaku adil terhadap para isteri dalam perkara lahiriyah. Disamping itu, juga
harus memiliki kemampuan melakukan poligami, karena kemampuan merupakan syarat
di dalam melaksanakan seluruh jenis ibadah, sebagaimana telah dimaklumi.

2) Kemampuan Melakukan Poligami.

Islam adalah agama yang mudah. Dalam Islam, seseorang tidak diperbolehkan
memberatkan dirinya sendiri. Demikian pula dalam hal poligami. Sehingga, seorang laki-
laki yang berpoligami, disyaratkan harus memiliki kemampuan agar tidak menyusahkan
orang lain. Kemampuan yang dimaksudkan, meliputi pemberian nafkah dan menjaga
kehormatan isteri-isterinya.

10
3) Kemampuan Memberi Nafkah.

Ketika seorang laki-laki menikah, maka dia menanggung berbagai kewajiban terhadap
isteri dan anaknya. Di antaranya adalah nafkah. Dengan demikian seorang laki-laki yang
melakukan poligami, maka kewajibannya tersebut bertambah dengan sebab bertambah
isterinya.

Secara bahasa, yang dimaksud nafkah adalah harta atau semacamnya yang diinfaqkan
(dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan
atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat
tinggal, perawatan, dan semacamnya.

4) Kemampuan Menjaga Kehormatan Isteri-Isterinya.

Selain kebutuhan nafkah, wanita juga memiliki kebutuhan biologis. Sehingga seorang
laki-laki yang berpoligami, ia harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
biologis isteri-isterinya. Jika tidak, hal itu akan membawa kepada kerusakan, sedangkan
Allah tidak menyukai kerusakan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ب َم ْن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ْم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوجْ َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِالصَّوْ ِم فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬
ِ ‫يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬

“Wahai jama’ah para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah
dia menikah. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa
itu pemutus syahwat” [HR Bukhari, no. 5065, Muslim, no. 1400]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


mengkhususkan pembicaraan kepada para pemuda, karena umumnya, pada diri mereka
terdapat kekuatan yang mendorong kepada nikah. (Ini) berbeda dengan orang tua,
walaupun maknanya juga diperhatikan jika sebab itu didapati pada orang-orang tua,
maka juga berlaku pada mereka”

11
Di kalangan para ulama, mereka memiliki dua pendapat tentang makna al ba’ah
(menikah). Pertama, jima. Kedua, biaya nikah. Namun sesungguhnya kedua makna
tersebut dapat digunakan pada hadits ini.

C. Batasan Adil Dalam Poligami

Jika keadilan kesamarataan di antara semua istri, niscaya tidak ada lelaki yang mampu
berpoligami secara adil. Namun keadilan ialah semua keluarga mendapat haknya dan hak
satu keluarga tentu berbeda diantara satu sama lain. Inilah keadilan yang di maksud oleh
islam dalam poligami menurut Ayabil Syarjaya.

Selanjutnya dikatakan bahwa suami dalam poligami ibarat hakim yang adil, hanya ia
yang mengetahui pembagian yang adil diantara istri istrinya. Oleh karena itu keadilan
poligami di ukur berdasarkan kemampuan suami. Pandangan yang mashur menyebutkan
keadilan adalah hak isi istri yang harus di penuhi oleh suami.Namun pendapat yang benar
menurutnya, keadilan adalah hak suami dan istri istri, dan istri istri hendaknya membantu
suaminya dalam melaksanakan keadilan.

Mengenai giliran, jika suami sakit berat dia tidak perlu lagi melakukan perjalanan
untuk menggilir istri istrinya, cukuplah ia beristirahat di rumah istrinya yang mendapat
giliran ketika ia sakit. Karena itulah keadilan tergantung kepuaan suami.

D. Aspek Kesunnahan Poligami Rasulullah SAW

Pada dasarnya alasan Nabi Muhammad berpoligami bersifat mulia, yakni untuk
menolong janda-janda dan anak yatim untuk “berjuang di jalan Allah” dan beliau
mengamalkan monogami lebih lama daripada poligami.

Khadijah merupakan istri satu-satunya Rasulullah. Nabi Muhammad tidak pernah


melakukan poligami selama 25 tahun hidup bersama Khadijah. Dalam sejumlah Sirah
Nabawiyah disebutkan bahwa Khadijah wafat saat Rasulullah berusia 50 tahun. Dalam

12
sejumlah Sirah Nabawiyah disebutkan bahwa Khadijah wafat saat Rasulullah berusia 50
tahun. Setelah Khadijah wafat, Rasulullah sempat menduda selama satu tahun

Tak terlintas dalam pikiran Rasulullah untuk menikah lagi dengan wanita lain


selain Khadijah. Sejumlah sahabat sedih dengan kesendirian Nabi. Sehingga mereka
berusaha membujuk Rasulullah agar menikah lagi. Kisah Nabi Muhammad SAW
berpoligami terjadi setelah wafatnya Siti Khadijah.

Pada suatu hari datanglah Khaulah binti Hakim mendatangi Nabi. Dia
membujuk Rasulullah agar mau menikahi Aisyah binti Abu Bakr.

Nabi Muhammad setuju dan mengkhitbah (melamar) Aisyah, namun belum


menggaulinya. Khaulah tak lega. Sebab itu artinya Rasulullah tetap sendiri.

“Jika Rasulullah SAW tidak langsung berumah tangga dengan Aisyah, lalu siapakah yang
akan menemaninya?” tanya dia

Maka Khaulah datang kembali dengan menawarkan agar Rasulullah menikahi Saudah


binti Zam'ah, seorang janda berusia 55 tahun.

Abdul Hasan 'Ali al-Hasani an-Nadwi dalam Sirah Nabawiyah menyebut saat menikahi
Saudah, usia Rasulullah 50 tahun. Setelah itu Rasulullah menikah dengan Zainab binti
Jahsyi, janda berusia 45 tahun, lalu dengan Ummu Salamah, janda berusia 62 tahun. Saat
berusia 57 tahun Nabi Muhammad menikahi seorang janda berusia 47 tahun kemudian
dengan Juwairiyah binti Al-Harits, janda berusia 65 tahun yang telah punya 17 anak.

Kemudian Rasulullah menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab, janda berusia 53 tahun


dengan 10 orang anak; Maimunah binti Al-Harits, janda berusia 63 tahun, dan Zainab
binti Harits, janda 50 tahun.

Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah dilaksanakan di Madinah. Semasa


hidupnya Rasulullah menikahi perempuan berstatus gadis hanya dengan Aisyah.

Yang Lainnya dinikahi Rasulullah dalam status janda dan tak lagi muda. "Beliau
(Muhammad SAW) tidak menikah dengan gadis kecuali dengan Aisyah," tulis Abdul

13
Hasan 'Ali al-Hasani an-Nadwi dalam Sirah Nabawiyah Rasulullah wafat pada usia 63
tahun berarti Rasulullah hidup dalam poligami selama 12 sampai 13 tahun.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.Masalah poligami meskipun
Islam membolehkannya, tetapi oleh kaum wanita seiring dengan meningkatnya
kesadaran akan hak dan martabat status mereka dipandang sebagai suatu upaya
eksploitasi wanita demi kebutuhan biologis kaum adam. Sementara bagi kaum adam
pada umunya, poligami adalah sesuatu yang legal dan telah dipraktekkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Meskipun Nabi Muhammad SAW mempraktekkannya, tetapi dalam
perkembangannya, tidak semua ulama berpendapat seragam, sebagian mereka ada yang
menolak kebolehannya.
1. Poligami ini di jelaskan dalam al Qur’an (Q.S An Nisa Ayat 3 dan 129)
Q.S Surah anisa ayat 3

14
Artinya ; “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”(surah An-nisa ayat
3).

Q.S Surah an-nisa ayat 129

ْ ُ‫ ِة ۗ َواِ ْن ت‬Sَ‫َولَ ْن تَ ْست َِط ْيع ُْٓوا اَ ْن تَ ْع ِدلُوْ ا بَ ْينَ النِّ َس ۤا ِء َولَوْ َح َرصْ تُ ْم فَاَل تَ ِم ْيلُوْ ا ُك َّل ْال َم ْي ِل فَتَ َذرُوْ هَا َك ْال ُم َعلَّق‬
‫ا ِ َّن‬Sَ‫وْ ا ف‬SSُ‫لِحُوْ ا َوتَتَّق‬S ‫ص‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫َ َكانَ َغفُوْ رًا ر‬
‫َّح ْي ًما‬

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2. Syarat syarat poligami

 Berlaku Adil Terhadap Para Isteri Dalam Pembagian Giliran Dan Nafkah.

 Kemampuan Melakukan Poligam

 Kemampuan Memberi Nafkah.

 Kemampuan Menjaga Kehormatan Isteri-Isterinya

15
3. Batasan adil dalam poligami

keadilan ialah semua keluarga mendapat haknya dan hak satu keluarga tentu berbeda
diantara satu sama lain. Inilah keadilan yang di maksud oleh islam dalam poligami menurut
Ayabil Syarjaya.

4. Aspek kesunnahan poligami Rasulullah SAW

Pada dasarnya alasan Nabi Muhammad berpoligami bersifat mulia, yakni untuk menolong
janda-janda dan anak yatim untuk “berjuang di jalan Allah” dan beliau mengamalkan
monogami lebih lama daripada poligami.

B. Saran

Masyarakat yang melakukan pernikahan sah, harus dicatat oleh pegawai catatan sipil dan
harus lapor ke Kantor Urusan Agama supaya ada kekuatan hukum. Dan bagi masyarakat
bahwasanya tidak dianjurkan poligami kalau tidak dalam keadaan darurat, yang mana
poligami itu merupakan jalan keluar bagi masalah seseorang rumah tangga yang sudah bisa
diatasi lagi. Dan harus teliti terlebih dahulu dalam memilih calon yang akan dinikahinya. 2.
Hakim dalam memeriksa suatu perkara hendaknya mempertimbangkan tiga aspek, yaitu
aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Yakni aspek keadilan, kepastian dan kemanfaatan,
sehingga tidak merugikan para pihak berperkara.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hafiz Firdaus bin. 202 Pelajaran Berkenaan Poligami.

Johor Bahru: Perniagaan Jahabersa. 2012.

Al-Atari, Abu Salama. “Poligami Dihujat” Copyright bagi umat islam.1428.Robi’ ats-
Tsani 13 / 2007. Mei 1.

Hasan, Abdul Halim. Tafsir Al Ahkam. Jakarta: Kencana. 2006.

Katsir,Ibnu.Tafsir Al Qur’an al – azim. t.tmp.:Dar Thaibah:1999.

17
18

Anda mungkin juga menyukai